Kelebihan Penyelesaian Sengketa Alternatif dibandingkan dalam Pengadilan .
3. Kelebihan Penyelesaian Sengketa Alternatif dibandingkan dalam Pengadilan .
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi yang ada di Indonesia ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan adanya indikasi penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Dalam hal ini, penyelesaian yang dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga
akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya
Dalam kasus Suprayitno dengan PT. Abadi Jaya Manunggal sudah mengusahakan melalui penyelesaian sengketa dimana dengan cara birpartit melalui mediasi. Penyelesaian bipartit merupakan perundingan antara pekerjaserikat pekerja(SPSB) dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan jika dalam kurun waktu itu belum mencapai kesepakatankemufakatan maka bipartit dianggap gagal. Apabila perundingan mendapat kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama yang di tanda tangani kedua belah pihak, kemudian untuk kepastian hukumnya wajib didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri dimana wilayah Domisili perjanjian bersama disepakati (wilayah perselisihan). Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa buruh dan tenaga kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan asas kekeluargaan antara buruh dan majikan.
Menurut peneliti dengan tidak melanjutkan perkara ini pada Penyelesaian Sengketa Alternatif sangat merugikan pihak Penggugat dan Tergugat, dimana dalam hal perkara ini banyak menyita waktu yang lama, biaya yang mahal yang dialami pekerja maupun perusahaan. Peneliti berpendapat juga hasil yang diperoleh dalam berperkara, lebih besar ruginya dari pada untungnya, padahal tujuan berperkara, bukan sekedar mencari dan menemukan ”kebenaran yang kabur” tetapi lebih ditujukan untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah.
Dan didalam kenyataan, tidak selamanya kebenaran sama dan identik dengan penyelesaian masalah.
Oleh karena itu dalam suatu perkara atau konflik, peneliti berpendapat bahwa, tujuan memproses suatu perkara di penyelesaian sengketa adalah:
1. Untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan (win-win solution),
2. Pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
3. Tidak ada pihak yang tersakiti (karena kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan)
4. Dijamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa
Sangat berbeda jika berperkara melalui pengadilan, berdasarkan beberapa asumsi, proses litigasi memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, antara lain : 40
a. Penyelesaian sengketa lambat
b. Biaya perkara mahal ( expensive )
c. Peradilan tidak tanggap ( unresponsive )
d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
e. Putusan pengadilan membingungkan
f. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum
g. Kemampuan para hakim bercorak generalis
40 M.Yahya Harapan, Hukum Acara Perdata,Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan,
Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.hlm.233
Dalam proses litigasi, pemeriksaan suatu perkara dianggap telah selesai karena semua tingkat upaya hukum telah digunakan secara maksimal. Akibatnya perkara tersebut akan dianggap tuntas dengan ditandai proses eksekusi. Dengan berakhirnya proses litigasi bukan berarti sengketa diantara para pihak telah benar - benar selesai, karena dengan munculnya pihak yang kalah, justru sering menumbuhkan dendam yang berkepanjangan, sehingga pihak yang kalah akan terus melakukan intimidasi kepada si pemenang agar ia tidak bisa menikmati hasil kemenangannya itu. Kondisi seperti itu justru menjadi kontrapoduktif dengan tujuan penyelesaian sengketa itu sendiri, karena bukan hanya konfliknya tidak selesai secara tuntas, namun pihak yang nyata - nyata telah dinyatakan menang oleh putusan pengadilan pun pada kenyataannya tidak bisa menikmati kemenangan itu secara nyaman dan tentram.
Berpangkal tolak dari beberapa kelemahan yang ditemukan dalam pola penyelesaian secara litigasi, orang mulai melirik metode lain diluar proses litigasi yang dianggap akan lebih mendatangkan keuntungan kepada kedua belah pihak.