T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak karena Pekerja Sakit dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 125G2008PHI.Smg dan Putusan Kasasi Nomor PDT.SUS2009 T1 BAB

PEMBAHASAN

A. Ketentuan - ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja dan Upah

1. Pengaturan Perjanjian Kerja menurut KUHPerdata dan Undang- undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

  Perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu mengenai perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian kerja diatur secara khusus pada Bab VII KUHPerdata tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan. Menurut Pasal 1601a KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu, dengan menerima upah.

  Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerjaburuh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya perjanjian kerja hanya dilakukan oleh dua belah pihak yakni pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja atau buruh. Mengenai hal-hal apa saja yang diperjanjikan diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yakni antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja atau buruh. Apabila salah satu dari Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerjaburuh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya perjanjian kerja hanya dilakukan oleh dua belah pihak yakni pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja atau buruh. Mengenai hal-hal apa saja yang diperjanjikan diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yakni antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja atau buruh. Apabila salah satu dari

  Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika di dalam suatu perjanji

  antara pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari sekelilingnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat para pihak yang mengadakan

  perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang. 1 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 14 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja adalah perjanjian

  antara pekerjaburuh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 2

  Belanda disebut

  (Arbeidsoverenkoms), menurut Pasal 1601 a KUH Perdata adalah : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.UU

  1 Djumadi, Op.Cit. hlm 27. 2 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Ed. 1. Cet.4, ( Jakarta:Sinar Grafika),

  hlm 41.

  Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerjaburuh dan pengusaha atau pemberi kerja yang

  memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. 3

  Selain pengertian normatif di atas, Imam Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan

  membayar upah. 4 Perjanjian yang demikian itu disebut sebagai perjanjian kerja.Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,

  yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat

  tentang perburuhan. 5

  Dari beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu (pekerjaburuh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.

  Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.

  Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifanya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu

  3 Pasal 1 Angka 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003

  5 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003), hlm70. Ibid.

  dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka bukanlah hubungan kerja.

  Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinanpihak lainnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dengan majikan tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian melakukan sesuatu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut

  perjanjian. 6

  Berdasarkan perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas nampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah perintah” ini mengandung arti bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan (subordinasi). Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di

  6 Subekti dan Tjittrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan keempat, hlm 358 dan 362 dalam Imam Soepomo, Ibid.

  atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh

  mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan. 7

  Sedangkan perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah.

2. Syarat – syarat Terjadinya Hubungan Kerja

  Hubungan kerja melahirkan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dengan pekerja. Dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja dalam proses produksi barang dan jasa didasarkan pada perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis. (Pasal 51 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Untuk menentukan ada tidaknya hubungan kerja dapat dilihat dari unsur-unsur adanya pekerjaan, perintah dan upah. Perjanjian kerja dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan. Untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan kerja sebaiknya perjanjian kerja dibuat secara tertulis.

  Dalam hal perjanjian kerja dibuat secara lisan, bagi pekerja dan pemberi kerja wajib membuat surat pengangkatan. Surat pengangkatan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terutama mengenai hak- hak pekerja serta syarat-syarat kerja lainnya. Kewajiban pembuatan perjanjian kerja dan surat pengangkatan dibebankan kepada pengusaha, dan apabila

  7 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2008). hal.31 7 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2008). hal.31

  maka pengusaha

  bertanggungjawab terhadap akibat dari pelaksanaan hubungan kerja tersebut 8 .

  Asas perjanjian kerja adalah kebebasan berkontrak dan apabila kontrak berakhir, hubungan kerja putus demi hukum tanpa ada kewajiban pihak satu kepada pihak lainnya. Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah hubungan kerja berkaitan dengan hubungan

  kontraktual 9 yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama

  dan peraturan perusahaanpemberi kerja. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak

  berlakunya Burgelijk Wetboek (BW) 10 atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip

  kebebasan berkontrak 11 dalam hukum perdatahukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan perjanjian dengan

  pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.

  Beberapa negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan

  9 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 53. Aloysius Uwiyono, “Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon,” dalam http:

  www.Hukumonline diakses pada tanggal 6 Februari 2012.

  10 Indonesia masih menggunakan dasar hukum dalam BWKUH Perdata, khususnya juga mengenai masalah hukum perburuhan mulai dari pasal 1601 a – pasal 1752 KUH Perdata.

  11 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir, 1993, hal. 105.

  pada adanya perjanjian kerja (labour contract) 12 . Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat,

  industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in

  the form protective labor legislation) 13 . Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment

  Promotion Act 14 , disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations. Argumen-argumen di atas jelas menekankan

  perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di

  dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja 15 .

  Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Civil Law yang menempatkan peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum perburuhan yang utama maka syarat-syarat kerja dan kondisi kerja ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam situasi demikian, dinamika perubahan hukum

  12 Judge Bartolome` Rios Salmeron, dalam General Report Social Dialogue Eight Meeting of

  European Labour Court Justice, Jerusalem, September 3, 2000 13

  Bruce E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment Relationship, New York : st

  Industrial Relations Research Association Series, 1998, 1 . ed. p.2.

  14 Labour Relationship in a Changing Environment, London: Cornell University, 1990, Alan Gladstone mengutip Germany Civil Code, 1990

  15 http:sekartrisakti.wordpress.com20110515hubungan-kerja-dan-perjanjian-kerja-dalam- perspektif-hubungan-industrial (Diakses pada 2 februari 2013) 15 http:sekartrisakti.wordpress.com20110515hubungan-kerja-dan-perjanjian-kerja-dalam- perspektif-hubungan-industrial (Diakses pada 2 februari 2013)

3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja

a. Pengertian dan Prinsip Pemutusan Hubungan Kerja

  Aspek hukum setelah hubungan kerja tercipta adalah aspek hukum yang berkitan dengan tenaga kerja pada saat punya kerja termasuk pada saat pemutusan

  hubungan kerja dan hak-haknya akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja 16 . Pemutusan hubungan kerja merupakan tidak diharapkan terjadi terutama oleh

  pekerja, mengingat akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja merupakan awal kesengsaraan pekerjaburuh dengan pengurangan atau hilangnya penghasilan pekerjaburuh untuk diri dan keluarganya Dalam pasal 1 angka 25 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerjaburuh dan pengusaha.

  Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak, karena para pihak telah menyepakati kapan berakhirnya hubungan kerja tersebut. Namun lain halnya terhadap pemutusan hubungan kerja yang disebabkan adanya perselisihan, alasan pemutusan hubungan

  16 Lalu Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 194.

  kerja yang disebabkan adanya perselisihan akan berdampak pada kedua belah pihak.

  Dampak tersebut lebih dirasakan dipihak pekerjaburuh, karena mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pengusahamajikan. Bagi pekerjaburuh, pemutusan hubungan kerja akan memberi pengaruh secara psikologis, ekonomi, dan finansial. Karena dengan adanya pemutusan hubungan kerja, pekerjaburuh telah kehilangan mata pencahariannya dan untuk mencari pekerjaan yang baru harus mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga. Dan kehilangan pekerjaan bagi pekerjaburuh berdampak juga bagi kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, diupayakan agar pemutusan hubungan kerja tidak terjadi karena sangat merugikan para pihak terutama pihak yang berkedudukan lebih lemah yaitu pihak pekerjaburuh.

  Dalam pembahasan pemutusan hubungan kerja, erat hubungannya dengan pemecatan secara sepihak oleh pihak pengusahamajikan. Padahal lingkup pemutusan hubungan kerja tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak pengusahamajikan saja, karena kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Meskipun pemutusan hubungan kerja mempunyai dampak yang lebih besar kepada pihak pekerjaburuh yakni kehilangan pekerjaan sebagai mata pencaharian di pihak pekerjaburuh, namun dipihak pengusahamajikan juga terdapat kerugian dengan hilangnya biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak pengusahamajikan untuk membayar pekerjaan yang dilakukan oleh pihak pekerjaburuh tersebut serta biaya pergantian tenaga kerja.

  Secara normatif, pemutusan hubungan kerja dikuatkan dengan adanya suatu ketetapan dari lembaga yang dikenal dengan lembaga penyelesaian Secara normatif, pemutusan hubungan kerja dikuatkan dengan adanya suatu ketetapan dari lembaga yang dikenal dengan lembaga penyelesaian

  diketahui mengenai pengertian perselisihan perburuhan : 17

  1. Menurut pasal 1 ayat 16 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Perselisihan Industrial: Perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan syarat kerja, norma kerja, hubungan kerja danatau kondisi kerja.

  2. Menurut pasal 1 butir c Undang - Undang nomor 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan: Perselisihan perburuhan merupakan pertentangan antara majikanperkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat - syarat kerja, dan atau keadaan perburuhan.

  Dengan demikian ruang lingkup permasalah perburuhan atau perselisihan perburuhan dapat di lihat dari beberapa hal, yaitu :

  1.Subyeknya :

  Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang perselisihan perburuhan.

  a. Pengusahagabungan pengusaha.

  17 Tim Pengajar Mata Kuliah Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Pemutusan Hubungan

  Kerja, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Dan Pemutusan Hubungan Kerja(P3PHK), (Depok: FHUI, 2001), hal. 3.

  b. Pekerjaserikat pekerjagabungan serikat pekerja. 2.Obyek perselisihan atau masalahnya :

  Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang perselisihan perburuhan.

  a. Syarat -syarat kerja.

  b. Norma-norma kerja.

  c. Hubungan kerja.

  d. Kondisi kerja. Berdasarkan permasalahan yang menjadi subyek dan obyek perselisihan diatas, maka dibedakan jenis perselisihan meliputi :

  1. Perselisihan Individual adalah perselisihan antara seorangbeberapa pekerja dengan majikan.

  2. Perselisihan kolektif adalah perselisihan antara serikat pekerja gabungan serikat pekerja dengan majikanserikat majikan.

  3. Perselisihan hakhukum adalah perselisihan mengenai hal-hal yang telah menjadi dasar hukum (hukum positif), hal- hal yang telah disepakati baik yang bersumber dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, kesepakatan kerja bersama dan atau hal - hal yang bersumber dari perbedaan penafsiran mengenai norma hukum.

  4. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan mengenai hal-hal yang diinginkan untuk yang akan datang (belum ada dasar hukumnya) baik yang meliputi kepentingan buruh maupun majikan. Kesepakatan yang dicapai dari perselisihan ini akan dituangkan dalam perjanjian kerja, 4. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan mengenai hal-hal yang diinginkan untuk yang akan datang (belum ada dasar hukumnya) baik yang meliputi kepentingan buruh maupun majikan. Kesepakatan yang dicapai dari perselisihan ini akan dituangkan dalam perjanjian kerja,

b. Alasan dan Penggolongan Pemutusan Hubungan Kerja

  Dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, sebagai berikut :

  a.Karena kesalahan berat.

  1. Melakukan penipuan, pencurian atu penggelapan barang danatau uang milik perusahaan.

  2. Pada saat perjanjian kerja diadakan memberikan keterangan palsu atau keterangan yang dipalsukan.

  3. Mabok, madat, memakai danatau mengedarkan obat bius atau narkotika di tempat kerja.

  4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.

  5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja.

  6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

  7. Dengan sengaja atau ceroboh membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.

  8. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.

  9. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan.

  b.Kesalahan ringan.

  1. Menolak untuk mentaati perintah atau penugasan yang layak setelah diberikan peringatan 3 kali berturut-turut.

  2. Dengan sengaja atau lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan demikian sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya.

  3. Tidak cakap melakukan pekerjaan, walaupun sudah dicoba dibidang tugas yang ada.

  4. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja. Perselisihan antara pekerjaburuh dengan pengusahamajikan dapat terjadi

  karena didahului oleh pelanggaran hukum, dan dapat juga terjadi bukan karena pelanggaran hukum.

  1) Perselisihan perburuhan yang terjadi akibat adanya pelanggaran hukum, disebabkan karena :

   Terjadinya perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan.

  Hal ini tercermin dari tindakan pekerjaburuh atau pengusaha yang melanggar suatu ketentuan hukum.

   Tindakan pengusaha yang diskriminatif

  2) Perselisihan perburuhan yang terjadi tanpa didahului adanya suatu pelanggaran hukum, disebabkan karena :

   Perbedaan dalam menafsirkan hukum perburuhan.  Terjadi karena ketidakpahaman dalam perubahan syarat - syarat kerja.

i. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum

  Hubungan kerja dapat putusdemi hukum, hubungan kerja tersebut harus putus secara otomatis, dan kepada pekerjaburuh dan pengusahamajikan tidak perlu mendapatkan penetapan pemutusan hubungan kerja dari lembaga yang berwenang. Di sini, baik pihak pengusaha maupun pekerjaburuh hanya bersifat pasif. Artinya, hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerjaburuh berakhir

  dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi dalam : 18

  a) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Hal ini terjadi apabila jangka waktu berlakunya perjanjian kerja untuk waktu tertentu telah berakhir atau telah berakhir setelah diperpanjang atau telah berakhir setelah diadakan pembaharuan terhadap perjanjian kerja waktu tertentu tersebut

  b) Pekerjaburuh meninggal dunia Dalam hal pekerjaburuh meninggal dunia, perjanjian kerja telah berakhir. Dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan mengenai pemutusan hubungan kerja yang putusdemi hukum dalam beberapa pasal sebagai berikut :

  1) Pekerjaburuh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. 19

  2) Pekerjaburuh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekananintimidasi dari

  18 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

  Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.45

  19 Pasal 154 butir a UU Ketenagakerjaan 19 Pasal 154 butir a UU Ketenagakerjaan

  3) Pekerjaburuh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau

  peraturan perundang - undangan. 21

  4) Pekerjaburuh meninggal dunia. 22

  5) Perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerjaburuh tidak bersedia melanjutkan hubungan

  kerja. 23

  6) Perusahaan tutup, karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun sehingga perusahaan harus tutup, atau keadaan

  memaksa (force majeur). 24

  7) Perusahaan tutup untuk tujuan melakukan efisiensi. 25

ii. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

  Dalam pemutusan hubungan kerja oleh pekerjaburuh, disini buruh secara aktif meminta diputusakan hubungan kerjanya. Pemutusan hubungan kerja oleh

  pekerjaburuh dalam hal - hal sebagai berikut : 26

  a. Dalam masa percobaan pekerjaburuh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu – waktu dengan pernyataan pengakhiran. Dalam ketentuan pasal 4

  20 Ibid 154 butir b 21 Ibid, 154 butir c

  22 Ibid, 154 butir d

  24 Ibid, 154 butir e 25 Ibid, 163 ayat 1 Ibid, 163 ayat 2

  26 FX.Djumialdji,Pemutusan Hubungan Kerja (Perselisihan Perburuhan Perorangan)(c), (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 14

  Undang - undang Nomor 12 Tahun 1964 disebutkan bahwa masa percobaan tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu kepada calon pekerjaburuh .

  b. Dengan meninggalnya majikan, buruh berhak memutuskan hubungan kerja untuk waktu tertentu dengan ahli waris majikan dengan adanya pernyataan pengakhiran.

  c. Pada perjanjian kerja dalam waktu tidak tertentu, peraturan perusahaan maupun peraturan perundang - undangan ataupun menurut kebiasaan, maka pekerjaburuh berhak memutuskan hubungan kerja sewaktu - waktu dengan pernyataan pengakhiran.

  d. Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu - waktu tanpa pernyataan pengakhiran tanpa persetujuan pengusahamajikan, maka pemutusan hubungan kerja yang demikian ini bersifat melawan hukum.

  Berdasarkan Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja oleh pekerjaburuh dapat dilakukan sebagai berikut :

  a) Pekerjaburuh mengundurkan diri.

  b) Pekerjaburuh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan.

  c) Permohonan pekerjaburuh kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

  d) Permohonan pekerjaburuh karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat tetap akibat kecelakaan kerja.

  Pekerjaburuh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha

  melakukan kesalahan sebagai berikut : 27

  1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerjaburuh.

  2. Membujuk danatau menyuruh pekerjaburuh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang - undangan.

  3. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut - turut.

  4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerjaburuh.

  5. Memerintahkan pekerjaburuh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan.

  6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesuliaan pekerjaburuh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

  Dalam prakteknya, point - point pemutusan hubungan kerja di atas jarang kecil kemungkinan terjadi. Hal ini dikarenakan karena rendahnya pengetahuan pekerjaburuh mengenai hukum ketenagakerjaan, selain itu juga karena faktor lebih besarnya perbandingan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pekerjaburuh yang ada. Seolah - olah pihak pekerjaburuh lah yang mengemis akan adanya pekerjaan baginya, dan pihak pengusahamajikan dapat berpotensi melakukan tindakan sewenang – wenang karena merasa pihak yang memegang kendalipemegang lapangan kerja yang dibutuhkan oleh pihak pekerjaburuh. Bergesarnya nilai - nilai yang menyebutkan bahwa masing - masing pihak, baik

  27 Pasal 169 ayat 1 27 Pasal 169 ayat 1

  Dalam pasal 153 Undang - undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjaburuh dalam hal :

  1.Terhadap kesehatan pekerjaburuh :

  a) Pekerja buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus

  b) Pekerjaburuh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

  2.Terhadap kewajiban pekerjaburuh dalam bela negara dan ibadah :

  a) Pekerjaburuh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku

  b) Pekerjaburuh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. 3.Pelaksanaan hak pekerjaburuh, dalam hal :

   Pekerjaburuh menikah  Pekerjaburuh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

  menyusui bayinya  Pekerjaburuh mendirikan, menjadi anggota danatau pengurus serikat

  pekerjaserikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas pekerjaserikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

iii. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

  Ketenagakerjaan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena :

  a) Pekerjaburuh melakukan kesalahan berat.

  b) Pekerjaburuh ditahan pihak yang berwajib.

  c) Pekerjaburuh melakukan tindakan indisipliner dengan melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

  d) Perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan.

  e) Perusahaan tutup karena mengalami kerugian, yang telat diaudit dan dinyatakan mengalami kerugian oleh akuntan publik.

  f) Pekerjaburuh meninggal dunia.

  g) Pekerjaburuh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan.

  h) Pekerjaburuh mangkir.

  i) Pekerjaburuh telah mengadukan dan melaporkan bahwa pengusaha telah melakukan kesalahan namun tidak terbukti.

  Dari poin - poin di atas, yang menjadi alasan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karena disebabkan terjadinya kemunduruan dalam perusahaan sehingga perlu dilakukannya rasionalisasi atau pengurangan jumlah pekerjaburuh, dan alasan karena pekerjaburuh melakukan Dari poin - poin di atas, yang menjadi alasan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karena disebabkan terjadinya kemunduruan dalam perusahaan sehingga perlu dilakukannya rasionalisasi atau pengurangan jumlah pekerjaburuh, dan alasan karena pekerjaburuh melakukan

  Dalam pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena alasan rasionalisasi atau pengurangan karyawanpekerjaburuh, serta alasan kesalahan ringan pekerjaburuh, maka seluruh elemen yakni pengusahamajikan, pekerjaburuh, serikat pekerjaserikat buruh dan pemerintah mengupayakan semaksimal mungkin agar tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun jika upaya tersebut telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja tersebut haruslah dirundingkan terlebih dahulu oleh pengusahamajikan dengan pekerjaburuh melalui serikat pekerjaserikat buruh atau dengan pekerjaburuh secara langsung dengan dilakukan proses-proses perundingan terlebih dahulu yang dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dengan mempertimbangkan tingkat loyalitas pekerjaburuh kepada perusahaan, masa kerja pekerjaburuh di perusahaan tersebut, dan tanggungan pekerjaburuh.

  Apabila proses perundingan yang telah dilakukan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, pengusahamajikan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja melalui sebuah penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

  Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha harus melaui tahap-tahap sebagai berikut : 28

  1. Pengusaha, pekerjaburuh danatau serikat pekerjaserikat buruh dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

  2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan antara pengusaha dengan pekerjaburuh, atau antara pengusaha dengan serikat pekerjaserikat buruh. Segala upaya maksudnya adalah kegiatan - kegiatan yang positif yang akhirnya dapat menghindarkan terjadinya pemutusan hubungan kerja seperti pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, pembinaan kepada pekerjaburuh, dan sebagainya.

  3. Jika perundingan menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerjaburuh setelah memperoleh penetapan dari lembaga perselisihan hubungan industrial.

  Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja harus disertai alasan yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja. Permohonan penetapan dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, apabila pemutusan hubungan kerja tersbut telah dirundingkan antara pengusaha dengan pekerjaburuh atau antara pengusaha dengan serikat pekerjaserikat buruh. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja diberikan jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan tetapi tidak

  28 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

  Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.48.

  menghasilkan kesepakatan. Selain putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerjaburuh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Selain itu, pengusaha dapat melakukan penyimpangan yaitu berupa tindakan skorsing kepada pekerjaburuh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak- hak lainnya yang biasa diterima pekerjaburuh.

4. Upah

  Mendapatkan upah merupakan tujuan dari pekerja dalam melakukan pekerjaan. Setiap pekerjaan selalu mengharapkan adanya upah yang lebih banyak dan selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerjaburuh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerjaburuh dan keluarganya atas suatu pekerjaan danatau jasa yang telah dilakukan.

  Pemerintah memberi perhatian yang penuh pada upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, yaitu setiap pekerjaburuh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerjaburuh.

  Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerjaburuh diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, terdiri atas:

  a. upah minimum

  b. upah kerja lembur

  c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan

  d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya

  e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja

  f. bentuk dan cara pembayaran upah

  g. denda dan potongan upah

  h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah

  i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional j. upah untuk pembayaran pesangon k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

  Bentuk perlindungan upah yang pertama adalah upah minimum Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

  Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja masuk kerja. Prinsip ini dikenal dengan no work no pay. Terdapat pengecualin prinsip itu no work no pay yang diatur dalam Pasal 93 – 94 UU No. 13 Tahun 2003. Upah tidak Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja masuk kerja. Prinsip ini dikenal dengan no work no pay. Terdapat pengecualin prinsip itu no work no pay yang diatur dalam Pasal 93 – 94 UU No. 13 Tahun 2003. Upah tidak

  membayar apabila :

  1) pekerja atau buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan

  2) pekerjaburuh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua

  masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan

  3) pekerjaburuh tidak masuk kerja, karena menikah, menikahkan,

  mengkitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau atau anak atau menantu, atau orang tua atau mertua dalam satu rumah yang meninggal dunia.

  4) pekerjaburuh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang

  menjalankan kewajiban terhadap negara

  5) pekerjaburuh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena

  menjalankan ibadah yang diperintahkan agama

  6) pekerjaburuh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

  tetapi pekerja tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri, maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha

  7) pekerjaburuh melaksanakan hak istirahat

  8) pekerjaburuh melaksanakan tugas serikat pekerja serikat buruh

  atas persetujuan pengusaha

  9) pekerja atau buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan

  29 Asri Wijayanti, S.H., M.H. , “ Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,”, PT Sinar Grafika, cetakan ke-6, 2016, hal.116.

  Upah yang dibayarkan kepada pekerjaburuh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :

  1) untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100 (seratus persen) dari

  upah

  2) untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75 (tujuh puluh lima

  persen) dari upah

  3) untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50 (lima puluh persen) dari

  upah

  4) untuk bulan selanjutnya, dibayar 25 (dua puluh lima persen) dari

  upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

5. Keadilan Substantif dan Prosedural

  Dalam masalah penegakan hukum, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

  Seharusnya hakim mampu menjadi pengadil yang cermat menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan sama sekali tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang- undangan, karena hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang . Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda Seharusnya hakim mampu menjadi pengadil yang cermat menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan sama sekali tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang- undangan, karena hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang . Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda

  Keadilan substantif (substansial justice) sendiri dimaknai sebagai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat Pemohon. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat mentoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

  Sedangkan keadilan prosedural (procedural justice) merujuk pada gagasan tentang keadilan dalam proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan prosedural seperti ini dapat dihubungkan dengan proses peradilan Sedangkan keadilan prosedural (procedural justice) merujuk pada gagasan tentang keadilan dalam proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan prosedural seperti ini dapat dihubungkan dengan proses peradilan

  menyelesaikan konflik atau untuk membagi-bagi keuntungan atau beban. 30

  Merujuk pada definisi di atas, keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumberdaya) dan keadilan retributif (keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan). Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi.

6. Karakteristik Penyelesaian di Pengadilan dan di Penyelesaian Sengketa Alternatif

a. Karakteristik Penyelesaian di Pengadilan

  Di Indonesia lembaga peradilan adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Sejalan dengan ketentuan

  30 http:ichsanchairurizal.blogspot.co.id201412penjelasan-perbedaan-antara-keadilan.html 30 http:ichsanchairurizal.blogspot.co.id201412penjelasan-perbedaan-antara-keadilan.html

  Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan pada badan - badan peradilan merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan, hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.

  Tuntutan akan perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas dan terlepas dari pengaruh kekuasaan yang lainnya adalah tuntutan yang selalu bergema dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari waktu ke waktu, betapa pentingnya kekuasaan kehakiman yang bebas ini tidak dapat dipisahkan dari ketentuan konstitusional yang mengharuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dari konsepsi negara hukum sebagaimana dikemukakan, maka dalam praktek ketatanegaraan Indonesia harus secara tegas meniadakan dan melarang kekuasaan pemerintah untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin dalam konstitusi tersebut.

  Sampai sekarang masyarakat masih memandang keberadaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain peranannya adalah: Sampai sekarang masyarakat masih memandang keberadaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain peranannya adalah:

  b. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort atau tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga peradilan masih tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice).

  Selain menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan untuk di dengar, menyelesaikan sengketa dan mejaga ketertiban umum, peradilan juga memiliki kebaikan atau keuntungan dalam membawa nilai - nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa. Jadi peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang -undang, baik secara eksplisit maupun implisit.

  Terlepas dari fungsi lembaga peradilan seperti yang dicita - citakan oleh masyarakat sebagai tonggak untuk mencapai keadilan dan juga seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat sehingga munculnya sebuah konflik membutuhkan penanganan yang cepat dan baik, lembaga peradilan kadang - kadang tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya. Banyak masukkan dan kritikkan yang dilontarkan kepada lembaga peradilan yang berkaitan dengan kinerjanya.

  Dalam buku Suyud Margono ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase menguraikan beberapa kritikan penting terhadap lembaga peradilan secara umum sebagai berikut: Dalam buku Suyud Margono ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase menguraikan beberapa kritikan penting terhadap lembaga peradilan secara umum sebagai berikut:

  b. Mahalnya biaya perkara. Makin lama penyelesaian mengakibatkan makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara yang harus tanggung. Hal ini berakibat orang yang berperkara di pengadilan menjadi lumpuh dan terkuras sumber daya, waktu dan pikiran (litigation paralyze people).

  c. Peradilan tidak tanggap dan tidak responsif (unresvonsive). Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan umum serta sering mengabaikan perlindungan umum dan kebutuhan masyarakat. Dan pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil. Ini didasarkan atas alasan pengadilan dalam memberikan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang kaya.

  d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan pengadilan dianggap tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak, putusan pengadilan tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak - pihak yang berperkara, hal ini disebabkan salah satu pihak menang dan pihak lain pasti kalah dan keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan pengadilan dianggap tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak, putusan pengadilan tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak - pihak yang berperkara, hal ini disebabkan salah satu pihak menang dan pihak lain pasti kalah dan keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit

  e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya dibidang hukum, di luar itu pengetahuan mereka hanya bersifat umum. Sangat susah bagi mereka untuk menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang.

b. Karakteristik Penyelesaian di Penyelesaian Sengketa Alternatif

  Setiap masyarakat memiliki berbagai cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang dihadapi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Penyelesaian Sengketa Alternatif adalah suatu proses penyelesaian sengketa non- litigasi dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu atau dilibatkan dalam penyelesaian persengketaan tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral. Undang - Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian sengketa mengartikannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penialaian ahli (Pasal 1 Ayat 10).

  Perdamaian dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian atau pengakhiran persengketaan, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar persidangan Perdamaian dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian atau pengakhiran persengketaan, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar persidangan

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25