Masa Keemasan Nasionalisme Ekonomi

5.1. Masa Keemasan Nasionalisme Ekonomi

Sejak Indonesia merdeka sampai dengan jatuhnya rejim Soeharto ciri yang menonjol dalam perekonomian Indonesia adalah dominasi negara sedangkan bisnis swasta bekerja di bawah bayang-bayang negara. Oleh karena gagasan-gagasan ekonomi sosialistik tetap diper - tahankan oleh para pejabat negara; mereka tidak mempercayai ekonomi pasar dan gagasan liberalisme ekonomi. Selain itu dukungan melimpah dari uang minyak makin memperkuat keyakinan para pemimpin politik bahwa negara mampu menangani seluruh proses pem - bangunan ekonomi.

Kondisi struktural dan sejarah perekonomian nasional ikut membentuk tradisi di - terimanya dominasi serta intervensi negara oleh masyarakat luas. Bangsa dan negara Indo - nesia mewarisi sistem perekonomian kolonial yang didasarkan pada perkebunan-perkebunan komoditi ekspor yang dikuasai oleh pemodal asing Barat. Sedangkan para pengusaha domes -tik terpecah dua antara perdagangan besar dan perantara yang dikuasai oleh pedagang- pedagang Cina dan perekonomian lokal atau pedesaan yang dikuasai oleh pedagang- pedagang pribumi. Dalam kondisi perekonomian yang terpecah semacam ini proses ter - bentuknya kelas borjuasi baik dari unsur pribumi maupun Cina sangat terhambat.

Pada saat para pemimpin politik nasional mulai membangun perekonomian nasional; mereka menemui masalah yaitu tidak adanya domestik borjuasi yang mapan. Untuk dapat menjalankan sebuah industrialisasi dibutuhkan suatu kelas borjuasi yang handal serta mampu menjalankan bisnis modern untuk mengakumulasikan modal dengan effektif. Satu- satunya unsur dalam perekonomian domestik yang dapat diharapkan hanyalah para peng - usaha Cina karena telah memiliki jaringan bisnis nasional dan internasional; namun kelom - pok ini menghadapi tekanan sosial dan politik yang serius. Dalam situasi semacam ini tidak ada pilihan lain terkecuali negara melakukan intervensi langsung kedalam perekonomian untuk membangun stabilitas ekonomi nasional yaitu mengembangkan industri nasional deng -an memanfaatkan kehadiran para pebisnis Cina sekaligus menjamin hasil akumulasi modalnya dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian peran aktif negara melakukan inter vensi, monopoli dan proteksi dalam untuk perekonomian domestik dari intervensi modal asing sepenuhnya dapat diterima, inilah salah satu upaya negara menjabarkan gagasan demo -krasi ekonomi

Nasionalisme ekonomi Indonesia dilahirkan berdasarkan pemikiran yang mendalam oleh para pendiri negara ini. Dalam risalah sidang BPUPKI tentang perekonomian Indonesia Nasionalisme ekonomi Indonesia dilahirkan berdasarkan pemikiran yang mendalam oleh para pendiri negara ini. Dalam risalah sidang BPUPKI tentang perekonomian Indonesia

dilanjutkan bahwa peran pemerintah diperekonomian adalah :” Pengawas dan Pengatur deng -an berpedoman kepada keselamatan rakyat. ” 47 Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dalam pidatonya dalam Konperensi Ekonomi di Yogyakarta tahun 1946, menyatakan: ….arah perekonomian Indonesia dimasa datang akan semakin jauh dari individual -

isme dan semakin dekat kepada kolektivisme yang sesuai dengan cita-cita hidup Indonesia. Sudah dari dulu kala masyarakat Indonesia seperti halnya juga masyara -kat Asia lainnya berdasar pada kolektivisme, itu yang dikenal sebagai tolong-me -

nolong.” 48

Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan Kabinet Hatta yang menjabat sebagai Presiden Direktur De Javasche Bank, mengemukakan dalam pidatonya bahwa:

“…..dalam menyelenggarakan kemakmuran penguasa terikat pada kewajiban untuk menguasai – bukan memiliki – cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak…..untuk menjamin pembagian pendapatan yang seadil-adilnya maka penguasa terikat pada kewajiban untuk melakukan segala daya upaya sehingga perekonomian tersusun sebagai usaha

bersama atas dasar azas kekeluargaan.” 49

Nampak jelas bahwa para pendiri Republik ini sepenuhnya tidak mempercayai liberal - isme ekonomi dan mereka meyakini bahwa negara perlu kuat dan intervensionis dalam per - ekonomian demi kemakmuran rakyat. Relasi negara dan perekonomian yang diimpikan ini mirip dengan Confucianism State yang diterapkan oleh tetangga kita di Asia Timur. Gagasan ini masih dipertahankan terus di masa Orde Baru. Negara Korporatis Orde Baru dibidang ekonomi masih menjalankan secara konsisten apa yang menjadi impian BPUPKI, Hatta dan

Sjariffudin. Ini nampak dalam pemikiran ekonomi para intelektual di masa Orde Baru. 50 Bulog berperan dengan sangat baik, gejolak harga dapat diatasi dengan sangat baik, pening - katan kualitas pangan berhasil dengan sangat baik, dunia perbankan dan industri tetap berada ditangan nasional, proteksi pasar dalam negeri berjalan efektif, pelarian modal tidak terjadi dan industri terus bertumbuh menuju industri maju dan penyiapan tenaga kerja

47. “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka,” Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, lampiran 12, hal. 389-394. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.

48. Pidato dalam Konperensi Ekonomi di Yogyakarta, 3 Februari 1946, diterbitkan kembali oleh Sri-Edi- Swasono, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985. Hal. 1-13, kutipan dari hal. 3.

49. Prawiranegara, Sjafruddin. “Dasar Politik Kemakmuran” dalam Laporan Presiden De Javasche Bank

tahun buku 1951-52, disunting oleh Ajip Rosidi. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam. Jakarta: CV Haji Masagung, 1988. Hal. 85-107. Kutipan dari hal. 86.

50. Emil Salim. 1981. “Sistem Ekonomi Pancasila,” dan Mubyarto. 1981. “Keadilan Sosial dalam Ekonomi

Pancasila ”. Kedua artikel ini dimuat dalam, Mubyarto dan Boediono. 1981. Ekonomi Pancasila : Yogyakarta: FE Universitas Gajah Mada.

industri berjalan efektif melalui pendidikan nasional yang kurikulumnya mengikuti

perkembangan teknologi industri. Pemerintah juga amat serius untuk menumbuhkan usaha-usaha kecil, nampak dari diterapkannya kebijakan Import Substitution Industry sehingga industri-industri kecil yang memproduksi pengganti kebutuhan impor dengan cepat bertumbuh. Dalam ekonomi semacam ini, negara memegang kunci atas pencairan kredit,

lisensi industri dan perdagangan, pengaturan harga pasar dsb. 52

Dalam konteks sosial politik semacam inilah kelas borjuasi Indonesia lahir; pada umumnya berasal dari keluarga pejabat negara dan para pengusaha Cina. Para penganut Determinisme Budaya meyakini bahwa dibawah rejim Orde Baru masyarakat Cina di Indo - nesia dipaksa untuk meleburkan diri secara kultural dan segenap keberhasilan yang dicapai - nya adalah karena ketangguhan para pengusaha Cina dalam bentuk ketekunan, kemauan bekerja keras, adanya perencanaan jangka panjang dsb sifat-sifat pribadi yang ditanamkan

etika Konfusianisme. 53 Namun jauh melebihi ketangguhan para pengusaha Cina, ada ke - kuatan-kekuatan lain yang bekerja dan signifikan untuk diperhitungkan. Demi industrialisasi -nya, pemerintah Orde Baru memandang perlu memanfaatkan kehadiran para pengusaha Cina oleh karena kelompok inilah pemegang kunci ke bisnis domestik dan global. Pemerintah membentuk Indonesian Business Centre (IBC) pada tanggal 6 Juni 1968 di Jakarta dengan tujuan memobilisasi modal-modal Cina didalam negeri juga untuk menembus jaringan bisnis Cina di Asia. IBC dipimpin oleh Mayor Jendral Suhardiman bersama dengan Ong Ah Lok dan Ma Shih Ling. IBC dilaporkan memiliki program yang ambisius untuk mengkoordinasikan para pengusaha Cina, termasuk didalamnya adalah ekspor, impor, industri, dan pertambang

- an. 54 Dalam tahun yang sama pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri dengan sasaran para pemilik modal Cina. Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Sarbini, ketua panitia penyusun UU tsb. sebagai berikut,

I was the head of the team which drafted the PMDN law of 1968. I worked on it mainly with Soedjatmoko. Our thinking was simple. In order to develop we need to mobilize capital. In the spirit of a kind of deregulation, we put forth the 1968 law...We were aware that there was a lot of Chinese capital outside the country. With the 1968 law, we made formal for domestic investors the same incentives and

protection enjoyed by foreigners under Wijoyo's 1967 PMA law. 55

51. Widihandojo, David. 2003. “Formasi Negara dan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,” Jurnal

Pendidikan Desiderata, Vo. 4, No. 1, Januari-Juni, hal. 13-32.

52. Robison, Richard . 1992. “Industrialization and the Economic and Political Development of Capital: The Case of Indonesia,” in Ruth McVey, (ed.), Southeast Asian Capitalists. Ithaca: Southeast Asia Program 53. Coppel, C.A. 1983. Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 54. Suryadinata, Leo. 1986. Pribumi, Indonesians, the Chinese Minority and China. Singapore: Heinemann

Asia.

55. Winters, Jeffrey. 1991. Structural Power and Investor Mobility: Capital Control and State Policy in Indonesia, 1965-1990, Yale University, Ph.D. dissertation. Hal. 122.

Untuk menjalankan industrialisasi, Negara Orde Baru harus menyelesaikan masalah Cina yang sangat sensitif demi mengamankan pembangunan ekonomi nasional; sebuah kelas borjuasi yang labil secara sosial-politik akan sangat membahayakan stabilitas ekonomi nasio - nal karena jika terjadi pelarian modal akan membangkrutkan ekonomi nasional. Dalam rangka penyelesaian masalah Cina ini, Orde Baru menempuh dua langkah strategis yaitu, pertama, integrasi kebudayaan yaitu meleburkan masyarakat Cina kedalam masyarakat pribumi. Langkah ini ditempuh dengan cara membatasi berbagai bentuk manifestasi kebu - dayaan Cina. Kedua, membangun hegemoni ideologi dan budaya kapitalistik (the capitalist hegemony). Negara mengintroduksikan ideologi dan budaya kapitalististik untuk diterima dan dianut masyarakat luas. Kampanye nilai serta ideologi kapitalististik ini dilaksanakan untuk mendorong diterimanya kegiatan akumulasi modal serta pemujaan terhadap sifat-sifat kewirausahaan. Akibatnya, akumulasi modal serta sifat-sifat kewirausahaan masyarakat Cina yang dulu dipandang mengganggu harmoni masyarakat; kini diterima dan dikagumi sebagai sifat yang perlu dimiliki oleh segenap warga Indonesia jika ingin mencapai sukses ekonomi. Dimulai ole berbagai kantor dan departemen pemerintah kemudian meluas kemasyarkat umum adalah berbagai pelatihan manajemen, bisnis dan motivasi yang isinya adalah penanaman nilai-nilai dan spirit kapitalisme. Perhatikan saja pesan-pesan yang disampaikan oleh para motivator seperti Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Krisnamurti, Gede Prama, Hermawan Kertajaya, James Gwee dsb. Intinya adalah pemujaan pada spirit kapitalisme, pada sukses dan kapital serta selalu dibungkus indah dengan nilai-nilai keagamaan. Akibat - nya terjadi pergeseran pada aras ideologi yaitu jika dahulu masyarakat umum mencemooh pedagang yang kaya raya dengan menuduh mereka memelihara tuyul atau menjual jiwa

mereka kepada setan; kini mereka menjadi idealisme generasi muda bangsa ini. 56

Negara Orde Baru sukses membentuk kelas borjuasi dan menengah baru yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia dan memapankan posisi mereka dengan me - nanamkan ideologi kapitalistik dibenak bangsa ini. Politik pembauran. Orde baru juga sukses sehingga negara berhasil mentransformasikan kelas borjuasi dan menengah menjadi multi-etnik, sekalipun posisi pengusaha Cina tetap signifikan. Kini orang-orang kaya baru tidak lagi mono-etnik sehingga jauh lebih stabil secara sosial-politik daripada di era

56. Widihandojo, D. S. 1995. The Creation of Capitalist Hegemony. Murdoch University, Ph.D Diss. Bab

III.

sebelumnya. 57 Inilah sebuah capaian yang akan menentukan masa depan Indonesia. Dalam

segenap upayanya negara Korporatis Orde Baru menjalankan kontrol terhadap kehidupan politik dan ekonomi secara sistematik dan menyeluruh. Suatu sistem pengawasan negara yang otoriter dan integralistik serta efektif menjangkau seluruh lapisan masyarakat hingga ke dusun-dusun yang terpencil sekalipun. Sistem ini terbukti mampu memotong segenap gerakan oposisi kolektif sehingga boleh dikatakan tidak ada suatu perlawanan kolektif yang effektif, termasuk kelas borjuasi dan menengahpun tidak dapat tumbuh untuk menjadi penyeimbang negara. Namun jaringan pengawasan yang otoriter dan integralistik ini juga merupakan lahan yang subur bagi relasi-relasi berdasarkan ikatan patrimonial termasuk berbagai aliansi bisnis dengan para pengusaha yang korup.

Para penganut Determinisme Budaya menganggap bahwa kolusi pejabat-pengusaha terbentuk karena sikap mental dan nilai budaya Indonesia yaitu budaya korup. Jadi untuk me - nyelesaikan masalah ini mental orang tsb perlu diperbaiki dan budaya perlu ditransformasi - kan sehingga terbentuk sebuah budaya modern dimana berbagai bentuk kolusi dan korupsi tidak dapat diterima lagi. Namun ini hanyalah sebuah ilusi karena mana ada budaya modern dimana kolusi dan korupsi tidak diterima lagi? Bahkan di Eropa dan AS yang modern pun kolusi dan korupsi masih banyak terjadi; lihat saja skandal Martha Johnson, Jesse Jackson, Iran-Contra Affair dimana George Bush terlibat langsung dan skandal Silvio Berlusconi yang melibatkan pemilik industi kecantikan L’Oreal. Aliansi negara dan kapital terjadi disepanjang sejarah dunia ini, disemua tahapan kematangan masyarakat dan selalu korup.

Indonesia yang masih berada di tahap akumulasi modal yang primitif (primitive accumulation) dimana akumulasi modal berjalan dengan cara yang brutal yaitu melalui perampasan tanah, penghancuran kelompok masyarakat dan budaya lokal, eksploatasi buruh

untuk mendapatkan surplus value, perusakan lingkungan, pencucian uang dsb. 58 Semua kebrutalan ini berlangsung dalam proses terbentuknya suatu masyarakat industri yang mapan dan ini terjadi disemua negara dimuka bumi ini. Kisah Oliver Twist oleh Charles Dickens dan Les Miserables oleh Victor Hugo menggambarkan penderitaan rakyat miskin Eropa dimasa akumulasi modal primitif. Di Indonesia pembantaian keji VOC hingga penduduk asli Banda musnah merupakan saksi bisu eksploatasi modal primitif kapitalisme

57. Widihandojo, David. 1995. The Making of Precarious Bourgeoisie: State and the Transformation of Domestic Bourgeoisie in Indonesia. Murdoch University, Ph.D Diss.

58. Akumulasi modal primitif (primitive accumulation) adalah periode awal kapitalisme sebelum terbentuk masyarakat industri yang matang/mapan. Lihat, Marx, Karl. 1990. The Capital, Vol. I. London: Penguin Books.

Eropa, nasib yang sama terjadi pada kaum Indian di AS dan Aborigin di Australia. 59

Akumulasi modal yang primitif ini berlangsung secara brutal sehingga untuk melindungi diri dari kemarahan publik, kaum pemilik modal mencari dukungan negara guna melegitimasi tindakan mereka secara hukum maupun politik. Pada saat pemerintah China yang merampas dan memusnahkan opium yang diselundupkan pedagang-pedagang AS, Inggris dan Perancis. Sekalipun sudah ada penjelasan resmi dari pemerintah China pemerintah AS, Inggris dan Perancis tetap mengirimkan tentara bersenjata lengkap dengan tugas khusus melindungi penyelundupan opium ke China. Dengan kebijakan ini AS, Inggris dan Perancis mendeklarasi - kan dirinya sendiri sebagai mafia narkoba yang terbesar, terkaya dan “paling terhormat” di – muka bumi ini.

Di Indonesia, negara juga melindungi kebrutalan akumulasi modal primitif ini per - bedaannya dengan pengalaman Eropa adalah eksploatasi tidak terjadi diluar negeri tetapi di - dalam negeri sendiri. 60 Keterlibatan negara dalam akumulasi modal primitif terjadi dengan modus; pertama, hukum diciptakan untuk melindungi dan melegitimasi penyimpangan yang terjadi, ini Nampak jelas pada UU PMDN 1968, Sarbini, kepala tim perumus UU PMDN 1968, mengemukakan dengan gamblang bahwa negara memberi dukungan dan perlindungan hukum atas pencucian uang hasil-hasil kejahatan demi mendapatkan modal bagi pembangun - an;

…….Our thinking was simple, in order to develop we need to mobilize capital …..another aspect was the attempt to whitewash (memutihkan, terj. penulis) funds so that those who amassed their riches through illegal action…..or smuggling or

whatever would not fear bringing their money to Indonesia… 61

Kedua, negara memberikan lisensi monopoli, impor, kredit-kredit khusus serta per - lindungan terhadap tekanan politik. Monopoli adalah alat eksploatasi yang paling effektif untuk menghisap kekayaan dari seluruh sudut -sudut negeri. Melalui hak-hak istimewa ini uang dari segenap penjuru negeri bahkan dari masyarakat yang paling miskin mengalir ke pusat dalam bentuk keuntungan yang berlebihan. Uang tsb dikeluarkan anggota masyarakat

59. Data menunjukkan pada tahun 1600 penduduk asli pulau Banda berjumlah sekitar 15.000 jiwa. Pada tahun 1638, penduduk pulau Banda berjumlah 3.842 jiwa yaitu 539 orang Eropa yaitu para pejabat VOC, 560 penduduk asli Banda dan 2.743 budak-budak yang berasal dari Papua, Nusa Tenggara Timur & Barat dan Jawa. Data ini menunjukkan musnahnya penduduk asli Banda akibat VOC menerapkan monopoli perdagangan pala dengan kekerasan militer yang dikenal dengan operasi pelayaran hongi, lihat; Hanna, W. A. 1978. Indonesian Banda : Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands. Philadelphia: ISHI. Hal. 55-66.

60. Cukup banyak tulisan yang membahas fase akumulasi modal primitif atau sering juga disebut savage capitalism di Indonesia, sebagai contoh lihat, Robison, R. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin; MacIntyre, A. 1990. Business and Politics in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin; Chalmers, I. 1996. Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia. Jakarta: Gramedia.

61. Interview dengan Sarbini di Jakarta, 13 November 1989 yang dimuat di: Winters, Jeffrey A. 1991. Hal. 122.

sebagai pembayaran bahan-bahan pokok, layanan umum, produk industri, iuran pensiun,

asuransi, tabungan, cukai, dan berbagai bentuk pungutan lainnya misalnya untuk pembayaran seragam, buku-buku sekolah dsb yang mengalir dalam jumlah besar serta terus menerus. Begitu dana terkumpul direkening perusahaan kemudian dibagikan sebagian tetap ditahan perusahaan sebagai pembayaran layanan atau produk yang dijualnya namun sebagian yang lain masuk ke kantung-kantung birokrat dalam bentuk pembayaran pungutan. Aliran dana yang fantastis ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Terkait dengan hal ini, Robison menulis:

“For most domestic corporate groups in this period the springboards to business success were the state-allocated monopolies, which gave access to crucial sectors of economic activity. Forestry concessions, import licenses, distributorships for basic commodities, and contracts for construction and supply were allocated by the state, and the most successful capitalist groups were those that were able to gain access to

these.” 62

Ketiga, negara terlibat langsung dalam kebrutalan untuk melindungi kepentingan pemilik modal bahkan keterlibatan militer khususnya dalam konflik-konflik agraria. Dengan diluncurkannya UU yang sangat liberal maka konflik agrariapun meningkat tajam. Laporan

tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria ini menunjukkan hal ini: 63

a. Tahun 2010: 106 konflik, korban: 7 mati ditembak, seluruhnya petani pemilik tanah.

b. Tahun 2011: 163 konflik, korban: 22 mati ditembak, seluruhnya petani pemilik tanah.

c. Tahun 2012 (Januari – Oktober), korban: 173 mati ditembak, 44 dianiaya hingga luka-luka serius, seluruhnya petani pemilik tanah.

Alasan apapun yang dikemukakan faktanya jelas para petani miskinlah yang menjadi korban peralihan pemakaian tanah untuk kepentingan akumulasi modal.

Selain perlindungan militer, preman juga merupakan alat eksploatasi yang efektif dengan korban para pedagang kaki lima, tukang parkir, pengusaha warteg, buruh dsb. Pungutan liar atau bisnis preman diorganisasi melalui perusahaan resmi yang pemiliknya tokoh politik, elit partai, birokrat senior, pensiunan jendral dsb. Pada tahun 2005, LP3M-UI dengan dana World Bank meneliti pengusaha-pengusaha kecil dan menengah di Jakarta. Data yang terkumpul menunjukkan untuk periode 4 bulan, Januari – April 2005, jumlah

62. Robison, R. 1992. “Industrialization and the Economic and Political Development of Capital: The Case of Indon esia,” in McVey,Ruth (ed.), Southeast Asian Capitalists. Ithaca: Southeast Asia Program Cornell University, hal. 65-88. Kutipan dari hal. 70.

63. Laporan Akhir Tahun 2010, 2011 dan 2012, Agrarian Resource Centre Konsorsium Pembaharuan Agraria Indonesia.

pungutan liar yang dibayarkan kepada para preman mencapai Rp. 7,6 trilliun. 64 Konflik

Tanah Abang antara haji Lulung, boss preman Tanah Abang yang juga wakil ketua DPRD Jakarta melawan A Hok membuka tabir bisnis preman ini. Pemilik perusahaan keamanan yaitu perusahaan yang melakukan pungutan liar dan pelakunya adalah preman di Tanah Abang adalah seorang pengusaha dan politisi, Haji Abraham Lunggana (Lulung), tokoh PPP dan wakil ketua DPRD Jakarta. Dia adalah pemilik PT Putrajaya Perkasa, PT Tujuh Fajar Gemilang, PT Tirta Jaya Perkasa, PT Sakom dan koperasi Kobita dengan total karyawan sekitar 7,000 orang. Haji Lulung tidak bekerja sendiri, individu-individu didalam Dinas Pasar Pemerintah Kota terlibat dalam jaringan bisnisnya, sedangkan PPP sebagai patron politiknya. Di pasar Tanah Abang para pe -dagang kaki lima harus membayar kepada perusahaan haji Lulung 3 – 4 juta per bulan untuk “biaya keamanan”. Bandingkan saja dengan biaya sewa resmi per kios di Blok G hanyalah Rp. 250,000,- per bulan. Apa yang diartikan dengan “biaya keamanan ” disini sepenuhnya adalah pemerasan yang direstui oleh elit politik dan birokrat. Hanya dari pungutan keamanan saja tiap bulan Haji Lulung menerima sekitar Rp. 5 milyar

itu masih ditambah uang parkir dsb. 65 Bisnis preman sepenuhnya merupakan pembajakan pada wewenang negara c/q pemerintah daerah; pungutan-pungutan yang dilakukan haji Lulung sepenuhnya adalah hak negara, dengan demikian, ini adalah “negara didalam negara.” Melalui kisah haji Lulung ini terjawablah pertanyaan yang selalu muncul saat melihat kehadiran sosok preman yang selalu muncul dilingkaran dalam elit politik, birokrat senior dan petinggi militer.

Melihat modus akumulasi modal primitif yang terjadi di Indonesia, dapatlah di - mengerti jika para pengamat pembangunan Indonesia menempatkan Indonesia kedalam kelompok Negara Predator (predatory state) karena akumulasi modal terjadi melalui pemerasan kepada rakyat sendiri. Jauh berbeda dengan Strong Developmental State di Asia Timur dimana negara berusaha meminimalkan eksploatasi kapitalisme melalui ketegasan aparat-aparatnya yang berdisiplin. Terlepas dari masalah moral dan etika; eksploatasi, kebrutalan, premanisme dan kejahatan, seluruh proses ini akhirnya melahirkan sebuah kelas borjuasi dan menengah baru, yang sangat dibutuhkan negara itu sendiri untuk menjalankan ekonominya.

Periode 1966-90, Indonesia berhasil mencapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang mentakjubkan, GNP per kapita berhasil ditingkatkan setinggi 4,5 persen. Angka ini jauh melebihi rata-rata untuk negara-negara berpenghasilan rendah, 2,2 % dan menengah, 2,9%

64. Media Indonesia, 27 Juni 2005. 65. “Abraham Lunggana: Saya Meludah Saja Jadi Duit,” Tempo, 25 Agustus 2013, hal. 40.

serta melebihi Malaysia, 4,0% dan Thailand, 4,4%. 66 Keberhasilan Indonesia ini dilihat

67 sebagai suatu replika dari pola pembangunan negara-negara industri baru di Asia. 30 Namun jauh lebih dalam dari itu, perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran basis ekonomi

nasional yang berujung pada transformasi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini mengakibatkan adanya pergeseran struktur ekspor dan penerimaan pemerintah. Kontri - busi komoditas primer kepada ekspor merosot dengan sangat cepat digantikan oleh komo - ditas manufaktur. Dalam periode 1960-90, kontribusi komoditas primer merosot dari 100 persen menjadi 68 persen sedangkan komoditas manufaktur meningkat tajam dari 0 persen menjadi 42 persen. Jika dilihat dari nilai uang, ekspor hasil industri manufaktur melesat dari

hanya sebesar US $ 297 miliar ditahun 1980 menjadi US $ 6,814 miliar di tahun 1990. 68 Angka-angka tsb. adalah indikator dari perubahan struktural dalam masyarakat Indonesia yaitu transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Indonesia telah menempuh revolusi industri untuk menjadi masyarakat industri.

Indonesia dibawah rejim Orde Baru memiliki kesamaan dengan negara-negara indus - tri di Asia Timur yaitu negara yang otoritarian, intervensionis dan berorientasi kuat pada pembangunan ekonomi. Namun disisi lain ada perbedaan yang mendasar yaitu negara- negara Asia Timur mendasarkan diri pada meritokrasi yaitu prinsip Confucius dalam memerintah negara. Confucius menegaskan: “..…those who govern should do so because of

merit, not of inherited status …. “ 69 Confucius menerapkan prinsip ini dalam bentuk seleksi dan ujian yang sangat ketat bagi calon-calon pegawai negeri dan tradisi semacam ini berjalan 3000 tahun melalui berbagai dinasti hingga kejaman modern ini. Tradisi ini sesuai dengan tuntutan birokrasi yang rasional, modern dan kapitalistik sehingga negara-negara Asia Timur dengan cepat mentransformasi diri menjadi negara berorientasi pembangunan, global dan

kuat, Strong Developmental State. 70

Indonesia menempuh jalan yang berbeda yaitu menerapkan patrimonialisme dalam penataan aparatur negara. Max Weber mengemukakan bahwa patrimonialisme adalah

66. World Bank. 1992. World Development Report. New York: Oxford University Press. Hal. 218-19. 67. Haggard, S. 1990. Pathways from the Periphery: The Politics of Growth in the Newly Industrializing

Countries. Ithaca: Cornell University Press.

68. Hill, H. 1992. "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 28, no. 2, August 1992, hal. 3-41, Table 7; MacIntyre, A. J & Jayasuriya, K. 1992. "The Politics and Economics of Economic Policy Reform in South-east Asia and the Southwest Pacific", in MacIntyre, A. J & Jayasuriya, K (eds.). The Dynamics of Economic Policy Reform in South-east Asia and the Southwest Pacific. Oxford University Press, Singapore, hal. 2. Table 1.1.

69. Sienkewicz, Thomas. 2003. Encyclopaedia of the Ancient World. Salem Press. Hal. 434. 70. Lihat juga analisis yang dalam dan kritis perbandingan pembangunan antara Indonesia dan Korea

Selatan, Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan. Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas.

dominasi traditional yang berbasis pada keluarga seperti dalam negara-negara feodal. Di -

jaman modern patrimonialisme mendasarkan diri pada wewenang resmi (legitimate authority) tetapi dengan birokrasi tradisional seperti negara-negara feodal Eropa di Inggris atau Perancis di abad ke 12. Budaya organisasi semacam ini tidak sesuai dengan tuntutan global sehingga negara menjadi lemah dalam merespons tekanan global. Selain itu patri - monialisme rentan terhadap berbagai bentuk kepentingan politik. Oleh karena itu tidak meng -herankan jika aparatur negara di Indonesia terpecah-pecah dalam kapling-kapling yang masing-masing dikuasai oleh kelompok politik tertentu.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24