Demokrasi dan Relasi Negara Kapital di I

David Widihandojo

Abstrak

Relasi negara dan kapital merupakan variabel signifikan bagi eksistensi sebuah negara karena menentukan stabilitas ekonominya. Makala ini membahas bagaimana Indonesia demi menstabilkan ekonominya membentuk kapital serta bagaimana kapital yang semula berada diluar negara secara bertahap bergerak masuk kedalam negara. Masalah ini disoroti dengan memperhatikan kontradiksi-kontradiksi elemen-elemen yang membentuk negara, tekanan kapitalisme global serta pergeseran ideologi yang terjadi pada elit politik.

I. Pendahuluan

Apakah Indonesia sebuah demokrasi? Jawabnya sangat jelas “ya,” dengan pengecuali - an Filipina serta memperhatikan perkembangan terakhir di Thailand, Indonesia adalah yang paling demokratis di kawasan Asia Tenggara. Lihat saja berita surat kabar dan majalah, talk show radio dan televisi, diskusi politik jalanan di warung-warung tegal dan suasana kampung saat pilkada. Kita dengan mudah mendengar kritik rakyat dalam bentuk omelan para bakul atas kebodohan pemerintah mengatur pasar dan terbahak-bahak melihat perilaku para ibu yang “buta politik” tetapi pandai menambah uang belanja dengan rajin berkeliling kampung mengumpulkan uang serangan fajar, kemudian berceloteh santai dan ceria :”Duitnya oke, nyoblosnya? Nanti dulu ya aa….” Ini menunjukkan betapa tingginya kesadaran politik serta betapa bebasnya mereka membicarakan aspirasi politiknya, sangat berbeda dengan kebekuan politik di masa Orde Baru. Namun demokrasi Indonesia memiliki sisi yang sangat berbeda; jika kita perhatikan wajah para tokoh politik di televisi atau dalam foto-foto di lembar pemilihan umum, kita segera sadar ini bukan orang-orang baru. Di masa Orde Barupun mereka sudah tampil ke publik, hanya saja saat itu adalah generasi muda yang memegang posisi sebagai asisten wali kota, wakil bupati, asisten jenderal, pebisnis yang akrab dengan pejabat bahkan preman. Kini mereka adalah bagian dari rejim Orde Baru yang memegang posisi –posisi kunci dalam rejim Reformasi.

Demikian pula dengan otonomi daerah setelah satu dekade lebih diterapkan hanya segelintir daerah yang mampu memanfaatkan otonomi ini secara optimal sehingga tidak lagi tergantung dana Pusat. Bagi sebagian besar daerah dana Pusat tetap merupakan penghasilan Demikian pula dengan otonomi daerah setelah satu dekade lebih diterapkan hanya segelintir daerah yang mampu memanfaatkan otonomi ini secara optimal sehingga tidak lagi tergantung dana Pusat. Bagi sebagian besar daerah dana Pusat tetap merupakan penghasilan

dengan nongkrong di café hotel-hotel berbintang untuk koordinasi dengan calo-calo anggaran berebut anggaran proyek Pusat, situasinya jauh lebih buruk dibandingkan di masa Orde Baru. Jika dulu para calo hanya aktif disekitar Kementerian Keuangan, kini merekapun bekerja di Senayan sehingga dana lobby melonjak menyerap sebagaian besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya hanya untuk kemandirian daerah.

Lebih jauh turun ke akar rumput, kita temui bahwa organisasi yang seharusnya menjadi platform perjuangan bersama petani atau nelayan tetap lumpuh dibajak birokrat, politisi dan pensiunan jenderal sebagai panggung tebar pesona mengumbar janji-janji usang. Padahal untuk mengatasi permainan pasar dibutuhkan aksi bersama (collective action) sehingga sebuah organisasi nasional sebagai platform perjuangan bersama mutlak dibutuhkan petani dan nelayan, akibatnya petani dan nelayan tetap miskin karena selalu men -jadi korban permainan pasar. Bahkan dalam konflik tanah jumlah petani yang mati ditembak ataupun disiksa hingga cacat tiap tahun terus menerus meningkat dengan tajam,

sebuah cara penyelesaian masalah model Orde Baru yang tetap langgeng sampai saat ini. 1 Demikian pula dengan para buruh industri, sekalipun memiliki organisasi buruh nasional tetapi tetap terjerembab di bawah dominasi koalisi penguasa-pengusaha. Memang demon - strasi buruh kini makin sering terjadi tetapi keputusan politik tidak pernah diambil dijalanan, melainkan didalam negara dimana kepentingan buruh memang tidak terwakili. Para preman masih tetap berkeliaran, bebas bekerja, didanai pengusaha dilindungi penguasa dipersenjatai militer, mengancam bahkan kalau perlu mengeliminasi elemen-elemen radikal dikalangan buruh.

Inikah demokrasi yang kita banggakan? Demokrasi yang dikatakan jalan menuju pem -bangunan sejati bagi rakyat karena hanya melalui demokrasi rakyat dapat bangkit memiliki posisi tawar, dipimpin oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri serta memperjuangkan kepentingan mereka. Jika impian demokrasi itu benar, mengapa organisasi-organisasi rakyat tidak bangkit, tetap tidak memiliki posisi tawar, tetap tidak dipimpin oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri serta tidak menjadi platform perjuangan bersama? Jika reformasi politik ditempuh dengan menyingkirkan rejim lama yang otoritarian untuk digantikan rejim baru yang sepenuhnya demokratis. Mengapa yang terjadi adalah hanyalah reorganisasi rejim lama untuk berintegrasi dengan rejim baru? Apa sebenarnya yang terjadi dengan demokrasi Indonesia?

1. Mengenai pembunuhan dan penyiksaan para petani pemilik tanah karena konflik agraria, lihat hal.12- 13 makala ini. Data diperoleh dari Laporan Akhir Tahun 2010, 2011, 2012 Konsorsium Pembaharuan Agraria.

Sebelum melangkah lebih jauh perlu digaris bawahi bahwa Indonesia tidak sendiri.

Semua negara sedang berkembang di dunia ini yang mengikuti jalan demokrasi liberal Barat mengalami permasalahan sama. Seluruh negara-negara demokrasi di Asia; India, Srilanka, Filipina, Indonesia dan Bangladesh, dari segi pembangunan prestasinya buruk, ketimpangan sosial parah, tidak memiliki organisasi rakyat yang efektif memperjuangkan kepentingan bersama serta kemiskinan amat parah; bahkan di India kemiskinan jauh lebih buruk daripada di Sub Sahara Afrika, bukan hanya jumlahnya yang lebih banyak tetapi juga kondisi

kehidupan kaum miskin jauh lebih buruk. 2 Jika kita cermat memahami data maka sebenar - nya sangat berlimpah bukti yang menunjukkan bahwa tidak ada relasi signifikan antara penerapan demokrasi liberal Barat dengan prestasi pembangunan termasuk pemberantasan kemiskinan.

II. Kata-Kata Kunci

Sebelum melangkah lebih lanjut perlu diperjelas kata-kata kunci yang digunakan dalam makala ini yaitu: negara (state) adalah tatanan sosial, budaya, politik, ideologi dan ekonomi yang terbentuk dalam perilaku tertentu; dengan demikian negara bukanlah suatu subyek nyata. Jessop mengemukakan, the state is not a real subject that exercise power [but

that] the state power certainly exist. 3 Dalam konteks ini, aparatur negara adalah perwujud - an serta bentuk institusional dari kekuasaan negara. Negara dan aparatur negara bukanlah satu-satunya pusat kekuasaan didalam masyarakat tetapi arena utama bagi pertarungan politik. Sedangkan pemerintah (government) adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudi - katif yang mengatur negara. Rejim (regime) diartikan sebagai pola tertentu dalam meng - organisasi aparatur negara. Ada berbagai pola pengorganisasian aparatur negara misalnya model demokrasi liberal, otoritarian, sosialistik, konfusian, dsb. Atas dasar pengertian ini maka pemerintah dapat berganti-ganti tetapi negara dan rejim cenderung tetap, seperti di Thailand dan Italia. Namun dapat juga terjadi bahwa untuk mempertahankan negara, rejim digantikan seperti yang terjadi di Indonesia dengan kudeta Soeharto, Chile dengan kudeta Pinochet dan demokratisasi Korea Selatan oleh Roh Tae Woo.

2. Kemiskinan di India adalah yang terburuk di dunia berdasarkan standar pengukuran kemiskinan ter - baru, the Multidimensional Poverty Index, konsentrasi kemiskinan terbesar di dunia berada di India, jumlah penduduk miskin India (prosentase dari total penduduk) melebihi 26 negara Afrika yang termiskin, bukan hanya itu tetapi kondisinya juga sangat menyedihkan. 50% anak-anak di India kekurangan gizi dan 40% dari total anak-anak kekurangan gizi dunia berada di India. Kondisi ini jauh lebih buruk daripada apa yang terjadi di negara-negara Sub Sahara Afrika. Lihat laporan, Long, Simon. 2005. “India and China: The Tiger in Front,” The Economist , 5 March; Pilling, David. 2008. “India Hits Bottleneck on the Way to Prosperity” Financial Times, 24 September; “India: New Poverty Index Unveiled,” Time, July 26, 2010, hal. 8; “Child Malnutrition in India: Putting the Smallest First,” The Economist, September 25 th 2010, hal. 30-32.

3. Jessop, B. "Capitalism and Democracy: The Best Possible Shell ?"State and Society,New York University Press, New York.

Negara dipahami sebagai negara kapitalis (capitalist state); ini tidak berarti bahwa

negara didominasi secara fisik oleh kaum kapitalis. Pengertian ini didasarkan pada posisi yang diambil oleh negara yaitu mendukung capitalist mode of production demi memper - tahankan stabilitas ekonomi negara. Berarti, pengertian negara kapitalis dilihat pada relasi obyektif antara negara dan kapital seperti dikemukakan Poulantzas,

”The relation between the bourgeois and the state is an objective relation. This means that if the function of the state in a determinate social formation and the interest of the dominant class in this formation coincide, it is by reason of the system itself...the direct participation of members of the ruling class in the state apparatus is not the

cause but the effect. 4

Dengan demikian penulis tidak mendasarkan diri jargon-jargon politik dalam menetapkan sebuah negara; misalnya menetapkan China sebagai sebuah negara komunis. Berdasarkan logika Poulantzas maka China dan Russia – dari dulu sampai sekarang – adalah negara kapitalis yaitu Kapitalisme Negara (State Capitalism). Apa yang terjadi dengan China dan Russia bukannya mereka berubah dari sosialis menjadi kapitalis tetapi mereka mereformasi diri sendiri, memperbaiki dirinya sendiri menjadi sebuah kapitalisme yang lebih baik, sebuah kapitalisme yang disempurnakan sehingga sangat unggul dalam kompetisi global. Reformasi diri inilah yang tidak terjadi dengan kapitalisme di dunia Barat. Dunia Barat justru menempuh jalan ortodoksi sehingga terjadi pelapukan (decaying), sebuah kehancuran dari dalam.

III. Hampiran Teoritik

Hampiran teoritik (theoretical approach) sosial-politik yang paling banyak dipakai di Indonesia adalah Determinisme Budaya (Cultural Determinism); Clifford Geertz sangat berperan membuat populer hampiran ini. Geertz yang melakukan penelitian di Mojokuto, Jawa Timur mengajukan tesis bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok yaitu santri, abangan dan priyayi. Dasar pemilahan Geertz ini rancu karena campur-aduk antara pembagian kelompok atas dasar kesalehan dengan kelas sosial. Sekalipun demikian tesis Geertz ini diterima begitu saja secara luas dan karya-karyanya dijadikan acuan dalam kuliah-kuliah sosial-politik sehingga hampiran yang digunakannya sangat berpengaruh dalam analisis sosial-politik di Indonesia. Beriringan dengan Geertz adalah Lance Castles yang melakukan penelitian di Kudus, Jawa Tengah. Castles menggunakan kacamata yang sama dengan Geertz sehingga melihat penyebab hancurnya para pengusaha kretek pribumi di Kudus adalah pada nilai-nilai religius Islami yang dianut mereka. Castles melihat bahwa

4. Poulantzas, N. 1969."The Problem of Capitalist State,"New Left Review, (58), pp. 67-78.

nilai-nilai religius Islami tsb tidak sejalan dengan spirit kapitalisme yang sangat dibutuhkan

untuk bekerja dalam sebuah perekonomian pasar. Sedangkan para pengusaha Tionghoa keturunan yang keyakinan religiusnya tidak bertentangan dengan spirit kapitalisme jauh lebih bebas bekerja serta mudah beradaptasi dengan perekonomian pasar sehingga jauh lebih

unggul. 5 Sejak itu para analis sosial-politik Indonesia cendrung memakai kacamata Determinisme Budaya dalam memahami akar masalah dari problema sosial; jawab yang diberikan selalu terletak pada individu dengan nilai, moral dan kompetensi. 6 Demikian pula dengan peneliti sosial – politik yang sangat berpengaruh di Indonesia, Ben Anderson meng - gunakan Determinasi Budaya serta filosofi negara statis (state qua state) dimana negara adalah sesuatu yang pasti dan tetap sehingga fokus analisis Anderson pada individu, para

pemangku jabatan/birokrat, termasuk perilaku dan kepentingan-kepentingannya. 7 Oleh karena tekanan analisis pada individu, determinisme budaya dan psikologi sosial menjadi alat utama untuk menjelaskan perilaku dan kepentingan individu tsb.

Kelemahan utama Determinisme Budaya adalah fokusnya yang mutlak hanya pada individu dan perilakunya. Sebagai contoh, Anderson melihat sosok Soeharto lengkap dengan kultur feodal Jawanya sebagai sumber otoritarianisme Orde Baru. Analisis dengan fokus mutlak pada individu semacam ini memberi ilusi bahwa penyelesaian masalah hanya terletak pada individu ybs. Pada saat hari-hari terakhir rejim Soeharto, kaum Reformis melihat bahwa jatuhnya Soeharto pasti akan membawa angin segar demokrasi dimana rakyat akan bangkit untuk ikut berperan dalam pembangunan. Demikian pula saat ini berbagai artikel di surat kabar, majalah dan jurnal beserta diskusi-diskusi politik di Indonesia; hampir semuanya melihat bahwa problem utama bagi Indonesia terletak pada lemahnya kepemimpinan SBY sehingga jika SBY digantikan otomatis masalahnya selesai, tanpa pernah menyadari bahwa ini hanyalah ilusi. Sangat benar kualitas kepribadian dan kemampuan kepemimpinan penting tetapi siapapun yang akan menggantikan SBY, sekalipun memiliki kualitas kepribadian yang mumpuni, memiliki kemampuan kepemimpinan yang hebat dan didukung rakyat, begitu dia duduk di kursi kepresidenan pasti menyadari negara yang dipimpinannya tercabik-cabik kedalam berbagai kelompok yang saling tarik-menarik demi

5. Geertz, Clifford. 1963. Peddlers and Princess: Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, the University of Chicago Press, Chicago; Castles, Lance. 1967. Religion, Politics and Economic Behaviour in Java: the Kudus Cigarette Industry, Southeast Asian Studies, Yale University.

6. Kacung Marijan. 2010. “Biaya Demokrasi,” Kompas, 24 Agustus, hal. 7. Sindhunata. 2012. ”Reformasi yang Ironis,” Basis, No. 05-06, Th. 61, hal. 2-3. 7. Anderson , B. R. O’G. 1972. “ The Idea of Power in Javanese Culture”, in Holt, C (ed.) Culture & Politics in Indonesia , Cornell University Press, Ithaca; 1978. “Last Day of Indonesia’s Suharto?”Southeast Asia Chronicle, no. 63; 1983. “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective,”Journal of Asian Studies, Vol. XLII, No. 3, May, hal. 477-496.

kepentingan-kepentingan sempit yang berbeda-beda. Sekalipun Obama mendapat dukungan

rakyat dan memimpin negara yang memiliki demokrasi matang tetap tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah negaranya. AS tetap terpuruk tanpa perubahan yang berarti serta tidak ada terobosan yang dapat dilakukan karena lebih dari separuh masa jabatannya habis hanya untuk menyelesaikan berbagai pertarungan politik, bernegosiasi dengan berbagai kelompok yang bermain dalam negara. Para pemimpin yang mengubah sebuah negara seperti Aung San Suu Kyi, Lee Kuan Yew, Deng Xiaoping, Mahathir Mohamad, Ho Chi Minh, Kemal Ataturk atau Bismarck, tidak ada seorangpun yang bekerja sendiri. Semuanya bekerja didalam kelompok dan kelompok pendukung itu merupakan variabel yang signifikan dalam menentukan keberhasilannya. Dengan demikian sangat menentukan untuk mengkaji iklim pertarungan antar kelompok di dalam negara. Justru disinilah titik lemah hampiran Deter - minisme Budaya, analisisnya tidak menjelaskan adanya pertarungan antar kelompok di - dalam negara serta pilihan-pilihan rasional yang ditempuh.

Selain itu analisis Anderson yang melihat Soeharto dengan nilai-nilai feodal Jawa sebagai sumber otorianisme Orde Baru menunjukkan posisi argumennya bahwa otoritarian - isme Orde Baru bukan pilihan rasional tetapi merupakan naluri primordial belaka sehingga penyelesaian atas problema otoritarianisme Indonesia cukup menggantikan Soeharto. Ini sebuah argumen yang sangat sederhana tanpa analisis yang sistematis dan mendalam. Huntington memberikan catatan atas kesederhanaan argumen Determinisme Budaya ini, sebagai berikut:

“Just exactly how culture is responsible for the political and economic differences one is attempting to explain is often left extraordinarily vague. Cultural explanations are thus often imprecise or tautological, or both, at the extreme coming down to a more

sophisticated rendering of ‘the French are like that! “ 8

Anderson tidak melihat bahwa otoritarianisme Indonesia lahir merupakan pilihan rasional; melalui diskusi dan perdebatan, didasarkan pada alasan-alasan spesifik-obyektif serta dalam kerangka filosofi politik yang jelas, jadi jelas bukan naluri primordial kesukuan semata. Pilihan Soepomo pada Negara Kesatuan dimana posisi negara kuat dan sentral beserta sistem presidensial sebagai bentuk yang tepat bagi Indonesia didasarkan pada filosofi Negara Organik (Organic Statism) dimana negara dan masyarakat Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan utuh, bukan dua elemen yang kontradiktif seperti dalam konsep demokrasi liberal. Soepomo dalam pidatonya di BPUPKI mengajukan alternatif bentuk pengorganisasi -

8. Huntington, Samuel, 1987.”The Goals of Development”, in Weiner, Myron & Huntington, Samuel (eds.). Understanding Political Development, Boston: Little Brown.

an negara yang tepat bagi Indonesia adalah integralisme (integralism), yang menurutnya

digali dari Adam Muller, Hegel & Spinoza. Konsisten dengan usulnya, Soepomo meng - emukakan visinya tentang Indonesia yang digambarkannya sebagai sebuah komunitas yang harmonis. Dengan demikian, Konstitusi Negara tidak boleh merefleksikan dualisme negara

dan masyarakat dengan kekuasaan yang besar ditangan Presiden, bukannya Parlemen. 10 Gagasan ini dimanifestasikan dalam UUD 1945 dimana kekuasaan Presiden begitu besar

sedangkan hak-hak sipil amat terbatas. 11

Filosofi politik Negara Organik (Organic Statism) ini diperkenalkan di Indonesia oleh Jacques Oppenheim, Ketua Komisi Konstitusi Negara Kolonial Hindia Belanda dan berpengaruh dalam pemikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. 12 Bagi Indonesia faktor yang mendorong diterimanya filosofi Negara Organik adalah kuatnya nationalist cultural relativism yang muncul dalam bentuk penolakan terhadap segenap bentuk tradisi

Barat. 13 Filosofi Negara Organik lahir dan berkembang secara luas diberbagai bangsa di - muka bumi ini. Sekitar tiga ribu tahun yang lalu Konfusius di China (551 – 479 SM) mendasar - kan diri pada filosofi Negara Organik dalam mengembangkan Konfusianisme yaitu filosofi dan etika tentang bagaimana mengatur sebuah negara serta perilaku para pejabat sebagai pemangku kekuasaan, yang masih digunakan saat ini dalam mengatur China, Korea, Jepang dan Taiwan. Filosofi Negara Organik adalah sebuah konsep politik pra-Weberian yang normatif. Konsep ini sama sekali tidak menjelaskan secara analitis konstelasi politik, eko - nomi dan sosial antar kelas, kelompok maupun antara masyarakat dan negara. Jadi sangat berbeda dengan konsep negara yang analitis seperti halnya capitalist state, welfare state,

9. Organic Statism adalah filosofi politiknya, sedangkan teknik pengorganisasian negaranya adalah Corporatist State/Corporatism. Integralism atau Integralist State adalah nama yang dipilih Soepomo untuk mengacu pada Corporatist State.

10. Lihat pidato Soepomo dalam, Yamin, Mohammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, vol. I, hal. 263. 11. Logemann dan Nasution, dalam karya yang terpisah, mengemukakan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas hak-hak sipil namun justru memberikan kekuasaan mutlak kepada Presiden. Lihat, Logemann, J. H. A 1982. Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya UUD 1945, diterjemahkan oleh Darji Darmodiharjo, Aries Lima, Jakarta. Nasution, Adnan Buyung. 1993. “Adakah Hak Asasi Manusia di Dalam UUD 1945?” Forum Keadilan, No. 20, Januari.

12. Oppenheim, Jacques. 1893. De Theorie van den Organischen Staat en Haare Waarde voor Onzen Tijd (The Theory of the Organic State and its Value for Our Times), Wolters, Groningen. David Bourchier menemukan pokok-pokok pikiran Oppenheim berpengaruh di Indonesia modern ini dan banyak dikutip didalam tulisan-tulisan politik. Lihat, Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi Doktor Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta; Besar, Abdulkadir. 1984. “Negara Persatuan Citra Negara Integralistik Anutan UUD 1945" di Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono SH, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Untuk tulisan Bourchier, lihat, Bourchier, David. 1993. Contradictions in the Dominant Paradigm of State Organisation in Indonesia, paper presented in ARC Conference on Indonesia Paradigms for the Future, Fremantle.

13. Robison, Richard. 1993. “Indonesia: Tensions in State and Regime”, in Hewison, Robison & Rodan: hal. 41-74.

authoritarian-militarist state, dsb. Alfred Stepan dalam penelitiannya di Peru, menemukan

bahwa filosofi ini muncul sebagai manifestasi tradisi Katolik Roma. Stepan mengemukakan bahwa ada tiga unsur utama dari negara organik yaitu: a mode of governance, a tradition of

political thought and a normative framework. 14 Dalam filosofi ini tersirat dengan tegas diktum Aristoteles bahwa kepentingan negara harus diatas kepentingan keluarga dan individu. Masyarakat dilihat bukan sebagai totalitas individu yang masing-masing memiliki kebebasan tetapi lebih sebagai satu komunitas yang kohesif dan terintegrasi demi ketertiban sosial. Negara dan masyarakat dilihat sebagai satu kesatuan bagaikan sebuah organisme yang tidak memiliki garis pemisah, tidak memiliki perbedaan kepentingan namun hanya memiliki perbedaan peran serta fungsi yang logis.

Di Eropa filosofi ini hidup selama berabad-abad yaitu pada saat Vatikan menguasai hampir seluruh Eropa. Pada awal abad ke 19 di Jerman, Adam Heinrich Muller (1779 – 1829) ahli ekonomi politik mengembangkan filosofi ini. Gagasannya ditulis dalam Die Elemente der Staatskunst ( Elements of Statecraft), buku ini merupakan kumpulan materi kuliahnya di depan Prince Bernhard of Saxe-Weimar beserta politisi dan diplomat Jerman yang ter - kemuka di Dresden tahun 1808. Dalam Die Elemente Muller mengemukakan bahwa sistem pengorganisasian negara Jerman yang cocok adalah Standestaat (Corporatist State) yang didasarkan pada filosofi Negara Organik atau dalam istilah Muller Medieval Feudalism dimana negara dan masyarakat dilihat sebagai sebuah organisme yang dipersatukan oleh budaya, bahasa, hukum dan spirit (volksgeist). Bagi Muller inilah model yang terbaik untuk

pengorganisasian sebuah negara modern. 15 Sekalipun keduanya bekerja dijaman yang ber - beda tetapi Muller memiliki gagasan yang sama dengan Konfusius yaitu fokus pada kewajib - an etis negara untuk mensejahterakan rakyat termasuk dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan meregulasi pasar. Muller sepenuhnya menolak gagasan pasar bebas (free market) Adam Smith dengan mengemukakan kritik bahwa pasar bebas adalah sebuah ekonomi tanpa etika (an economy without ethics). Gagasan Muller ini sangat berpengaruh di Jerman, negara-negara Eropa dan di negara-negara dengan tradisi politik Iberian sampai saat ini. Dimasa Eropa modern pada saat negara-negara di Eropa Barat menerapkan model Welfare States dimana negara berperan kuat, aktif dan intervensionis mengatur perekonomi - an demi kesejahteraan warganya adalah manifestasi dari gagasan Adam Muller.

14. Stepan, Alfred. 1978. The State and Society: Peru in Comparative Perspective, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.

Muller, Adam Heinrich, 1809 . Die Elemente der Staatskunst, Berlin; dalam, Mannheim, Karl 1953. “The History of the Concept of the State as an Organism: A Sociological Analysis”, in his Essays in Sociology and Social Psychology, Routledge & Keegan, London.

Dengan demikian konsep politik Negara Integralistik yang dilahirkan Soepomo adalah

hasil pemikiran yang mendalam dari para pendiri (the founding fathers) negara ini. Sedangkan peran Soeharto adalah dengan tekun, teliti dan konsisten menterjemahkan filosofi Negara Organik menjadi sebuah negara Korporatis Indonesia. Soeharto membentuk dan menata lembaga-lembaga negara dan politik secara sistematik, rapi, efisien dan efektif lengkap dengan Sistem Operasional Prosedurnya sehingga setiap orang jika berurusan dengan pemerintah tahu secara pasti apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Inilah Negara Korporatis Indonesia dimana posisi negara kuat dan intervensionis seperti yang terjadi di Jerman, Jepang, Korea dan China.

Hampiran teoritik lainnya yang populer di Indonesia adalah Fungsional Struktural - isme (Structural Functionalism) yang dikenal di Indonesia melalui tulisan-tulisan Samuel Huntington dan William R. Liddle. 16 Baik Liddle maupun Huntington melihat dua variable yang akan membawa perubahan ke arah demokrasi, yaitu nilai (value) yang berubah serta mempengaruhi perdebatan di lingkungan elit politik. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan akan tercipta melalui proses pendekatan persuasif, yang akan menciptakan perubahan pada nilai, tingkah laku dan institusi. Variabel lain adalah munculnya elit baru yaitu sebuah kelas menengah yang terbentuk sebagai akibat adanya proses pembangunan. Kelas menengah terdiri dari para profesional yang akan mempertanyakan kemampuan rejim

untuk mengakomodasi kepentingan mereka. 17

Bagi Huntington, otoritarianisme merupakan respons fungsional untuk mencegah disintegrasi sosial. Rejim otoriter dibutuhkan untuk menciptakan integrasi antar berbagai elemen dalam masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketertiban politik. Pada saat masyarakat mengalami transisi sosial dan ekonomi dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri modern akan mengalami suatu kelabilan sosial politik. Untuk menyelamatkan masyarakat dari situasi chaos dibutuhkan suatu hegemoni kekuasaan politik (political power) yaitu sebuah rejim otoritarian. Rejim ini memiliki tugas khusus yaitu mengelola fase transisi sosial-politik sampai terbentuknya sebuah kelas menengah yang mapan untuk memegang kendali hegemoni politik. Bagi Huntington, sistem politik otoriter

16. Liddle, William, R. 1985. “Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institutions,” Pacific Affairs, Vol. 58, No.1, hal. 68- 90; 1989.”The National Political Culture and the New Order”, Prisma, No. 46, March, 1989, hal. 4- 20; 1990. ”The Middle Class and New Order Legitimacy: A Response to Dan Lev”, in Tanter & Young, (eds), The Politics of Middle Class Indonesia, Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies Monash Univ ersity; 1992. “Indonesia Democratic Past & Future”, Comparative Politics, July. “Can All Good Things Go Together? Democracy, Growth and Unity in Post- Soeharto Indonesia”. Paper for Conference on Indonesian Democracy, Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, Melbourne, December 17-20.

17. Huntington, Samuel. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven; 1984. “Will More Countries Become Democratic?” Political Science Quarterly, Vol. 99, No. 2, pp. 193-218.

merupakan suatu instrumen yang tepat untuk mencegah disintegrasi masyarakat. Sekaligus

menciptakan iklim yang stabil bagi investasi sehingga dalam jangka panjang akan tercipta kelas borjuasi dan menengah baru yang mendorong terciptanya demokrasi. Artinya, sistem politik otoriter dibutuhkan demi terciptanya basis bagi akumulasi modal serta dalam jangka panjang bagi demokrasi. Dengan kata lain, rejim otoriter bertugas untuk mengintegrasikan seluruh elemen dalam masyarakat hingga pada suatu saat nanti akan menyerahkan kendali kekuasaan yang dipegangnya kepada elit baru yang terbentuk yaitu kepada sebuah kelas menengah baru.

Di Indonesia argumen semacam ini cukup populer. Adanya sebuah kekuatan sosial & politik yang dominan serta cenderung otoriter, tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan menekan tetapi bermanfaat seperti yang ditegaskan oleh Siswono bahwa,

“…untuk mencapai stabilitas, diperlukan partai/orsospol yang dominan; dalam hal Indonesia, kekuatan sosial politik yang dominan itu GOLKAR dan ABRI; walaupun seringkali oleh sementara pihak dirasakan terlalu dominan hingga terasa kurang mengembangkan partisipasi dari kekuatan-kekuatan sosial politik yang lain. Bagaimanapun, manfaatnya lebih banyak dari pada kerugian-

n ya” 18

Satu setengah dekade kemudian, Huntington melihat bahwa transisi ke demokrasi yang di – prediksikan tidak terjadi; rejim-rejim otoritarian Asia Timur & Tenggara tetap bertahan deng - an kukuh sekalipun telah terbentuk kelas borjuasi dan menengah yang mapan. Dalam me - revisi tesisnya, Huntington mencari jawab pada nilai kultural dan mengajukan argumen tran -sisi ke demokrasi hanya terjadi dalam sistem budaya yang kondusif bagi demokrasi. Hunting - ton menunjuk nilai-nilai Protestan lebih menekankan kompromi dan persamaan sehingga kondusif bagi transisi ke demokrasi. Berbeda dengan Islam dan Konfusianisme yang hirar - khis (hierarchical) sehingga menciptakan hambatan bagi transisi ke demokrasi. Dengan me - makai Determinisme Budaya, merupakan titik balik bagi Huntington, Huntington memakai

comparative & functional analysis yang sistematis dalam tesis sebelumnya. 19 Dengan Deter -minisme Budaya, Huntington tidak memberikan jawab atas pertanyaan yang ada karena De -terminisme Budaya hanyalah tautologikal (tautological), jawaban atas pertanyaan utama, mengapa otorianisme tetap bertahan? Hanya dijawab dengan menunjuk pada nilai budaya

18. Yudohusodo, Siswono. 1996. Dinamika Demokrasi Politik Dalam Pembangunan Berwawasan Ke - bangsaan. Makala dalam seminar Dinamika Demokrasi Politik Dalam Pembangunan Berwawasan Kebangsaan, Salatiga 26-27 Nopember. Pokok-pokok pikiran Ir. Siswono Yudohusodo adalah cukup menarik untuk diikuti oleh karena ybs merupakan salah satu unsur pemimpin muda politik Golkar dari unsur sipil dengan latar belakang bisnis yang kuat. Salah satu buku yang ditulisnya adalah, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia, Yayasan Penebitan Padamu Negeri, Jakarta, 1985.

19. Huntington. 1984.

tertentu yang diduga sebagai penghambat tetapi tidak menjelaskan mengapa dan bagaimana

prosesnya sehingga menghambat sehingga bukan sebuah jawaban yang analitis. Tiga tahun

kemudian Huntington mengakui kesalahan ini. 20

Diawal dekade 1980an para ahli-ahli ilmu sosial jenuh, gelisah dan ragu atas ke - mampuan teori-teori global dalam menyelesaikan problema negara-negara sedang ber - kembang. Pada tahun 1985, tiga ahli ilmu sosial (social scientist) Eropa yang terkemuka yaitu Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer dan Theda Skocpol mengajukan argumen untuk kembali ke State Theory yang mendasarkan diri pada evolusi sosial-politik negara serta responsnya

kepada tekanan global. 21 Ini adalah sebuah hampiran teoritik yang kontekstual dimana tiap negara dianalisis secara spesifik serta mempertimbangkan karakteristik khas yang dimiliki - nya dan pertumbuhannya tidak akan menuju ketitik yang sama. Atas dasar hampiran teoritik ini para ahli meyakini bahwa kapitalisme Asia bukan sekedar suatu tahap transisi atau penyimpangan atau bentuk inferior melainkan model lain dari kapitalisme itu sendiri yang

terjadi sebagai akibat kematangan kapitalisme global. 22

Ini amat melegakan para pemimpin negara-negara industri Asia, yang yakin bahwa membangun sebuah perekonomian negara yang kuat, berdisiplin dan mendasarkan diri pada nilai-nilai kolektif jauh lebih baik bagi kemapanan basis pertumbuhan bangsa daripada

mengambil bentuk demokrasi liberal. 23 Para penganut hampiran teoritik ini meyakini bahwa dalam membangun negaranya para pemimpin Asia berupaya mencari bentuk struktur sosial – politik yang sesuai dengan karakter spesifik sosial-politik negaranya serta efektif mengatasi tekanan kapitalisme global sehingga mereka menolak Neo Liberalisme yang diajukan IMF /World Bank. Jeffrei D. Sachs juga yang meyakini bahwa model pembangunan Asia, khususnya Cina, sangat tepat karena efektif mengatasi kemiskinan setelah teruji selama lima

dekade berturut-turut dan berhasil menurunkan jumlah orang miskin dengan signifikan. 24 Dengan demikian pilihan rasional bagi bagi negara-negara sedang berkembang untuk membangun negaranya tidak lagi otoritarianisme atau demokrasi, kapitalisme atau sosialis -

20. Huntington. 1987.

Evans, P; Rueschemeyer, D & Skocpol, T. 1985. Bringing the State Back In. Cambridge: Cambridge University Press.

Amsden, A. 1990. “Third World Industrialization: Global Fordism or New Model?” New Left Review, 182, hal. 5-31;

Zysman, J. 1994. “How Institutions Create Historically Rooted Trajectories of Growth” Industrial and Corporate Change, 3, 1, hal. 243-83; Burkett, Paul & Hart- Landsberg, Martin. 2005. “Thinking

About China: Capitalism, Socialism, and Class Struggle,” Critical Asian Studies, 37, 3, September, hal. 433-40. Mabhubani, Kishore. 1993. “The Danger of Decadence,” Foreign Affairs, 72, 4, hal 4-14; Kim, Dae Jung. 1994. “Is Culture Destiny? The Myth of Asia’s Anti-Democratic Values”, Foreign Affairs, 73,6: hal.189-94;

1995. “On Asian Democracy. Its Roots Go Back to the Ancients; its Future Could Change the Globe”, Asiaweek, 28 April: hal. 32-4; Lee Kuan Yew. 2000. From Third World To First: The Singapore Story. Singapore: Times

Media Limited

Sachs, Jeffrey. 2005. The End of Poverty. London: Penguin Books Sachs, Jeffrey. 2005. The End of Poverty. London: Penguin Books

permasalahan bangsa dan tekanan kapitalisme global serta melindungi sumber-sumber daya yang dimilikinya.

Bagi tulisan ini penulis mendasarkan diri pada hampiran Structural Statism yaitu secara spesifik dan kontekstual menganalisis transformasi sosial politik yang muncul dari berbagai elemen yang membentuk negara serta elemen-elemen koalisi sosial yang men - dukung eksistensi negara. Kontradiksi struktural dalam elemen yang membentuk negara serta koalisi sosial pendukung negaralah yang mendorong terjadinya transformasi sosial-

politik. 25 Berarti analisis fokus pada negara serta kontradiksi-kontradiksi struktural yang terjadi sehingga tercipta celah-celah yang memungkinkan perimbangan kekuasaan. Per - tarungan kekuasaan dalam transisi sosial-politik bukanlah sesuatu yang hitam-putih, negara lawan masyarakat, buruh lawan pemilik modal dsb. Bukti-bukti menunjukkan bahwa transisi selalu melibatkan berbagai kelompok secara komprehensif, kompleks dan kontradiktif, misalnya, ada berbagai elemen dalam kelas buruh yang mendukung hadirnya negara yang konservatif dan otoritarian. Sebaliknya, ada elemen-elemen dalam kelas pemilik modal yang mendukung gerakan progresif untuk perubahan sekalipun perubahan tsb berarti memotong dominasi kelas pemilik modal.

IV. Demokrasi: Sebuah Perdebatan Teori

Bagi negara-negara sedang berkembang salah satu tekanan yang dihadapinya adalah paksaaan untuk melakukan liberalisasi politik/demokratisasi dan ekonomi yang dilakukan oleh rejim Neo Liberal negara-negara Barat dan IMF/World Bank. 26 Tekanan politik Barat ini dikaitkan dengan bantuan bagi pembangunan; negara sedang berkembang penerima bantuan wajib melakukan liberalisasi politik dan ekonomi. Akibatnya negara-negara sedang berkembang menjalankan liberalisasi secara tergesa-gesa. Liberalisasi ini mendapat dukung - an dari elit politik liberal di negara-negara sedang berkembang karena mereka yakin bahwa demokrasi adalah kunci bagi keberhasilan pembangunan, demokrasi memberikan kebebasan

25. Robison, Richard. 1985. “Class, Capital and the State in New Order Indonesia” in Higgott, Richard & Robison, Richard (eds.). Southeast Asia: Essays in the Political Economy of Structural Change, Routledge, London; 1986. Indonesia: The Rise of Capital, Allen & Unwin, Sydney; 1988. “Authoritarian States, Capital- Owning Classes and the Politics of Newly Industrialising Countries: the Case of Indonesia”, World Politics, 41, 1, pp. 52-74.

26. Kata Neo Liberalisme diperkenalkan oleh jurnalis the New Republic dan Washington Monthly, Charles Peter yang pada tahun 1983 mempublikasikan “A Neoliberal’s Manifesto” untuk menggambarkan idelogi dari sekelompok politisi muda di Washington, diantaranya Al Gore dan Bill Clinton. Terminologi ini mengacu nilai- nilai kebebasan individual dengan cara meminimalkan peran negara. Dalam kaitan dengan liberalisasi ekonomi adalah penghapusan pengaturan harga, deregulasi pasar modal, penghapusan hambatan perdagangan dan privatisasi. Neo Liberalisme seringkali dikaitkan dengan the Washington Consensus, yang merupakan kebijakan politik Washington bagi negara-negara sedang berkembang.

bagi rakyat.

Dalam masterpiece-nya The Wealth of Nation terbit 1776, Adam Smith mengajukan argumen bahwa pasar diatur oleh invisible hand yaitu akumulasi insting egoistik individual untuk memaksimumkan keuntungan dan meminimalkan kerugian; ini adalah perilaku rasional sesuai sifat kemanusiaan (human nature). Bagi Smith ambisi egoistik individual ini dengan sendirinya mengatur pemanfaatan sumber-sumber daya secara efisien. Jika tiap individu menjadi kaya secara efisien maka masyarakatpun akan menjadi kaya dan efisien. Dengan demikian apa yang dilakukan negara adalah tinggal mengikuti logika pasar demi ter - ciptanya efisiensi penggunaan sumber daya dan kemakmuran ekonomi. Gagasan liberalisasi Neo Liberal mengikuti logika ini; hanya saja kaum Neo Liberal mengembangkan gagasan ini menjadi kebijakan politik global untuk diterapkan keseluruh negara-negara sedang ber - kembang di dunia ini. Kerangka dasar logika Adam Smith adalah filosofi Barat yang melihat inti masyarakat adalah individu, bukannya keluarga atau kelompok. Dalam konsep filosofi Barat negara adalah pelindung dari apa yang disebut Thomas Hobbes “hutan rimba dimana yang kuat akan menindas yang lemah.” Konsep filosofi inilah yang membedakan Barat dan Timur, bagi negara-negara Asia Timur inti masyarakat adalah keluarga dan negara bukan sekedar pelindung tetapi rumah bersama dimana berbagai keluarga tinggal sehingga eksistensi kelompok hanya mungkin dengan adanya negara.

Bagi Indonesia, salah satu sumber gagasan liberalisasi politik dan ekonomi adalah tulisan Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man yang menyatakan bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal adalah produk kejeniusan peradaban Barat yang melahir -

kan sebuah sistem ekonomi dan politik yang memberikan kebebasan bagi umat manusia. 27 Sekalipun dalam buku ini Fukuyama lebih merupakan seorang nabi yang bernubuat daripada ilmuwan sosial yang dengan hati-hati mengajukan argumen atas dasar bukti-bukti tetapi pendapat Fukuyama ini diterima luas sebagai sebuah kebenaran yang sedang dan telah terjadi. Fukuyama melihat bahwa hanya ada satu jalan bagi modernisasi yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Eropa Barat dan AS dan hanya ada satu sistem sosial-politik yang tepat bagi masyarakat modern yaitu demokrasi dan kapitalisme liberal. Dengan demikian seluruh bangsa-bangsa dimuka bumi ini perlu mengambil jalan yang sama dengan yang telah ditempuh negara-negara Barat dan menerapkan sistem sosial-politik yang sama pula yaitu kapitalisme dan demokrasi liberal. Kesamaan ini menyeluruh termasuk lembaga-lembaga yang dibentuk, pola kerja dan sistemnya; jadi kapitalisme dan demokrasi liberal adalah

Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: the Free Press.

nostrum untuk semua bangsa di dunia ini, one fits all. Kapitalisme dan demokrasi liberal

adalah universal sehingga berjalan dengan modus yang sama di semua negara dan bangsa dan dalam semua tahapan evolusi masyarakat. Negara-negara sedang berkembangpun melihat dirinya sendiri sedang menempuh perjalanan dengan masa depan berada di Barat sehingga mereka cenderung untuk begitu saja melakukan copy and paste teori dan model pembangunan Barat tanpa mempertimbangkan kekhasan teori dan model tsb serta kondisi kontekstual yang ada.

Penerapan demokrasi di negara-negara sedang berkembang selalu bermasalah; namun karena pengaruh Determinisme Budaya para elit melihat bahwa permasalahannya terletak pada pelaksana yang tidak bermoral dan kompeten. Konsep semacam ini sangat populer di Indonesia dan dengan mudah dapat kita temui dalam berbagai diskusi, artikel di media

massa ataupun tulisan ilmiah di jurnal. 28 Dalam konteks pengertian ini jika pelaku kompeten dan bersih, seluruh permasalahan beres dengan sendirinya. Konsep ini hanya melihat bahwa penerapan demokrasi adalah masalah teknis belaka; tidak ada nuansa bahwa demokratisasi adalah merubah tatanan sosial-politik. Akibatnya kompleksitas permasalahan yang terjadi tidak dapat dikenali. Jika kompleksitas ini di pertimbangkan nampak jelas bahwa permasalah - an yang terjadi sangat serius karena terjadi perpecahan yang menghambat efektifitas peng - ambilan keputusan, seperti di kemukakan Crawford,“One would expect better decision- making in democracy. But there is an effective division of labour than in authoritarian

states .” 29 Pernyataan ini menunjukkan kerumitan dalam pengambilan keputusan akibat me - lemahnya kepemimpinan negara dan meluasnya perpecahan yang terjadi. Kombinasi dan keyakinan dogmatis dan konsep demokratisasi yang amat teknis ini menyebabkan para elit liberal di negara-negara sedang berkembang tidak dapat menerima kritik tajam Joseph Stiglitz yang melihat bahwa liberalisasi yang tergesa-gesa dan dipaksakan

penyebab utama keterpurukan negara-negara sedang berkembang. 30 Mereka bahkan tidak mau belajar dari kebangkrutan Chile dan Islandia yang terjadi diawal dekade 2000 an; sebagai negara-negara pertama yang menerapkan resep Neo Liberal keberhasilan pem - bangunan Chile dan Islandia hanyalah seumur jagung, sekitar 5 tahun kemudian mereka bangkrut terbelit hutang, pengangguran, kemiskinan dan resesi yang berkepanjangan. Mereka juga tidak dapat melihat jika gagasan Neo Liberal diterapkan secara penuh terbentuk

Marijan, Kacung. 2010. “Biaya Demokrasi,” Kompas, 24 Agustus, hal. 7; Sindhunata. 2012. ”Reformasi yang Ironis,” Basis, No. 05-06, Th. 61, hal. 2-3.

Crawford, Neta C. 2000 . “The Passion of World Politics,” International Security, 24, No. 4, Spring,

hal. 139.

Stiglitz, Joseph. 2006. Making Globalization Work. London: Penguin Books.

-lah tatanan sosial-politik yang sesuai kebutuhan para kapitalis global karena kelompok

nasionalis tersingkir dan akses ke sumber-sumber daya alam serta pasar domestik terbuka lebar sehingga para pemilik modal globalpun dapat mengeksploatasinya. Neo Liberalisme yang sering dikaitkan dengan Washington Consensus bukanlah teori ataupun resep Pembangunan yang ilmiah serta relatif lepas dari kepentingan politik namun merupakan upaya politik negara-negara Barat untuk mempertahankan dominasi global serta membuka pasar dan sumber-sumber daya negara-negara sedang berkembang. John Williamson mengemukakan;

”The Washington Consensus as I originally formulated was not written as a policy prescription for development: it was a list of policies that I claimed were widely held

in Washington to be widely desirable in Latin America .” 31

Selama bertahun-tahun otak kita dijejali oleh propaganda Barat bahwa demokrasi akan mempercepat kemakmuran ekonomi sehingga kita tidak mampu lagi untuk secara kritis melihat bahwa di dunia Barat yang demokratis itu justru standard of living terus menerus

memburuk dan menurun secara drastis dalam dua dekade ini. 32 Dalam tradisi politik Barat demokrasi tidak pernah terkait langsung dengan kemakmuran. Di Athena tempat demokrasi dilahirkan, demokrasi hanyalah untuk kaum kaya yang memiliki waktu lebih untuk ber - kumpul dan berdebat masalah-masalah kehidupan, politik dan filosofi sedangkan rakyat jelata tetap berpeluh setiap hari demi mendapatkan makanan. Demikian pula dengan dunia Barat modern, demokrasi adalah hanya untuk the haves; politisi, senator, para pemilik modal, CEO multi nasional yang memiliki waktu cukup untuk berkumpul dan berdebat serta memiliki uang yang cukup untuk membiayai kampanye politik. Bagi rakyat jelata setiap hari harus bekerja keras mati-matian sambil menyaksikan pendapatannya tergerus habis oleh inflasi yang terus memburuk dan membayar tagihan-tagihan yang terus melambung. Hal yang sama juga terjadi di India, Fillipina, Bangladesh dan negara kita sendiri dimana demokrasi hanyalah pesta-posta para milyarder untuk tebar pesona sambil mengobral janji- janji yang semua orang tahu dengan pasti bahwa janji-janji itu tidak akan pernah dipenuhi. Rakyat pasif, hanya h adir dalam “pesta demokrasi,” nyoblos, pulang kemudian ngomel-

Nama The Washington Consensus dilahirkan oleh John Williamson, lihat, Williamson, John. 2003. ”From Reform Agenda to Damaged Brand Name.” Finance and Development, September; hal. 10 – 13; 2004. “The Washington Consensus as Policy Prescription for Development,” a lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, oleh the Institute for International Economics. Nama ini mengacu pada kesepakatan antara tiga organisasi yang seluruhnya berada di Washington yaitu IMF yang berkantor di 19 th Street, the World Bank yang berkantor di 18 th Street dan the US Treasury yang berkantor di

15 th Street atas kebijakan politik yang akan diterapkan pada negara-negara sedang berkembang penerima bantuan bagi pembangunan. 32. Napoleoni, 2011. Hal. 15 – 21.

ngomel selama lima tahun karena melihat wakil yang dipilihnya nyeleweng begitu saja. Lima

tahun kemudian rakyatpun tidak memilih wakil yang nyeleweng tsb tetapi sambil tertawa- tawa sang wakilpun tampil kembali, tebar pesona, terpilih untuk nyeleweng lagi karena kini sang wakil tampil dengan lebih percaya diri, tidak lagi tergantung pada konstituen tetapi sudah pandai bermain di arena kekuasaan bersama para elit politik lain untuk melakukan dagang sapi dan mengatur aturan permainan sedemikian rupa supaya bisa mempertahankan kekuasaan yang sudah dipegangnya. Inilah wajah sebenarnya demokrasi yang kita banggakan itu.

Demokrasi liberal Barat adalah sebuah sistem sosial politik yang sarat dengan ke - pentingan para pemilik modal (bourgeoisie); Barrington Moore dengan diktumnya, “No Bourgeoisie, No Democracy ” menuliskan bahwa kaum borjuasi adalah agen yang meng –

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24