Mundurnya Negara, Masuknya Kapital

5.2. Mundurnya Negara, Masuknya Kapital

Sekalipun Indonesia the good boys of IMF/World Bank tetapi sampai dengan akhir dekade 1980an bukanlah anak yang penurut. Para pemimpin politik dan teknokrat tetap enggan untuk meliberalisasi pasar dan teguh meyakini nasionalisme ekonomi. Namun per - ubahan besar terjadi diakhir dekade 1980an pemicunya adalah jatuhnya harga minyak yang pada tahun 1982 harga minyak jatuh dari $ 38/barrel ke $ 28/barrel dan pada tahun 1986 merosot tajam menjadi $ 12/barrel kemudian perlahan-lahan naik kembali menjadi $ 18/barrel. Jatuhnya harga minyak ini menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah se - besar 25% yaitu sekitar US$ 6 milyar per tahun ditambah depresiasi US dollar yang meng -

akibatkan naiknya kewajiban pembayaran hutang negara sebesar US 1.6 milyar. 71 Untuk pertama kalinya rejim Suharto dihadapkan dengan keterbatasan finansial yang parah se - hingga mendorong pemerintah menggali pendanaan dari swasta dan rejim Orde Baru tidak dapat lagi menolak tekanan kapitalisme global untuk menerapkan liberalisasi perekonomian.

Liberalisasi perekonomian di Indonesia dirancang oleh sebuah tim teknokrat dan ekonom yaitu Ali Wardhana, Moh. Sadli, Iwan J Aziz, Hadi Soesastro dan Marie Pangestu. 72 Dimulai Juni 1988 dengan deregulasi perbankan dan keuangan yang di lanjutkan di bulan Nopember dengan penghapusan proteksi non-tariff lebih dari separuh komoditas yaitu bijih besi, baja, plastik, dan bahan-bahan kimia. Kemudian di bulan Juni 1994 pemerintah kembali meluncurkan kebijakan pencabutan kewajiban investor asing untuk bermitra dengan warga negara Indonesia serta memperbolehkan kepemilikan asing 100%. Puncak liberalisasi terjadi di bulan Nopember 1994 dimana Presiden Suharto mengumumkan secara terbuka dalam sidang APEC di Bogor bahwa Indonesia sepenuhnya siap memasuki era perdagangan bebas

71. Wardhana, Ali. 1990. “Structural Adjustment in Indonesia: Export and the High-Cost Economy,” Indonesian Quarterly, XVII/3, hal. 209 – 211.

Mallarangeng, Rizal. 2003. “Politik Liberalisasi Ekonomi Indonesia: Mencari Sejumlah Penjelasan,” dalam, Pangestu, Mari. Et. al. (eds). 2003. Pangestu, Mari, et.al. (eds). 2003. Indonesia dan Tantangan Eko - nomi Global. Jakarta: CSIS.

di Asia Pasifik yang di ikuti dengan penghapusan tariff untuk 6,030 komoditi. Dilanjutkan

setahun kemudian di bulan Nopember 1995, pemerintah melakukan swastanisasi 3 BUMN utama yaitu PT Telkom, PT Timah dan PT Indosat. Sejak itu laju liberalisasi perekonomian dan swastanisasi BUMN pun makin gencar sehingga dilingkungan regional ASEAN, Indo -

nesia menjadi yang terdepan dalam meliberalisasi perekonomiannya. 73 Tahun 1998 rejim Soeharto jatuh; berakhirnya rejim Orde Baru dan dimulainya rejim Reformasi tidak dapat disamakan reformasi seperti yang terjadi dengan China, dimana rejim Mao digantikan sepenuhnya dengan rejim Deng, peralihan ini merupakan penggantian menyeluruh, sapu bersih seluruh personil, pengorganisasian negara, budaya organisasi dsb total digantikan, orang-orang Maois sepenuhnya disingkirkan sehingga benar-benar lahir sebuah China yang baru. Fokus Reformasi Indonesia hanyalah menggantikan individu Soeharto dan beberapa yang lain sedangkan Orde Baru sebagai sebuah rejim sepenuhnya bertahan. Oleh karena itu Reformasi Indonesia tersendat-sendat dan sering kehilangan arah, salah satu penyebabnya adalah oknum-oknum Orde Baru sepenuhnya masih memegang posisi-posisi kunci dan mereka bekerja dengan nilai dan modus lama, hanya saja kini mereka menyanyikan lagu yang berbeda.

Jatuhnya Soeharto dibarengi dengan kerusuhan sosial, penjarahan besar-besaran terjadi di pusat -pusat bisnis di Medan, Jakarta, Bandung dan Solo yang dikuasai etnis Cina, dengan kerusahan paling parah di Jakarta dan Solo. Laporan Tim Gabungan pencari Fakta tegas menunjuk Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoedin sebagai pihak yang diduga terlibat atau paling tidak membiarkan kerusuhan tsb terjadi. Namun respons pemerintah sangat mengecewakan bahkan terkesan menutup-nutupi kerusuhan ini, tidak pernah ada penjelasan resmi atau penyelesaian atas peristiwa ini. Akibat -nya versi pihak luarlah yang lebih diterima publik dan yang popular di Indonesia adalah analogi kerusuhan Mei 1998 dengan Kristallnach 9 -10 November 1938 di Jerman dimana rejim Nazi Jerman memberikan dukungan penuh pada Sturmabteilung (Storm Detachment), divisi para militer Naz,i untuk menyerang pusat-pusat bisnis Yahudi.

Apa yang lebih signifikan adalah dampak peristiwa Mei 1998 terhadap perekonomian Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 adalah titik balik bagi industrialisasi yang dibangun rejim Orde Baru selama 3 dekade serta sudah menunjukkan hasil yang mengagumkan sehingga Indonesia diprediksi akan segera masuk kejajaran negara industri baru. Begitu kerusuhan Mei meledak seluruh prestasi ini rontok karena terjadi pelarian modal besar-besaran dimana

Ibid Ibid

mentransfer cadangan dana mereka ke bank-bank di Singapore dan Hong Kong. Memang tidak ada data berapa jumlah dana yang ditransfer tapi dapat dipastikan sangat besar men - capai ratusan milyar US dollar. Tidak hanya uang tetapi juga industri dimana para indus – trialis segera merencanakan relokasi pabrik-pabrik mereka ke Cina, Vietnam, Thailand dan Malaysia serta hanya mempertahankan kantor pemasaran dan gudang-gudang belaka. Eko - nomi Indonesia rontok dan de-industrialisasi terus berlanjut sampai saat ini. Keyakinan terhadap stabilitas sosial-politik di Indonesia telah hilang sehingga walaupun berulang kali BKPM dan Presiden sendiri mengadakan jamuan bisnis dengan para pebisnis asing untuk meyakinkan mereka supaya kembali ke Indonesia, semuanya lewat begitu saja tanpa hasil. Ketidakpercayaan investor terhadap Indonesia nampak jelas dari keputusan direksi Research In Motion, pembuat telepon pintar (smartphone) Blackberry untuk mendirikan pabrik dan menempatkan server Asia Pacific di Malaysia, sekalipun pasar terbesar Blackberry adalah Indonesia. Dengan keputusan ini Indonesia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan alih teknologi smartphone.

Sejak krisis 1998, kontribusi industri manufaktur ke PDB terus menerus turun secara signifikan sehingga sampai dengan tahun 2010 industri elektronik telah menurun 30% lebih dan ekspor industri non minyak secara total telah turun 37.7%. Sedangkan pertumbuhan investasi sangat kecil sehingga tidak signifikan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi. Jikapun ada investasi asing ataupun nasional dalam jumlah besar itu hanyalah portfolio pasar modal belaka; investasi semacam ini tidak bermanfaat bagi pembangunan ekonomi karena hanya terjadi di pasar modal dan hanya jangka pendek. Sedangkan untuk sektor riil investasi hanya terjadi di perkebunan, kehutanan, pertambangan, pariwisata, retail/ perdagangan eceran, perbankan dan industri dengan teknologi rendah. Investasi semacam ini memang menyerap tenaga kerja tetapi tidak bernilai bagi upaya alih teknologi. Investasi yang serius dalam bentuk pendirian industri lengkap dengan R&D tidak terjadi lagi sejak 1998.

Menghadapi kelangkaan investasi, pemerintah berusaha mengembangkan industri pariwisata tetapi upaya inipun tidak menggembirakan. Wisatawan yang bisa diharapkan hanyalah wisatawan domestik dan ini tidak berarti banyak bagi pembangunan sedangkan wisatawan asing sangat kecil hanya sekitar 6 – 7 juta orang per tahun. Indonesia masih tetap negara yang dijauhi wisatawan asing, dampak bom Bali serta berbagai kerusuhan tetap signifikan. Jika kita lihat portfolio turisme Asia segera kita sadari hal ini, bandingkan saja Laos menyerap wisatawan asing 40 juta orang per tahun, Indonesia hanyalah sekitar 6 juta Menghadapi kelangkaan investasi, pemerintah berusaha mengembangkan industri pariwisata tetapi upaya inipun tidak menggembirakan. Wisatawan yang bisa diharapkan hanyalah wisatawan domestik dan ini tidak berarti banyak bagi pembangunan sedangkan wisatawan asing sangat kecil hanya sekitar 6 – 7 juta orang per tahun. Indonesia masih tetap negara yang dijauhi wisatawan asing, dampak bom Bali serta berbagai kerusuhan tetap signifikan. Jika kita lihat portfolio turisme Asia segera kita sadari hal ini, bandingkan saja Laos menyerap wisatawan asing 40 juta orang per tahun, Indonesia hanyalah sekitar 6 juta

daripada ke Indonesia, India dan Filipina. Selain pariwisata, pemerintah juga berusaha memperbesar penerimaan pajak tetapi karena jumlah warga yang mampu membayar pajak tetap kecil serta sektor industri yang merupakan pembayar pajak besar terus menerus me - nurun maka pertumbuhan penerimaan pajakpun sulit diharapkan. Adalah sebuah ilusi meng - harapkan petumbuhan penerimaan pajak, tanpa adanya pertumbuhan sektor industri; se - lain itu bagaimana mungkin mengharapkan kenaikan pajak jika 48% penduduk hanya berpenghasilan rata-rata US$ 2 per hari?

Memang pemerintah seringkali bangga bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia setelah China. Namun ini bukanlah pertumbuhan produk - tif yang didapatkan dari inovasi teknologi dalam industri, melainkan hanya dari konsumsi dan ekspor hasil-hasil tambang dan minyak sawit mentah belaka. Wakil Presiden Boediono dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan untuk waspada dan prihatin karena: ”…ini bukan pertumbuhan yang produktif, sampai berapa lama kita bisa bertahan seperti ini?” Wapres Boediono sangat benar, tingkat pertumbuhan yang bisa diharapkan hanyalah tingkat pertumbuhan produktif. Menghadapi tekanan ekonomi semacam ini pemerintah bersikap makin liberal sehingga mengeluarkan berbagai UU yang luar biasa liberalnya untuk mengobral sumber-sumber daya alam termasuk agraria yaitu UU Kehutaanan, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pada saat penghasilan minyak melimpah negara dengan mudah memelihara relative autonomy diatas masyarakat. 74 Oleh karena negara secara mudah dapat memperoleh uang untuk membiayai proyek-proyek pembangunan tanpa tergantung pada pajak yang dibayar kan oleh masyarakat. Namun kemampuan negara untuk menjaga otonominya merosot karena krisis pendapatan akibat jatuhnya harga minyak Jatuhnya harga minyak ini merupa - kan pukulan telak sehingga kemampuan negara melanjutkan industrialisasinya dibawah ancaman yang serius. Pemerintah terpaksa mencari sumber-sumber pendapatan lain terutama penerimaan pajak. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah harus memberikan berbagai bentuk konsesi kepada para pemilik modal sebagai pemberi pajak terbesar sehingga terjadilah pergeseran dalam hubungan negara dan kapital. Namun kali ini posisi negara melemah dan posisi politik para pengusaha swasta menguat.

Pada saat posisi negara melemah, para pemilik modal bergerak masuk kedalam arena

74. Poulantzas, N. 1975. Political Power and Social Classes. London: NLB; 1975. Classes in Contemporary Capitalism. London: NLB; 1976. "The Capitalist State: A Reply to Milliband and Laclau". New Left Review, 95; 1978. State, Power and Socialism. London: NLB.

politik demi mendapatkan dukungan perwakilan politik yang diterima ditingkat nasional,

mereka memilih masuk ke lembaga-lembaga politik. Ini nampak dari meningkatnya jumlah anggota Parlemen yang berasal dari kaum pengusaha swasta. Dari Pemilu ke Pemilu jumlah anggota Parlemen yang berasal dari kaum pengusaha terus menerus meningkat. Indikator lain adalah makin tajam kritik para pengusaha. Para pengusaha, khususnya dari industri hilir, menuntut dihapuskannya segenap bentuk monopoli, effisiensi birokrasi, dan dihapus - kannya berbagai bentuk pungutan liar serta kebebasan penuh di pasar.

Masuknya pengusaha industri hilir dan para pedagang ini merupakan ancaman langsung atas jaringan bisnis yang mapan yang dibentuk atas dasar monopoli dan proteksi NTB (Non-Tariff Barrier) atas bahan baku dan melibatkan aliansi bisnis antara pejabat serta

pengusaha klien. 75 Jikapun pemerintah memenuhi permintaan para pengusaha industri hilir ini bukanlah karena kekuatan politik para pengusaha tersebut; melainkan pemerintah butuh segera membangun sektor industri swasta yang tangguh untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Keseriusan kebutuhan untuk cepat membangun industri non-migas ini nampak dari dikeluarkannya UU no. 25/2007 Tentang Penanaman Modal Asing yang memperbolehkan investasi asing memasuki semua jenis usaha dengan kepemilikan saham 100%.

Berdasarkan pengalaman Perancis, Marx mengemukakan bahwa demokrasi liberal merubah tatanan sosial politik yang dibentuk untuk kebutuhan para pemilik modal; kelas pemilik modal membutuhkan sebuah perekonomian yang liberal dimana hak-hak kepemilikan pribadi diakui dan akses ke sumber-sumber daya ekonomi terbuka sehingga koalisi borjuis dan elit politik dapat merebut konsesi-konsesi politik dan akses-akses ke

sumber daya ekonomi yang di kuasai negara. 76 Apa yang disaksikan Marx diabad ke 19, juga disaksikan Rajni Kothari di India, Kothari melihat bahwa koalisi elit politik dan bojuasi Indialah yang paling diuntungkan dengan demokrasi liberal begitu mereka menguasai sumber-sumber daya ekonomi, lisensi-lisensi monopoli dan proyek-proyek pembangunan, kaum elit ini hanya sibuk memperkaya diri serta memotong kelompok liberal dan kaum buruh di parlemen daripada sibuk bekerja bagi pembangunan. Akibatnya, India yang mulai membangun dua dekade sebelum China, tetapi sampai dengan tahun 2010, besaran ekonomi India hanya sepertiga China. Jika China berhasil menurunkan penduduk miskin dari 70% menjadi hanya 9% di India masih sekitar 65% penduduk India hidup dibawah garis

75. Robison, R. 1988. "Authoritarian States, Capital-Owning Classes and the Politics of Newly Industrial - izing Countries: The Case of Indonesia". World Politics, Vol. 41, 1, October , hal. 52-74.

76. Marx, Karl. “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte” in Karl Marx and Frederick Engels:

Selected Works. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1962.

kemiskinan. Angka-angka ini menunjukkan betapa lambatnya pembangunan di India. 77

Demikian pula dengan Indonesia, tatanan sosial-politik yang terbentuk akibat kebijak - an Neo Liberal membuka pintu bagi masuknya para pemilik modal sehingga Indonesia juga menyaksikan koalisi elit politik dan pemilik modal nasional membajak negara untuk kepentingannya sendiri dengan mengibarkan bendera nasionalisme ekonomi. Tentu nasional - isme ekonomi kelas pemilik modal ini bagaikan bumi dan langit dengan nasionalisme

ekonominya Hatta, Sjarifuddin dan Emil Salim. 78 Kasus Donggi-Senoro menggambarkan proses pembajakan negara demi nasionalisme ekonomi. PT Donggi-Senoro adalah konsor - sium antara Pertamina dengan Mitsubishi untuk membangun kilang gas alam cair di Kabu - paten Banggai, Sulawesi Tengah dengan investasi sebesar US$ 1,6 milyar pada tahun 2007 dengan dana dari Mitsubishi serta Japan Gas Corporation sebagai kontraktor. Mitsubishi dan Japan Gas Corporation bersedia mendanai proyek ini karena The Kansai Electric Power bersedia menjadi pembeli utama. Perjanjian jual beli dengan the Kansai Electric telah ditanda - tangani selama 15 tahun dengan harga US$ 3.80 per mmBtu. Ini merupakan sebuah proyek yang sangat menguntungkan Pertamina sebab selain tidak perlu memikirkan dana dan teknologi eksplorasi juga harga jual yang telah disepakati dengan the Kansai Electric sangat bagus sehingga diharapkan dapat segera masuk ke kas pemerintah untuk menutup berbagai kebutuhan pembangunan infrastruktur yang dijadwalkan akan segera berjalan.

Diawal tahun 2009 Jusuf Kalla melakukan intervensi melalui suratnya kepada direk - tur utama Pertamina yang isinya berupa instruksi agar gas hanya untuk kebutuhan dalam negeri dan penjualannya harus melalui PT Medco, yang sahamnya dimiliki oleh Panigoro dan Kalla dengan harga yang sudah di patok yaitu US$ 2.30 per mm Btu. Akibat intervensi ini the Kansai Electric mengundurkan diri dan Mitsubishipun tidak bersedia melanjutkan konsor - sium tsb. Nasib kilang gas alam cair Donggi-Senoropun terkatung-katung karena membutuh -kan dana dan teknologi untuk eksplorasinya. Bagi PT Medco nasib Donggi-Senoro tidaklah merisaukan karena tetap memperoleh bisnis yang menguntungkan yaitu dari sumber-sumber yang lain. Kasus ini dengan cepat tersebar luas dikalangan para pebisnis nasional maupun internasional. Berbagai kanal bisnis (business channel) di Asia seperti Bloomberg Asia, CNBC Asia dan Asian News Channel mengangkatnya sebagai topik diskusi. Persepsi bahwa Indonesia tidak menghargai kesepakatan hukum makin tertanam dalam karena sebuah perjanjian bisnis yang resmi ditandatangani direktur utama Pertamina dengan seluruh

77. Kothari, Rajni. 2007. Rethinking Democracy. London: Zed Books. 78. “Tarik Ulur di Ladang Donggi,” Tempo, 12 April 2009, hal. 110-11; “Bola Panas di Akhir Kabinet,”

Tempo, 16 Agustus 2009, hal. 116 - 19.

Menteri yang terkaitpun dapat begitu saja dibatalkan, ini membuktikan bahwa benar tidak

ada kepastian hukum di Indonesia.

Kasus Donggi-Senoro menggambarkan dengan jelas bahwa pemodal nasional dan elit politik tidak segan-segan membajak negara untuk kepentingannya sendiri dengan berlindung di balik nasionalisme ekonomi. Bagi negara, dengan terbatasnya dana dan teknologi maka pilihan pada Mitsubishi dan the Kansai Electric adalah pilihan rasional yang jauh lebih menguntungkan. Intervensi Kalla adalah malapetaka karena selain sumber dana dan teknologi sangat tidak jelas juga kewajiban menjual gas dengan harga yang jauh lebih rendah ke pemodal nasional yang sudah kaya raya. Jadi negara di paksa memberikan subsidi demi kepentingan pemodal nasional, hal yang sama terjadi dalam kasus BPPC, proyek mobil nasional Timor, eksplorasi batubara yang saat ini menjamur dimana-mana, HPH dan pem - bukaan hutan lindung demi perkebunan kepala sawit, lumpur Lapindo dan masih sederet contoh lainnya. Rangkaian kasus-kasus ini dengan sangat jelas menggambarkan bahwa pada saat ini koalisi pemilik modal nasional dengan elit politik yang bekerja di bawah kibaran bendera nasionalisme ekonomi melakukan perampasan sumber-sumber daya ekonomi serta menguras kas negara dalam bentuk subsidi secara masif.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24