Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan Kasus Keluarga di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan Jasinga

(1)

KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN

PEDESAAN: KASUS KELUARGA DI KECAMATAN

DUREN SAWIT DAN KECAMATAN JASINGA

ASTRIANA BAITI SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul

:

KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN

PEDESAAN: KASUS KECAMATAN DUREN SAWIT

DAN KECAMATAN JASINGA

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini

Bogor, Agustus 2007

Astriana Baiti Sinaga NRP P016010121


(3)

ABSTRACT

A

striana Baiti Sinaga.2007. Family Empowerment in Rural and Urban Area : Case at Duren Sawit in East Jakarta and Jasinga in Bogor District. (Under a Team of Advisors with Sumardjo as Chairman; Margono Slamet, Prabowo Tjitropranoto as Members of the Advisory Commitee).

Family has important functions in human development, and all functions must work properly. The effectiveness of functions determine family’s strength. In fact, some families failed to implement the functions, due to the influence of some factors. The objectives of this research are to analyze: (1) factors affecting family’s functions, and family empowerment, (2) to formulized of family empowerment strategy. Data were collected in period of August - December 2006, involving Duren Sawit in East Jakarta representing urban area and Jasinga in Bogor District representing rural area.

The four functions of family are adaptation, goal attainment, integration, and latency (AGIL). Research results indicate that: (1)The factors that influence the four functions are wife’s education attainment, family income, the husband’s age of marriage, motivation of marriage, lifestyle, number of dependents, parent perceptions, intensity of family issues discussed in the working area,, family social living condition and information accessibility, (2) In the urban area the factors that influence the family empowerment are wife’s education attainment, information accessibility, the integration function and adaptation function. In the rural area the factors that influence the family empowerment are family income, the family social living condition, and integration function, (3) In the urban area, the family empowerment strategy is increasing quality of family resource, reflected in increasing wife’s education attainment, information accessibility, integration function and adaptation function. In the rural, the family empowerment strategy is increasing on income of family, the family’s living condition, and integration function.

.


(4)

RINGKASAN

Astriana Baiti Sinaga. 2007. Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan: Kasus di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan Jasinga. Komisi Pembimbing: Sumardjo (Ketua), Margono Slamet, dan Prabowo Tjitropranoto (Anggota).

Keluarga memiliki fungsi yang strategis dalam pembentukan sumberdaya manusia dan ditentukan oleh berperannya semua fungsi dengan efektif dalam keluarga. Keefektifan berfungsinya sebuah keluarga akan sangat menentukan kekuatan keluarga. Dalam kenyataannya banyak keluarga yang gagal dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi AGIL dalam keluarga, (2) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi Keberdayaan Keluarga, (3) Mengungkapkan strategi penyuluhan untuk keluarga Perkotaan dan Pedesaan.

Data dikumpulkan dari bulan Agustus-Desember 2006 di Kecamatan Duren Sawit, untuk Perkotaaan, dan Kecamatan Jasinga untuk Pedesaan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi Fungsi AGIL adalah tingkat pendidikan istri, tingkat pendapatan, usia suami menikah, motivasi pernikahan, gaya hidup, jumlah tanggungan, persepsi peran orangtua, intensitas isu keluarga di tempat kerja, kondisi tempat tinggal, dan akses informasi; (2) Faktor-faktor yang paling mempengaruhi keberdayaan keluarga di perkotaan adalah tingkat pendidikan istri, akses informasi dan fungsi integrasi dan juga fungsi latensi, sedangkan di pedesaan adalah tingkat pendapatan, kondisi lingkungan tempat tinggal, dan juga fungsi integrasi; dan (3) Strategi yang paling efektif untuk peningkatan keberdayaan keluarga di perkotaaan adalah dengan peningkatan kualitas sumberdaya keluarga melalui peningkatan tingkat pendidikan istri, dukungan dari lingkungan melaui peningkatan akses informasi dan peningkatan fungsi integrasi dan adaptasi. Untuk pedesaaan adalah peningkatan tingkat pendapatan keluarga dan dukungan kondisi lingkungan tempat tinggal, dan peningkatan fungsi integrasi.


(5)

@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN

PEDESAAN: KASUS KELUARGA DI KECAMATAN

DUREN SAWIT DAN KECAMATAN JASINGA

ASTRIANA BAITI SINAGA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Meutia F . Hatta Swasono, M.A 2. Prof. Dr. Pang S. Asngari, M. Ed


(8)

Judul : Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan : Kasus Keluarga di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan

Jasinga Nama Mahasiswa : Astriana Baiti

NRP : P016010121

Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sumardjo, M.S. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, MSc Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana

Komunikasi dan Pengembangan Institut Pertanian Bogor Masyarakat,

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putri terakhir dari empat bersaudara, yang dilahirkan di Pematang Siantar, 23 Maret 1969 dari pasangan Bapak Alang Sinaga dan Ibu Ramlah Damanik. Pendidikan SD-SMA ditempuh di Pematang Siantar. Tahun 1992, lulus sebagai sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tahun 1996 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana, Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Daerah, di USU, Medan sampai semester III, namun tidak selesai. Kemudian pada Bulan September Tahun 2000, penulis melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB, untuk program S2 dan setelah 2 semester jumping langsung pada Program S3 pada program studi yang sama.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti kegiatan di kampus, mulai dari ikatan jurusan, HMI, IMM, Mahasiswa kreatif, dll. Penulis juga aktif dalam organisasi masyarakat, mulai dari Yayasan Muslimah, Gema Khadijah, Perempuan Peduli, dll. Saat ini penulis adalah dosen IAIN Medan. Selain itu penulis juga menulis buku, tentang Pergerakan Muslimah di Era Kontemporer, penerbit GIP, 2000 dan editor.

Bogor, Agustus 2007


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Allah yang telah memberikan kekuatan kepada penulis, sehingga dapat menyusun disertasi ini, yang berjudul “ Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan : Kasus di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan Jasinga.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc dan Dr. Ir. Sumardjo, MS yang telah memberikan dorongan, semangat dan keluasan waktu untuk berdiskusi. Mudah-mudahan segala kontribusi yang diberikan dalam penyusunan disertasi ini, menjadi amal kebaikan dan hanya Allah sajalah yang menjadi saksi atas segalanya dan membalas kebaikan Bapak-Bapak.

Penyelesaian disertasi ini juga tidak lepas atas dukungan suami dan anak-anak. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang telah membesarkan penulis denga n penuh kasih sayang dan banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ucapan terima kasih juga kepada berbagai pihak yang membantu penulis baik berbentuk materi maupun dukungan moral.

Harapan penulis, mudah-mudahan disertasi ini memberikan manfaat dan menjadikan penulis menjadi hamba yang semakin bersyukur kepada Allah, dan ilmu yang diperoleh membawa keberkahan. Amin.

Bogor, Agustus 2007


(11)

ix

Halaman

PERNYATAAN ... i

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP... .... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

Definisi Istilah ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Karakteristik Keluarga... 9

Fungsi Keluarga... 11

Pemberdayaan Keluarga ... ... 13

Peran Pemyuluhan dalam Memberdayaan Keluarga ... ... 22

Strategi Penyuluhan Partisipatif untuk Keberdayaan Keluarga ... 24

Tingkat Pendapatan dan Tingkat Pendidikan... 26

Tingkat Keberagamaan Keluarga... 27

Pola Hubungan Orangtua-Anak... 29

Pola Hubungan Antar Anak Dalam Keluarga ... ... 34

Usia Suami Istri Saat Menikah ... ... 35

Gaya Hidup Keluarga... 36


(12)

x

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ... 42

Kerangka Berpikir... 42

Hipotesis Penelitian... 51

METODE PENELITIAN ... 52

Populasi dan Sampel... 52

Populasi... 52

Sampel... 53

Rancangan Penelitian... 53

Data dan Instrumentasi... 53

Data Penelitian... 53

Instrumentasi Penelitian... 58

Validitas Instrumen... 58

Reliabilitas Instrumen... 59

Pengumpulan Data... 61

Analisis Data... 61

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 63

Keadaan Umum Sampel ... 63

Karakteristik Keluarga ... 64

Tingkat Pendidikan Suami Responden ... 64

Tingkat Pendidikan Responden ... 66

Usia Suami Responden Ketika Menikah ... 67

Usia Responden Ketika Menikah ... 68

Jumlah Anak ... 69

Jumlah Tanggungan ... 70

Motivasi Pernikahan menurut Responden ... 72

Persepsi Peran Orang Tua menurut Responden ... 73

Gaya Hidup menurut Responden ... 75

Tingkat Pendapatan Keluarga ... 76

Lingkungan ... 78


(13)

xi

Akses terhadap Informasi ... 81

Fungsi Keluarga ... 85

Fungsi Adaptasi ... 85

Fungsi Pencapaian Tujuan ... 88

Fungsi Integrasi ... 89

Fungsi Latensi ... 91

Keberdayaan Keluarga ... 93

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Adaptasi Keluarga ... 96

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Pencapaian Tujuan Keluarga ... 106

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Integrasi Keluarga ... 111

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Latensi Keluarga ... 115

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga ... 120

Perbedaan antara Karakteristik Keluarga, Lingkungan, Fungsi AGIL, dan Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan ... 127

Pembahasan Umum ... 128

Strategi Pemberdayaan Keluarga ... 141

Pola penyelenggaraan Penyuluhan Partisipatif untuk Keberdayaan ... 147

Peran Pihak yang Berperan ... 149

SIMPULAN DAN SARAN ... ... 152

Simpulan ... 152

Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA... 156


(14)

xii

1. Pokok Pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Partisipatif untuk Keberdayaan

Keluarga... 25

2. Motivasi Pernikahan yang Baik... 38

3. Keluarga yang Berfungsi dan Tidak Berfungsi... 44

4. Komponen Ketahanan Keluarga menurut Krysan&Zill, Nick Stinnet&Jhon, Judson Swihart, dan Dalam Kajian Penelitian... 46

5. Keluarga yang Berdaya dan Tidak Berdaya...47

6. Indikator dan Pengukuran Karakteristik Keluarga ...54

7. Indikator dan Pengukuran Aspek Lingkungan... 55

8. Indikator dan Pengukuran Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujua n, Integrasi, dan Latensi (AGIL)... 56

9. Indikator dan Pengukuran Keberdayaan Keluarga... 57

10.Nilai Cronbach Alpha pada Instrumen Kuesioner... 60

11.Keadaan Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 63

12.Tingkat Pendidikan Suami Responden ... 64

13.Tingkat Pendidikan Responden ... 66

14.Usia Suami Responden Ketika Menikah... 68

15.Usia Responden Ketika Menikah... 69

16.Jumlah Anak...69

17.Jumlah Tanggungan... 71

18.Motivasi Pernikahan Menurut Responden ... 73

19.Persepsi Peran Orang Tua Menurut Responden ... 74

20.Gaya Hidup Keluarga Menurut Responden ... 75

21.Tingkat Pendapatan Keluarga di Perkotaan... 77

22.Tingkat Pendapatan Keluarga di Pedesaan ... 77

23.Banyaknya Isu Keluarga Dibicarakan di Tempat Kerja Menurut Responden ... 78

24.Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Menurut Responden ... 79

25.Pengaruh Nilai Lingkungan yang Lebih Dominan terhadap Keluarga... 79

26.Sifat Interaksi di Lingkungan Tempat Tinggal Responden... 80

27.Banyaknya Wadah Interaksi Sosial di Perkotaan dan Pedesaan... 81

28.Keikutsertaan Responden pada Wadah Interaksi Sosial... 81

29.Akses terhadap Informasi... 81

30.Ketersediaan Media Informasi yang Dijadikan Sumber Informasi Responden... 82

31.Jenis Informasi yang Diminati Responden... 83

32.Jenis Informasi yang Dianggap Relevan dengan Kebutuhan Keluarga ... 83

33.Sumber Informasi yang Di nilai Akurat dengan Kebutuhan Keluarga... 84

34.Kelengkapan Isi Informasi dari Media Informasi yang Berkaitan dengan Keluarga.. 85

35.Fungsi Adaptasi Keluarga... 85

36.Kepemilikan Aset Keluarga... 87

37.Fungsi Pencapaian Tujuan Keluarga... 88

38.Fungsi Integrasi Keluarga... 91

39.Fungsi Latensi Keluarga... 91

40.Kebiasaan yang Dilakukan Untuk Membangun Komitmen Kebersamaan dalam Keluarga... 91


(15)

xiii

42.Cara Sosialisasi Nilai yang Dilakukan dalam Membangun Kekuatan Nilai Dalam Keluarga ... 92 43.Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan ... 93 44.Nilai Korelasi Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap Fungsi Adaptasi

Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan... 97 45.Nilai Koefiesien Regresi Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan

Terhadap Fungsi Adaptas Keluarga... 100 46.Nilai Korelasi Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap Fungsi

Pencapaian Tujuan Keluarga.... ... 106 47.Nilai Koefiesien Regresi Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan

Terhadap Fungsi Pencapaian Tujua Keluarga... 108 48.Nilai Korelasi Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap Fungsi Integrasi

Keluarga ... 111 49.Nilai Koefiesien Regresi Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan

Terhadap Fungsi Integrasi Keluarga... 113 50.Nilai Korelasi Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap Fungsi Latensi

Keluarga ... 116 51.Nilai Koefiesien Regresi Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan

Terhadap Fungsi Latensi Keluarga... 117 52.Nilai Korelasi Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap Keberdayaan

Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan... 121 53.Nilai Koefiesien Regresi Ganda Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan

Terhadap Keberdayaan Keluarga... 122 54.Nilai Koefiesien Jalur Antara Karakteristik Keluarga dan Lingkungan Terhadap

Keberdayaan Keluarga... 123 55.Nilai Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas Terhadap

Keberdayaan Keluarga di Perkotaan Berdasarkan Analisi Jalur... 125 56.Nilai Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas Terhadap

Keberdayaan Psikologis Keluarga di Pedesaan Berdasarkan Analisi Jalur... 126 57.Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata Anova... 127 58.Strategi Penyuluhan Partisipatif dalam peningkatan kualitas karakteristik

Keluarga di Perkotaaan dan Pedesaan... 146 59.Strategi Penyuluhan untuk keberdayaan Keluarga melalui Peningkatan

Fungsi AGIL keluarga ... 146 60.Strategi Penyuluhan Partisipatif peningkatan Keberdayaan Keluarga... 147 61.Strategi Penyul uhan Partisipatif perbaikan Lingkungan untuk Peningkatan

Fungsi AGIL dan Keberdayaan Keluarga... 147 62.Strategi dan Peran yang diharapkan dari pihak yang berperan... 150


(16)

xiv

1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan... 23

2. Alur Berpikir dan Proses Penelitian Keberdayaan Keluarga ... 49

3. Kerangka berfikir sebagai Model Hipotetik Penelitian Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan... 50

4. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsi Adaptasi Keluarga Berdasarkan Analisis Regresi... 104

5. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsi Pencapaian Tujuan Keluarga di Berdasarkan Analisis Regresi ... 111

6. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsi Integrasi Keluarga Berdasarkan Analisis Regresi... 115

7. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsi Latensi Keluarga Berdasarkan Analisis Regresi... 120

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga di Perkotaan... 124

9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga di Pedesaan... 125

10.Strategi Penyuluhan Partisipatif Untuk Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan ... 145

11. Keterkaitan Antar Aktor yang Terlibat ... 151

DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Uji Validitas... 164

2. Kuesioner Penelitian... 172

3. Variabel dan Indikator dalam Kuesioner ... 181

4. Hasil Korelasi dan Analisis Jalur ... 183


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Kualitas sumberdaya manusia adalah syarat mutlak bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas akan sangat efektif ditentukan oleh lembaga terkecil dalam masyaraka t yaitu lembaga keluarga. Keluarga merupakan kelompok kecil yang paling penting sebagai subsistem dari masyarakat luas (Khaerudin, 1997:106).

Keluarga adalah lembaga pertama, terdekat dan utama bagi setiap anggotanya, dimana seseorang belajar mengenal nilai, norma serta bagaimana berhubungan dengan orang lain. Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak adalah dasar satuan sosial dan biologis dalam masyarakat. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikkan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah anak-anak pertama kali mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual.

Zanden (1986) mengatakan bahwa ketika anak baru lahir, mereka tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain. Oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat).

Malinowski (Megawangi, 1998) mengatakan tentang principle of legitimacy sebagai basis keluarga, bahwa struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.

Fitzsimmons (1950:25) menguraikan keluarga sebagai lembaga untuk memenuhi fungsi biologis, ekonomis, dan sosial. Nichols, Muwauw, Panther, Plonk


(18)

dan Price (1971:43) menyatakan bahwa keluarga sebagai agen sosial yang efektif harus mampu memenuhi kebutuhan sosiogenik dan biogenik anggota keluarga.

Ketidakmampuan keluarga dalam peme nuhan kebutuhan dasar keluarga, seperti masalah pendidikan, kesehatan, perumahan, kebutuhan konsumsi, kenyamanan fisik, psikologis, dll, merupakan masalah-masalah yang secara umum terjadi dalam keluarga baik di perkotaan maupun pedesaan. Masalah pendidikan misalnya, Data dari BPS tahun 2004, menujukkkan tingginya angka putus sekolah SD sebanyak 650.000, tidak melanjutkan ke jenjang SMP sebesar 500.000, dan angka buta huruf sebesar 15,5 juta. Pada sisi lain juga terkait dengan masalah kesehatan keluarga, menggambarkan rendahnya kualitas kesehatan yang ditandai Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 307 / 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 35 / 1000 kelahiran. Rendahnya tingkat pendapatan, kualitas kesehatan, dan pendidikan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kualitas sumberdaya manusia bangsa Indonesia.

Human Development Index (HDI) negara Indonesia dari tahun ke tahun belum menunjukkan peningkatan yang berarti, pada tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara, pada tahun 2004 peringkat ke 111 pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 berada pada peringkat ke 117 dari 175 negara, dan pada tahun 2006 di urutan ke 108 dari 117 negara. Masalah keluarga ternyata terus melebar, tidak hanya berhenti kepada masalah ekonomi tetapi juga tidak terpenuhinya kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologis anggota keluarga, yang menyebabkan ketidaknyaman dalam keluarga. Ketidaknyamanan ini adalah akibat konflik yang muncul dalam keluarga. Menurut Saxton (1990), pemicu ko nflik dalam keluarga adalah masalah pekerjaan dan pendapatan. Begitupun menurut Stinnet (1984) dalam Silaban (1992), yang mempengaruhi perkawinan adalah tingkat pendidikan, pendapatan, rendahnya tingkat sosial ekonomi, adanya kehamilan di luar pernikahan, dan ketidakmatangan emosional pasangan. Menurut Bonham dan Bolswick (Teviningrum, 1997) uang memang masalah nomor satu yang sering dipertentangkan para pasangan suami istri. Khususnya pada keluarga tingkat ekonomi menengah bawah, masalah tersebut bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga. Menurut Sutrisno (Teveningrum, 1997), perselisihan karena uang dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penyebabnya, yaitu karena kurangnya jumlah dana dan tiadanya keterbukaan diantara pasutri. Masalah kekurangan uang banyak terjadi di kalangan ekonomi menengah ke bawah, sedangkan masalah ketidak terbukaan atau komunikasi yang tidak efektif


(19)

sering muncul di keluarga kelompok ekonomi atas. Pada akhirnya sering terjadi untuk mengakhiri konflik, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis tadi adalah dengan perceraian dan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT).

Perceraian di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, diantaranya 13.779 kasus perceraian karena selingkuh, 9.071 kasus perceraian karena orang ketiga, 4.708 kasus perceraian karena cemburu (2005). Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tahun 2001 terjadi 3.169 kasus, meningkat 61 persen pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus. Pada 2003 kasus kekerasan melonjak lagi 66 persen menjadi 7.787 kasus. Pada 2004 terjadi 14.020 kasus, dan pada 2005 terdapat 20.391 kasus yang dilaporkan, atau naik 69 persen. Kekerasan dalam komunitas mencapai 15 persen atau 3.129 kasus, sisanya masuk ke dalam kategori kekerasan negara 0,3 persen, dan 2,7 persennya termasuk kategori lain-lain. Dari jumlah kasus KDRT pada 2005 itu, kekerasan terhadap istri (KTI) sejumlah 4.886 kasus (29,41 persen), kekerasan dalam pacaran (KDP) 635 kasus (3,82 persen), kekerasan terhadap anak (perempuan)-KTA sebanyak 421 kasus (2,53 persen) pada tahun 2005.

Lippitt yang dikutip Merril dan Elliot (Khaeruddin, 1997:5) menyatakan bahwa perkembangnya kebudayaan materi, tingkat penemuan dan inovasi teknologi telah membawa perubahan nilai-nilai kehidupan sehingga ini juga mendorong perubahan dalam keluarga. Pendapat ini dikuatkan oleh Shorter (1975:276-277) dengan istilah pengrusakan sarang (destruction of nest) dengan mengatakan keluarga semakin kehilangan kemampuannnya untuk melindungi keluarga terhadap tekanan persaingan yang ekstrim dalam peradaban kapitalis maju, yang pada akhirnya para orang tua semakin tidak relevan sebagai pendidik dan guru bagi anak-anak, dan bagi anak-anak memandang para orangtua sedikit saja mewariskan nilai kepada mereka.

Keluarga dipandang sebagai institusi yang mudah pecah, sehingga perlu

dilindungi. Perubahan sosial yang berlangsung cepat, industrialisasi, dan urbanisasi dipandang sebagai faktor yang dapat menyebabkan disorganisasi keluarga (Thomas dan Wilcox (Sussman dan Steinmetz, 1987:29). Keluarga tentunya tidak dapat menghambat pengaruh lingkungan lainnya terhadap lingkungan keluarga, untuk itulah dibutuhkan kemampuan mengelola segala sumber daya yang ada di dalam maupun di luar keluarga untuk mengatasi persoalan-persoalan keluarga yang pada akhirnya mampu melindungi keluarga dari upaya-upaya yang membuat keluarga bisa hancur, krisis dan pecah yaitu dengan efektivitas pelaksanaan fungsi keluarga. Parsons (1960:20) dengan konsep functional imperative, menunjukkkan bahwa fungsi-fungsi


(20)

keluarga yang sering disingkat AGIL melekat untuk dilaksanakan. Fungsi-fungsi tersebut adalah: fungsi adaptasi (adaptation), fungsi pencapaian tujuan (goal attainment), fungsi integrasi (integration), dan fungsi latensi (latency).

Fungsi adaptasi ini menyangkut bagaimana mengelola sumberdaya yang ada di dalam dan luar keluarga dan kemudian mendistribusikannya di dalam keluarga. Fungsi pencapaian tujuan menunjukkan bagaimana keluarga menetapkan tujuan, mengelola tindakan, memotivasi dan memobilisasi usaha serta energi dalam keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Fungsi integrasi mencakup bagaimana keluarga memelihara ikatan, komitmen, kebersamaan, solidaritas, melakukan kontrol, pemeliharan nilai dan untuk mencegah kerusakan di dalam keluarga. Fungsi latensi berkaitan dengan proses ketika mengelola sumberdaya keluarga baik fisik maupun nonfisik yang melibatkan pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Hamilton, 1983; Winton, 1995).

Keluarga akan hancur atau pecah jika tidak mengelola keempat masalah fungsional tersebut (Winton, 1995). Keefektifan pelaksanan fungsi keluarga diduga akan sangat menentukan keberdayaan keluarga. Mengacu kepada konsep keberdayaan pangan, Frankenberger (1998) mengartikan keberdayaan keluarga sebagai kecukupan dan kesinambungan akses terhadap tingkat pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar (termasuk di dalamnya kecukupan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial)

Peningkatan keberdayaan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumber daya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan masalah dan stres (Krysan, Kristin A Moore, & Zill, 1990:2-3). Ini tentunya terjadi dalam setiap keluarga, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.

Variasi kemampuan keluarga menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga, menangani masalah-masalah keluarga, kemampuan menghindari krisis keluarga, serta faktor-faktor yang menyebabkan suatu keluarga tidak dapat menanggulangi masalahnya, tentunya perlu digali termasuk juga bagaimana perbedaan keberdayaan keluarga pada setiap keluarga sehingga pada akhirnya menemukan strategi pemberdayaan yang tepat sesuai dengan kondisi pelaksanaan fungsi dan keberdayaan masing-masing keluarga. Inilah yang menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan.


(21)

Masalah Penelitian

Formulasi Parsons (1960:20) yakni konsep functional imperatives terutama dalam kaitannya dengan masalah kelangsungan hidup sistem sosial, termasuk keluarga, menjelaskan bahwa perkembangan keluarga juga berarti berkaitan erat dengan perkembangan keempat unsur fungsi yakni adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan fungsi latensi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) Fungsi adaptasi : fungsi adaptasi mengacu pada perolehan sumberdaya fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, kemudian mendistribusikannya di dalam sistem

(2) Fungsi pencapaian tujuan : fungsi pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan

(3) Fungsi integrasi : fungsi integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem.

(4) Fungsi latensi : fungsi latensi mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Hamilton, 1983; Winton, 1995). Sistem sosial akan hancur atau pecah jika tidak me ngelola keempat fungsi tersebut (Winton, 1995).

Kelangsungan sebuah keluarga akan sangat tergantung efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Perbedaan kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya keluarga, mengatasi masalah yang disebabkan berbagai faktor tentunya melahirkan variasi keberdayaan keluarga dalam setiap keluarga. Namun tentunya setiap keluarga harus tetap bertahan dalam kondisi apapun.

Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian yang dikemukakan, muncul pertanyaan sebagai berikut:

(1) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) di dalam keluarga keluarga?

(2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberdayaan keluarga keluarga? (3) Bagaimanakah strategi pemberdayaan keluarga di perkotaan dan pedesaaan


(22)

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) dalam keluarga.

(2) Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan keluarga. (3) Mengungkapkan strategi pemberdayaan keluarga di perkotaan dan pedesaan

untuk peningkatan pelaksanaan fungsi AGIL dan keberdayaan keluarga.

Manfaat Penelitian

(1) Menjadi masukan bagi pemerintah (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Depsos, Kementerian UKM, dll) terkait starategi pemberdayaan keluarga dengan tingkat perbedaan pelaksanan fungsi AGIL dalam keluarga dan perbedaaan keberdayaan keluarga.

(2) Pengembangan ilmu penyuluhan yang berkaitan dengan peran penyuluhan dalam upaya pemecahan masalah sosial, yakni masalah pengembangan SDM melalui perubahan perilaku keluarga dalam pelaksanaan fungsi AGIl dalam keluarga dan keberdayaan keluarga.

(3) Memperbanyak khazanah ilmiah dalam pemberdayaan keluarga dengan Formulasi Parsons (1960:20) yakni konsep functional imperatives,( Fungsi AGIL).

(4) Bagi keluarga, penelitian memberikan ma nfaat pemahaman bagaimana pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga yang baik untuk mendapatkan keberdayaan keluarga.

Definisi Istilah

(1) Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, serta mampu memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan psikologis anggotanya.

(2) Fungsi keluarga adalah proses yang harus dilakukan di dalam keluarga yang nilai-nilainya didalamnya ada nilai tanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dalam penelitian ini fungsi keluarga dibatasi pada fungsi adaptasi, fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi, dan fungsi latensi). Keseluruhan fungsi-fungsi tersebut


(23)

sering disingkat menjadi AGIL.

(a) Fungsi adaptasi adalah kemampuan keluarga memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam dan luar keluarga agar mampu mempertahankan diri terhadap lingkungannya.

(b) Fungsi pencapaian tujuan adalah kemampuan keluarga untuk mengelola potensi keluarga yang ada secara optimal untuk mencapai tujuan keluarga.

(c) Fungsi integrasi adalah kemampuan keluarga untuk menjaga komitmen dan hubungan keluarga.

(d) Fungsi latensi adalah kemampuan keluarga untuk mempertahankan pola-pola yang sesuai dengan nilai keluarga

(3) Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri melekat pada keluarga yang memiliki pengaruh terhadap fungsi dan keberdayaan keluarga, yang dalam penelitian ini dibatasi pada: tingkat pendidikan suami istri, tingkat pendapatan suami istri, motivasi pernikahan, usia suami menikah, usia istri menikah, persepsi peran orang tua, jumlah anak, jumlah tanggungan keluarga, ga ya hidup keluarga.

(4) Tingkat pendidikan suami responden adalah jenjang sekolah formal tertinggi yang pernah diikuti oleh suami responden.

(5) Tingkat pendidikan responden adalah jenjang sekolah formal tertinggi yang pernah diikuti oleh istri.

(6) Tingkat pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima keluarga yang didapatkan dari penghasilan perbulan

(7) Motivasi pernikahan keluarga adalah faktor yang terdapat di dalam diri suami-istri yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah laku dalam menjalankan peran di dalam keluarga, yang dalam penelitian ini motivasi dibatasi yakni kebutuhan, dorongan, dan imbalan.

(8) Persepsi peran orang tua adalah tingkat pengetahuan responden mengenai praktek yang ideal menjadi ayah dan ibu dalam keluarga.

(9) Jumlah anak adalah banyaknya keturunan yang ada di dalam keluarga baik kandung, angkat, atau tiri.

(10) Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya jiwa yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh keluarga.


(24)

pelaksanakan fungsi dan keberdayaan keluarga, yang dalam penelitian ini dibatasi pada kecenderungan ko nsumsi dan kecenderungan pergaulan.

(12) Akses terhadap informasi adalah sifat-sifat informasi yang dapat dengan mudah dicapai keluarga dalam upaya meningkatka n pelaksanaan fungsi dan keberdayaan keluarga. Sifat-sifat tersebut meliputi ketersediaan media informasi, relevansi jenis informasi dengan kebutuhan keluarga, akurasi isi informasi dari media informasi yang berkaitan dengan kebutuhan keluarga, dan kelengkapan isi informasi dari media informasi yang berkaitan dengan kebutuhan keluarga.

(13) Isu keluarga di tempat terja adalah banyaknya pembicaraan masalah-masalah keluarga di tempat anggota keluarga mencari nafkah.

(14) Kondisi lingkungan tempat tinggal adalah keadaan di sekitar domisili keluarga yang diukur dari sifat interaksi, nilai dominan yang berpengaruh terhadap keluarga, banyaknya wadah interaksi, dan keikutsertaan keluarga di wadah interaksi sosial.

(15) Keberdayaan keluarga adalah suatu kondisi dinamis yang ditunjukkan pada kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan fisik keluarga (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan), mampu memenuhi kebutuhan sosial keluarga yang ditandai dengan terbangunnya interaksi/ hubungan yang harmonis di dalam keluarga (yang tercermin lewat komunikasi yang positif dan saling bekerjasama dalam membangun komitmen keluarga) dan di luar lingkungan keluarga didasari nilai-nilai agama yang dianut, memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan psikologis keluarga yang ditandai dengan memiliki motivasi untuk memperbaiki kondisi keluarga yang ditandai dengan kemampuan mengelola emosi, dan dukungan kualitas spritual keluarga


(25)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Keluarga Pengertian Keluarga

Keluarga, menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 dan Peraturan Pemeritah Nomor 21 tahun 1994, merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami -istri dan anak-anaknya. Menurut Morgan (Sitorus, 1998), keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua-anak). Menurut Iver dan Page (Khairuddin, 1997:3):

“Family is a group defined by sex relationship sufficiently precise and enduring to provide for the procreation and up bringing of children”. Elliot and Merrile mengatakan “a group of two or more persons residing together who are related by blood, mariage, or adoption” dan Bogardus mengatakan “the family is a small social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons.”

Ini bermakna bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Iver dan Page (Khairuddin, 1997:6) ciri-ciri umum keluarga meliputi: (1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan, (2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara, (3) Suatu sistem tata tata norma termasuk perhitungan garis keturunan, (4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak, dan (5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga. Di samping memiliki ciri-ciri yang umum, keluarga juga memiliki ciri-ciri penjelasannya sebagai berikut (Khairuddin, 1997:8): (1) Kebersamaan, keluarga merupakan bentuk yang paling universal diantara

bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya dan dapat ditemukan dalam semua masyarakat. (2) Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan sangat

mendalam dari sifat organis kita seperti perkawinan, menjadi ibu / ayah, kesetiaan akan material dan perhatian orang tua.


(26)

paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia dan pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kehidupan dalam kesadaran hidup yang mana merupakan sumbernya. Pada khususnya hal ini membentuk karakter individu lewat pengaruh-pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental.

(4) Ukuran yang terbatas, keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya yang dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis. Struktur sosial secara keseluruhan dibentuk dari satuan-satuan keluarga. Hanya dalam masyarakat yang kompleks dengan peradaban yang lebih tinggi, keluarga berhenti untuk memenuhi fungsi-fungsi ini. Demikian juga pada masyarakat lokal, seperti pembagian kelas-kelas sosialnya cenderung untuk mempertahankan kesatuan-kesatuan keluarga.

(5) Tanggung jawab para anggota, keluarga memiliki tuntutan yang lebih besar dan kontinue daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi lainnya. Pada masa krisis manusia mungkin bekerja, berperang dan mati demi negara mereka, tetapi mereka harus membanting tulang sepanjang hidupnya demi keluarga.

(6) Aturan kemasyarakatan, hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal yang tabu di dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan kondisi-kondisinya.

(7) Sifat kekekalan dan kesetaraan, sebagai instruksi, keluarga merupakan suatu yang demikian permanen dan universal, dan sebagai asosiasi merupakan organisasi menjadi terkelompok di sekitar keluarga yang menuntut perhatian khusus.

Kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi perantara pada masyarakat besar atau sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Ini juga bermakna bahwa keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki oleh keluarga. Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu tatap muka di antara anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan emosional, dimana hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak. Di samping itu, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan pengertian bahwa lembaga-lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Peran tingkah laku yang dipelajari di dalam keluarga merupakan contoh


(27)

atau prototipe peran tingkah laku yang diperlukan pada segi-segi lainnya dalam masyarakat.

Malinowski (Megawangi, 1998:84) mengatakan tentang principle of legitimacy sebagai basis keluarga, bahwa struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.

Fungsi Keluarga

Horton (1993: 274-279) menjelaskan fungsi-fungsi keluarga:

(1) Fungsi pengaturan seksual. Keluarga berfungsi sebagai lembaga atau wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasaan keinginan seksual.

(2) Fungsi reproduksi yaitu keluarga memproduksi anak atau melahirkan.

(3) Fungsi afeksi yaitu keluarga memenuhi kebutuhan dasar manusia akan kasih sayang dan dicintai.

Keluarga memiliki fungsi dalam pendidikan berkaitan dengan tanggungjawab pendidikan iman, tanggung jawab pendidikan moral, tanggung jawab pendidikan fisik, tanggung jawab pendidikan psikologis, tanggung jawab pendidikan sosial dan tanggung jawab pendidikan seksual Nasih Ulwan (2001:163).

Menurut Parsons (1960:60), kehidupan sosial harus dipandang sebagai sistem sosial, artinya kehidupan tersebut dilihat sebagai keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung, dan berada dalam satu kesatuan. Karakteristik lain dari sistem sosial adalah ia cenderung akan selalu mempertahankan ekuilibrium atau keseimbangan, ini bermakna keteraturan merupakan norma dari sistem. Parsons mengatakan fungsi-fungsi keluarga yang selanjutnya disingkat AGIL adalah fungsi-fungsi-fungsi-fungsi yang harus ada di dalam keluarga. Keseluruhan fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan, saling tergantung (inter-dependensi). Adapun fungsi keluarga menurut Parsons adalah sebagai berikut:


(28)

(2) Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment) (3) Fungsi integrasi (integration)

(4) Fungsi latensi (latency)

Fungsi adaptasi (adaptation), menjelaskan bahwa sebuah sistem harus mampu mengatasi masalah yang terkait dengan situasi eksternalnya artinya sebuah sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan agar kebutuhan sistem dapat terpenuhi. Fungsi adaptasi dalam keluarga bermakna kemampuan keluarga memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam dan luar keluarga agar mampu mempertahankan diri terhadap lingkungannnya. Fungsi adaptasi berkaitan erat dengan kapasitas ekonomi keluarga dan kapasitas pengembangan diri dalam keluarga. Turner (1978:51) mengemukakan bahwa adaptasi adalah menyangkut masalah untuk memperoleh fasilitas yang mencukupi (sufficient facilities) dari lingkungan luar dan mendistribusikan fasilitas tersebut ke seluruh bagian sistem. Kirst-Ashman (2000:230) memandang adaptasi adalah menyangkut kapasitas kelompok untuk melakukan penyesuaian terhadap keadaan lingkungan sekitarnya melalui proses perubahan yang tengah berjalan.

Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment) penting bagi keluarga karena fungsi ini berkaitan dengan bagaimana keluarga mampu memaksimalkan potensi yang ada untuk mencapai tujuan keluarga, untuk pencapaian tujuan tersebut maka kepemimpinan dan manejemen keluarga menjadi pengukuran pelaksanaan fungsi ini. Fungsi integrasi (integration) menyangkut masalah norma dan komunikasi dalam keluarga. Pencapaian tujuan keluarga, upaya meningkatkan kapasitas ekonomi, dan pengembangan diri dalam keluarga tentunya akan terealisasi dengan baik apabila di dalam keluarga itu terpelihara komitmen dan hubungan keluarga.

Fungsi latensi (latency) adalah upaya yang dilakukan dalam berkeluarga untuk mempertahankan pola-pola yang telah ada dalam kehidupan keluarga, menyangkut masalah kebiasaan, proses kebiasaan itu bagaimana dilakukan oleh keluarga sehingga menjadi budaya keluarga. Menurut Ritzer dan Goodman (2004:121), dalam sebuah sistem ada upaya tindakan yang membuktikan saling melengkapi, saling memelihara, dan usaha untuk memperbaiki motivasi individu maupun pola-pola kultural sehingga mampu menumbuhkan dan memperkuat motivasi bertindak. Fungsi latensi berkaitan dengan dua hal yakni: menjaga pola dan mengelola ketegangan yang ada di dalam keluarga. Turner (1978:51) mengatakan bahwa menjaga pola berarti ketepatan tindakan yang disesuaikan dengan motivasi, kebutuhan, dan kemampuan berperan


(29)

seseorang dalam keluarga. Pengelolaan ketegangan adalah kemampuan mengatasi konflik di dalam keluarga. Fungsi-fungsi keluarga menurut Talcott Parsons inilah yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini dalam melihat fungsi keluarga.

Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah ( Suharto, 1997).

Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial, karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Kemungkina n terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:

(1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.

(2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

Pengertian dan Indikator Pemberdayaan

(1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995:56).

(2) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).


(30)

(3) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984:3).

(4) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).

(5) Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan tingkat pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan, dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses mencapai tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Dalam tulisan ”Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi dan Strategi”, Suharto mengatakan bahwa beberapa indikator pemberdayaan, yang disebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan adalah:


(31)

(1) Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian

(2) Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu) dan kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

(3) Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan mengguna kan uangnya sendiri.

(4) Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.

(5) Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

(6) Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

(7) Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.


(32)

(8) Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) menyatakan bahwa ketidakberdayaan disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1997). Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah ”alienasi”. Seligman menyebutnya sebagai ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ (learned helplessness), dan Learner menamakannya dengan istilah ‘ketidakberdayaan surplus’ (surplus powerlessness) (Suharto, 1997:212-213).

Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):

(1) Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.

(2) Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya


(33)

rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi sosial dimana mereka berada.

(3) Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat me nghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekpresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.

Berangkat dari pengertian, tujuan dan dimensi pemberdayaan diatas dalam konteks keluarga tentunya pemberdayaan keluarga bertujuan agar keluarga menjadi berdaya. Keberdayaan keluarga itu sendiri akan memunculkan efek ganda : keluarga menjadi sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggungjawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa. Sejahtera adalah dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga; sehat mencakup sehat jasmani, rohani dan sosial; maju berarti mempunyai keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampua n diri dan keluarganya; berjiwa mandiri adalah memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku untuk tidak tergantung kepada orang lain; jumlah anak yang ideal adalah jumlah anak yang diinginkan dan dianggap sesuai dengan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial, berwawasan berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat; bertanggungjawab berarti memiliki kepedulian terhadap masyarakat untuk pemenuhan keluarga, harmonis, mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi diantara semua anggota keluarga, bertaqwa adalah taat beribadah dan melaksanakan agamanya.

Keberdayaan keluarga ini memiliki variabel–variabel yang sama seperti yang disampaikan Achord et al (1986:34) merinci komponen dari kekuatan keluarga yakni komunikasi, kesejahteraan, komitmen, penghargaan, waktu kebersamaan. McCubbin (1987) menyatakan sebagai berikut komunikasi, penghargaan, kesadaran keunggulan, kesehatan. Krysan, Moore dan Zill (1990:2-3) menjelaskan bahwa keluarga yang sukses (succesful family) adalah keluarga yang memiliki kekuatan yang dicirikan oleh adanya: (1) Komunikasi, (2) Dorongan kepada anggota keluarga, (3) Komitmen kepada keluarga, (4) Orientasi beragama, (5) Keeratan hubungan sosial, (6)


(34)

Kemampuan beradaptasi, (7) Pengungkapan penghargaan, (8) Peran yang jelas, dan (9) Kebersamaan.

Penelitian yang telah dilakukan di Universitas Nebraska-Lincoln dan universitas lain di USA mengambil sampel dari 17.000 anggota keluarga di 27 negara, mendapatkan enam kriteria untuk menggambarkan komponen kekuatan keluarga (Nick Stinnett dan Jhon Defrain, 1985) yaitu:

(1) Apresiasi dan perhatian

Apresiasi dan Perhatian bermakna bahwa seluruh anggota keluarga sangat memperhatikan satu sama lain, dan tidak ragu-ragu untuk menunjukkan perasaannya kepada yang lain.

(2) Komitmen

Komitmen artinya bahwa seluruh anggota keluarga menunjukkan komitmen yang kuat satu dengan yang lain, sangat cerdas, cermat dan peka dalam melihat prioritas aktivitas sehingga aktivitas apapun yang dapat merusak waktu keluarga dapat dihindarkan. Komitmen juga menggambarkan cinta yang spesial yang kita miliki untuk yang lain. Cinta yang menunjukkan kesiapan untuk berkorban, keyakinan yang mendalam dan sesuatu yang dapat menggerakkan hati untuk memberikan yang terbaik kepada orang-orang yang kita sayangi.

(3) Komunikasi positif

Komunikasi adalah salah satu ukuran kualitas dari kekuatan keluarga. Keterbukaan, kejujuran, berorientasi kepada ketulusan hati, dan kejelasan komunikasi. Namun kuncinya adalah pada komunikasi yang positif, artinya adanya berbagai perasaan, saling melengkapi tidak ada saling mencela, bersedia untuk kompromi, adanya persetujuan untuk ketidaksetujuan namun bukan berarti kita kalah atau menang.

(4) Menikmati waktu kebersamaan

Waktu kebersamaan bermakna bagaimana seluruh anggota keluarga menghabiskan dan memiliki waktu kebersamaan baik secara kuantitas dan kualitas. Ini juga berarti bahwa seluruh anggota keluarga terlibat secara bersama-sama dalam berbagai aktivitas dengan senang hati dan penuh kegembiraan. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa dari 1500 siswa yang ditanya, ”Apa yang menurut mereka membuat sebuah keluarga bahagia?” beberapa menjawab uang, mobil, rumah mewah, TV set atau Disney World membuat sebuah keluarga bahagia. Ternyata, kebanyakan anak-anak menjawab


(35)

bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang melakukan sesuatu bersama -sama, keluarga yang menikmati waktu kebersamaan mereka.

(5) Kondisi spiritual yang baik

Agama atau spiritualitas adalah merupakan salah satu yang sangat penting dalam keluarga. Kondisi spiritual yang baik menjelaskan bagaimana tingkat penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga, yang tentunya akan terlihat dari ketaatan dalam menjalankan ibadah, dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai rujukan berperilaku anggota keluarga dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungannya.

(6) Mengatasi stress dan krisis dengan sukses

Keluarga yang kuat tidaklah bermakna bahwa keluarga tersebut imun terhadap krisis dan stress tetapi memberikan gambaran bahwa keluarga memiliki kemampuan beradaptasi dengan berbagai masalah yang dapat mengacaukan dan merusak siklus kehidupan keluarga, lebih jauh lagi mereka mampu mengatasi keadaan yang krisis dan lingkaran kehidupan dengan kreatif dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah kesulitan atau masalah sebelum semuanya terjadi dan bagaimana secara bersama -sama melakukan perubahan di dalam kehidupan.

Berkaitan dengan kekuatan keluarga Covey (1993:76), mengembangkan tujuh kebiasaan dalam keluarga dengan istilah me ke we. Lahirlah kata beautiful, yang digunakan untuk menggambarkan pemeliharaan budaya keluarga: (1) para anggota keluarga secara mendalam, tulus dan jujur menyenangi satu sama lainnya, (2) mereka saling menukar keyakinan dan nilai-nilai, dan (3) mereka berinteraksi dalam cara-cara kerja yang nyata yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang dibangun dalam seluruh kehidupan.

Keindahan budaya keluarga merupakan (1) budaya we, sebagai suatu jenis kebudayaan yang memungkinkan anda bekerja bersama untuk mereaksi dan bergerak ke arah nasib orang lain dan memberikan konstribusi, dan (2) juga memungkinkan anda memiliki kekuatan untuk menolak cuaca yang bergelora di luar kapal keluarga.

Tujuh kebiasaan keluarga yang efe ktif itu adalah sebagai berikut: (1) Menjadi agen pembaharu dalam keluarga (Be proactive)

Keluarga dan para anggota bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri dan mempunyai kebebasan untuk memilih berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai berdasarkan kondisi atau suasana hati. Mereka mengembangkan dan menggunakan empat anugerah kemanusiaan yang unik (kesadaran diri, kata hati,


(36)

independensi), dan mengambil pendekatan untuk menciptakan perubahan. Mereka memilih bukan untuk menjadi korban, bersifat reaktif atau mencela orang lain.

(2) Memulai dari sebuah visi (Begin with the end in mind)

Keluarga membangun masa depannya sendiri melalui upaya menciptakan visi dan tujuan untuk berbagai persoalan besar atau kecil. Mereka tidak hanya hidup dari hari ke hari tanpa tujuan yang jelas dalam pikirannya. Bentuk kreasi mental yang paling tinggi adalah pernyataan misi pernikahan atau keluarga.

(3) Menjadikan keluarga sebagai prioritas (Put first things first)

Keluarga mengorganisasikan dan melaksanakan prioritas-prioritasnya yang sangat penting, seperti yang diekspresikan dalam menyatakan misi pribadi, pernikahan dan keluarganya. Mereka mempunyai waktu untuk setiap minggunya dan secara reguler satu sama lainnya sudah mengontrak (menjanjikan) waktu tersebut.

(4) Bergerak dari me ke we (Think win-win)

Para anggota keluarga berpikir dalam tatanan yang saling menguntungkan. Mereka memelihara dukungan dan sikap saling menghormati (mutual respect). Mereka berpikir secara interdependensi, yaitu dengan budaya we bukan me dan mengembangkan kesempatan win-win. Mereka tidak berpikir secara selfishily (win-lose = menang–kalah) atau seperti martir (lose-win = kalah–menang). (5) Memecahkan masalah keluarga melalui komunikasi yang empatik (Seek first to

understand then to be understood)

Para anggota keluarga pertama kali mendengarkan secara intensif untuk memahami pikiran dan perasaan anggota lainnya sehingga mampu berkomunikasi secara efektif terhadap pikiran dan perasaannya sendiri. Melalui pemahamannya, mereka membangun hubungan kepercayaan dan kasih sayang yang mendalam.

(6) Bersinergis (Synergize)

Para anggota mengembangkan kekuatan-kekuatan keluarga dan para anggotanya melalui sikap menghormati dan penilaian terhadap perbedaan masing-masing, dalam hal ini keutuhan menjadi lebih penting daripada sejumlah bagian-bagian. Mereka membangun saling memecahkan masalah dan kesempatan untuk memahami budaya keluarga. Mereka memelihara spirit keluarga dalam kasih sayang, belajar dan saling memberi kontribusi atau (sumbangan).


(37)

(7) Memperuncing gergaji: memperbaharui spirit keluarga melalui tradisi (Sharpen the saw)

Keluarga mengembangkan efektivitasnya melalui pembaharuan pribadi dan keluarga secara reguler dalam empat bidang dasar kehidupan, yaitu (1) Fisik (olahraga, memelihara gizi, mengelola stres); (2) Sosial-emosional (menjalin persahabatan, memberikan bantuan, mendengarkan orang lain secara empatik dan menciptakan sinergi); (3) Spiritual (berdoa, sholat, membaca kitab suci); dan (4) Mental (membaca, menulis, mengembangkan bakat dan belajar keterampilan).

Untuk mengembangkan atau menanamkan ke tujuh kebiasaan tersebut, Covey (1993:92) mengajukan empat prinsip peranan keluarga yaitu:

(1) Model (Modelling, example of trustworthness). Orang tua adalah contoh atau model bagi anak. Tidak dapat disangkal bahwa contoh dari orang tua mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi anak. Ketika Abert Schweitzer ditanya tentang bagaimana mengembangkan anak, dia menjawab: “Ada tiga prinsip, yaitu pertama contoh, kedua contoh dan ketiga contoh.” Orang tua merupakan model yang pertama dan terdepan bagi anak (baik positif maupun negatif) dan merupakan pola bagi way of life anak. Cara berpikir dan berbuat anak dibentuk oleh cara berpikir dan berbuat orang tuanya. Melalui modelling orang tua bagi anak dipandang sebagai suatu hal yang sangat mendasar, suci dan perwujudan spiritual. Melalui modelling ini juga anak akan belajar tentang sikap pro-aktif, sikap respek, dan kasih sayang.

(2) Pengawasan (Monitoring) yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, juj ur, pribadi dan tidak bersyarat. Kedalaman dan kejujuran atau keikhlasan memberikan perlindungan ini akan mendorong orang lain untuk bersikap terbuka dan mau menerima pengajaran, karena dalam diri mereka telah tertanam perasaan percaya. Orang tua merupakan mentor pertama bagi anak yang menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang secara mendalam, baik secara positif maupun negatif, orang tua mau tidak mau tetap menjadi mentor bagi anak. Orang tua menjadi sumber pertama bagi perkembangan perasaan anak: rasa aman atau tidak aman, dicintai atau dibenci. Ada lima cara untuk memberikan kasih sayang terhadap orang lain yaitu (1) mendengarkan hati orang lain dengan hati sendiri (Empathizing), (2) berbagi


(38)

wawasan, emosi dan keyakinan (Sharing), (3) memberikan ketegasan (penguatan) kepada orang lain dengan kepercayaan, penilaian, konfirmasi, apresiasi dan dorongan (Affirming), (4) mendoakan orang lain secara ikhlas dari jiwa yang paling dalam (Praying), dan (5) berkorban untuk diri orang lain (Sacrificing). (3) Pengaturan (Organizing), yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim

kerja dan kerja sama antar anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas atau memenuhi kebutuhan keluarga. Peran organizing adalah untuk meluruskan struktur dan sistem keluarga dalam rangka me mbantu menyelesaikan hal-hal yang penting.

(4) Pendidik (Teaching). Orang tua berperan sebagai guru (pengajar) bagi anak-anaknya (anggota keluarga) tentang hukum-hukum dasar kehidupan. Melalui pengajaran ini, orang tua berusaha memberdayakan (empowering) prinsip-prinsip kehidupan, sehingga anak memahami dan melaksanakannya. Mereka juga mempercayai prinsip tersebut dan juga dirinya sendiri, sebab mereka telah terintegrasi. Artinya, ada keseimbangan antara prinsip-prinsip yang universal dengan kebutuhan dirinya. Peran orang tua sebagai guru adalah menciptakan conscious competence pada diri anak, yaitu mereka mengalami tentang apa yang mereka kerjakan dan alasan tentang mengapa mereka mengerjakan itu.

Peran Penyuluhan dalam Memberdayakan Keluarga

Penyuluhan didefenisikan sebagai proses pendidikan non formal bagi orang dewasa dan keluarganya dalam rangka mengubah perilaku masyarakat sehingga mampu menolong dirinya sendiri menuju peningkatan kesejahteraan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan pendidikan luar sekolah yang bertujuan : (a) memberdayakan sasaran, (b) meningkatkan kesejahteraan secara mandiri, dan (c) membangun masyarakat madani.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwasannya pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari penyuluhan. Asngari (2001) menggambarkan proses penyuluhan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia pembangunan terlihat pada Gambar 1, sebagaimana dicontohkan pada bidang pertanian.


(39)

Gambar 1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)

Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan, hal ini sesuai dengan ”falsafah kontinyu” : yang dimulai dengan tujuan agar klien tahu, mau, dan mampu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Hal ini harus dimulai dengan proses penyadaran agar mengetahui masalah yang dihadapi, mau berubah, dan mampu memecahkan masalah.

Perubahan perilaku yang menjadi penentu pelaksanaan fungsi dan keberdayaan keluarga adalah terkait dengan kualitas SDM keluarga dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu disusun suatu program penyuluhan yang dapat mengubah perilaku keluarga ke arah yang lebih baik.

Terdapat tujuh falsafah yang dapat menyukseskan keberhasilan penyuluhan (Asngari,2001) yaitu : (1) Falsafah pendidikan, (2) Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan keadaan individu klien.

Pendapatan Meningkat Mengubah

perilaku : 1. Pengetahuan 2. Sikap mental 3. Ketrampilan

Tahu à

MauàMampu memanfaatkan IPTEK

Bertanu lebih baik (Better

Farming)

Berusahatani lebih baik

(Better Bussiness)

Penyuluhan Pembangunan

Sarana usaha yang memadai

(agro support)

Iklim usaha yang kondusif

(agro -climate)

Hidup Lebih baik

Hidup Lebih sejahtera

Masyarakat lebih makmur Tujuan jangka panjang

Tujuan jangka pendek


(40)

Strategi Penyuluhan Partisipatif untuk Keberdayaan Keluarga

Mengacu pada pengertian pemberdayaan keluarga yang telah diuraikan sebelumnya,dan melihat terjadinya perbedaan tingkat pendidikan suami -istri, tingkat pendapatan, usia suami-istri menikah, motivasi pernikahan, gaya hidup, jumlah anak dan tanggungan, tingkat persepsi peran orangtua, dan besarnya pengaruh lingkunga dan perbedaaan tingkat pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga dan juga tingkat keberdayaan keluarga, maka penelitian mengusulkan strategi pemberdayaan dengan meningkatkan karakteristik keluarga dan perbaikan lingkungan dan peningkatan pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga agar tercapai keberdayaan keluarga yang seimbang baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis keluarga melalui proses pembelajaran yang berkesinambungan.

Pokok Pokok Pikiran mengenai penyuluhan pembangunan yang menunjang pembangunan keberdayaan keluarga di masa yang akan datang haruslah sesuai dengan paradigma baru penyuluhan pembangunan. Penyuluhan adalah jasa pendidikan yang beroerientasi pada kepuasan pelanggan (Slamet, 2003). Rumusan pokok-pokok tersebut dapat terlihat pada Tabel 1.

Agar dapat memenuhi pokok-pokok pikiran tentang strategi penyuluhan keberdayaan keluarga, maka hendaknya didasarkan pada :

(1) Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, bahwasannya penyuluhan adalah proses pendidikan orang dewasa, maka dalam pelaksanan pendidikan harus memperhatikan karakteristik orang dewasa. Proses mengorganisasikan pengalaman belajar akan digunakan teori-teori belajar orang dewasa, misalnya: Teori belajar Bebas dari Carl Roger, Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura, dan sebagainya. Hal tersebut akan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan orang dewasa.

(2) Intervensi Komunitas Terencana, bahwasannya pemberdayaan keluarga adalah salah satu bentuk pengembangan sekelompok masyarakat, sehingga proses perubahan yang dibutuhkan untuk menuju keberdayaan keluarga diperlukan pendekatan komunitas.


(41)

Tabel 1. Pokok Pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Partisipatif untuk Keberdayaan Keluarga

Pokok Pikiran Penyuluhan yang Kurang Partisipatif Penyuluhan yang Patisipatif a. Ruang Lingkup Penyuluhan terhadap keluarga hanya

sekedar menyampaikan informasi keluarga agar keluarga meningkatkan pendapatannya

Penyuluhan keluarga merupakan proses perubahan kualitas ,

peningktan fungsi AGIL karakteristik keluarga

b. Tujuan • Meningkatkan pendapatan

• Transfer informasi

Perubahan karakteristik keluarga dan lingkungan di luar keluarga untuk dapat memecahkan masalah keluarga, peningkatan pelaksanaan fungsi keluarga, tercapainya keberdayaan keluarga c. Pendekatan • Top Down Planning perencanaan

ditetapkan dari atas / policy maker, dengan berdasarkan pada kebutuhan dan keinginan policy maker

• Non partisipatif, tidak melibatkan keluarga dalam kegiatan

perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

• Bersifat monologis, abstrak, dan verbal

Bottom up Planning, melakukan perencanaan dari bawah berdasarkan kebutuhan keluarga

• Partisipatif, melibatkan keluarga, mulai dari merencanakan, implementasikan, dan mengevaluasi

• Bersifat dialogis, nyata, dan terapan

d. Peran Penyuluh • Source of knowledge, penyuluh sebagai sumber pengetahuan

Director, mengarahkan keluarga untuk melakukan suatu kegiatan sesuai petunjuknya

Agen Pemerintah, menjalankan tugas sesuai dengan program yang dibuat seragam dalam skala nasional.

Evaluator, semata-mata sebagai tim penilai keberhasilan program

Problem solver, berperan sebagai pemecah masalah keluarga

Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa

Fasilitator, pendamping bagi keluarga

Motivator, memotivasi keluarga untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga hingga mampu menolong dirinya sendiri

Advocator, sebagai konsultan dalam menangani masalah keluarga

e. Peran Keluarga • Obyek penyuluhan

• Penerima informasi

• Subyek Penyuluhan

• Pengolah informasi f. Teknik

Penyuluh

• Ceramah

• Presentasi tulisan atau gambar

• Tanya Jawab

• Diskusi kelompok

• Simulasi

• Demonstrasi

• Praktek Kerja

• Kunjungan lapangan g. Outcome • Ketergantungan terhadap

penyuluhan

• Peningkatan kualitas karakteristik keluarga.

• Peningkatan fungsi AGIL dengan seimbang.

• Peningkatan keberdayaaan keluarga

• Sustainability (Perubahan yang berkelanjutan)

(3) Partisipatif : Proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif yang memerlukan keterlibatan klien secara interaktif dan maksimal dalam kegiatan perencanaan,


(42)

pelaksanaan, pemanfaatan, dan penilaian dengan tetap memperhatikan prinsip lokalitas dan kemampuan klien.

(4) Berorientasi pada kebutuhan keluarga : kebutuhan keluarga merupakan fokus kegiatan penyuluhan bukan kebutuhan program atau penyuluh), sehingga kelemahan-kelemahan program pemberdayaan masa lalu yang berorientasi pada kebutuhan nasional bisa dikaji kembali untuk diarahkan pada kebutuhan keluarga. (5) Pendekatan kelompok : penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok

bukan karena prinsip efisiensi, tetapi agar terjadi interaksi antar keluarga yang sekaligus menjadi forum belajar dan pengambilan keputusan di antara mereka. Selain itu, proses difusi inovasi juga lebih mudah terjadi dengan pendekatan kelompok

Tingkat Pendapatan Keluarga dan Tingkat Pendidikan

Perbedaan sumberdaya ekonomi keluarga disebabkan perbedaan tingkat pendapatan dan pendidikan keluarga juga akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi keluarga, terutama masalah pola relasi antar orang tua dan anak. Maccoby dan Mcloyd (Sigelman dan Shaffer, 1995:396-397) telah membandingkan orang tua kelas menengah dan atas dengan kelas bawah atau pekerja. Hasilnya, menunjukkan bahwa orang tua kelas bawah atau pekerja cenderung: (a) sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, (b) lebih restriktif (keras dan otoriter), (c) kurang memberikan argumentasi kepada anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberi kasih sayang kepada anak.

Pikunas (1976:72) mengemukakan pendapat Becker, Deutsch, Kohn, dan Sheldon tentang kaitan antara kelas sosial dengan cara atau teknik orang tua dalam mengatur (mengelola/memperlakukan) anak, yaitu bahwa:

(1) Kelas Bawah (Lower Class): cenderung lebih keras dalam toilet training dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual.

(2) Kelas Menengah (Middle Class): cenderung lebih memberikan pengawasan, dan perhatiannya sebagai orang tua. Para ibunya merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau pelatihan profesional.


(43)

(3) Kelas Atas (Upper Class): cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetika. Anak-anaknya cenderung memiliki rasa percaya diri, dan cenderung bersikap memanipulasi aspek realitas.

Adapun pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian anak adalah bahwa orang tua dari status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas; kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreativitas anak.

Conger (1977) dan perkumpulannya mengemukakan bahwa orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi masalah finansialnya, cenderung menjadi depresi, dan mengalami konflik keluarga, yang akhirnya mempengaruhi masalah anak, seperti kurang harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami masalah penyesuaian diri (karena depresi dan agresi).

Tingkat Keberagamaan Keluarga

Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah swt, adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dalam kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama) atau memiliki fitrah, kemudian manusia dijuluki sebagai Homo Devinans, dan Homo Religious, yaitu makhluk yang bertuhan atau beragama.

Fitrah beragama ini merupakan kemampuan dasar (disposisi) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, tingkat keberagamaan manusia sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.” Hadist ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak.

Jiwa beragama atau kesadaran beraga ma merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direflesikkan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah maupun


(44)

hablumminannas. Perkembangan tingkat keberagamaan seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan. Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia mempunyai fitrah (pembawaan) beragama (homo religious).

Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan kepada firman Allah:

(1) Surat Al-‘Araf ayat 172 yang artinya:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat tidak mengatakan, sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

(2) Surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

(3) Surat Asy-Syamsu ayat 8, yang artinya:

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan (fujur) dan ketakwaannya.”

Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang memberikan rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Secara umum kriteria kematangan dalam kehidupan beragama itu adalah sebagai berikut :

(1) Memiliki kesadaran bahwa setiap perilakunya (yang tampak maupun tersembunyi) tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kesadaran ini terefleksi dalam sikap dan perilakunya yang jujur, amanah, istiqomah dan merasa malu untuk berbuat yang melanggar aturan Allah.

(2) Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari ibadah tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.


(1)

Nilai Koefisien Jalur antara Peubah Bebas terhadap Keberdayaan Keluarga dan Fungsi AGIL di Pedesaan

Peubah Bebas

Keberdayaan

Keluarga

Fungsi Adaptasi

Fungsi Pencapaian

Tujuan

Fungsi Integrasi

Fungsi Latensi

Koefisien

Jalur

Nilai -P

Koefisien

Jalur

Nilai -P

Koefisien

Jalur

Nilai -P

Koefisien

Jalur

Nilai -P

Koefisien

Jalur

Nilai -P

Pendidikan Suami (X1.1)

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Pendidikan Istri (X1.2)

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Tingkat pendapatan Keluarga (X1.3)

0.167

0.000

0.565

0.000

0.497

0.000

0.359

0.000

0.281

0.000

Usia Suami Menikah (X1.4)

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Usia Istri Menikah (X1.5)

-

-

-

-

-

-

-

-

Jumlah Anak (X1.6)

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Jumlah Tanggungan (X1.7)

-0.076

0.007

-

-0.283

0.000

-0.244

0.000

-

-

Motivasi Pernikahan (X1.8)

-

-

0.160

0.001

0.271

0.000

0.216

0.000

0.120

0.041

Persepsi Peran Orang Tua (X1.9)

-

-

0.264

0.000

0.207

0.000

0.158

0.005

0.135

0.034

Gaya Hidup (X1.10)

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Isu Keluarga di Tempat Kerja (X2.1)

-

-

0.112

0.013

-

-

-

-

-

-

Kondisi lingkungan tempat tinggal

(X2.2)

0.040

0.040

0.229

0.000

-

-

0.266

0.000

0.236

0.000

Akses terhadap informasi (X2.3)

-

-

-

-

-

-

-0.243

0.000

Fungsi Adaptasi (Y1.1)

0.195

0.000

-

-

-

-

-

-

-

-

Fungsi Pencapaian Tujuan (Y1.2)

0.173

0.001

-

-

-

-

-

-

-

-

Fungsi Integrasi (Y1.3)

0.452

0.000

-

-

-

-

-

-

-

-


(2)

Lampiran 5. Ringkasan Sistematika Penulisan

Latar Belakang

Tujuan Metode Tinjauan Pustaka

Hipotesis Sub

Bab Analisis

Simpulan

Rumusan Hasil Simpulan Saran

Rendahnya kualitas SDM keluarga (Fakta : HDI rendah, masalah sosial)

Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga Deskriptif, one way anova, analisis korelasi dan regresi Talcott Parsons,Fagan, Berger, Lawrence Green, Asngari, Slamet Karaktersitik keluarga

(pendidikan suami, pendidikan istri, tingkat pendapatan keluarga, usia suami menikah, usia istri menikah, jumlah anak, jumlah tanggungan, motivasi pernikahan, persepsi peran orang tua, gaya hidup) dan lingkungan (kondisi lingkungan tempat tinggal, isu keluarga di lingkungan tempat kerja, dan akses terhadap informasi) berpengaruh nyata terhadap pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga (fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi).

diterima Tabel 44-51, Gambar

4-7

fungsi AGIL dalam keluarga masih belum tinggi. Faktor yang mempengaruhi fungsi AGIL adalah pendidikan istri, tingkat pendapatan keluarga, usia suami menikah, usia istri menikah, jumlah tanggungan, motivasi pernikahan, persepsi peran orang tua, gaya hidup, kondisi lingkungan tempat tinggal, isu keluarga di lingkungan tempat kerja, dan akses terhadap informasi Agar pelaksanan Fungsi AGIL keluarga dapat meningkat maka perlu dilakukan penyuluhan yang berorientasi terhadap perubahan karakteristik keluarga dan perbaikan lingkungan Rendahnya keberdayaan keluarga Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaankeluarga Deskriptif, one way anova, analisis korelasi, regresi,dan analisis jalur

Krysan & Zill, Nick Stinnet&Jhon, Judson Swihart, Talcott Parsons, Girvan Karaktersitik keluarga (pendidikan suami, pendidikan istri, tingkat pendapatan keluarga, usia suami menikah, usia istri menikah, jumlah anak, jumlah tanggungan, motivasi pernikahan, persepsi peran orang tua, gaya hidup), lingkungan (kondisi lingkungan tempat tinggal, isu keluarga di lingkungan tempat kerja, dan akses terhadap informasi), dan fungsi AGIL dalam keluarga (fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) berpengaruh nyata terhadap keberdayaan keluarga.

diterima Tabel 52-56, Gambar 8 dan 9

Keberdayaan keluarga masih belum tinggi. Faktor yang mempengaruhi keberdayaan keluarga adalah pendidikan istri, tingkat pendapatan keluarga, usia suami menikah, usia istri menikah, jumlah tanggungan, motivasi pernikahan, persepsi peran orang tua, gaya hidup, kondisi lingkungan tempat tinggal, isu keluarga di lingkungan tempat kerja, dan akses terhadap informasi, dan keempat fungsi AGIL

Tingkat Keberdayaan yang masih belum tinggi, maka perlu ditingkatkan melalui pendekatan kekuatan nilai (integrasi) dan pendekatan ekonomi (adaptasi) karena memang kekuatan materi atau ekonomi memang sesuatu yang tidak bisa terelakkan dalam pemenuhan kebutuan pokok manusia.


(3)

Latar Belakang

Tujuan Metode Tinjauan Pustaka

Hipotesis Sub

Bab Analisis

Simpulan

Rumusan Hasil Simpulan Saran

Strategi pemberdayaan keluarga selama ini lebih berorientasi pada masalah ekonomi dan belum sepenuhnya melibatkan partisipasi dari keluarga, dan bersifat top down Strategi Pemberdayaan Keluarga Analisis jalur Asngari, Slamet Gambar 10

*Strategi yang paling efektif untuk

pemberdayaan keluarga di perkotaan adalah meningkatkan

pelaksanaan fungsi AGIL dalam keluarga terutama peningkatan fungsi Integrasi dan fungsi Adaptasi melalui peningkatan kualitas karakteristik keluarga yakni tingkat pendidikan istri dan didukung oleh lingkungan melalui peningkatan akses

informasi. * Strategi yang paling efektif untuk pedesaan adalah peningkatan fungsi keluarga, terutama fungsi integrasi melalui peningkatan karakteristik keluarga terutama peningkatan pendapatan keluarga dan didukung oleh lingkungan yakni kondisi tempat tinggal

Penyuluhan Partisipatif untuk keberdayaan Keluarga yang melibatkan lembaga keagamaan Lokal, dimana LSM atau Ormas yang melakukan proses pendampingan atau pembina bagi lembaga lokal keagamaan haruslah didukung dan berkoordinasi dengan Pemerintah, non pemerintah, perguruan tinggi dalam proses penyelenggaraan program pemberdayaan keluarga.


(4)


(5)


(6)