Peraturan Hukum Internasional
C.2. Peraturan Hukum Internasional
Konvensi serta deklarasi PBB yang terkait dengan Perlindungan Buruh Migran, yaitu:
UN Treaties
Kovenan/Konvensi PBB
CCPR International Covenant on Civil and Kovenan Hak Sipil dan Political Rights
Politik ESCR
International Covenant on Economic, Kovenan Hak ekonomi, Social and Cultural Rights
social dan budaya CERD
International Convention on the Konvensi menentang Elimination of All Forms Racial
diskriminasi rasial Discrimination CEDAW
Convention on the Elimination of all Convensi menentang forms of Discrimination Against Women segala bentuk diskrimi- nasi terhadap perempuan CRC
Convention on the Rights of Child Konvensi hak anak CAT
Convention Against Torture Konvensi menentang Penyiksaan
UDHR Universal Declaration of Human Rights Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
DEVAW Declaration on The Elimination of Deklarasi menentang Violence Against Women
Kekerasan Terhadap Perempuan
Sementara beberapa Konvensi yang belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia adalah:
CSTP Convention for the Suppression of Konvensi menentang Traffic in Person of the Exploitation of
trafficking manusia untuk the Prostitution of others
prostitusi dan bentuk- bentuk lain.
CADE Convention Against Discrimination in Konvensi menentang Education
diskriminasi dalam pendidikan
CMW International Convention on the Konvensi PBB untuk Protection of the Rights of All Migrant
Perlindungan Hak Semua Workers and Members of Their Families Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya.
DHRNN Declaration on the Human Rights of Deklarasi Hak Asasi Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live
SOLIDARITAS PEREMPUAN
Indonesia telah meratifikasi 8 Konvensi Internasional yang menyangkut kehidupan Buruh Migran Perempuan (BMP) sebagai
bagian dari masyarakat yang bermartabat akan hak asasinya sebagai manusia. Namun berdasarkan penelitian dan pengalaman yang ada, ternyata terdapat beberapa spesifikasi masalah pada kasus BMP Indonesia yang belum diatur dalam 8 Konvensi Internasional yang telah diratifikasi tersebut. Beberapa kasus yang ditemukan di lapangan dan merupakan masalah khas yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia ini umumnya adalah kasus-kasus pada fase Pra- Keberangkatan (Pre-Departure), yakni:
a. Biaya rekrutmen yang terlalu mahal
b. Pemberian informasi yang salah
c. Kegagalan pemberangkatan ke luar negeri oleh PJTKI
d. Tidak diberikannya informasi dan pelatihan yang cukup di tempat penampungan Spesifikasi kasus sebagaimana yang telah disebutkan diatas
memang tidak mungkin diatur secara mendetil pada Konvensi Internasional, namun umumnya Konvensi Internasional akan menetapkan batasan-batasan maupun landasan yang mesti dipatuhi
oleh Negara peserta yang meratifikasi Konvensi tersebut. Komitmen pemerintah yang meratifikasi dapat diminta pertanggung-
jawabannya secara lokal maupun internasional. Saat ini, masalah- masalah diatas diatur dalam UU No.39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan aturan pelaksana berupa sejumlah Peraturan Menteri. Apabila ditemukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, maka proses hukum dapat dilakukan dalam tingkat nasional, namun akan lebih baik apabila pemerintah Indonesia dapat diminta berkomitmen melindungi para buruh migran.
Beberapa Peraturan Hukum Internasional yang paling signifikan
MENGUAK PELANGGARAN HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA MENGUAK PELANGGARAN HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA
a. Convention for the Suppression of Traffic in Person of the Exploitation of the Prostitution of others (CSTP) atau Konvensi untuk Mengakhiri Perdagangan Manusia akibat Eksploitasi Prostitusi.
b. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (MWC) atau Konvensi Internasional atas Perlindungan Hak dari Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarga mereka.
c. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live (DHRNN) atau Deklarasi atas HAM bagi Individu yang Bukan Warga Negara di Negara
dimana Mereka Tinggal. Seperti yang telah diketahui secara umum, konvensi yang telah
berpuluh tahun diratifikasi oleh pemerintah Indonesia saja (contoh: CEDAW) hingga saat ini implementasinya masih dilaksanakan
setengah hati. Maka entah bagaimana masalah Buruh Migran di negara ini akan diselesaikan nantinya apabila kasus yang ditemukan di lapangan saja sudah sangat urgen untuk dilindungi, namun kesadaran pemerintah Indonesia untuk berkomitmen dengan dunia Internasional dalam memperhatikan nasib buruh migran tidak segera terbangun.
Berdasarkan konvensi yang telah diratifikasi dan keseluruhan kasus yang ditemukan, kasus yang paling kerap terjadi adalah pada fase ‘Setelah Kedatangan’ buruh migran ketempat tujuan mereka bekerja (Post Arrival), dan yang terbanyak kedua adalah pada fase Pra-Keberangkatan (Pre-Departure). Pada fase Post Arrival, kasus yang paling kerap dihadapi oleh buruh migran adalah pelanggaran Kekerasan, baik secara fisik, psikologis hingga seksual. Kasus semacam itu dilakukan dengan perbuatan dari yang paling ringan
SOLIDARITAS PEREMPUAN
Aturan konvensi internasional kedua yang paling banyak dilanggar adalah International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR). Kovenan ini pada dasarnya mengatur bahwa setiap manusia di dunia berhak atas hak mereka masing-masing sebagai warga sipil di suatu Negara. Hak-hak sipil itu termasuk kewajiban Negara untuk memberikan warganya jaminan atas Hak Asasi Manusia, hak politik, dan kebebasan untuk menentukan sendiri harga diri mereka dalam mencari nafkah. Pasal-Pasal dalam konvensi ini yang melindungi buruh migrant dari perbuatan kekerasan terutama pada fase Post Arrival adalah:
Psl. 2 = perlindungan negara terhadap warga sipilnya tanpa
membedakan Psl. 3 = kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan
laki-laki Psl. 6 = perlindungan hukum atas hak untuk hidup
Psl. 7 = tak seorangpun berhak untuk melakukan kekerasan dan berbuat keji Psl. 8 = tak ada yang boleh bekerja dengan terpaksa Psl. 9 = hak atas kebebasan dan keamanan Psl.12= kebebasan untuk bergerak, berpindah dan memilih
tempat tinggal Psl.17= hak atas privasi dan kehidupan berkeluarga yang
bebas dari interfensi
MENGUAK PELANGGARAN HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA
Setelah kovenan itu, konvensi ketiga yang paling banyak dilanggar adalah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ESCR). Mayoritas dari aturan yang ada dalam covenant ini memang masih sangat terkait dengan aturan yang ada dalam kovenan sebelumnya/ CCPR. Pasal dalam konvensi ini yang seharusnya dapat melindungi buruh migran adalah:
Psl. 2 = negara berkembang dengan mempertimbangkan
HAM dan sumber daya yang ada, harus terjamin hak ekonominya
Psl.3 = hak atas ekonomi, sosial dan budaya harus dijamin
diberikan secara setara bagi laki-laki dan perempuan Psl. 7 = hak tiap orang untuk mendapat keadilan dan kondisi
bekerja yang layak Psl. 9 = hak tiap orang atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial Psl.12= hak atas standar yang baik untuk kesehatan fisik dan mental Pelanggaran yang banyak terjadi dalam fase Post Arrival lagi-lagi menjadi indikasi yang menunjukkan bahwa, meskipun Indonesia telah menyanggupi kewajibannya setelah meratifikasi berbagai macam konvensi Internasional, tapi Negara tidak sanggup memberikan perlindungan yang baik apabila kemudian para buruh migran tersebut terinjak hak-haknya. Sebetulnya situasi seperti ini bukan lagi hal baru yang mengejutkan. Kesesuaian antara aturan diatas kertas dengan implementasi di lapangan selalu menjadi masalah klasik yang dihadapi oleh Indonesia. Nampaknya kebijakan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi deklarasi Internasional masih dimotifasi oleh keinginan agar mendapat citra baik di masyarakat Internasional, dan belum pada keseriusan dalam menerapkan implementasinya.
SOLIDARITAS PEREMPUAN
Pelanggaran kedua yang paling banyak terjadi adalah pada fase Pre-Departure. Pada kasus-kasus yang telah dikumpulkan dan
dipelajari, tindakan yang biasa dilakukan disini adalah pelanggaran secara administratif, seperti biaya rekrutmen legal yang terlalu mahal, pemalsuan nama atau identitas lain dalam passport dan tidak diberikannya visa bekerja. Selain itu juga terdapat perlakuan kekerasan verbal maupun fisik oleh petugas PPTKIS, serta pelanggaran terhadap hak-hak kesehatan selama masih berada di penampungan. Kasus-kasus pada fase ini adalah kasus yang sebelumnya disebutkan termasuk dalam area yang belum dilindungi oleh konvensi Internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Dari keseluruhan tindakan itu, yang paling banyak melawan aturan konvensi Internasional yang telah diratifikasi Indonesia adalah pelanggaran terhadap hak-hak kesehatan terutama tidak diberikannya informasi dan pelatihan yang cukup terhadap para calon buruh migrant sebelum diberangkatkan ke Negara tujuan. Perbuatan tersebut melanggar 4 pasal dalam ESCR yakni pasal 2,
3, 6 dan Pasal 7. Isi dari pasal-pasal tersebut sudah dijelaskan diatas namun Pasal 6 belum. Pasal 6 ESCR pada intinya mengatur tentang
Hak tiap orang untuk bekerja sesuai pilihan dan keputusannya sendiri. Setelah itu baru dilanjutkan masing-masing 1 pasal untuk
konvensi CEDAW, CRC, UDHR, dan DEVAW. Sementara fase Pemulangan (Reintegration) sebagai fase terakhir, berdasarkan temuan penanganan kasus SP adalah fase yang mengalami jumlah pelanggaran paling sedikit. Kasus pada fase ini seringnya berkaitan dengan pemulangan buruh migran secara paksa baik oleh negara penerima karena tuduhan melakukan prostitusi, maupun oleh majikan dengan alasan sudah tersedianya pekerja baru sebagai pengganti. Pada situasi yang disebut terakhir, buruh
MENGUAK PELANGGARAN HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA MENGUAK PELANGGARAN HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA