Kajian Filologis

A. Kajian Filologis

Kajian filologis memiliki tujuan menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan obyek penelitian pada saat ini, berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. Kajian ini terdiri atas lima bagian, yakni: deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, serta terjemahan.

Kelima bagian tersebut selengkapnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini:

1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Deskripsi naskah yang dilakukan terhadap naskah yang menjadi objek penelitian ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Emuch Hermansoemantri (1986) yang disesuaikan dengan karakteristik naskah yang diteliti.

Hal-hal yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut informasi atau data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon; (6) ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa Hal-hal yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut informasi atau data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon; (6) ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa

(1) Judul naskah

Naskah ini tercatat dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah- Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990), pada halaman 504, dengan judul Serat Mudatanya. Ketika dilakukan pengecekan langsung ke tempat penyimpanan naskah, judul pada cover luar naskah bertuliskan “Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis” dan pada cover dalam naskah juga pada bagian jilidan luar bertuliskan “Moedatanya (Koemoenis)”. Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut:

1. Jika didasarkan pada judul di hard cover, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.

2. Jika didasarkan pada judul di bagian jilidan luar dan cover dalam, dua teks yang berbeda bentuk tersebut menjadi satu dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan.

Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk

(2) Nomor naskah

Dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990) pada halaman 504, naskah ini terdaftar dengan nomor PB C56 dengan nomor rol film 112 no.10.

(3) Tempat penyimpanan naskah

Museum Sana Budaya Yogyakarta.

(4) Identitas pengarang/ penyalin

Teks SM dikarang oleh R.T.Purbadipura, hal ini dapat dilihat dari kutipan halaman iv teks SM, yaitu:

“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”

Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura,

Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”

R.T.Purbadipura merupakan seorang Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong

Pakubuwana X. R.T.Purbadipura adalah abdi dalem kesayangan Pakubuwana

X. Beliau seorang sastrawan yang sering menggubah perjalanan-perjalanan PB X dalam bentuk tembang. R.T.Purbadipura merupakan ayah dari R.Ng. Poerbacaraka. R.T.Purbadipura selain sebagai pengarang naskah SM ini juga sekaligus sebagai penulis teks SM, tetapi beliau hanya menulis pada halaman 53a-90, sedangkan halaman-halaman sebelumnya ditulis oleh seorang jurutulis bernama Wignyaukara. Hal ini bisa dilihat dari kutipan halaman 37 teks SM berikut:

a : inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng

b : sampun kyai

a : inggih Ingkang ngarang Purbadipura Ingkang nyêrat Wignyaukara”

Terjemahan: “…………………..

a : ya nak, silahkan. Semoga selamat.

b : cukup sekian kyai

a : ya Yang mengarang Purbadipura Yang menulis Wignyaukara”

Selain naskah Serat Mudhatanya, beliau juga aktif menulis lebih dari 15 judul. Sebagian besar bertemakan ajaran didaktik yang bernuansa Islam, etika hidup manusia dan sejarah. Karya-karya tersebut diantaranya Serat Sri Karongron, Serat Sri Papara, Serat Resi Danardana, Serat Sriyatna, Serat Sri Hascarya, Serat Sri Sekaringpuri, Serat Sri Dirgayuswa, Serat Sri Hutomo, Bab Dodotan, Cathetan Warni-warni, Essing Purbadipura, Kiyamat Kubra I-IV , dan lain-lain.

(5) Manggala/ kolofon

Naskah ini ditulis pada tahun 1858 Jawa. Sebagaimana yang tertulis pada manggala berikut ini:

“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”

Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura,

Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”

(6) Bahan naskah

Naskah SM dikemas dalam sebuah buku tulis cukup tebal dengan ketebalan 1,1 cm. Kertas yang dipakai kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda). Kertasnya cukup tebal. Terdapat garis bantu dengan pensil untuk batas margin. Penulis menemukan ada 2 jenis kertas lain di luar kertas asli dari buku yang digunakan untuk menuliskan teks SM. Kertas-kertas tersebut tidak setebal kertas asli dari buku. Dua jenis kertas lain tersebut yang satu ditempelkan dengan kertas asli dari buku, yang satunya hanya disisipkan, tidak ditempelkan. Berarti dalam satu buku ada 3 jenis kertas, yaitu:

1) Kertas asli dari buku itu sendiri: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda), kualitas kerta cukup tebal, tiap halaman ada 25 1) Kertas asli dari buku itu sendiri: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda), kualitas kerta cukup tebal, tiap halaman ada 25

2) Kertas yang ditempel: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), tiap halaman ada 23 baris, kualitas kertas lebih tipis bila dibandingkan denga kertas asli dari buku, ukuran kertas sama dengan kertas yang asli dari buku, yaitu 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak kekuning-kuningan.

3) Kertas yang disisipkan: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), kualitas kertas tipis, berwarna coklat (coklatnya lebih gelap bila dibandingkan dengan 2 jenis kertas di atas, berukuran 17,4 cm x 15,4 cm.

(7) Keadaan naskah

Keadaan naskah secara fisik baik utuh/ lengkap, tidak ada lembaran-lembaran naskah yang hilang, ada beberapa lubang kecil di halaman bagian awal tetapi tidak sampai mengenai tulisan, dijilid, hard cover berwarna hitam bercorak keemasan. Ada sekitar 2-3 lembar di bagian pertengahan naskah yang disobek secara sengaja dan terlihat pemotongannya rapi untuk menempelkan kertas lain (kertas tambahan). Teks pada halaman 63-70 (8 hal) dicoret dengan tanda silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca).

(8) Ukuran naskah

Naskah SM berukuran panjang 21,2 cm dan lebar 16,8 cm.

(9) Ukuran teks

Dari uraian tentang bahan naskah diatas, yakni ada 3 jenis kertas yang berbeda-beda, hal tersebut mempengaruhi ukuran teks. Sehingga ada 3 ukuran teks yang masing-masing juga berbeda. Berikut uraiannya:

1) Kertas asli dari buku itu sendiri Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)

: 17,8 cm x 11,2 cm Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan) : 17,8 cm x 11,1 cm

▪ Margin atas

: 2 cm

▪ Margin bawah

: 1,4 cm

Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni: Halaman ganjil (halaman sebelah kiri): Margin kiri

: 3,1 cm

Margin kanan

: 2,5 cm

Halaman genap (halaman sebelah kanan): Margin kiri

: 2,4 cm

Margin kanan

: 3,3 cm

2) Kertas yang ditempel Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)

: 16,4 cm x 11 cm Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan) : 16,4 cm x 10,8 cm

▪ Margin atas

: 2,7 cm

▪ Margin bawah

: 2,1 cm

Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni:

Halaman ganjil (halaman sebelah kiri): Margin kiri

: 3,8 cm

Margin kanan

: 2 cm

Halaman genap (halaman sebelah kanan): Margin kiri

: 2,1 cm

Margin kanan

: 3,9 cm

3) Kertas yang disisipkan Panjang x lebar

: 17,1 cm x 15,4 cm

▪ Margin atas

: 2,2 cm

▪ Margin bawah

: 1,5 cm

▪ Margin kiri

: 2,4 cm ▪ Margin kanan : 3,2 cm Pada kertas ini, teks ditulis hanya satu muka (tidak recto verso), maka

tidak ada pembedaan antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan).

(10) Tebal naskah/ jumlah halaman

Tebal naskah SM berukuran 1,1 cm dengan jumlah halaman 130 halaman atau

65 lembar, berikut keterangannya:

Tabel 4.1 Tabel ketebalan naskah SM

Naskah

Halaman

Jumlah halaman

Serat Mudhatanya (prosa berbentuk dialog)

53a, 53b, 53c

58a, 58b

2 hal

59-74

16 hal

74a-74i (satu muka, tidak recto verso)

9 hal x 2 : 18 hal

75-90

16 hal Teks lain: Serat

Kawontenanipun

Pergerakan Komunis (berbentuk tembang macapat)

38-52

15 hal

Lembaran sisa (tidak ditulisi)

8 hal

Total halaman

130 hal

(11) Jumlah baris pada setiap halaman

Jumlah baris pada setiap halaman rata-rata 24 baris:

a. SM 1-37 (penulis Wignyaukara)

: 24 baris

b. SM 53a-90 (penulis R.T. Purbadipura) : 21-22 baris

(12) Cara penulisan

Penulisan teks pada setiap halaman ditulis secara bolak-balik, atau yang lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran-lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman muka dan belakang. Selain itu hanya beberapa halaman yang ditulis secara satu muka (tidak recto verso), yaitu pada halaman 74a sampai 74i. Ditulis satu muka karena kualitas kertasnya cukup tipis dan tinta yang dipakai sangat tebal berwarna hitam pekat.

Sehingga kecil kemungkinan teks pada halaman tersebut ditulis secara recto verso . Teks ditulis ke arah lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan. Penomoran halaman menggunakan 2 jenis angka, yaitu:

a. Angka Jawa: pada halaman 1-74 dan 75-90, terletak di sebelah atas tengah.

b. Angka Arab: pada halaman 74a-74i, terletak di sebelah atas pojok kanan, kemungkinan besar penomoran ini adalah tambahan dari pembaca karena warna tinta teks dengan nomor halaman berbeda.

(13) Bahasa naskah

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, ragam krama dan ngoko, disisipi oleh bahasa Arab. Bahasa naskah cukup mudah dipahami oleh masyarakat pembaca saat ini.

(14) Bentuk teks

Teks SM ditulis dalam bentuk prosa berupa teks dialog.

(15) Huruf, aksara, tulisan

Huruf yang dipakai ada 3 macam, yaitu:

a. Huruf Jawa carik: digunakan untuk menuliskan teks secara keseluruhan.

b. Huruf Arab: hanya digunakan ketika menuliskan kata “Allah”.

c. Huruf Latin: hanya digunakan ketika menuliskan icon kedua tokoh dalam teks yang sedang berdialog.

Karena teks SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda, yaitu: Karena teks SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda, yaitu:

dengan tinta berwarna biru tua - Sangat rapi, tidak ada coretan-coretan karena kesalahan penulisan

b. Penulis II (Purbadipura): - Ukuran font agak kecil bila dibandingkan dengan tulisan penulis I - Jarak antar huruf agak renggang - Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan - Tulisan jelas tetapi agak susah dibaca - Jarak antar baris cukup longgar - Goresan pena sangat tipis dengan tinta berwarna coklat, kecuali

pada halaman 74a-74i, goresan pena terlalu tebal dengan tinta berwarna hitam pekat

- Kurang begitu rapi, banyak sekali coretan-coretan karena kesalahan penulisan, banyak kata dan kalimat yang disisipkan karena susunan kalimat dirasa kurang oleh penulis. Kata dan kalimat tambahan tersebut ditempatkan di bagian margin (kanan, kiri, atas dan bawah halaman teks).

Pungtuasi atau tanda baca yang peneliti temukan di dalam teks SM ada beberapa bentuk, yaitu:

a. Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lingsa”,

fungsinya sebagai tanda berhenti (tepatnya jeda) pada kata, frasa dan klausa di dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “koma” dalam suatu kalimat. Fungsi tanda ini di dalam teks SM: tidak hanya sebagai tanda jeda suatu kata, frasa dan klausa di dalam kalimat tetapi juga sebagai tanda berhenti kalimat itu sendiri. Sehingga tanda berhenti antara kata, frasa, klausa dan kalimat di dalam teks SM ini tidak ada pembedaan tanda, keduanya sama. Kemungkinan besar pembaca akan merasa cukup kesulitan ketika membaca dan memahami teks SM ini.

b. Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lungsi”,

berfungsi sebagai tanda berhenti suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “titik” dalam suatu kalimat. Fungsi tanda ini di dalam teks SM: - sebagai tanda berhenti suatu kalimat, tetapi fungsi ini sedikit sekali

pengaplikasiannya, peneliti temukan hanya ada di halaman 24, 28, dan 31

- sebagai tanda petik dalam kalimat langsung (kalimat langsung dari

kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM)

- dipakai sekali sebagai tanda berhenti ketika menuliskan judul teks

SM

c. Fungsi tanda ini di dalam teks SM adalah:

- untuk mengungkapkan persamaan kata (SM: 14 & 15) - untuk mengungkapkan maksud dari suatu kata tertentu (SM: 34)

d. Fungsi tanda “titik dua” di dalam teks SM ini adalah:

- dipakai pada akhir sutau pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian

atau pemerian - dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian

e. Tanda yang mirip dengan huruf “L” ini dalam teks SM berfungsi untuk

menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan pada bagian bawah teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan pada daerah margin bagian kiri.

f. Tanda yang mirip dengan huruf “T” ini dalam teks SM mempunyai

fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan.

g. Tanda yang mirip dengan huruf “F” ini dalam teks SM mempunyai

fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L” dan huruf “T”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan.

h.

Tanda ini dalam teks SM berfungsi sebagai tanda yang mengisyaratkan bahwa kata yang hendak ditulis sama dengan kata diatasnya, sehingga kata yang tersebut tidak perlu ditulis kembali, cukup dengan menuliskan tanda ini.

(16) Umur naskah

Naskah ini dibuat pada tanggal 28 Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa naskah ini adalah naskah salinan. Informasi yang penulis temukan di halaman 37 tentang penulis dan pengarangnya, mengandung maksud bahwa pengarang meminta kepada juru tulis untuk menuliskan teks karangannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya tanda semacam tanda-tangan dari pengarang langsung. Jadi umur naskah SM sampai tahun ini (2009) adalah 82 tahun.

(17) Ikhtisar teks/ cerita

Teks SM yang berbentuk teks dialog ini, mengisahkan dua orang, yakni seorang kyai dan seorang murid, yang sedang berdialog membahas tentang

Dialog antara kyai dan murid ini terjadi dalam 4 kali dialog dengan tema dialog yang berbeda-beda, berikut uraiannya:

a. Dialog I (SM: 1-16)

Berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan hubungan dengan pihak luar (8 ajaran kepemimipinan). Kepada keluarga dan sanak saudaranya dia harus dekat, mencintai keluarga dan sanak saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, tidak ada rasa rikuh pakewuh. Jika ada dari anggota keluarga atau sanak saudaranya yang melakukan kesalahan, tidak langsung dimarahi dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang banyak. Pilihlah moment yang tepat untuk menegurnya, disampaikan dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Memberikan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai pemimpin keluarga.

Kepada para abdinya, seorang pemimpin harus memberikan kepahaman akan tugas dan kewajibannya, selalu diingatkan agar jangan sampai mengkhianati pekerjaan dan kewajibannya. Pemimpin yang baik harus memperhatikan kesejahteraan abdi-nya, (kebutuhannya) jangan sampai ada yang terlantarkan. Membangun hubungan yang baik dengan abdi -nya, tidak sewenang-wenang (unsur senioritas). Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan, memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan.

Kepada tetangganya, pemimpin yang baik harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik itu yang muda maupun yang tua. Ketika bermusyawarah atau berdiskusi, tidak tergesa-gesa untuk menyanggah pendapat orang lain melainkan didengarkan dahulu baik-baik, dicerna baru kemudian ditanggapi dengan bahasa yang baik dan santun, jangan sampai mengecewakan pihak yang berpendapat.

Untuk itu, ada 8 hal yang harus dipahami oleh seorang pemimpin, yakni:

1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak.

2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.

3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan.

4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.

5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan.

6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf.

7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik.

8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah.

b. Dialog II (SM: 16-37)

Berisi tentang keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin, yakni Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

c. Dialog III (SM: 53c-62)

Berisi tentang deskripsi kondisi alam, yakni iklim dan cuaca yang terjadi saat itu hubungannya dengan sikap penduduk (faktor sebab dan akibat).

d. Dialog IV (SM: 71-90)

Berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja di Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta) mulai dari Ki Ageng Sela hingga PB VIII.

2. Kritik Teks

Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat- kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu. Baried berpendapat bahwa, “kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tepatnya yang tepat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan teks sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitutio textus) (Siti Baroroh Baried, et.al. 1994: 61). Adapun Sangidu menyatakan:

Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)

Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masing- masing penjelasannya sebagai berikut:

(1) Lakuna

Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.2 Tabel Lakuna

No.

Halaman/ Baris

Tertulis Jawa

lèmèk

wêdal

wêkdal

jam

jaman

landhungi

landhunging

titisa

titisan titisan

tan kêna

Wallahu akam

Wallahu aklam

panjêngan panjênêngan

Kya Agêng Kyai Agêng

wontê

wontên

saètu

saèstu

bala-ba

bala-bala

(2) Adisi

Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.3 Tabel Adisi

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.4 Tabel Substitusi

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Bêgêblug

Pagêblug

5. 58a/6-7

kadhah

gadhah gadhah

kêmbung

ngêdur

ngêdhur

dakmênang sakwênang

lêlakuhanipun lêlabuhanip un

14. 76/3-4

mapat

wapat

sama

nama

dati-ati

ngati-ati

17. 84/1-2

narama

narima

18. 85/7 kalakuanipun lêlabuhanip un

mêsêp

mênêp

Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.

Tabel 4.5 Tabel Transposisi

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Edisi

lêgêm

gêlêm

Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu:

a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’

Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

2. kagaliya 4/14-15 kagaliha 2. kagaliya 4/14-15 kagaliha

Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’

Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

kalèntu

2. 53c/19, 74/14

kalèntu

3. 72/15-16

kêlèntu

d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’

Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Edisi

1. 83/9-10

asreng

asring

angsring

e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal

Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Islam (dengan huruf ‘i’ Murda)

Eslam

Nis

Nis 74/20

Nês

Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut uraiannya:

a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’

Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

blêdug

2. 58a/12

balêdug

b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’

Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

1. 53c-54/22-1

saknagari

saknêgari

c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’

Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

glêpung

galêpung

d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’

Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

panjênêngan

pênjênêngan

3. Pedoman Transliterasi

Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu, transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990) sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini.

Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini:

1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog

III, dan Dialog IV.

2) Tanda [ ] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya menunjukkan pergantian halaman.

3) Angka Arab ukuran kecil di sebelah kanan atas kata, yakni

1, 2, 3, dst. Menunjukkan catatan atau kritik teks.

4) Teks yang berbahasa Arab dicetak miring.

5) Tanda ^ di atas vokal e, yakni ê dibaca [ ∂] seperti dalam bahasa Indonesia kata “beras”, kata “gelas”.

6) Tanda

฀฀ di atas vokal e, yakni è dibaca [ з ] seperti dalam bahasa Indonesia kata “jengkel”, kata “bengkel”.

7) Kutipan dari naskah lain yang berbentuk tembang macapat disajikan perbaris.

Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)

Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masing- masing penjelasannya sebagai berikut:

(1) Lakuna

Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.2 Tabel Lakuna

No.

Halaman/ Baris

Tertulis Jawa

lèmèk

wêdal

wêkdal

jam

jaman

landhungi

landhunging

titisa

titisan titisan

tan kêna

Wallahu akam

Wallahu aklam

panjêngan panjênêngan

Kya Agêng Kyai Agêng

wontê

wontên

saètu

saèstu

bala-ba

bala-bala

(2) Adisi

Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.3 Tabel Adisi

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.4 Tabel Substitusi

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Bêgêblug

Pagêblug

5. 58a/6-7

kadhah

gadhah gadhah

kêmbung

ngêdur

ngêdhur

dakmênang sakwênang

lêlakuhanipun lêlabuhanip un

14. 76/3-4

mapat

wapat

sama

nama

dati-ati

ngati-ati

17. 84/1-2

narama

narima

18. 85/7 kalakuanipun lêlabuhanip un

mêsêp

mênêp

Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.

Tabel 4.5 Tabel Transposisi

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Edisi

lêgêm

gêlêm

Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu:

a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’

Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

2. kagaliya 4/14-15 kagaliha 2. kagaliya 4/14-15 kagaliha

Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’

Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

kalèntu

2. 53c/19, 74/14

kalèntu

3. 72/15-16

kêlèntu

d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’

Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Edisi

1. 83/9-10

asreng

asring

angsring

e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal

Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal

No. Halaman/Baris Tertulis Jawa

Tertulis Latin

Islam (dengan huruf ‘i’ Murda)

Eslam

Nis

Nis 74/20

Nês

Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut uraiannya:

a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’

Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

blêdug

2. 58a/12

balêdug

b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’

Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

1. 53c-54/22-1

saknagari

saknêgari

c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’

Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

glêpung

galêpung

d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’

Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’

No. Halaman/Baris

Tertulis Jawa

Tertulis Latin

panjênêngan

pênjênêngan

3. Pedoman Transliterasi

Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu, transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990) sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini.

Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini:

1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog

III, dan Dialog IV. Tanda [ ] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya menunjukkan

pergantian halaman.

4. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

a. Dialog I (Pertama):

Sêrat Mudhatanya

A : Sumangga nggèr lajêng pinarak ngriki.

B : Inggih.

A : Punapa sami wilujêng nggèr?

B : Pangèstunipun Kyai inggih wilujêng. Panjênêngan Kyai punapa inggih sami wilujêng?

A : Pandonga sampeyan inggih wilujêng. Sumangga nggèr wedangipun kaunjuk.

B : Inggih sumangga sami ngunjuk. Anggèn kula sowan panjênêngan punika, sapisan lami botên kapanggih. Kaping kalih parlu nyaosi uninga

kula badhe pindhah griya dhatêng ing Purwasari, ondhêr distrik 1 Lawiyan (Surakarta) nyuwun dhawuhipun kyai benjing punapa prayoginipun dintên ingkang kula angge pindhah?

A : Pamanggih kula prayogi benjing Kemis Lêgi tanggal ping 28 wulan Sura Jimakir 1858 punika dintênipun sae. Gêsanging dintên mangetan kaliyan mangidul kalêrêsan dalêmipun anggèr lèr pindhah mangidul. Sangat yusup

rijêki jam 7:25, potipun jam 8:15. Prayogi [2] nipun katamtokakên jam 7:0 awit kala subanipun dhawah rasa kumpul sae. Wontên punapa ta nggèr kok mawi pindhah dalêm?

B : Mila pindhah, awit griya kula ingkang lami punika radi kalitên, mangka anak putu batih kula kathah. Dados dhapur sêsak wontên ing griya lami. Mila pindhah dhatêng griya ingkang agêng supados radi ombèr.

A : Inggih nggèr, botên langkung namung pupuji kula mugi-mugi kalampahan kaliyan wilujêng sadayanipun sarta sagêda kaagêm ingkang lami ngantos run tumurun dhatêng putra wayah sapangandhap.

B : Nuwun kapundhi paringipun pandonga panjênêngan mugi Gusti Allah angabulna.

B : Dados pamriyoginipun 2 Kyai benjing dintên kasêbut nginggil wau?

A : Inggih.

B : Dèrèng kalampahan kula sampun maturnuwun.

B : Kajawi punika sarèhne kula punika sugih anak putu sadhèrèk kulawarga batih kathah, supados sami sakeca manahipun kados pundi Kyai? Mugi paringa pitêdah badhe kula lampahi kaliyan têmên-têmên.

A : Anakku nggèr, saking trêsnane duwe wong tuwa [3] kaya aku, dadi karsa ngandika kaya mangkana inggih ta nggèr. Kêkirangan punapa sampeyan,

namung rèhne wontên panêda 3 sampeyan. Kula sampeyan purih suka pitêdah, inggih sasagêd-sagêd kula laksanani kados ing ngandhap punika: Ha : Dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana agêng alit. Punika sampeyan rakêt ingkang sayêktos. Sampeyan anggêp kados

sarira sampeyan piyambak. Sampun dipunsigêni. Sampun manah rêrênggi. Sampun lêlamisan. Ngagêma panggalih lamba kemawon. Dipunpitados sarira sampeyan piyambak. Sampun dipunsigêni. Sampun manah rêrênggi. Sampun lêlamisan. Ngagêma panggalih lamba kemawon. Dipunpitados

Sampeyan ngagêma dêdhasar 4 panggalih sae.

Manawi badhe duka kagalih ingkang panjang rumiyin, sampun kasêsa. Dene manawi kêdah lêrêsipun duka, ingkang badhe dipundukani kasingitna sampun ngantos katingal tuwin kamirêng ing akathah. Wiyosing pangandika ingkang sarèh sêmu manis, sarta ingkang talanjar ing lêpatipun kemawon, sampun ngantos anggladrah ical jêjêripun. Wêdaling pangandika ingkang suraos mirma tuwin pangowêl dhatêng ingkang dipundukani. Langkung prayogi ingkang badhe dipundukani kaajaka nitih kareta botên mawi rencang. Salêbêtipun kareta lumajêng, ing ngriku kawiyosna dêdukanipun, nanging inggih ing [4] kang pangandika sarèh wau punika.

Punapa ingkang dados kabêtahanipun sampeyan tulungi kaliyan eklasing lair batos. Sampun kintên-kintên ingkang botên-botên. Ingkang pitados dhatêng kadaripun Gusti Allah, sapa ala nemu ala, sapa bêcik nêmu bêcik tamtu makatên. Sarta kagungan panggalih momot mêngku pangaksama. Nyipta yèn dosa lara tak apura, yèn dosa mati tak uripi.

Awit putra, wayah, sadhèrèk, santana punika bilih ngantos gadhah manah gêla, cuwa, susah anggrêsah, wirang isin, gêngipun papa sangsara saking sampeyan, punika tamtu gampil anggènipun damêl ruwêt rêntênging panggalihipun anggèr, sagêd ambêbayani sayêktos. Sabab

sampun sumêrêp dhatêng woda-wadinipun anggèr. Mila kagalih 5 saenipun sampun ngantos nandhang gêla, cuwa, sapanunggilanipun wau.

Sarananipun anggèr kêdah mituruti ing sapantêsipun. Punapa ingkang dipunsuwun, anggèr kêdah maringakên kaliyan lila lêgawa. Punika tamtu pinanggih saenipun dhatêng sariranipun anggèr. Sarta kadhawuhan sumêrêp ingkang têrang saha anglampahi kaliyan têmên-têmên dhatêng pêpacaking agami ingkang dipunlampahi, ingkang kenging utawi ingkang botên kenging, punika parlu sangêt.

Na: Dene manawi dhatêng abdi sampeyan agêng [5] alit.

Katêtêpna punapa ingkang sampun dados kawajibanipun. Kagaliya sampun ngantos andaleya. Sarananipun kêdah dipuntuwuki boga busana. Sampun ngantos wontên ingkang kêkirangan tuwin kasangsaran. Kêdah kagalih kaliyan dana pariksa piyambak. Sampun lajêng tan nggêga aturing liyan. Kêdah kapatitisakên kanyataaningsun.

Dhatêng abdi karakêtna sarta kaagêngna manahipun. Sampun ngantos damêl tintrim maras-mirising abdi. Sadaya pandamêlaning abdi punika, sajatosipun angrencangi dhatêng kabêtahan sampeyan. Mila manawi nuju nyangkul pandamêlanipun anggèr sadèrèng tuwin sêsampunipun kaarêm-arêm manahing sabda mangalêmbana angecani manah, supados rumaos ènthèng anggènipun lumampah ing damêl. Lajêng rumaos kagêm damêlipun.

Ki pujangga sampun cariyos, ”Ora ana wong kêndho janji kanggo. Ora ana wong daleya ing gawe. Janji cukup pangane, ora ana panggawe abot janji bobot.” Makatên punika kados sampun tamtu. Manawi sadaya abdi sampeyan sampun karoban ing dana pariksa, tamtu lajêng gadhah patêmbaya: anggènipun anglampahi pandamêlan mêsthi kaliyan têmên- Ki pujangga sampun cariyos, ”Ora ana wong kêndho janji kanggo. Ora ana wong daleya ing gawe. Janji cukup pangane, ora ana panggawe abot janji bobot.” Makatên punika kados sampun tamtu. Manawi sadaya abdi sampeyan sampun karoban ing dana pariksa, tamtu lajêng gadhah patêmbaya: anggènipun anglampahi pandamêlan mêsthi kaliyan têmên-

Manawi para abdi sampun sumung [6] kêm, asih trêsna sayêktos dhatêng sampeyan. Tamtu mangajêng-ajêng ayahan awrat ènthènga sêdya dipunlampahi kaliyan sêdya tuhu. Bêbasanipun kajêglugna ing gunung waja kacêmplungna ing sagara gêni, manahipun botên ajrih sêdya nêtêpi dhawuh. Makatên wau witipun saking karoban ing sih dana marta. Sarta pangandika mardawa manis rum ingkang sagêd nuju prana damêl bingahing manahipun para abdi.

Wosipun anggèr kêdah wêwasar sabda nyata, têrus têrang botên lêlamisan. Sêsampunipun pariksa têrang, ingkang sae dipun-ganjara samurwatipun. Ingkang awon dipunpidanaa ingkang timbang kaliyan lêpatipun, sampun ngantos kagungan kakasih. Manawi kagungan kêkasih tamtu lajêng baukapine, botên jêjêg pangadilanipun. Nanging sadaya abdi dipunrakêta, supados gadhah pangraos kasihan. Sampun sangêt-sangêt ngandika rècèh dhatêng abdi. Manawi ngutus utawi andhawuhi namung saparlunipun kemawon (cêkak aos).

Ca: Manawi dhatêng tiyang agêng alita ingkang sanês wêwêngkonipun anggèr, têgêsipun pawong mitra tangga têpalih kuwaruhan tuwin liya bangsa.

Punika sawatawis kêdah dipunombèri panggalih, sarta dipunecani manahipun kaliyan têmbung manis. Kanthi awas ing pamawas. Empan papan wadyaning mangsa kala. Sampun tilar weweka. Priksaa dhatêng Punika sawatawis kêdah dipunombèri panggalih, sarta dipunecani manahipun kaliyan têmbung manis. Kanthi awas ing pamawas. Empan papan wadyaning mangsa kala. Sampun tilar weweka. Priksaa dhatêng

Ra : Tiyang ingkang gadhah bale griya, punika sampun tamtu gadhah kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa.

Ing sakukubanipun ing ngriku kemawon. Dados kenging dipunwastani, sasat angratoni dhatêng wêwêngkonipun, mila kêdah pariksa dhatêng kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa. Menggah têrangipun:

1. Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga.

2. Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.

Têgêsipun ingkang galih kados pundi sagêd dipunicaling 6 sêsakit wau. Sampun: ”Ya bèn awak-awakmu dhewe, wong kowe tak bla [8] nja, Têgêsipun ingkang galih kados pundi sagêd dipunicaling 6 sêsakit wau. Sampun: ”Ya bèn awak-awakmu dhewe, wong kowe tak bla [8] nja,

3. Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam- ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging sadèrèngipun kêdah dipundhawuhakên, yèn ala bakal nemu ala, yèn bêcik bakal nêmu bêcik.

4. Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun, botên baukapine. Sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon, ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.

5. Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês, dhatêng sêsaminipun putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Bêbasan: ”Utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati”, sapiturutipun. Botên kenging dlêmok cung, kêdah wradin. Têgêsipun yèn Si Dhadhap kang utang, mung nyaur sêmene, yèn Si Waru kang utang kudu nyaur sêmene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun. Sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasê [9] but ing anggêr-anggêr botên kenging mèncèng.

6. Paramarta: punika bilih putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalèntu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta.

Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring- aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng anggèr lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi. Têmah

andados 7 maras-mirising abdi, nipisakên pasuwitan. Mila kêdah dipunparingi paramarta. Pantês kaparingan pangapura. Punapa dene tiyangipun ingkang lêpat sampun mungêl nyuwun tobat, punika anggèr wajib paring pangapuntên ingkang yêktos. Ingkang pitados dhatêng wicantênipun tiyang sae.

7. Dana: inggih ingkang kêrêp pêparing. Manawi pêparing barang ingkang enggal

risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi pêparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun, kadosta ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan, tuwin gri [10] ya papan pemahan, punika kêdah ingkang awis-awis. Mila kula matur makatên sabab anggèr punika tiyang pancen sugih mas picis raja brana miwah pamêdalipun

agêng. Nglêmpakakên 8 bandha donya arta kathah. Punika tamtu mêndhêt saking pandamêlanipun tiyang alit. Nanging bilih tiyang alit sangêt-sangêt dipunpunguti kas kayanipun, punapa botên mêsakakên, sapisan. Kaping kalih, bilih sampun sugih arta sangêt, bêbasan sampun ngumbuk-umbuk drèwu, lajêng badhe kados pundi, punapa tiyang botên badhe pêjah. Manawi sampun pêjah, mangka tilar arta bandha kathah, punika tamtu dados gadhahanipun para waris. Tarkadhang agêng. Nglêmpakakên 8 bandha donya arta kathah. Punika tamtu mêndhêt saking pandamêlanipun tiyang alit. Nanging bilih tiyang alit sangêt-sangêt dipunpunguti kas kayanipun, punapa botên mêsakakên, sapisan. Kaping kalih, bilih sampun sugih arta sangêt, bêbasan sampun ngumbuk-umbuk drèwu, lajêng badhe kados pundi, punapa tiyang botên badhe pêjah. Manawi sampun pêjah, mangka tilar arta bandha kathah, punika tamtu dados gadhahanipun para waris. Tarkadhang

Mila sampun awrat tuwin owèl paring dana dhatêng putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi punapa dene dhatêng pawong mitranipun anggèr. Nanging pawong mitra [11] wau kêdah dhawah kantun. Paring dana dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi karumiyina. Sabab bilih tansah paring dana pawèwèh kasaenan dhatêng pawong mitra, ing mangka dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi awis-awis tur sakêdhik, punika lajêng kenging babasan ”Dananing bandara kaya nyaring banyu padasan. Kang adoh kênthuran kang cêdhak ora”, sampun ngantos makatên. Awit kasaenan punika manawi ingkang mastani tiyang liya, sanadyan kasaenanipun wau sagunung inggih dèrèng kenging dipunandêl, awit botên sumêrêp ing sadintên-dintênipun. Beda kaliyan para putra wayah sadhèrèk santana abdinipun piyambak. Manawi mastani bandaranipun sae, tamtu sae sayêktos, awit nungkuli ing sadintên-dintênipun. Dados sampun mêsthi têrang dhatêng watak wantuning bandaranipun. Dhangthèk kala matur kasaenan dhatêng liyan wau dèrèng kenging dipunandêl, punika makatên. Saupami sampeyan tansah damêl kasaenan dhatêng tiyang

liyan praja, sarana barang ingkang kathah reginipun, ingkang kataman sarta ingkang mirêng kasaenanipun anggèr wau têmtu inggih lajêng mastani sae. Nanging sarêng pitanglêt dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdinipun ingkang damêl kasaenan wau, dipunpitang [12] lêdi: ”Bêndaramu iku apa bêcik tênan?” Wangsulanipun: ”Lêrês dhatêng liyan pancèn inggih kêrêp paring kasaenan. Nanging dhatêng kula sadaya namung maligi pêpancèn kula ingkang mêsthi. Awis sangêt wontên mirungganing kasaenan ingkang dumawah. Langkung malih bilih suka-suka boga andrawira. Punika ingkang dipunparlokakên namung dhatêng liyan. Bilih dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi awis-awis. Manguna suka wibawa inggih namung alit-alitan kemawon. Bilih wontên katrangan makatên arak kojur, pun liya lajêng gadhah grahita. Apa anggone gawe kabêcikan marang aku iku, mung arêp panjaluk wêwalês bae”. Arak susah bilih makatên.

8. Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan. Ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak. Dhatêng tiyangipun, botên mawi lêlantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun. Anggèr tamtu kagungan panggalih: ”Bilih makatên kula arak rêkaos?”. Inggih tamtu rêkaos tinimbang kaliyan nganggur. Nanging bilih tiyang sumêdya nyambut damêl raharjaningrat, tamtu botên angraos rêkaos. Rêkaos pundi kaliyan wong cilik pangane sêthithi [13] k gawene iklik, yèn luput digitik? Sampeyan punapa kêrsa 8. Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan. Ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak. Dhatêng tiyangipun, botên mawi lêlantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun. Anggèr tamtu kagungan panggalih: ”Bilih makatên kula arak rêkaos?”. Inggih tamtu rêkaos tinimbang kaliyan nganggur. Nanging bilih tiyang sumêdya nyambut damêl raharjaningrat, tamtu botên angraos rêkaos. Rêkaos pundi kaliyan wong cilik pangane sêthithi [13] k gawene iklik, yèn luput digitik? Sampeyan punapa kêrsa

B : Ingkang panjênêngan wastani nistha punika ingkang pundi Kyai?

A : Nistha punika kathah warninipun kadosta ngopèni barang ingkang rèmèh-rèmèh. Mirêngakên cariyos ingkang botên damêl alus saening budi. Sarta ingkang botên mawi wawatoning agami. Ginêm ingkang nglêmpara, anggêladrah, nyatur awon ing tiyang. Sêsêmbranan, gêgujêngan ingkang ngantos kêlantur- lantur. Makatên malih anggèr, mêndhêt tatêdhan ingkang sampun dhawah ing siti, mêlik dhatêng baranging liyan, ngantos kawêdal ngandika kêpengin. Botên resikan. Mangagêm botên tata kirang tumrap. Ngagêm nyamping, rasukan, paningsêt, dhestar, sapanunggilanipun jithêtan utawi suwèk, lokot, rêgêd. Taksih kathah panunggilanipun ingkang nama nistha. Cêkakipun sa [14] bên panggalih botên mêlikan, inggih botên gadhah tindak tanduk nistha. Punika anggèr sampun ngantos makatên.

Makatên inggih nggèr, ing agêsang punika limrahipun ingkang kaèsthi sagêda sae ing salami-laminipun ing donya dumugi ing akerat taksih agama sae. Punika botên liya amung mêndhêt têtuladan tindak tanduk ingsun priyagung kina kalarasa kaliyan jamanipun ingkang dipunidaki. Angêmohana dhatêng lêlabuhan ingkang awon.

Kajawi punika pamanggih kula sadaya barang ingkang ewah kêdah mawi ngaso kèndêl, kadosta kareta sêpur inggih mawi kèndêl ing sawatawis wontên ing

sêtasiyun utawi ing haltê. Parlunipun bok manawi supados radi lêrês sawatawis, sarta kaangge ngandhapakên nginggahakên barang ingkang sampun katamtonakên mandhap minggahing prahu. Punapa dene kaangge niti pariksa rowa-rowa sapanunggilanipun pirantosing kareta, bok manawi wontên ingkang ewah salah satunggalipun, mila kêdah dipun satitèkakên. Makatên uninga gêsang ugi parlu sangêt mawi ngaso kèndêl, kangge nglêrêmakên tuwin nuntumakên jiwa raga. Manawi para luhur Buda, sêmadi maladi mahêning ngêningakên cipta. Manawi para mukmin ya [15] sami sêmbahyang tuwin tapakur rahman. Para agami Kristên, Yahudi, Konghucu tuwin liya-liyanipun, bok manawi inggih mawi ngaso=kèndêl.

Wontên malih ingkang kula anggêp parlu, inggih punika ingkang kasêbut ing Sêrat Wulang Sasana Sunu, warna sapisan mungêl:

.................................... 9

nahan warna sapisan kocapa/ dena eling salamine/ yèn tinitah sirêku/ saking ora mari dumadi/ dinadèkên manungsa/ mêtu saking ênur/

ri rajêng Nabi Mukammat 10 /

katujune nora tinitah sirèki/ dumadi sato kewan//

9 Baris pertama dari tembang Dhandhanggula yang tidak dikutip oleh penulis naskah, penulis

Denagêdhe sokurirèng Widhi/ aywa lupa sira sanalika/ dènrumêksa ing uripe/ dènmadhêp ing Hyang Agung/ denapasrah aywa saksêrik/ manawa ana karsa/ urip tapi mundhut/ ngaurip wasana lina/ tan tartamtu dawa cêndhaking ngaurip/ aywa kacipta dawa//

Aywa cipta cêndhak ing ngaurip/ yeku dudu ciptaning kawula/ cêndhak dawa wus pêpancèn/ mung cipta amutèngsun/ mati ana sajroning urip/ mangkana pan winênang/ cipta kang satuhu/ madhêp kumawulèng suksma/ tan sumêlang ananira saking Widhi/ widagda ciptamaya//

Sampun nggèr sawêg samantên atur kula. Kagem tuwin botên namung sumangga. Wasana manawi wontên kalintu 11 tuwin lêpating atur kula, kula nyuwun ngapuntên.

B : O, Kyai sangêt panuwun pêpundhi kula dhatêng paringipun [16] wasiyat pitêdah punika. Mugi-mugi kula sagêda anglampahi. Rèhne sampun dalu anggèn kula sowan panjênênganipun Kyai. Sarta sampun kaleksanan panuwun kula, kula nyuwun pamit mantuk. Sanes dintên sowan malih, nyuwun wêwahing pitêdah.

A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng. Salam taklim kula dhatêng garwa putranipun anggèr.

B : Inggih nuwun Kyai. Sampun.

A : Inggih andum wilujêng.

b. Dialog II (Kedua):

B : Kulanuwun Kyai.

A : E, anakku mrene manèh. Mangga nggèr, lajêng kemawon lêlênggahan ngriki.

B : Inggih Kyai.

A : Punapa sami wilujêng nggèr?

B : Inggih pandonganipun Kyai wilujêng. Pangabêkti kula katura.

A : Inggih nuwun nggèr. Sampun radi lami anggèr botên tindak mariki.

Punapa sèstu 12 pindhah dalêm?

B : Inggih sampun kalampahan pindhah griya nêtêpi [17] dintên dhawuhipun Kyai.

A : Sokur alhamdulilah. Rak inggih sami wilujêng ta garwa putra wayah sadaya?

B : Inggih saking pangèstunipun Kyai sami wilujêng sadaya.

A : Sumangga nggèr wedangipun kaunjuk.

B : Inggih, anggèn kula sowan punika sapisan ngaturi uninga bilih kula sampun kalampahan pindhah griya: wilujêng. Kaping kalihipun sadaya piwulangipun Kyai sampun wiwit kula angge. Kajawi punika bilih kêparêng kula nyuwun wêwah ing piwulang malih. Supados wêwahing sasêrêpan kula. Sangêt- sangêt ing panuwun kula wêwah ing piwulang wau.

A : Anakku nggèr, gene kok kêraya-raya timên ênggone arêp nyidhuk kawruhe wong tuwa. Inggih ta nggèr sêsagêd-sagêd kula inggih nglaksanani dhatêng panêdhanipun anggèr, nanging kauningana, sajatosipun kula punika dhatêng pangawruh taksih kathah kêkirangan kula. Dèrèng mantra-mantra nama sagêd, tinimbang kaliyan para sampurnèng kawruh. Namung sarèhne kapêksa saking panêdhanipun anggèr, anggèr katingal asih trêsna dhatêng kula, kula inggih kêdah nimbangi asih trêsna.

B : O, Kyai sampun kathah-kathah ingkang kagalih, cêkakipun makatên: upami tatêdhan kula doyan sangêt dhatêng piwulangipun Kyai. Saupami malih, tiyang karêm nêdha jèngkol [18] punapa sagêd ngêndhat dhatêng tiyang ingkang pakarêmanipun nêdha jèngkol. Tamtu botên sagêd. Awit sampun kêlajêng dados pakarêmanipun. Makatên malih kula. Dhatêng piwulangipun Kyai, tiyang sampun kêlajêng ajêng, kados pundi malih. Mila sumangga kalajêngna paring pitêdah dhatêng kula.

A : Inggih nggèr kula botên sagêd macali ingkang kados pangandikanipun anggèr. Botên langkung inggih mugi kamirêngna. Kula criyos: kala anu punika kula matur dhatêng anggèr, tiyang gadhah bale griya punika prasasat angratoni dhatêng wêwêngkonipun. Mila anggèr kula aturi priksa dhatêng lêlabuhanipun ratu ingkang utami. Sanadyan anggèr dede ratu nanging prasasat angratoni wêwêngkonipun piyambak wau punika. Sumangga kula pêthikakên sêratan Tajusalatin kaliyan rêringkêsan. Namung kapêndhêt wosipun kemawon.

Nalika Nabi Adam jumênêng ratu angratoni putra wayahipun, punika taksih karsa nyambut damêl kasap. Sabên dintên pandhe tosan, kaurupakên kangge dhahar ing sadintên-dintênipun. Sajêgipun sugêng dèrèng nate dhahar tuwuk. Botên karsa bingah-bingah. Dipuncaosi dhaharan miwah pangagêman saking putra wayah inggih botên karsa. Sabên dintên tansah katingal prihatos.

Putra wayah ngantos matur ”Punapa ingkang kaprahatosakên 13 ?”. Wangsulanipun

Kanjeng Nabi Adam, ”Aku [19] iki maune dikarsakake dening Gusti Allah dadi kalipah ana suwarga. Nuju ana dosaku diudhunake marang ing donya kusniya malebari iki, ngratoni anak putu. Mulane aku ora duwe bungah. Pancèn tak cêgah sakpatute. Bok manawa dhompo panggawèhaku ngratoni kowe kabèh. Yèn luput

saka kurang titi pariksa. Yakti 14 nêmu dêduka manèh. Kaya aku diudhunake

marang bumi sap pitu. Yèn ratu kêrêp bungah-bungah, lan juwèh iku ilang sênêne. Murwate ora nana kang kari.” Makatên nggèr bilih Kanjêng Nabi Adam.

Nalika Kanjêng Nabi Mungsa ngiras jumênêng ratu ing Mesir, ngêmpalakên tiyang sapraja Mêsir sadaya, dipunparentahi dados kalih prangkat. Saprangkat Kanabeyan, saprangkat Karaton. Ngêndal punika ingkang dados

keblat Masjidil Aksa ing nagari Betal Mukadas. Punika mèh dipunrisak dening tiyang kapir. Sultan Kanjêng Nabi Mungsa ngundhangi umat sadaya siyaga sakapraboning prang. Pangandikanipun: ”Hèh wong Mêsir kabèh, sumurupa panggawehanira rong prakara. Kang dhingin parentah kanabeyaningsun. Kapindhone parentah karatoningsun. Wong bangga parentahing nabi lan bangga parentahing ratu, iku sah yèn dènpatènana”. Kathah sangêt wadya balanipun Kanjêng Nabi Mungsa, ngantos damêl senapati kalih wê [20] las. Satunggaling senapati amêngkoni bala 220 èwu tiyang. Sangajênging senapati satunggal nama Sèh Nakib, punika sor-soraning patih, ingkang winênang ngebahakên sagunging wadyabala sarta mutusi sadayaning prakawis. Dene pêpatihipun nama Sèh Yusak: mangkat saking Mêsir dhatêng Betal Mukadas. Untaping wadyabala agêng alit jalêr èstri tumut mangun yuda sadaya. Solahipun golong gumulung kados sagantên wutah ing dharatan. Sasat jagad prakêsa gonjing prabatarum. Nalika punika Sultan Kanjêng Nabi Mungsa botên karsa nênitih amung ndharat kemawon salamining pêrang punika. Manawi dalu kèndêl wontên ing margi. Para punggawa sami nyaosi pasanggrahan kaagêma lêrês. Sultan Kanjêng Nabi ngandika: ”Hèh wong Mêsir, aja susah nguwèhi panglêrêman marang ingsun, awit luwih gêdhe panggawehanira iki saka angarêpake pêrang. Ingsun ora sêdya ngrèrènoni ngiras sapanggawehanira kang marang ingsun dhewe nora pisan-pisan, awit kuwatiring atiningsun. Yèn sira ingsun dhawuhi nyambut gawe ingkang tumrap marang ingsun, iku ingsun sumêlang bok manawa nyuda marang

kêkuwatanira besuk timpuk 15 ing pêrang. Kêndhoning otot, akèh wêtuning karingêt saking saka panggawehaningsun liyane prakawis pêrang, yèn sira ingsun kêkuwatanira besuk timpuk 15 ing pêrang. Kêndhoning otot, akèh wêtuning karingêt saking saka panggawehaningsun liyane prakawis pêrang, yèn sira ingsun

Gêgênging 16 pakèwêding praja punika kalih prakawis:1)ebahing kalam

2)ebahing pêdhang, nanging pêdhang botên sagêd ngebahakên kalam, kalam sagêd ngebahakên pêdhang. Mila ngatos-atos bilih ngebahakên kalam, kêdah lêlambaran sabda ingkang mardu mardawa tanduking basa sastra cêtha wosing suraos. Awit bilih botên makatên kalam sagêd ngebahakên pêdhang.

Sultan Kanjêng Nabi Mungsa sabên dintên kêmbul dhahar kaliyan wadyabalanipun ingkang kalêrês jagi dipunjak dhahar sarêng. Tansah damêl agêng sarta pirênaning manahing wadyabala. Rumaosing panggalih: ênggoningsun dadi ratu iki saka si cilik.

Jumênêngipun narendra Kanjêng Nabi Yusup, ugi nagari Mêsir, nuju miyos siniwaka lênggah ing dhampar kancana pinatik ing mutyara. Ing adhêp

para wadyabala agêng alit pêpak. Ingkang wontên ing arsa para kukuma 17 tuwin

ngulama. Sadhèrèk sawêlas angadhêp wo [22] ntên ing kanan kering. Nalika punika Kanjêng Nabi sawêg nuju gêrah malira. Kacriyos saya wêwah anusipun. Wontên satunggaling punggawa ingkang matur, ”Dhuh gusti kajawi gêrah dalêm kados wontên ingkang dados prihatosing panggalih. Punapa gusti ingkang dipunprihatosakên. Panjênêngan dalêm agung kêkalih ing suksma. Botên

kêkirangan samukawis, keringan parangmuka, têka mawi panggalih prihatos”. Wangsulanipun Kanjêng Nabi Yusup, ”Hèh sakèhing wadyabalaningsun wêruha, kang dadi prihatin lan kuwatiring atiningsun, iya saka gêdhene panggawehaningsun dadi kalipah. Wis pitulas taun anggoningsun jumênêng ratu, ingsun durung sapisan marêgi ênggoningsun mangan. Saka tansah kuwatir manawa ana sawijining wong kang ingsun ratoni, êsak atine utawa kurang sandhang pangane. Iku bilahine pasthi katêmpuh marang panjênênganingsun (ratu kang mêngkoni). Sarupane wong Mêsir iki kabèh kang padha ingsun ratoni iku sarina sawêngine ingsun ora mariksa dhewe, amung ngêndêlake marang ature punggawa mantri bae. Manawa ingsun besuk ing pangayunaning Gusti Allah didangu, ”He Yusup, duk sira ingsun dadèkake ratu ana ing donya,

panggawehanira nata niti pariksa sukêr gampanging karaton. Iku sapa 18 wus sira

lakoni dhewe karo setiti.” Yen didangu mangkono kapriye aturingsun. Sa [23] têmêne ingsun ora midêr pariksa dhewe, mung pracaya marang aturing punggawa bae. Mulane ingsun rewangi prihatin kurang mangan kurang turu. Sadina sawêngi mung roti gandum rong iris. Para wadya sarêng mirêng dhawuh makatên lajêng sami andhêkung sadaya.

Nalika jumênêngipun kanjêng Nabi Dawud, ngiras jumênêng ratu. Sêsampunipun paring parentah tuwin ngukum-ukumi. Lajêng têdhak dhumatêng pangimaman. Madhêp ing keblat salat kalih rêkaat, nyuwun dhumatêng ingkang Maha Suci aturipun, ”Dhuh Gusti Allah ingkang paring karaton dhumatêng kula, kapitados ambaurêksa dhumatêng kawulaning Allah sadaya, kula nyuwun rijêki ingkang kalal saking Gusti Allah ing sadintên-dintênipun ingkang kula têdha, Nalika jumênêngipun kanjêng Nabi Dawud, ngiras jumênêng ratu. Sêsampunipun paring parentah tuwin ngukum-ukumi. Lajêng têdhak dhumatêng pangimaman. Madhêp ing keblat salat kalih rêkaat, nyuwun dhumatêng ingkang Maha Suci aturipun, ”Dhuh Gusti Allah ingkang paring karaton dhumatêng kula, kapitados ambaurêksa dhumatêng kawulaning Allah sadaya, kula nyuwun rijêki ingkang kalal saking Gusti Allah ing sadintên-dintênipun ingkang kula têdha,

Jumênêngipun Kanjêng Nabi Suleman ratuning jagad. Karêmênanipun sabên dintên dhawuh ngliwêt 1000 [24] kêndhil. Ingkang sakêndhilipun isi wos momotan sadasa unta. Sadintên kaping kalih enjing lan sontên. Parlunipun kaagêm ngingoni wadyabala ingkang pinuju sowan. Ingkang dipunliwêt wau arta saking asiling nagari. Dene saliranipun piyambak sarta ingkang kagêm nipkah dhumatêng garwa. Sarintên sadalunipun, inggih punika anggènipun nganam

wakul. Manawi sampun dados lajêng utusan nyade dhumatêng 19 pêkên. Bilih

sampun pajêng dados arta, lajêng katêmpurakên wos. Punika ingkang dipundhahar sarta ingkang kagêm nipkah dhumatêng garwa. Sarta manawi dhahar pados rencang pêkir utawi miskin kaajak kêmbul dhahar. Manawi botên angsal pêkir miskin dipunlampu botên dhahar, kaanjingakên anglampahi siyam.

Satunggal wêkdal Kanjêng Nabi Suleman tindak pêpara dhatêng awiyat, kadhèrèkakên wadyabala hiburan, ratuning jin setan lêlêmbat. Angin mega mêndhung sapanunggilanipun bangsa ngawiyat. Sanadyan wadyabala dharatan inggih andhèrèk nanging lumampah anggrubyuk wontên ing ngandhap kemawon. Dipuntingali langkung sêmuwa. Tiyang sajagad mèh andhèrèk sadaya.

Salêbêtipun lumampah sami sênêng manahipun. Botên wontên ingkang kêbêntèrên, seyub sabab mega mêndhung sami mayungi, sarêng dumugi lêladan tanah Ngarab, wontên sapinggiring nagari Mêkah, wontên pêkir satungga [25] l, ngungun ngraosi dhatêng Kanjêng Nabi ingkang sawêg nganglangi, ngitêri jagad, ungêlipun ”He Allah Kang Maha Agung, kalangkung têmên paring tuwan kamulyan lan kaagungan dhatêng putrane Dawud.” Kanjêng Nabi Suleman mirêng lajêng dhawuh dhatêng ratuning angin ingkang anyunggi dhampar palênggahan, dikakakên mandhap nyêlaki dhatêng panggenan pêkir ingkang ngungun wau. Sarêng sampun cêlak, Kanjêng Nabi Suleman uluk salam, pun pêkir inggih dugi mangsuli salam. Kanjêng Nabi andangu ”Kisanak, punapa ingkang sampeyan ucapakên wau?”, pun pêkir mangsuli ”Kula ngungun kamulyan tuwin kaagunganing Pangeran ingkang kaparingakên dhatêng sampeyan Sinuhun, dene kok agêng têmên”. Kanjêng Nabi Suleman ngandika ”O kisanak pêkir, sampeyan sumêrêpa, kamulyan tuwin kaagungan kula wontên ing donya punika, punika taksih kungkulan kaliyan tiyang ingkang mungêl: ”subêkanalahi ngalkamdulillahi wala ilahailolahu allahu akbar, la kawola wala kuwatta illa billahil ngalaihil ngalim” , ingkang têrus sumêrêp dumugi satêgêsipun pisan. Benjing ing akerat dipunparingi kamulyan tuwin kaagungan kados kula punika tikêl kaping sèwu. Kisanak pêkir sampun maibèn tamtu makatên. Kaliyan malih ing donya punika sampun masthi risak, botên langgêng, ingkang têtêp lan ingkang langgêng punika namung ing jaman kapêjahan”. Kula sêlani inggih nggèr. [26]

B : Inggih Kyai sumangga

A : Layang Rama nuju têmbang Mijil. Angka kaca katon 440 dene larik 5 saka ngisor muni, sapada pinêthik, banjure sinêmbung: Karana jroning urip puniki/ ana kang denantos/ mung sadhela tan langgêng uripe/ yayi risak jamaning wong urip/ jamane wong mati/ têtêp ananipun//

Sapada nginggil punika, pangandikanipun Sri Bathara Rama Wijaya dhumatêng Sang Gunawan Wibisana. Lajêng kula sambêti taksih Sêkar Mijil Sulastri Pelog Pathêt Barang (kala wau Mijil Maskenthar Salendro Pathêt Manyura, rèhne larasipun tumbuk nêm, dados gampil pangingêripun dhatêng barang). Pangapuntên nggèr radi nyalèwèng sakêthik.

B : Botên dados punapa Kyai. Kula malah sênêng. Sêkar Mijil punika kok sakeca kamirêngakên.

A : Botên sêkar Mijil kemawon sanadyan liya-liyanipun sêkar inggih sakeca. Janji sagêd ingkang ngêcakakên dhasar sae suwantênipun mawi kulina sêkar, tamtu sakeca.

B : Panjênênganipun Kyai punika sampun sêpuh nanging manawi nyêkar kok taksih sakeca.

A : Iyah, botên ta nggèr. Tiyang sêpuh punika ingkang tamtu sarwa suda. Punapa dene suwantên kula punika nèm mila pancen cêkak mawi radi gêrok. [27]

B : Inggih nanging kok taksih gadhah raos nganyut-anyut. Sumangga kalajêngna Kyai sêkaripun Mijil Sulastri, sambêtipun kalawau.

A : Hê’êm, Yèn mangkono pagene prihatin/ Ri ratri wirangrong/ sugih miskin wong cilik wong gêdhe/ bodho pintêr sanadyan narpati/ têmbe pasthi mati/ ragade kang kantun//

Dènulêsi wastra mung tri lapis/ tumuli ginotong/ mring kuburan pinêndhêm uruge/ bumi dhudhukan kaluwat bali/ dènidak-idak mrih/ madhêt ngisor dhuwur//

Asor luhur tan beda pangrakti/ pêndhême mangkono/ ing sarehne kaya padha bae/

prayogane narima eng 20 ati/

ngati-ati nganti/ pupusên yèn lampus//

B : Saya sêkeca Kyai

A : Nyumanggakakên. Sapunika kula nglajêngakên bab lêlabuhanipun para ratu ingkang utami.

Nalika jumênêngipun narendra Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 21 Salalahu

Ngalaihi Wasalam , wadyabalanipun kapalih, ingkang saprangkat senapatinipun Sayidina Ngali bin Katob, saprangkat senapatinipun sakabat nama Ki Seh Kalid. Kalih pisan wau sami prawira ing ayuda, angrèh para prajurit lêksan kêthên. Satunggal wêkdal, musti Kanjêng Nabi wau mangun kaprabon ngirapakên wadyabala badhe kaangkatakên pêrang nglurugi para kapir ingkang mukir dhatêng agami. Untaping wadya bala kados rob ing jalani [28] dhi. Busana maneka warni

asri kawuryan lêstantun lampahing wadyabala. Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 22 ,

kaliyan bagendha Sayidina Ngumar ing lampah karsa anyimpang mampir nuwèni ingkang putra Sayidina Patimah. Kacariyos wêkdal punika sawêg karaos radi kirang sakeca sariranipun. Panyimpangipun Kanjêng Nabi wau, wadya bala botên wontên ingkang sumêrêp. Rawuh dalêmipun ingkang putra lajêng nèthèk kori. Sadèrèngipun dipunwêngani kori, sayidina Siti Patimah matur maning salêbêting dalêm. Dawuh dalêm, “Punapa wontên ingkang ndhèrèk punapa namung piyambak?”. Gusti Kanjêng Nabi mangsuli pangandika, “Pamanmu Sayidina Ngumar dhewe kang mèlu. Apa kowe ngidini, pamanmu Sayidina Ngumar tak ajak mèlu malêbu ngomah”. Sayidina Siti Patimah matur, “Kados pundi anggèn kula sagêd ngidini bilih paman Sayidina Ngumar ndhèrèk malêbêt griya, awit kula amung ngangge sinjang satunggal, èwêt anggèn kula nutupakên. Katutupakên nginggil ngandhap kados pundi, katutupakên ngandhap nginggil kados pundi” (Putri ing Ngarab bilih kapanggih tiyang jalêr ingkang sanès mukrim, salira kaliyan bagendha Sayidina Ngumar ing lampah karsa anyimpang mampir nuwèni ingkang putra Sayidina Patimah. Kacariyos wêkdal punika sawêg karaos radi kirang sakeca sariranipun. Panyimpangipun Kanjêng Nabi wau, wadya bala botên wontên ingkang sumêrêp. Rawuh dalêmipun ingkang putra lajêng nèthèk kori. Sadèrèngipun dipunwêngani kori, sayidina Siti Patimah matur maning salêbêting dalêm. Dawuh dalêm, “Punapa wontên ingkang ndhèrèk punapa namung piyambak?”. Gusti Kanjêng Nabi mangsuli pangandika, “Pamanmu Sayidina Ngumar dhewe kang mèlu. Apa kowe ngidini, pamanmu Sayidina Ngumar tak ajak mèlu malêbu ngomah”. Sayidina Siti Patimah matur, “Kados pundi anggèn kula sagêd ngidini bilih paman Sayidina Ngumar ndhèrèk malêbêt griya, awit kula amung ngangge sinjang satunggal, èwêt anggèn kula nutupakên. Katutupakên nginggil ngandhap kados pundi, katutupakên ngandhap nginggil kados pundi” (Putri ing Ngarab bilih kapanggih tiyang jalêr ingkang sanès mukrim, salira

Nabi ngandika “Nya, ênggèr 23 sêbeku ênggonên, dadi bisa jarit loro.”

Kauncalakên lajêng dipunagêm. Sasampu [29] nipun makatên lajêng ngêngakakên kori. Gusti Kanjêng Nabi kaliyan Sayidina Ngumar malêbêt dhatêng dalêm lajêng

sami lêlênggahan. Gusti Kang 24 Nabi ngandika: ”Anakku nggèr, nggonmu turu

geneya dene ora nganggo lèmèk, amung gumlethak ana ing jrambah bae. Mangka

kowe lagi lara.” Sayidina Siti Patimah matur: ”Mila botên mawi lèmè 25 saking

sayêktos botên dhawah. Anggèn kula sakit punika sabab tigang dintên tigang dalu kula botên nêdha botên ngombe. Inggih saking botên wontênipun ingkang kula têdha, sabab nipkahipun putra dalêm mantu tigang dintên lowong, saking sawêg anglampahi ayahan dalêm nglurug pêrang punika.” Gusti Kanjêng Nabi mèsêm kaliyan ngandika: ”Anakku nggèr, dêmi Gusti Allah muga angasihana marang wong kang sabar ing bilahi lan coba. Laku mangkono iku ora nana kang nimbangi ing bêcike. Aku iki dikarsakake dadi nabi ratu kalipah ing Gusti Allah diutus

dikakake 26 pitutur marang wong kabèh amrih slamêt ing donya lan akerat padha

kasinungana sabar ing ati. Kacuwan bab siji ana ing donya yèn bisa nyabarake,

besuk ana ing akerat tampa wêwalês kabêcikan lan kabungah 27 atikêl kaping sèwu, Insa Allah. Sarêng Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 28 sampun seda, [30] ingkang

anggêntosi jumênêng ratu bagendha Sayidina Abu Bakar Sidik. Satunggaling dintên nuju miyos siniwaka lênggah ing Pasar Rukmi, para ngulama, punggawa,

23 nggèr 24 Kanjêng 25 lèmèk 26 ngandikakake

mantri, agêng alit gumêlar sami sumewa sadaya. Panganggêpipun lastantun kados nalika jumênêngipun Gusti Kanjêng Nabi. Wiyosipun wau parlu ngukum-ukumi sagung para umat ingkang gadhah prakawis. Bibar pasewakaning kaprabon, Sayidina Abu Bakar Sidik nilap ing wadyabala. Nyêlamur dhatêng pêkên sade nyampingipun parlu badhe kadhahar sarta kaagêm nipkah dhatêng ingkang garwa. Sadintên-dintên tansah makatên. Lami-lami kasumêrêpan ing wadyabala, lajêng sami gadhah unjuk. Lampah makatên wau botên prayogi, dipunwastani kirang santosa kramaning narpati. Kalipahing Gusti Allah sade nyamping dhatêng pêkên, momor ing tiyang alit punika nyudakakên darajad. Sultan Abu Bakar Sidik ngandika, ”Bênêr aturira iku, mungguh tumrape karatoningsun. Balik pangan lan nipkahingsun marang rabiningsun, iku dudu panunggalane bab karaton. Nanging wajibing manungsa kudu mangan lan nipkahi marang rabine, kang mêtu saka kaskaya tapak tangane dhewe. Ora kêna nganggo saka liyane. Yèn tinggal ngupaya nipkahe dhewe pasthi duraka. Lan yèn gêlêm mangan dudu nipkahe dhewe iku mangan ruba arane”. Sarêng kêncêng pangandikanipun makatên. Para punggawa ambudidaya sampun ngantos sang nata [31] nyalamur sade nyamping piyambak dhatêng pêkên. Lajêng dipunsudhiyani sakêdhik saka arta Betta Mal

(asiling nagari). Sarêng Sultan Bagendha Abu Bakar bade 29 seda nimbali ingkang putra ingkang nama Sayidina Ngabdurrahman, dipunwasiyati. Sapêngkêripun ingkang rama sabin pasitènipun ingkang dipuntanêmi kurma, punika dipunsadea sapajêng-pajêngipun lajêng kasaurna dhatêng arta Betta Mal ingkang sampun kadhahar sadintên-dintênipun wau. Tamtu langkung kathah pêpajênganipun (asiling nagari). Sarêng Sultan Bagendha Abu Bakar bade 29 seda nimbali ingkang putra ingkang nama Sayidina Ngabdurrahman, dipunwasiyati. Sapêngkêripun ingkang rama sabin pasitènipun ingkang dipuntanêmi kurma, punika dipunsadea sapajêng-pajêngipun lajêng kasaurna dhatêng arta Betta Mal ingkang sampun kadhahar sadintên-dintênipun wau. Tamtu langkung kathah pêpajênganipun

Sasedanipun Bagendha Abu Bakar Sidik, ingkang anggêntosi jumênêng ratu, Bagendha Sayidina Ngumar. Nuju dintên miyos tinangkil wadyabala sumewa andhèr kados rob ing jalanidhi. Kanjêng Sultan lajêng ngukum-ukumi sarta wêwarah ingkang amrih raharjaning donya akerat. Sarampungipun sagunging wad, ingkang agêng-agêng sami munjuk. Mawi kaparêng nipkah sarta dhaharipun Kanjêng Sultan dipuncaosi saking arta Betta Mal ing nagari. Dhawuh wangsulanipun: ”Ingsun iki sira jumênêngake ratu ana ing nagari Madinah kene, amêngkoni praja sajajahane. Ngêrèh para ratu-ratu, ngulama wadyabala sawonge cilik lanang wado [32] n gêdhe cilik kabèh, kang padha masuk agamane swargi

gustiningsun Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 30 , iku kabèh kawêngku ana

panjênênganipun, dadi gêdhe bangêt sêsangganingsun ing karaton iki. Kang iku pisungsungira nipkah lan dhaharingsun sadina-dinane sira sangga mêtu saka dhuwit Betta Mal asil wêwêtoning nagara. Muga aja dadi rêngating atinira kabèh, ingsun ora arêp nampani, balik anggonên nyangga sandhang pangane

kawulaningsun kang padha kêkurangan: anak yatin 31 , wong papa sangsara, jompo,

sarta bot repoting praja kang amrih ayêm têntrême wêwêngkoningsun, supaya aja kongsi ana wong sambat kurang kapenak jiwa ragane. Dene ingsun amung minta suka pirênane atinira kabèh. Wadyabalaningsun gêdhe cilik, muga padha nglilanana bab nipkah lan dhaharingsun. Sadina-dinane ingsun sêdya ngupaya dhewe mêtu saka tapak tanganingsun. Sarana adol bata ana ing desa Bangkèk iringing gunung, rada kiwa sawatara adoh saka ing nagara. Anggoningsun ndêlik sarta bot repoting praja kang amrih ayêm têntrême wêwêngkoningsun, supaya aja kongsi ana wong sambat kurang kapenak jiwa ragane. Dene ingsun amung minta suka pirênane atinira kabèh. Wadyabalaningsun gêdhe cilik, muga padha nglilanana bab nipkah lan dhaharingsun. Sadina-dinane ingsun sêdya ngupaya dhewe mêtu saka tapak tanganingsun. Sarana adol bata ana ing desa Bangkèk iringing gunung, rada kiwa sawatara adoh saka ing nagara. Anggoningsun ndêlik

mancasi

prakara, miyarsakake

atur prasaja, lan

panggawehaningsun mêmarah marang wong amrih salamêt ing awal akhir, kalawan nêtêpi pangabêktiningsun Gusti Ingkang Maha Suci. Iku pasthi ingsun parlokake dhingin. Eng [33] goningsun nyithak bata amung sambèn. Dianggo jaga supaya aja nganggo nipkah lan panganingsun saka dhuwit Betta Maling nagara”.

Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngumar, ingkang anggêntosi jumênêng ratu, Bagendha Sayidina Ngusman. Satunggal wêkdal dintên Jumungah Sayidina Ngusman ngimami. Sarampunging parlu sunating Jumungah lajêng minggah ing mimbar. Muji ing Gusti Allah muji ing Gusti Kanjêng Nabi Mukammad Salalahu Ngalaihi Wasalam, lajêng dhawuh ondhang-ondhang: ”Hèh kèh kawulane Gusti Allah kang padha ana ing masjid, padha wêruha panggawe kang luwih abot iku rong prakara, siji panggawehaning ratu adil, loro nipkahi marang rabi. Loro pisan iku ora kêna gothang. Mungguhing karaton kudu tansah micara supaya wêruh pratingkah sukêr sakit gampang ewuhing praja, yèn nganti kalèru kang nindakake pasthi duraka gêdhe. Bab nipkah marang bojo yèn ora ditêtêpi iya mangkono, kaya priye ingsun kudu nindaki rong prakara mau kapraboningsun kudu awèh parentah kang bênêr bêcik. Enggoningsun tinitah dadi lanang mêngku rabi kudu awèh nipkah, ing mangka ingsun iki samêngko wis tuwa. Allah Subêkanalahi Walkamdulillahi”. Wadyabala sarêng mirêng pangandika makatên wau sami wêlas. Pangagênging punggawa Bagendha Sayidina Ngali bin Katob, bibar pa [34] sewakan karêmpakan ngrêmbag bab pangandikanipun sang prabu. Gêlêng giliking rêmbag sayuk rujuk tiyang sapraja. Rèhne sang prabu wau têmên sampun sêpuh tamtu botên kuwawi nyambut damêl.

Mila lajêng kapanci dipuncaosi dhahar saking arta Betta Mal. Nanging botên watawis lami lajêng gêrah. Ngajêngakên badhe seda, arta Betta Mal ingkang sampun kadhahar dipunsauri saking pêpajêngan panyadening pakêbonan ingkang rumiyin nate dipuntatanêmi piyambak. Sah.

Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngusman, ingkang gumantos jumênêng ratu wontên ing Madinah, Bagendha Sayidina Ngali bin Katob wau. Karatonipun mituhu pangrèhing ratu-ratu ingkang sampun kasêbut wau sadaya, sarta nêtêpi sarengating Kanjêng Nabi panutan. Langkung hardayaning (hardaya = seru, ribet) manggalih saking èngêt pakèwêtipun tiyang jumênêng ratu (makatên raosing panggalihipun Sultan Bagendha Sayidina Ngali bin Katob). Tansah kuwatos bok manawi kalèntu panindakipun tamtu katêmpuhakên dhumatêng ingkang jumênêng ratu. Sanadyan botên sapunika (ing donya) masthi benjing pinanggih ing akerat (têgêse sawuse mati tansah dicatur kapi alane ora uwis-uwis malah alane dianggo kaca brênggala, iya iku wong duraka ing akerat mêmêlas). Mila Sultan Bagendha Sayidina [35] Ngali bin Katob, sanadyan saliranipun sampun nyêkêl asma Sultan Kabir Mukmin. Ewadene taksih sangêt prihatos ngatos-atos. Ing mangka nalika taksih sugêngipun Gusti Kanjêng Nabi

Mukamad 32 , kajumênêngakên senapatining prang, botên nate kagungan panggalih

was sumêlang sakêdhik-kêdhika. Sarêng jumênêng nata tansah kêtir-kêtir. Mila saselaning pasewakan rintên dalu tansah ulah pamicara kaliyan sagung para ngulama tuwin sagung para bèrbudi. Saking sangêting prihatos, Sultan Bagendha Sayidina Ngali bin Katob, sadintên-dintênipun namung dhahar glêpung gandum sagêgêm. Gandum punika wêdalan saking sibi-sabinipun piyambak. Bilih

angglêpung dipunsarirani piyambak. Rampung ing pangglêpungipun lajêng dipunrumati ngontên ing pêthi kinancing kêncêng. Pangagênging wadyabala munjuk, ”Punapa karananipun Gusti, dene yasan dalêm galêpung panjênêngan dalêm èmi-èmi sangêt. Ngantos panjênêngan dalêm lêbêtakên dhatêng pêthi dipunkunci kêkah sangêt, ingkang purun mêndhêt dhahar dalêm kemawon sintên. Kados botên wontên, kajawi ajrih, raos punapa tiyang amung bubuk lan gandum”. Nanging kêrsa dalêm têka makatên punika abdi dalêm kawula dèrèng andungkap. Dhawuh wangsulanipun Sultan Bagendha Sayidina bin Katob ”Mulane yasaningsun galêpung gandum sudiyan panganingsun, ingsun lêbokake pêthi tumuli ingsun kunci kukuh. Iku ingsun kuwatir [36] bok manawa kawruhan marang anak-anakingsun. Pasthi diijoli pêpanganan kang luwih mirasa enak, mulane ingsun kunci.

La punika nggèr lêlabuhan ingkang utami. Prayogi dipuntiru ingkang yêktos. Inggih mangsa sagêda plêg botên ketang sapara dasanipun 33 inggih

lowung. Têgêsipun botên nama kêsangêtan anggonipun ngêmpalakên loba murka, têmahan sagêd maradinakên ambêg paramarta mangaksama, sabab tansah ngagêm têpa rahsaning sarira. Aku dislomot upêt anjingkat tur lara, kowe iya anjingkat, rasane padha panas. Makatên sapiturutipun tiyang ingkang ngangge tepa-tepa. Langkung prayogi malih bilih kagungan watêg, andhisikake liyan, angèrèkake awake, ing atase wibawa, suka, wirya, busana, boga, andrawina, punika tumrap dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit sadaya, bilih sêdya utami kêdah makatên. Awit ing agêsang punika pikajênganipun warni-warni. Sok botên kenging dipunwor, upami canthing bumbung dipunsoki toya saklênthing, tamtu lowung. Têgêsipun botên nama kêsangêtan anggonipun ngêmpalakên loba murka, têmahan sagêd maradinakên ambêg paramarta mangaksama, sabab tansah ngagêm têpa rahsaning sarira. Aku dislomot upêt anjingkat tur lara, kowe iya anjingkat, rasane padha panas. Makatên sapiturutipun tiyang ingkang ngangge tepa-tepa. Langkung prayogi malih bilih kagungan watêg, andhisikake liyan, angèrèkake awake, ing atase wibawa, suka, wirya, busana, boga, andrawina, punika tumrap dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit sadaya, bilih sêdya utami kêdah makatên. Awit ing agêsang punika pikajênganipun warni-warni. Sok botên kenging dipunwor, upami canthing bumbung dipunsoki toya saklênthing, tamtu

B : Ha, inggih pandhawuhipun Kyai, bêbasanipun bilih ingkang punika sampun kalajêng botên doyan dhatêng warah wuruk. Gèk kados pundi, dipunjujua kados pêksi inggih namung tiwas anjuju, botên sagêd malêbêt. Kajawi punika Kyai, sadaya paringipun piwulang Kyai dhatêng kula, kula maturnuwun sakalangkung kapundhi, muni-muni sagêda nglampahi angsal barkah, pangèstu panjênêngan. Rèhne sampun sawatawis dalu anggèn kula sowan Kyai. Manawi kêparêng kula nyuwun pamit wangsul mantuk.

A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng.

B : Sampun Kyai.

A : Inggih. Nyandhak kaca angka 53 Ingkang ngarang Purbadipura Ingkang nyêrat Wignyaukara

Dialog III (Ketiga): [53c]

B : Kyai apa ana dalêm? Jiman : Wontên, mangke kula matur. Punika wontên tamu.

A : (Mêdal dhatêng pandhapi) Monggo nggèr kula aturi lênggah. Wilujêng nggèr?

B : Inggih wilujêng. Kyai punapa inggih wilujêng?

A : Inggih pandonganipun anggèr. Pancen kula ajêng-ajêng rawuh panjênêngan. Punapa kabaripun?

B : Anu Kyai wêkdal punika hawanipun dhateng badan kok kirang sêkeca. Kyai punapa inggih makatên?

A : Inggih lêrês makatên. Saya kula tiyang sêpuh, dhatêng badan raosipun prungsang mriyang-mriyang. Bok manawi saking dèrèng wontên jawah punika.

La tiyang mangsa kanêm tanggal kaping 16 ika 34 dèrèng wontên jawah, dados

panasipun sangêt, miwah mawi pundi agêng blêdug angampak-ampak dhatêng mripat sêpêt sakit.

B : Inggih kok makatên wêkdal punika. Kula nyuwun criyosipun Kyai bilih makatên punika kados pundi?

A : Manawi botên kalentu, criyosipun sabên kawan taun sapisan, katiganipun panjang, inggih kados wêdal 35 punika dhatêng badan kirang sakeca.

A : Kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknaga[54]ri, kathah ingkang sambat awratên samangken. Sarta glagading jaman tansah umêg lêmban adu-adu dèrèng wontên ingkang rampung.

A : Inggih nggèr sampun dilalah. Manawi sawêg makatên punika raosipun dhatêng badan kirang sakeca, dhatêng manah kirang têntrêm tansah kêtir-kêtir

kuwatir. Kosok wangsulipun bilih pinuju jam 36 tata têntrêm raharja, tiyang

saknêgari manahipun tamtu suka rêna sanadyan mangsa katiga ingkang bêntèripun sangêt, ewadene rumaosing tiyang inggih sakeca kemawon. Gadhah

pamanggih manawi ngipe 37 barang ingkang têlês, sagêd lajêng enggal garing.

34 punika 35 wêkdal

Akas dhangan dhatêng badan. Manawi nuju rêndhêng inggih katampi sakeca. Raosipun dhatêng badan botên prungsang. Toya jawah wau sagêd nyuburakên dhatêng tatanêman. Ron-ron lêmbaka ijêm riyu-riyu sakeca dhatêng paningal. Blêdug sirêp, kalèn-kalèn mili gumaladhag, ngètirakên rêrêgêd. Manawi wontên

angina 38 agêng inggih dipuntampi sae, sagêd nyirnakakên ambêt ingkang botên eca. Têmahan dhatêng napas landhung. Landhung 39 napas sagêd anglastantunakên

tampahing rah sumambrah dhatêng saranduning badan waradin samêsthinipun.

[55] Manawi pinuju botên wontên angin, inggih sakeca botên ngraosakên sumuk. Sanadyan sumuk inggih kèwran anggenipun murih sêgêring badan. Tiyang malarat narimah angsalipun rêjêki. Tiyang sugih botên was-kuwatos dening durjana. Anggenipun nyambut damêl kaliyan sênênging manah. Kèngkènan larè alit dhatêng purun ingkang sawatawis têbih, inggih botên dipunkuwatosakên. Punapa dene para priyantun dhasar kacêkap saya sangêt anggènipun tanpa sumêlang.

Cêkakipun bilih wontên ing jaman tata têntrêm raharja wau, manah ing tiyang sami sênêng suka rêna. Sadaya ingkang katingal kamirêngakên, namung katampèn kaliyan sae kemawon. Mèh botên wontên ingkang nguciwani. Sanadyan bêgo wong apisan upami, inggih botên ngraosakên susah. Langkung malih bilih tiyang-tiyang ingkang anggadhahi manah suka rêna wau angsal sih dana pariksaning Gusti ingkang tansah anggêlar paramartaning panggalih sarta nindakakên jêjêging [56] adil, botên pisan ambaukapine inggih dhatêng sintên kemawon botên mawi mawang tiyang, tamtu kenging adiling lêlêrêsan. Manawi saèstu makatên tamtu lajêng gadhah cipta asih trêsna dhatêng tênggèn ingkang Cêkakipun bilih wontên ing jaman tata têntrêm raharja wau, manah ing tiyang sami sênêng suka rêna. Sadaya ingkang katingal kamirêngakên, namung katampèn kaliyan sae kemawon. Mèh botên wontên ingkang nguciwani. Sanadyan bêgo wong apisan upami, inggih botên ngraosakên susah. Langkung malih bilih tiyang-tiyang ingkang anggadhahi manah suka rêna wau angsal sih dana pariksaning Gusti ingkang tansah anggêlar paramartaning panggalih sarta nindakakên jêjêging [56] adil, botên pisan ambaukapine inggih dhatêng sintên kemawon botên mawi mawang tiyang, tamtu kenging adiling lêlêrêsan. Manawi saèstu makatên tamtu lajêng gadhah cipta asih trêsna dhatêng tênggèn ingkang

Kosok wangsulipun manawi nuju jam 40 ingkang botên tata: pating balêngkrah, botên têntrêm: uyang wayang wuyung, botên raharja: dahuru 41 .

Têmbung pating balêngkrah têgêsipun saking botên undha usuk, mangangge sapurun-purunipun namung janji sagêd tumbas tanpa subasita yogya para ical. Botên rukun dhatêng bangsa. Tingkah polah muna-muni kaduk purun kirang dêdugi prayogi. Anggêpipun sami kemawon, botên sêdya urmat dhatêng sêsamining manusa. Manah [57] gadhah raos angrêsahakên, botên gadhah manah wêlas dhatêng tiyang ingkang nandang sudra papa, botên sudi têtulung dhatêng tiyang sakit sangsara sapanunggilanipun. Ingkang piyambakipun asrêmbuhi

sumarêp 42 tuwin cêlak dhatêng tiyang ingkang katiwasan wau, namung ningali kemawon. Uyang wayang wuyung têgêsipun, badan manah ing tiyang botên sakeca. Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha 43 raos bok bilih angsal sarusiku agêngipun angsal dêduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha 44 kadakwa botên

anu-anu. Manah susah ngêsah mijêr ngalih panggenan mrika-mriki tansah kinuya- nuya. Winaosnan iku kurang bênêr saiki kudu mangkene ora kêna mangkono,

40 jaman 41 dhahuru 42 sumêrêp 40 jaman 41 dhahuru 42 sumêrêp

Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lair batin. Bêgêblug 45 , sêsakit, sontan- santun ingkang dhatêng, tiyang ingkang nandhang raga botên angsal usapamarta (usapamarta: jampi ingkang mêdal saking wêlas asih marma sabda sarma 46 , botên

kaliyan pangru [58]a dapaksa têmbung misesa). Angsalipun jampi saking parentah kaliyan sabda sêrêng sora. Dados ingkang ajrihan sami giris manahipun dipunlampu botên nyuwun. Têmahan bingung botên kantên-kantênan. Sanadyan

sakitipun awit inggih narimah botên jêjampi, saking manawi kadhah 47 panuwun kangelan mawi dipunsêntak-sêntak. Manawi mangsa katiga manah ing tiyang sami ngrêsula saking panasipun gumamplêng, dhatêng badan karaos puyang mriyang-mriyang tansah ngorong

kêdah ngombe. Nêdha botên eca, tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak

kabur malêbêt dhatêng irung tuwin maripat botên sakeca sakit ing ganjêl. Mangka balêdug wau ingkang kathah ubalan saking wradinan ingkang dipunsirami saking toya kalen ingkang isi rêrêgêd. Adhuh.

Manawi mangsa rêndhêng manahing tiyang inggih kathah ingkang sêdhih, sabab katampon agêngipun katrocohan. Kêkesahan botên sagêd. Ngipe 48 barang ingkang têlês dangu karingipun 49 . Badhe [58]b mangkat nyambut damêl kapanjêng jawah. Tamtu dhatêngipun radi lat . Trêkadhang botên nyambut damêl.

Raosing badan kêkês pating marinding sêmu sumêng ngêcêcês atis. Dhatêng

45 Pagêblug 46 darma 47 gadhah 45 Pagêblug 46 darma 47 gadhah

anginipun agêng, raosing badan pating prakinting prindang-prindang, dipunkêmuli sumuk. Tanpa kêmul mangsuk angin dhateng padaran kêmbong 51

ambasêsêt. Bilih botên wontên angin, ganda-ganda ingkang botên eca mulêg botên sagêd ical. Têmahan damêl sêsêging manah. Umor munêg-munêg kados badhe mutah. Lajêng gadhah kintên makatên wau mahanani sakit. Tiyang ingkang malarat tansah gadhah manah was-kuwatos, bok manawi anggenipun nyambut damêl bêbêrah, botên sagêd lêstantun. Angsala pandamêlan inggih kirang jênjêm

sabab para juragan kêrêp kêkirangan bahu sangking rêndhêngan. Lêlajêng muring-

muring dhatêng tiyang ingkang sami bêbêrah, trakadhang lajêng kèndêl botên

nyambut damêl. Para parentah 52 dhatêng sor-soranipun tansah nindakakên

kêkêrasan, anggêp dhiri kasar [59] ladak êdak kumingsun, sawênang-wênang dumèh nyêpêng panguwasa. Pangraosipun nindakakên bênêr miturut anggèr, nanging tanpa dêduga lawan prayoga. Myang watara riringa haywa lali. Iku

parabot satuhu. Tan kê 53 tininggala. Tangi lungguh angadêg tuwin lumaku,

angucap mênêng anendra, uga duga nora kari, miwah sabarang karya. Ing prakara gêdhe kalawan cilik. Papat iku datan kantun. Kanggo ing sadina-dina, lan ing wêngi nagara miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambêkan. Papat iku datan kari, kalamun ana manungsa. Anyinggahi dugi lawan prayogi, iku watêkan tan

patut. Amor marang wong kathah, wong dêksura daludur tan wruh ing ngêdur 54 . Aja sira pêdhak-pêdhak. Nora wurung nêniwasi. (Wulangreh)

50 griya 51 kêmbung 52 pamarentah

Cêkakipun manawi nuju jaman botên tata têntrêm raharja. Manahipun tiyang sami giras-giris maras-miris kuwatir ketir-ketir. Sadaya ingkang katingal tuwin kamirêngakên namung damêl botên sakecaning manah kemawon. Angsala darajat [60] kaluhuran, tuwin angsala arta kathah pisan, kanggenipun nampèni, bilih kaliyan manah rangu-rangu, botên katampèn kaliyan puja sokur. Sabab saking sampun ngandhut manah sumêlang mêlang-mêlang. Sanadyan

wontêna 55 karamean tuwin pasamuan ingkang langkung saking endah, inggih

magsa ngêmu kuwatos. Langkung malih saupami tiyang-tiyang wau sumêrêp utawi mirêng, bilih ingkang dados pangagêng nagari, panggalihanipun jahil,

mathakil, bêsisit, dakmênang 56 , kumaluhur, kèdanan dhatêng urmat, kumêcethil,

sukamèt lumuh kèlangan, nuruti karsanira pribadi, tur sugih donya, botên pisan

damêl têtuladan sae. Dhatêng sor-soranipun pundi ingkang anggung 57 anggugung

bilih punika ingkang angsal sih. Bilih pangagêng makatên ambêg lêlabuhanipun

tiyang-tiyang sanakari 58 ingkang dados wêwêngkonipun tamtu lajêng gadhah cipta

botên asih trêsna dhatêng nagari wutuh rahipun. Manah gêrah uyang ngalih panggènan botên sêdya têtêp anggènipun gagriya wontên ing ngriku. [61] Labuh labêt ajur luluh malih purana kêpêthuk kemawon sumimpang. Manawi dipunaruh- aruhi èthok-èthok botên mirêng. Labêt saking mirêng punapa sampun kataman wêwatakan botên sae wau.

Sêrat Menak Drig jilid 2 kaca angka 14 larik 5 saking ngandhap mungêl dyan thilar 59 aturipun, anggêp aturing bastak. Pasthining Hyang ngalamat jagad

55 wontên 56 sakwênang 57 agung 55 wontên 56 sakwênang 57 agung

akam 61

B : Mèmpêr sangêt dhawuhipun Kyai punika, nanging punapa sababipun dene praja angsring jaman tata asring boten tata.

A : Kajawi bêbasan sampun tinandur, ingkang murugakên inggih saking sirah. Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu 62 ,

jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku, [62] lajêng kawêdal dhatêng pangucap. Pangucapipun pangagêng ingkang nyêpêng panguwasa,

sumrambah dhatêng tiyang sadaya kang prang dinas 63 . Lajêng mahanani jaman awon tuwin sae dalah satunggal ingkang tumindak.

B : Wah kula ndhèrèk sangêt dhawuhipun Kyai punika, kados tamtu makatên. Kula matur suwun dhatêng Kyai anggènipun paring cariyos dhatêng kula. Sapunika kula nyuwun pamit badhe mantuk sanès dintên kemawon sowan malih.

A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng, salam taklim kula dhatêng garwa putra pênjênêngan.

B : Inggih Kyai nuwun kaping kalih, kantuna wilujêng.

Sambunge kaca angka 71

60 dhahuru 61 Wallahu aklam 60 dhahuru 61 Wallahu aklam

A : Jiman, klêdhang-klêdhang kae kaya anaku. Jiman : Inggih.

B : Kulanuwun Kyai.

A : Mangga nggèr lajêng pinarak .

B : Inggih Kyai.

A : Ngriki ingkang radi cêlak kula anggènipun lênggah anggèr.

B : (Srêg maju).

A : Sami wilujêng nggèr sagarwa putra?

B : Pangèstonipun 64 Kyai wilujêng sadaya.

A : Anggèr saking tindak pundi, kok radi siyang?

B : Saking griya kemawon, pancèn amung sêdya sowan Kyai.

A : Nuwun nggèr panjêngan 65 kêrêp rawuh ing griya kula. Kula dèrèng nate martamu dhatêng dalêmipun anggèr.

B : Mangga ta, benjing punapa Kyai rawuh ing griya kula ngiras mariksani griya kula enggal, tuwin satiba bingahipun anak lan semah kula.

A : Inggih Insa Allah, sanes dintên kula matur sabên dhatêng anggèr. Jiman patèhan kae ajokna mrene.

Jiman : Inggih.

A : Mangga nggèr ngunjuk wedang, punika wau sawêg kemawon kadamêl wontên ing teko, rêkasnipun ingkang êmbok, tèhipun susong.

B : Inggih. Sowan kula punika inggih nyuwun cariyos ingkang ngêmu wêwulang sadasa kados pundi. Manah kula manawi dipunparingi cariyos ingkang Kyai punika têka lajêng ladhang dhatêng manah kula.

A : Sokur alkamdulillah bilih anggèr makatên. Kula inggih lêga lila dhatêng panjênênganipun anggèr. Sumangga punapa ingkang kadangokakên. Ingkang sagêd tamtu kula matur. Ingkang botên sagêd inggih matur balaka bilih dèrèng sumêrêp.

B : Anu Kyai, karaton Jawi punika kula sampun sumêrêp. Ingkang miwiti ngagêm agami Eslam, lajêng Sultan Dêmak sapisan, sapiturutipun dumugi sapunika. Nanging bilih botên kêlèntu Kanjêng Sultan Dêmak punika bêbasanipun rak namung madhahi. Talêcêripun ingkang kakung punika sintên ingkang wiwit

ngagêm agami Eslam 66 .

A : Ingkang wiwit ngagêm agami Eslam 67 Kyai Agêng Ngabdurrahman ing Sesela, ingkang lajêng aran Kyai Agêng Sela.

B : Kados pundi aturanipun.

A : Makatên Prabu Brawijaya ing Maospati ingkang wêkasan. Kula mêndhêt jêjêr [73] ripun putra kakung ingkang nurunakên karaton Jawi kemawon inggih punika: Radèn Bondhan Kajawan, taksih Buda pêputra Kyai Agêng Gêtas Pandhawa, taksih Buda. Sakaliyan wau kula dèrèng sumêrêp kubur

pasareyanipun. Lajêng kyai Agêng Sela punika wiwit ngagêm agami Eslam 68 sapiturutipun mangandhap dumugi sapunika.

66 Islam

B : Kya 69 Agêng Sela sapangandhap turunipun para ratu tumuli sapunika punapa wontên pèngêtan ambêg lêlabuhanipun.

A : Sasumêrêp kula ing ngriki kados dèrèng wontên sêrat ingkang mligi mèngêti ambêg lêlabuhanipun para ratu. Kajawi ing Pakualaman punika kabaripun wontên sêrat pèngêtan makatên wau, dipunnamakakên Sêrat Jatipusaka, wiwit saking sintên dumugi sintên kula dêrêng sumêrêp Sêrat Jatipusaka wau.

B : Cêkakipun kula gadhah pangintên dhatêng awak kula piyambak kados mêsthi botên sagêd sumêrêp dhatêng Sêrat Jatipusaka wau. Mila bokcobi Kyai kaparêng paring criyos dhatêng kula, ambêg lêlabuhanipun Kyai Agêng Sela sapangandhap.

A : Mangke gèk gèsèh kaliyan ungêl-ungêlipun Sêrat Jatipusaka. [74]

B : Gèsèh inggih kajêngipun, tiyang sami anggêlar kawruh pangraosipun piyambak-piyambak. Prakawis gèsèh punika limrah. Kadosta Sêrat Babad Dipanagaran kaliyan Sêrat Orloh Dipanagaran, sami nyariyosakên pêrangipun Pangeran Dipanagara. Têka inggih kathah gèsèhipun. Liya-liyanipun sêrat malih

inggih wonte 70 gèsèhipun tur nunggil ingkang kacariyosakên. Mila mugi kêparênga maringi cariyos dhatêng kula.

A : Manawi makatên inggih nggèr, kula cariyos nanging inggih mêksa merit saking lêlampahanipun ingkang kasêbut ing Sêrat Babad. Namung manawi lêpat tuwin kalèntu kemawon mugi sampun kirang pamêngku tuwin pangaksama. Criyos kula kados ing ngandhap punika:

Ambêg lêlabuhanipun kanjêng Kya 71 Agêng Sesela dumugi Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih Ha : Kangjêng Kyai Agêng Sesela, pêputra Na

: Kangjêng Kyai Agêng Nês 72

Ca : Kangjêng Kyai ing Pamanahan Ra

: Kangjêng Panêmbahan Sènopati Ka

: Kangjêng Sinuhun Seda Krapyak Da : Kangjêng Sinuhun Sultan Agung

[74]a

B : Anu Kyai kula punika angsring nggagas anak kaliyan bapa biyung. Anak punika angsring botên sami mèmpêr kaliyan bapa biyungipun. Trakadhang plêg warninipun. Punapa dene wêwatêganipun ugi anggèr botên mèmpêr kaliyan tiyang sêpuhipun, punika kados pundi. Manawi kêparêng mugi paringa pitêdah.

A : Inggih nggèr mênggah wêwatonipun kula dèreng sumêrêp. Namung kula ngaturakên pamanggih kula dhatêng anggèr. Kintên-kintên lêrês lêpat nyumanggakakên. Manawi anggèr rujuk pamanggih kula makatên.

Trakadhang warninipun plêg kados bapakipun. Trakadhang warninipun plêg kados biyungipun. Trakadhang warninipun sakêdhik mempêr bapaki [74b] pun sakêdhik mempêr biyungipun. Trakadhang botên mèmpêr babar pisan kaliyan sudarmanipun kalih. Ingkang makatên wau, manawi lare warninipun plêg kaliyan bapakipun punika nalika badhe dhumawah ing wiji, ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah punika ingkang jalêr. Saking adrêngipun ngantos Trakadhang warninipun plêg kados bapakipun. Trakadhang warninipun plêg kados biyungipun. Trakadhang warninipun sakêdhik mempêr bapaki [74b] pun sakêdhik mempêr biyungipun. Trakadhang botên mèmpêr babar pisan kaliyan sudarmanipun kalih. Ingkang makatên wau, manawi lare warninipun plêg kaliyan bapakipun punika nalika badhe dhumawah ing wiji, ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah punika ingkang jalêr. Saking adrêngipun ngantos

Kosok wangsulipun bilih ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah ingkang èstri. Saking adrêngipun ngantos mahanani wujud kados ibunipun. Têmahan dadosing manungsa inggih kados ibunipun.

Manawi lare warninipun sakêdhik kados bapakipun, sakêdhik kados ibunipun [74c] punika nalika badhe andhawahakên, ingkang badhe nampèn ing wiji, jalêr èstri sami sasarêngan adrêng ing trastanipun. Lajêng mahananipun

angadhah 73 warni kados bapa biyungipun. Manawi wontên lare babar pisan botên wontên èmpêr-èmpêripun kaliyan bapa biyungipun, punika nalika badhe andhawahakên saha ingkang badhe nampèni wiji, jalêr èstri botên gadhah niyat nunggil tilêm. Tangi tilêm ènjing wontên lajêng dadakan lajêng katindakakên. Wasana dados, têmahan botên mempêr babar pisan. Makatên malih nglilir saking tilêm dalu têngah dalu. Wontên barang ingkang gadhah kajêng piyambak lajêng katindakakên. Trakadhang

salêbêting tilêm wau mêntas supina sumêrêp kêthèk, sarêng nglilir manahipun taksih anggagas impènipun. Tamtu inggih [74d] mahanani kados tilêm. Sapanunggilanipun ingkang kumantil-antil wontên ing manah. Sagêd ugi dadosing lare lajêng kados ingkang dipun-gagas wau. Sanadyan amung sakêdhik èsthining manah tamtu anglabêti. Wontên ugi ingkang beda-beda wêwatêkanipun. Ingkang lajêng watêgipun sae. Ingkang manggulu watêgipun awon sapiturutipun,

punika kados inggih botên liyan inggih saking tiyang sêpuhipun kalih. Têgêsipun

nalika badhe nètèsakên wiji ingkang dados. Bapa biyungipun manahipun sawêg nalika badhe nètèsakên wiji ingkang dados. Bapa biyungipun manahipun sawêg

B : êlo, manawi makatên manah punika ping-pingan sangêt.

A : Inggih nggèr, tiyang ingkang sampun tilangkung punika dipunsêbut manahipun dalêmipun Gusti ingkang Kuwasa kolbu mukmi 74 baetullah . Manawi tiyang limrah, mêmanahanipun tamtu sontan-santu 75 gajêg makatên, gajêg

mangkana. Amila sare dene wontên sêsorah kados ingkang kasêbut nginggil. Prayogi bilih badhe nètèsakên wiji, mawi ya angèsthi ingkang sae. Sampun bêbasan sakengingipun kemawon, sampun makatên. Têtuladanipun wontên inggih mangsa ngêplêkan. Inggih mirit sakêdhik-sakêdhik to cung. Inggih punika Prabu

Dasarata ing Ngayogya 76 , duk arsa pêputra [74]f Sri Jathara Rama Wijaya

Narendrar 77 ing Purwapura.

B : Sanadyan sadaya wau sawêg nama sêsorah nanging manah kula marêm cumêplong sarta rujuk.

A : Sokur nggèr alkamdulilah, walahu aklam.

[74i] : lanjutan dari halaman 75

Ja : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Tiga, pêputra Ya

: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Sakawan, pêputra Nya : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Gangsal, pêputra Ma

: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Nêm, pêputra

74 mukmin 75 sontan-santun

Ga : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Pitu, punika putra dalêm Sri PeBe kaping Sakawan

Tha : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Wolu, punika putra dalêm Sri

PeBe kaping Nêm, pêputra : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping IX

Sri PeBe V Sri PeBe VII Sri PeBe VIII

[75]

Ta : Kanjêng Sinuhun sumare Têgal Arum, pêputra Sa

: Kanjêng Sinuhun Mangkurat Bawa Wa

: Kanjêng Sinuhun Mangkuratan La

: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana Sapisan, punika putranipun ingkang Sinuhun sumare ing Têgal Arum wau. Dados sadhèrèkan mrênah rayi kaliyan Sinuhun Mangkurat Bawa. Sinuhun Pakubuwana Sapisan pêputra:

Pa : Kanjêng Sinuhun Prabu Amangkurat Dha : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Kalih Ja

: PB III Ya

: PB IV

Sadherek sami putra dalêm Sri PeBe IV nanging sanes ibu. Sri PeBe V : nalika pêputra Sri PeBe V taksih jumênêng

Adhipati Anom, ingkang ibu lajêng seda, mila asma Kanjêng Ratu Kadipaten

Sri PeBe VII : saking Kanjêng Ratu Kancana Sri PeBe VIII : saking Kanjêng Raden Rantan Gawa Paminggir

Nya : PB V Ma

: PB VI Ga : PB VII ╒ Ba : PB VIII ╒

Tha : PB IX

╒ : kaping pitu, kaping wolu punika sami putra kaping 4, dados sanes dalêm

kaping 5 kaprênah nèm.

Mangsuli Ha : Kanjêng Kyai Agêng Sesela. Ambêg lêlakuhanipun 78 nalika taksih nèm, rêmên dhatêng ing kaprajuritan, mila ngantos kadadosakên prajurit Tamtama ing Dêmak. Linambaran tapabrata, wêgah dhahar, wêgah nendra, tansah puruhita dhatêng para sagêd ing jaman samantên. Ngèsthi dhatêng dugi prayogi. Mila lêpas dhatêng kawruh kasampurnan. Sarêng sampun sêpuh rêmên sangêt dhatêng budi kapandhitan, nêtêpi agami

Eslam 79 . Rintên dalu tansah sêmbah Hyang nyuwun pitulung ing Gusti Allah ingkang kaèsthi sagêda mêngku ing tanah Jawi. Sasêlaning ngabêkti ing [76] Gusti Allah, sinambi olah tata, nênanêm, sapanunggilanipun,

dèrèng kalampahan sêlak seda. Nanging nalika karaos badhe mapat 80 sampun dhawuh dhatêng ingkang putra Kyai Agêng Nis kinèn anglajêngakên ingkang dados èsthining panggalih wau.

78 lêlabuhanipun

Na : Kanjêng Kyai Agêng Nis. Ambêg lêlabuhanipun nyantri balaka. Karêm lêlana tapabrata dhatêng ing wana. Mandhap ing jurang, minggah ing ardi. Mila ngantos pêparab Bagus Anis, têgêsipun kêrêp kêkesahan ugi puruhita dhatêng para sagêd ngantos dados sabatipun Kyai Bêluk ing Lawiyan. Bêtah nglampahi wêgah dhatêng sare. Ngèsthi wêlingipun ingkang rama tumuntên sagêda kasêmbadan. Dèrèng kalampahan kasêlak seda. Nanging ugi sampun mêling dhatêng ingkang putra kanjêng Kyai Agêng Pamanahan, kinèn anglajêngakên èsthining panggalih. Ca : Kanjêng Kyai Agêng ing Pamanahan. Ambêg lêlabuhanipun, rêmên tapabrata mardi budi utami. Mêmikir tata, titi, tatas, patitis. Amot mêngku dhatêng kawruh akal lêmbat. Sagêd angawula. Waspada dhatêng tindak nistha madya utami. Lêpas ing [77] panggalih, mutusi ing sasmita. Pun padene dhatêng ngalamat ilamat dalajating praja, priksa sadèrèngipun dumados. Mila nalika suwita wontên nagari Pajang saking sagêdipun manggalih dhatêng samukawis ngantos dipunparabi Kyai Pamanahan (namanipun piyambak Ngabdurrahman). Saking sugih pikir jêmbar ing panggalih, mila ingkang dipunsuwitani sabên badhe kagungan karsa, tamtu mundhut pamanggih sarta panimbangipun Kyai Agêng Pamanahan wau. Saking katarimahipun ngantos dipun-ganjar siti ing Mataram. Dalah

malêbat wukiripun pisan (katêlah nama Kyai Agêng Mataram). Salêbêtipun ngawula wontên ing Pajang, sasêlaning pakaryan praja, inggih botên sah cêgah dhahar nendra têtêp ngabêkti ing suksa 81 awit taksih nglastantunakên 82 wêlingipun rama ing nginggil wau. Dèrèng kalampahan malêbat wukiripun pisan (katêlah nama Kyai Agêng Mataram). Salêbêtipun ngawula wontên ing Pajang, sasêlaning pakaryan praja, inggih botên sah cêgah dhahar nendra têtêp ngabêkti ing suksa 81 awit taksih nglastantunakên 82 wêlingipun rama ing nginggil wau. Dèrèng kalampahan

Ra : Kanjêng Panêmbahan Senapati ing ngalaga. Ambêg lêlabuhanipun nèm mila têtêg, têguh, dhantêr ing panggalih, sanadyan sampun nama kagungan

kamuktèn saking ingkang rama (siti ing Mataram) ewadene taksih karêm lêlana tapa brata mati raga, tansah wêgah dhahar nèndra, ngèsthi pêpêndhening sarira, mêlêng gumêlênging karsa. Nênuwun dhumatêng Ingkang Murba Misesa tumuntêna kalêksanan wêlinging rama. Sagêd mêngkoni nata pramudita nung sajawi sadaya. Linambaran nastapa, asih dhatêng sêsamining manungsa kaliyan pangandika mêmalatsih damêl bingah sarta agênging manah. Dhantêr dhatêng yuda. Digdaya

mandraguna prawira têtêg têguh ing pakewuh priksa dhatêng mangsa kala. Tansah ngêtrapakên dugi prayoga watara riringa. Putus dhatêng kêdhap sasmita. Botên kewran dhatêng galaring mangsah. Bilih pasang gêlang botên katupiksa ing mêngsah. Saking rêmpit wingiding karsa alus lurusing wadi ngantos botên kawadaka ing liyan. Bilih badhe mangsah pêrang kajawi panggalih têtêg santosa prayitna ngatos-atos. Mawi nênungku cipta sêmadi mahêni. Ngêlingkên kang panca driya. Mêgêng napas nutupi babaèn nawa sanga. [79] Ngatas karsaning Hyang Wisesa, manawi sampun têrang kaparêng lajêng mangsah sarta nyipta patêmbayaning mandraguna prawira têtêg têguh ing pakewuh priksa dhatêng mangsa kala. Tansah ngêtrapakên dugi prayoga watara riringa. Putus dhatêng kêdhap sasmita. Botên kewran dhatêng galaring mangsah. Bilih pasang gêlang botên katupiksa ing mêngsah. Saking rêmpit wingiding karsa alus lurusing wadi ngantos botên kawadaka ing liyan. Bilih badhe mangsah pêrang kajawi panggalih têtêg santosa prayitna ngatos-atos. Mawi nênungku cipta sêmadi mahêni. Ngêlingkên kang panca driya. Mêgêng napas nutupi babaèn nawa sanga. [79] Ngatas karsaning Hyang Wisesa, manawi sampun têrang kaparêng lajêng mangsah sarta nyipta patêmbayaning

dhatêng

titiyang wêwêngkonipun. Saliranipun kêkantunakên. Nanging ingkang sampun tetela lêpat tuwin awon masthi kapidana punapa lêrêsipun. Ingkang saètu 83 wis 84 lêrês masthi dipun-ganjar samurwatipun. Tansah panggalih waspada prayitna wèwèka, anglêluri saha ngèstokakên sabda wasiyating para sêpuh ingkang amrih raharja.

Ka : Ingkang Sinuhun Seda Krapyak. Ambêg lêlabuhanipun asih marma dhatêng putra, santana, wadyabala. Pangimbating praja adil paramarta.

Nanging panggalihipun tipis, botên patos têtêg radi ngêmu sumêlang. Da : Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Ambêg lêlabuhanipun timur, mila sampun bapa kaliyan [80] para sadhèrèk rêmên sangêt anglampahi tapa brata, bêkti ing Gusti Allah tuwin dhatêng para sêpuh. Asih sangêt dhatêng para Jamhur Ngulami ingkang ahli sarengat tarekat kakekat makripat kawruh ing kaeslaman. Bêbasanipun têtêp ngêdohi cêgah, anglampahi parentahing Nabi panutan. Jumênêngipun narendra ngagêm Ambêg Trimurti, inggih punika: 1)Ambêging Ratu Utami 2)Wali 3)Prajurit, kaagêm sadaya, botên kewran panindakipun.

Têgêsipun Ambêging Ratu Utami wau tansah awas ing pamawas dhatêng adil paramarta kêncêng, têtêp ing pangandika, sagêd damêl agênging manahipun para wadyabala, para dhah ing nguja krama, welas Têgêsipun Ambêging Ratu Utami wau tansah awas ing pamawas dhatêng adil paramarta kêncêng, têtêp ing pangandika, sagêd damêl agênging manahipun para wadyabala, para dhah ing nguja krama, welas

Ambêging Wali, nêtêpi agami Eslam 85 . Bêtah tapa brata cêgah dhahar nendra. Putus ing ngèlmi kasampurnan pamoring kawula gusti, priksa sangkal paraning tumuwuh, botên kalèdhon pangukut, pangracutipun lêpas patitis, sarta pambabaripun inggih botên kaèstu ing tatrap [81] tuwin tansah ngicali susah panggrêsah ing panggalih. Namung angagêngakên panarimah sumarah pasrah satitah èngêt dhatêng Gusti Allah ingkang murba kamisesa ing ngalam sadaya.

Ambêg Prajurit: têtêg, têguh, têtêp, santosa, wèwèka, prayitna, kêndêl dhatêng ing lêrês, sagêd pasang gêlar amrih sêkecaning lampah, murih pakèwêding mangsah. Priksa pating awrat ènthènging lêlampahan tansah dipunmaspaosakên. Lêlambaran prawira sakti mandraguna, bilih sampun têmpuk ing yuda. Amratignya sêpuh kalah sirna mênang ngukum. Botên watak nistha pêpangusira. Salêbêting panggalih amung pasrah dhatêng Ingkang Murba Misesa ing jagad pramudhita. Èwêt bilih tindak punika manut ing lêlampahan. Awon manggih awon, sae manggih sae. Têmtu makatên ambêg lêlabuhanipun ingkang Sinuhun Sultan Agung. Sanadyan sampun jumênêng narendra agung binathara, botên angêgung- êgungakên, malah taksih radi asor raga. Taksih rêmên anjarah desa, amilang kori, ngayam malas anjalak pandêling. Dhalasan sagantên inggih dipunlêbêti. Saking anggènipun martitisakên dhatêng ing kawontênan Ambêg Prajurit: têtêg, têguh, têtêp, santosa, wèwèka, prayitna, kêndêl dhatêng ing lêrês, sagêd pasang gêlar amrih sêkecaning lampah, murih pakèwêding mangsah. Priksa pating awrat ènthènging lêlampahan tansah dipunmaspaosakên. Lêlambaran prawira sakti mandraguna, bilih sampun têmpuk ing yuda. Amratignya sêpuh kalah sirna mênang ngukum. Botên watak nistha pêpangusira. Salêbêting panggalih amung pasrah dhatêng Ingkang Murba Misesa ing jagad pramudhita. Èwêt bilih tindak punika manut ing lêlampahan. Awon manggih awon, sae manggih sae. Têmtu makatên ambêg lêlabuhanipun ingkang Sinuhun Sultan Agung. Sanadyan sampun jumênêng narendra agung binathara, botên angêgung- êgungakên, malah taksih radi asor raga. Taksih rêmên anjarah desa, amilang kori, ngayam malas anjalak pandêling. Dhalasan sagantên inggih dipunlêbêti. Saking anggènipun martitisakên dhatêng ing kawontênan

Ta : Ingkang Sinuhun Têgal Arum. Ambêg lêlabuhanipun inggih amung salimrahing ratu kemawon, ugi asih marma dhatêng wadyabala. Wiyosing pangandika angsring ngecani manah. Nanging sok wontên ingkang botên nyata. Manawi panggalihanipun inggih tansah murih dhatêng raharjaning praja. Namung asring kalêbêtan atur ingkang lala cora tarkadhang inggih karsa ngagêm. Mila pandamêlan ingkang rèmèh-rèmèh sok dipunparlokakên. Rêmên ngugung dhatêng para wanita. Kêrêp tilêm ngagêm panggalih ingkang sawang karsa. Têmahan damêl rangu- ranguning manahipun ingkang tampi dhawuh. Manawi duka botên mawi panggalih panjang. Ingkang [83] kêrêp lajêng kabranang ing atur mêmadul. Dhatêng ing ayuda kirang waspada. Mila kalampahan jêngkar saking Mataram (bêdhah).

Sa : Ingkang Sinuhun Mangkurat Bawa, ingkang mêjahi Trunajaya. Ambêg lêlabuhanipun santosa ing ayuda. Sagêd olah pangandika kêkèrasan, pangandika manis arum nanging angsring botên tana, upami sapunika Sa : Ingkang Sinuhun Mangkurat Bawa, ingkang mêjahi Trunajaya. Ambêg lêlabuhanipun santosa ing ayuda. Sagêd olah pangandika kêkèrasan, pangandika manis arum nanging angsring botên tana, upami sapunika

Wa : Ingkang Sinuhun Mangkurat Mas. Ambêg lêlabuhanipun sanadyan sampun nama diwasa, ewadene panggalihipun taksih kados nalika taksih

timur. Labêt saka kogung bala-ba 86 dhatêng wadyabala punapa dene dhatêng wasita inggih lila pêparing raja brana. Nanging dhatêng wanita bosênan, cêngkiling, mara asta rêmên gêgujêngan ingkang dipuncêlakakên tiyang ingkang ngubungi karsa. Alitan panggalih, angsring sèlak botên nêtêpi prajanji. Rêmên nyobi dhatêng wataking wanita. Pangandikanipun sêmbrana parikêna, botên mituhu dhatêng wêlinging rama. Ing ayuda kirang prawira, tipis ing panggalih, nanging kêrêp pêranging karsa ingkang botên tana.

La : Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan. [84] Ambêg lêlabuhanipun alus, lêmbat, sabar, narama 87 , tawêkal, rèrèh, ririh ing ngandika botên rèsèh. Ngèstokakên dhawuh ing rama. Bêtah tapa brata pasrah ing Gusti Allah, sanadyan dipunwisesa dipunêngis-êngis dhatêng samining manusa inggih amung sumarah. Sadaya rêmbag ingkang dhatêng saliranipun sanadyan lêrês sae badhe sakeca botên lajêng dipunturuti. Nanging kagalih panjang sarta kaèsthi wontên ing cênta maya. Tansah kèndêl wontên ing papan sêpi ijèn sêmadi maladi mahênêng-ngêningkên kang panca driya nêgês dhatêng Gusti ingkang nguwasani ing gêsang kita. Dados bilih kagungan karsa mangka dèrèng têrang tetela saking Hyang Kang Murba, dèrèng karsa anindakakên. Bilih sampun angsal sasmita cêtha wela-wela., punika sawêg La : Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan. [84] Ambêg lêlabuhanipun alus, lêmbat, sabar, narama 87 , tawêkal, rèrèh, ririh ing ngandika botên rèsèh. Ngèstokakên dhawuh ing rama. Bêtah tapa brata pasrah ing Gusti Allah, sanadyan dipunwisesa dipunêngis-êngis dhatêng samining manusa inggih amung sumarah. Sadaya rêmbag ingkang dhatêng saliranipun sanadyan lêrês sae badhe sakeca botên lajêng dipunturuti. Nanging kagalih panjang sarta kaèsthi wontên ing cênta maya. Tansah kèndêl wontên ing papan sêpi ijèn sêmadi maladi mahênêng-ngêningkên kang panca driya nêgês dhatêng Gusti ingkang nguwasani ing gêsang kita. Dados bilih kagungan karsa mangka dèrèng têrang tetela saking Hyang Kang Murba, dèrèng karsa anindakakên. Bilih sampun angsal sasmita cêtha wela-wela., punika sawêg

Pa : Ingkang Sinuhun Prabu Amangkurat. Ambêg lêlabuhanipun alus. Ngêmong dhatêng wadyabala. Asih trêsna sangêt dhatêng garwa putra.

Rêmên [85] paring dana dhatêng putra santana wadya 89 . Sarta pinarcaya ing karya. Botên wontên ingkang dipunsinggèni. Sadaya rinakêt sami kinawula warga. Dadosa sami amrih asih sumungkêm dhatêng panjênênganipun.

Dha : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih. Ambêg

kalakuanipun 90 alus, sabar, aris, lêmês ing panggalih. Rêmên damêl yayan 91 enggal. Warni-warnining kados tênan wêwah-wêwah. Asih dhatêng wadyabala tuwin dhatêng para ngulama. Panggalih tipis, botên panggah, kirang wèwèka nanging radi buta ajêngan. Saking saening panggalih ngantos sadaya aturing wadya kaagêm sadaya, kadosta rêmbag ngrangkul Walandi kaagêm. Rêmbag ngrangkul bangsa Cina kaagêm.

Rêmbag bangsa sabrang kakêsahên 92 saking tanah Jawi kaagêm.Punika labêt saking panggalih kirang kêkêncêngan. Namung pracaya dhatêng aturing putra, santana, wadyabala. Beda-bedaning rêmbag namung dipunpituruti. [86] Saking kirang kêncênging panggalih têmahan wudhar (Kartasura bêdhah).

88 ngati-ati 89 wadyabala 90 lêlabuhanipun

Ja : Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping tiga. Ambêg lêlabuhanipun asih dhatêng garwa, putra, santana, wadyabala. Adil paramarta. Rêmên dhatêng pakaryan kadosta: pangukir, pambubut, panggapyuk, mringgi, undhagi, sapanunggilanipun pandamêlan kajêng. Punapa dene dhatêng cariyos- cariyos têtuladan kina inggih rêmên, ngantos kagungan kakasih tiyang paramèng sastra paramèng têmbung inggih punika Mas Ngabehi Yasadipura Sapisan lajêng aran Ngabehi Tus Pajang utawi Ngabehi Pensiyun. Nanging panggalih dalêm radi tipis. Sabab kados taksih kèngêtan nalika bêdhah ing Kartasura de [87] ning Cina. Bêdhah Pacina wau taksih nglabêti dhatêng panggalih marêm kagungan raos marma was, mila sangêt suka rêna nampèni panungkulipun ingkang raka, nama inggih punika Kanjêng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunagari Sapisan, ingkang aran Sambêr Nyawa. Malah prasasat dipunrangkul rintên dalu tansah mundhut rêmbag-rêmbag ingkang amrih raharja dhatêng ingkang raka wau.

Ya : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping sakawan. Ambêg lêlabuhanipun, nalika dèrèng Pakêpung, panggalih dalêm taksih ngagêm watak timur. Angsring karsa nampèni atur lala cora. Panggalih dalêm kèlu- kêlulun dhatêng tiyang pitu inggih punika: 1)Bahman 2)Wiradigda 3)Kandhuruhan 4)Pasêngah 5)Mat Saleh 6)Sujanapura 7)Wartajaya, sami sagah ing gulangi pêrang anjabêl pasisir manca nagari. Têmahan dados pakêpung wau nalika Garêbêg Mulut taun Jimawal angka 1717 aturipun tiyang pitu mau macêthot. Rèhne ngojok-ojok kang botên sae. Ingkang nêm kasusup ing Gupêrmèn lajêng kaucal. Ingkang satunggal pun jasa Ya : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping sakawan. Ambêg lêlabuhanipun, nalika dèrèng Pakêpung, panggalih dalêm taksih ngagêm watak timur. Angsring karsa nampèni atur lala cora. Panggalih dalêm kèlu- kêlulun dhatêng tiyang pitu inggih punika: 1)Bahman 2)Wiradigda 3)Kandhuruhan 4)Pasêngah 5)Mat Saleh 6)Sujanapura 7)Wartajaya, sami sagah ing gulangi pêrang anjabêl pasisir manca nagari. Têmahan dados pakêpung wau nalika Garêbêg Mulut taun Jimawal angka 1717 aturipun tiyang pitu mau macêthot. Rèhne ngojok-ojok kang botên sae. Ingkang nêm kasusup ing Gupêrmèn lajêng kaucal. Ingkang satunggal pun jasa

ladan sae, miwah warni dalêm ngalus-alus tanpa cacad. Mawi lêgêm 93 ngibadah nêtêpi rukuning agami Eslam 94 . Tansah anjangkung mêmadi manawi mahêning-êning panca driya. Saking sangêt gênturing lampah katarimah ing Pangeran ingkang Maha Agung. Ingkang Sinuhun wau ngantos sinêbut Sinuhun Bagus utawi Waliyolah yaseng Cêmani (dhusun Cêmani punika pasanggrahan dalêm kaprênah [89] saking lèr kadhaton, têbihipun udakawis namung kawan pal)

Nya : ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping lima. Ambêg

lêlabuhanipun kandêl patitis, mardawèng sastra, mardawèng têmbung, rêmên dhatêng sêrat-sêrat, nyêmakakên dhatêng para sagêd, botên tampik cariyos. Awon saenipun pariksani. Cacadipun anggènipun jumênêng namung sakêdhap, udakawis tigang taun. Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping nêm. Ambêg lêlabuhanipun sabar

narimah. Rêmên ramèni 95 dhatêng ingkang kaprênah sêpuh. Trapsila doraka. Pangandika manis arum. Labêt taksih kirang yuswa, kenging sambêkala saking aturing garwa ingkang dipuntrêsnani sangêt. Sêsarêngan ing Ngayogya wontên prakawis ngramanipun Pangeran Dipanêgara. Bibar Pêrang Dipanagaran. Ingkang Sinuhun karsa ya mbangun tapa dhatêng ing Pulo Ambon.

Ma : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping pitu. Ambêg lêlabuhanipun kêndêl santosa, têtêg tata titi patitis, sabar, sarèh,

93 gêlêm 93 gêlêm

Ga : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping wolu. Ambêg

lêlabuhanipun sarwa sagêd, nanging mêsêp 96 angèsthi ing kapandhitan. Rintên

dalu tansah manungku cipta hênêng hêning. Panggalih alus sabar botên nate duka. Lumintu dana kramanipun dhatêng putra santana wadyabala. Dhatêng putra santana asih trêsna sangêt.

5. Sinopsis

Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara menyeluruh. Teks SM ini berbentuk prosa yang disajikan dalam bentuk dialog, terjadi empat kali dialog dengan tema masing-masing. Sebelum menyajikan sinopsis dari teks SM ini, penulis akan terlebih dahulu menyajikan susunan penyajian teks SM secara struktural melalui tabel berikut:

Tabel 4.17 Tabel susunan penyajian teks SM secara struktural

Dialog

Hal.

Isi dialog

Dialog I

1-16

a. Ajaran kepemimpinan dalam lingkup kehidupan keluarga, kehidupan dengan para abdi, dan kehidupan bermasyarakat.

b. Delapan ajaran kepemimpinan, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa. Dialog II 16-37 Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin.

Teks lain 38-52 Sejarah pemberontakan pergerakan Komunis di Bandung, Batavia, dan Banten.

Dialog III 53c-62 Gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang

tidak sejahtera kaitannya dengan sikap manusia.

Dialog IV 71-90 Keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau

raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Paku Buwana VIII.

Berikut sinopsis teks SM yang penulis sajikan perdialog:

a. Dialog I Terhadap keluarga dan sanak saudaranya, seorang pemimpin harus bijaksana, menyayangi mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kepada para abdinya, pemimpin harus memahamkan terkait dengan hak dan kewajibannya, memenuhi kebutuhannya, tidak sewenang-wenang (sikap senioritas), menyayangi mereka dan tidak membeda-bedakan status sosialnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin juga harus menjalin hubungan yang baik keapada sesama, menghormati yang tua dan mengasihi yang muda.

Berikut delapan ajaran kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin:

1) Kuwasa

: berwenang memutuskan segala sesuatu.

2) Purba : bertanggung jawab atas semua permasalahan yang ada.

3) Wisesa

: pemimpin harus tegas.

4) Kukum : perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.

5) Adil : bersikap adil terhadap siapapun sesuai kadarnya.

6) Paramarta : berhati lembut dan kasih sayang terhadap siapapun.

7) Dana : rajin berderma dengan pemberian terbaik.

8) Pariksa : senantiasa mengontrol kebijakan-kebijakan yang telah

diputuskan dan kinerja-kinerja jajaran pemerintahan di bawahnya.

b. Dialog II Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin.

1) Nabi Adam Seorang pemimpin yang sangat sederhana, setiap hari senantiasa terlihat prihatin, dan tanpa rasa malu Nabi Adam bersedia bekerja pekerjaan yang kasar.

2) Nabi Musa Seorang pemimpin yang tegas, tangguh, dicintai semua rakyatnya. Hal itu terlihat ketika peperangan melawan kaum kafir yang hendak menghancurkan Masjid Al-Aqsa, semua rakyatnya ikut terjun di medan peperangan baik itu yang tua, muda, lelaki maupun perempuan. Beliau sangat menyayangi kaum fakir dan miskin.

3) Nabi Yusuf Seorang pemimpin yang menyadari kesalahannya, yakni di tengah-tengah kemakmuran bangsanya, beliau tidak pernah terjun langsung ke lapangan memantau kondisi rakyatnya, hanya didelegasikan kepada utusannya sehingga beliau memutuskan untuk turut hidup susah karena khawatir jika ternyata ada rakyatnya yang hidup susah.

4) Nabi Dawud Seorang pemimpin yang rela bekerja keras demi keluarga, para abdi dan rakyatnya, yakni membuat baju besi kemudian dijual di pasar untuk menafkahi keluarga dan keperluan perang.

5) Nabi Sulaiman Nabi yang paling luas kerajaannnya. Seorang pemimpin yang sangat menyayangi keluarga, para abdi, semua rakyatnya, dan semua makhluk yang ada di alam ini.

6) Nabi Muhammad Seorang pemimpin yang sangat menyayangi keluarga dan anak-anaknya dan seorang pemimpin yang sangat bijaksana.

7) Abu Bakar Ash Shidiq Seorang pemimpin yang sangat bijaksana, hidup sangat sederhana, tidak bersedia memakai uang negara (Baitu Mal) untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.

8) Umar Sama seperti Nab-nabi sebelumnya, beliau juga seorang pemimpin yang sangat sederhana, tidak bersedia memakai uang negara untuk mencukupi kebutuha keluarganya sehari-hari.

9) Utsman bin Affan Di usianya yang semakin senja, beliau masih bertahan memimpin rakyat dan mencari nafkah untuk keluarganya, mekipun tidak seoptimal biasanya.

10) Ali bin Khatab Seorang pemimpin yang sangat pemberani, dan hidupnya sangat sederhana.

c. Dialog III Berisi gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang tidak sejahtera. Jaman yang sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa bersyukur terhadap apa yang ada, tidak pernah mengeluh meskipun kondisi alamnya saat itu sedang kemarau panjang ataupun musim penghujan. Sedangkan jaman yang tidak sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa berkeluh kesah c. Dialog III Berisi gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang tidak sejahtera. Jaman yang sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa bersyukur terhadap apa yang ada, tidak pernah mengeluh meskipun kondisi alamnya saat itu sedang kemarau panjang ataupun musim penghujan. Sedangkan jaman yang tidak sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa berkeluh kesah

d. Dialog IV Berisi keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Paku Buwana VIII.

1) Kyai Ageng Sesela Pemimpin yang gemar bertapa, sederhana hidupnya (rajin berpuasa, sedikit tidur), rajin menimba ilmu kepada orang-orang yang ahli. Di usianya yang semakin senja, beliau semakin rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2) Kyai Ageng Nis Raja yang gemar bertapa dan rajin menimba ilmu kepada orang-orang pintar.

3) Kyai Ageng ing Pamanahan Raja yang juga gemar bertapa, senantiasa menjauhi perbuatan tercela, tajam pemikirannya hingga memiliki kemampuan bisa memprediksi kejadian yang akan terjadi.

4) Kanjeng Panembahan Senapati Raja muda yang tangguh dan teguh, rajin bertapa dan patuh terhadap ayahandanya.

5) Kanjeng Sinuhun Seda Krapyak Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Tetapi beliau seorang raja yang kurang teguh pendiriannya.

6) Kanjeng Sinuhun Sultan Agung Raja yang gemar bertapa, taat terhadap perintah agama Islam, sangat menghormati kaum ulama.

7) Kanjeng Sinuhun Tegal Arum Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Beliau suka memperhatikan hal-hal kecil yang sangat remeh, suka memuja kecantikan wanita, kurang pemberani dan kurang tangguh.

8) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Bawa Raja yang sangat pemberani dan tangguh dalam peperangan, ramah, tetapi kurang teguh pendirian.

9) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Mas Raja yang dermawan, tetapi kurang dewasa dan bijaksana, suka bermain wanita, suka mengingkari janji, dan kurang tangguh dalam medan peperangan.

10) Kanjeng Sinuhun PB I Raja yang penyabar, halus budi pekertinya, senantiasa bersyukur dan tawakal kepada Allah SWT, tidak tergesa-gesa dan mempertimbangkan suatu permasalahan lebih dalam lagi.

11) Kanjeng Sinuhun Prabu Amangkurat Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Rajin berderma. Tidak suka membanding-bandingkan status sosial orang tertentu.

12) Kanjeng Sinuhun PB II Raja yang penyabar, halus budi pekertinya dan baik hatinya. Tetapi terlalu mempercayai setiap masukan tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu.

13) Kanjeng Sinuhun PB III Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Gemar membuat benda-benda dari kayu. Sangat menyukai karya sastra dan bersahabat dekat dengan ahli sastra bernama Yasadipura I.

14) Kanjeng Sinuhun PB IV Raja yang kurang teguh pendirian sehingga mudah dipengaruhi oleh orang lain.

15) Kanjeng Sinuhun PB V Raja yang sangat pandai dalam hal kesusatraan, rajin mempelajari karya-karya sastra Jawa Klasik.

16) Kanjeng Sinuhun PB VI Raja yang sangat penyabar, senantiasa bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Raja yang ramah, supel, gaya bicaranya menyenangkan.

17) Kanjeng Sinuhun PB VII Raja yang sangat pemberani, tangguh, teguh pendirian, tegas, sabar, dan senantiasa berlaku adil. Beliau sangat disayangi oleh rakyat, abdi dan para punggawanya. Jaringannya cukup luas sampai ke mancanegara.

18) Kanjeng Sinuhun PB VIII Raja yang multi talenta (serba bisa). Hatinya sangat lembut, sabar, dan tidak pernah marah.