Tinjauan Pustaka

b. Pengertian Pendidikan Karakter

Sebelum mengetahui mengenai pengertian pendidikan karakter, akan lebih baik apabila dibahas mengenai pengertian pendidikan dari berbagai sudut pandang. Menurut Ibnu Khaldun pendidikan merupakan usaha untuk melahiran masyarakat yang berbudaya serta usaha untuk melestarikan masyarakat

commit to user

daya manusia yang berkualitas. Sementara peran pendidikan menurut Ibnu Khaldun yakni untuk melahirkan budaya masyarakat bekerja untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas hidup, dengan demikian pendidikan adalah pembentukan nilai-nilai dari pengalaman untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidup manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan serta perkembangan zaman (Marsudin Siregar, 1999: 16).

Suroso Prawiroharjo mengartikan pendidikan sebagai bantuan pendidik yang membuat siswa dewasa, artinya kegiatan pendidik berhenti, tidak diperlukan lagi, apabila kedewasaan yang diinginkan telah tercapai. George F. Kneller mengartikan pendidikan dalam arti luas sebagai suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa, karakter, atau kemampuan fisik individu. Secara teknis, Kneller mengartikan pendidikan sebagai proses dimana masyarakat melalui lembaga (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga lain) dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya berupa nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 16-18).

Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. John Dewey memaknai pendidikan sebagai rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Menurut Driyarkara pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda, sedangkan John S.

commit to user

potensi, kapasitas manusia melalui kebiasaan yang baik sebagaimana tujuan yang diinginkan ( Siswoyo, 2008: 16-18).

Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yakni pertama, memberikan kesempatan untuk berpikir aktif dan bekerja sehingga pemikirannya semakin matang. Kedua, memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat untuk hidup baik dalam masyarakat yang maju dan berbudaya. Ketiga, memperoleh lapangan kerja atau sebagai jalan kehidupan (Marsuddin Siregar, 1999: 16). Dilihat dari tujuan pendidikannya, konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Khaldun bersifat ideologis, praktis (pragmatisme) yang mengutamakan pada perkembangan zaman. Kegiatan pendidikan (mendidik) merupakan sebuah upaya untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai baik untuk membekali seseorang dalam menjalani kehidupan (Hatta Rajasa, 2009: 6).

Berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, maka pemerintah telah bertekad untuk menjadikan pendidikan menjadi landasan utama dalam pembinaan dan penumbuhkembangkan karakter bangsa. Untuk itu maka pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan harus diarahkan pada tiga hal pokok, yakni sebagai berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai sarana untuk membina dan meningkatkan jati diri bangsa untuk mengembangkan seseorang sehingga sanggup mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah Swt. Pembinaan jati diri akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin pada sikap dan perilakunya. Tanpa adanya jati diri, suatu

commit to user

tantangan globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini (Hatta Rajasa, 2009: 6).

Kedua, pendidikan sebagai media utama untuk menumbuhkembangkan kembali karakter bangsa Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong, tangguh, dan santun. Sehingga apabila karakter ini dapat dibangun kembali, diperkuat, maka Insya Allah, akan mampu menghadapi setiap krisis dan tantangan masa depan. Ketiga, pendidikan sebagai tempat pembentukan wawasan kebangsaan, yaitu perubahan pola pikir warga bangsa yang semula berorientasi pada kesukuan menjadi pola pikir kebangsaan yang utuh. Melalui wawasan kebangsaan dapat dibangun masyarakat yang saling mencintai, saling menghormati, saling mempercayai, dan bahkan saling melengkapi satu sama lain, dalam menyelesaikan berbagai masalah pembangunan (Hatta Rajasa, 2009: 6).

Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah membentuk karakter yang baik dalam diri manusia, sehingga akan tercapai masyarakat yang cerdas, dan berkarakter baik. Dengan demikian secara tersirat dalam pengertian pendidikan, telah memuat hal-hal mengenai pendidikan karakter. Adanya istilah pendidikan karakter mengisyaratkan bahwa pengertian pendidikan mengalami pendangkalan arti, karena makna sebanarnya pendidikan telah memuat unsur pengetahuan (kognitif), nilai sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik).

Pendidikan karakter sebagai bagian dari pendidikan di sekolah menurut Charlie Abourjilie (2006: 2) adalah gerakan menciptakan lembaga pendidikan yang mendorong untuk beretika, bertanggung jawab, dan kepedulian dengan pola

commit to user

merupakan cara pemecahan jangka panjang yang membahas moral, masalah etika, dan masalah pendidikan. Pendidikan karakter dapat mengatasi masalah kritis seperti absensi siswa, masalah disiplin, penyalahgunaan obat, kekerasan geng, kehamilan remaja di luar nikah dan wajah akademis yang buruk. Pendidikan karakter mengintegrasikan nilai-nilai positif ke setiap bidang termasuk sekolah.

Nilai-nilai baik yang didapatkan dari pendidikan karakter akan membentuk karakter bangsa secara perlahan. Berangkat dari pembentukan karakter pribadi menuju karakter bangsa sebagai ciri khas keindonesiaan. Menurut Hatta Rajasa pendidikan karakter bangsa bertujuan untuk menjadikan modal nasional menjadi kekuatan yang akan menjadikan Indonesia menjadi negara maju, kita harus mengedepankan pembangunan karakter dan watak bangsa yang positif. Pembangunan karakter yang akan menjadikan rakyat Indonesia menjadi kumpulan masyarakat pekerja keras, penuh semangat juang yang tinggi, mampu saling bekerjasama secara produktif dengan sesama warga bangsa, untuk menjadikan bangsanya bangsa yang maju dan berhasil dalam pembangunan. Pembinaan moral dan karakter bangsa sangat terkait erat dengan peningkatan kualitas pembangunan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Hatta Rajasa, 2009: 6).

Yoyon Bakhtiar Irianto (2010: 3) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah sifat yang baik. Dalam ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan

commit to user

bukan sekuler, namun sesungguhnya antara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. Dalam prakteknya, pendidikan akhlak berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran yang sesuai dengan perencanaan sebelumnya.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Charlie Abourjilie, Character Education Partnership (CEP, 2003: 151) mendefinisikan Pendidikan karakter adalah sebuah gerakan menciptakan sekolah yang mendorong orang-orang muda mempunyai perilaku etis, bertanggung jawab dan peduli melalui pemodelan dan mengajarkan karakter yang baik dengan penekanan pada nilai-nilai universal yang dimiliki. Ini merupakan usaha, proaktif yang dilakukan oleh sekolah, masyarakat dan negara untuk menanamkan inti dari nilai-nilai etis yang penting bagi siswa seperti kejujuran, tanggung jawab keadilan, dan menghormati diri sendiri dan orang lain. CEP menegaskan bahwa pendidikan karakter bukanlah sebuah perbaikan dengan waktu yang singkat. Perlu waktu yang panjang dan berkelanjutan untuk menerapkan moral, etika dan akademik.

Thomas Lickona, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai ”. . . intentional and focused effort to help students understand, care about and act upon core ethical values.” (upaya disengaja dan tercurah untuk menolong murid supaya mengerti, peduli, dan melakukan nilai-nilai etis). Senada dengan Lickona, Kevin Ryan dan Karen E. Bohlen, penulis Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life, mendefinisikan pendidikan

commit to user

the good.” (mengajari murid untuk mengetahui hal yang baik, mencintai kebaikan, dan lakukan hal yang baik). (Leslie Luton Matula, 2004: 3). Menurut kedua tokoh diatas pendidikan karakter sebagai upaya yang disengaja dan terfokus untuk membantu siswa memahami, peduli dan bertindak berdasarkan nilai-nilai inti etis dan sebagai pengajaran siswa untuk mengetahui yang baik, cinta yang baik, dan melakukan yang baik.

Lebih lajut Thomas Lickona dalam CEP menyatakan bahwa pendidikan moral sebagai pembentukan karakter bukan ide baru, pada kenyataannya setua pendidikan itu sendiri. Turun melalui sejarah, di negara-negara di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar yakni untuk membantu orang muda menjadi cerdas dan untuk membantu mereka menjadi baik. Karakter yang baik adalah tidak terbentuk secara otomatis, melainkan dikembangkan dari waktu ke waktu melalui proses berkelanjutan dari mengajar, misalnya, belajar, dan praktek. Hal ini dikembangkan melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter sangat penting dalam masyarakat saat ini, karena generasi muda banyak menghadapi bahaya yang tidak diketahui generasi sebelumnya. Mereka dibombardir dengan pengaruh negatif melalui media dan sumber di luar itu yang lazim dalam budaya saat ini (The Character Education Patnership, 2003: 151).

Sebagai cara untuk mengembangkan siswa secara sosial, etis dan akademis yakni dengan menanamkan mengembangkan karakter ke dalam setiap bagian di sekolah seperti budaya, pembelajaran, dan kurikulum. Tujuannya adalah untuk membantu mengembangkan karakter yang baik pada diri siswa, yang mencakup

commit to user

tanggung jawab, kewajaran kejujuran, dan kasih sayang. Secara gamblang CEP menyatakan sebagai berikut.

. . . to develop students socially, ethically and academically by infusing character development into every aspect of the school culture and curriculum. To help students develop good character, which includes knowing, caring about and acting upon core ethical values such as respect, responsibility, honesty, fairness and compassion (The Character Education Partnership, 2003: 151).

Dalam kerangka besar mengenai pendidikan karakter yang tercantum dalam kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010-2025 (2010: 34) pendidikan karakter terbentuk dari nilai-nilai luhur yang dilandasi oleh teori dalam pendidikan, teori nilai, psikologi sosial budaya, pengalaman dan praktik nyata. Di sisi lain Pancasila, UUD’45 (Undang-Undang Dasar 1945), sistem pendidikan nasional ikut mewarnai dan melandasi pendidikan karakter. Di lapangan pendidikan karakter akan dilakukan di sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai pendukung maka perlu tercipta pembiasaan (habituation) dalam melakukan nilai-nilai karakter. Tujuan pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi yakni sebagai berikut di bawah ini.

Pertama, cinta kepada Allah dan alam semesta beserta isinya. Kedua, tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian. Ketiga, kejujuran, keempat, hormat dan santun. Kelima, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama. Keenam. percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah. Ketujuh, keadilan dan kepemimpinan, kedelapan, baik dan rendah hati. Kesembilan, toleransi, cinta kedamaian dan persatuan. Inilah nilai-nilai yang harus dikembangkan untuk mengarahkan pada proses insan berkarakter (Tim Redaksi Suara Muhammadiyah, September 2010: 30).

Pendidikan karakter dalam lingkup yang besar berpusat pada satuan pendidikan (sekolah) secara utuh. Sekolah merupakan bagian utama yang secara

commit to user

untuk memprakarsai, berkesinambungan proses menjadi garda depan Pengembangan karakter karakter bangsa tahun kegiatan belajar-mengajar pengembangan budaya kurikuler, serta kegiatan karakter akan berhasil apabila keempat pilar tersebut saling mendukung.

Kerangka besar Pendidikan Karakter Etzioni melihat

dalam membina karakter peradaban dan moral.

memprakarsai, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan berkesinambungan proses pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan

depan dalam upaya pembentukan karakter man karakter di sekolah dalam kebijakan nasional tahun 2010-2025 (2010: 34) dibagi menjadi empat mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Penanaman

karakter akan berhasil apabila keempat pilar tersebut saling mendukung.

Gambar 2.

Pendidikan Karakter (Pemerintah Republik Indonesia, 2010: 34) melihat lembaga pendidikan (sekolah) mempunyai

karakter dengan menanamkan disiplin diri dan empati, moral. Guru tidak cukup menceramahi siswa dengan

menyempurnakan secara sekolah. Pendidikan yang karakter manusia Indonesia. nasional pembangunan menjadi empat pilar, yakni keseharian dalam bentuk kurikuler dan ekstra Penanaman nilai

karakter akan berhasil apabila keempat pilar tersebut saling mendukung.

nesia, 2010: 34) mempunyai peran sentral

dan empati, nilai-nilai dengan pengetahuan

commit to user

sehari-hari. Untuk mengamalkan nilai karakter Goleman mengkaitkannya dengan keterampilan sosial dan emosional (Daniel Goleman, a.b., T., Hermaya, 2003: 406). Artinya kecerdasan emosional akan saling mempengaruhi dengan terbetuknya karakter dalam diri siswa.

FW Foester pada abad ke-19 telah menggagas mengenai pendidikan karakter dan memberikan 4 ciri dalam proses pendidikan tersebut yakni, a) keteraturan interior dengan menempatkan nilai sebagai acuan normatif dalam bertindak, b) memberikan keberanian membuat seseorang peguh dalam memegang prinsip, percaya diri dan mempercayai orang lain, c) memupuk kepribadian dengan menerapkan nilai dan aturan dari lingkungan sebagai bagian pembentuk karakter, d) keteguhan dan kesetiaan sebagai daya tahan dan penghormatan terhadap kesetiaan (Nur Kholis, 2010:53).

Mengenai keberhasilan dalam proses pendidikan sedangkan Thomas Lickona (1988: 420-421) menyatakan pentingnya untuk membentuk karakter yang baik pada siswa maka pendidikan moral harus memiliki kesempatan untuk membuat dampak yang nyata pada perkembangan karakter siswa. Di dalam kelas harus mampu membangun harga diri dan rasa bermasyarakat, belajar untuk bekerja sama dan membantu orang lain, refleksi moral, dan ikut serta membuat keputusan dalam suatu hal dengan cara musyawarah Lickona menyatakan sebagai berikut.

To do an adequate job of moral education one that has a chance of making

a real impact on a child's developing character-four processes should be going on in the classroom: 1) building self esteem and a sense of

commit to user

and 4) participatory decision making (Thomas Lickona, 1988: 420-421).

Walaupun Lickona menerapkan ini kepada siswa sekolah dasar naumun nilai-nilai tersebut masih bisa diterapkan kepada remaja. Harga diri, kerjasama dan musyawarah merupakan bagian umum dari nilai karakter yang biasa diterapkan kepada siapa saja. Mengertian karakter yang lain mengacu kepada pendapat James C. Sarros and Brian K. Cooper (2006: 3) yang menjelaskan karakter sebagai ekspresi lahiriah dari nilai-nilai pribadi dan rasa integritas yang dimaksudkan untuk mencapai hasil yang sesuai moral. Karakter sebagai integritas pribadi keyakinannya yang mendasar dan sikap, menyajikan nilai-nilai kepada semua orang dan membuat keputusan.

Agar efektif, pendidikan karakter harus mencakup seluruh komunitas sekolah dan sistem kurikulum di sekolah. Pendidikan karakter mempromosikan nilai-nilai inti dalam semua fase kehidupan sekolah dan termasuk strategi proaktif dan praktik yang membantu anak-anak tidak hanya memahami inti nilai-nilai etika, tetapi juga untuk peduli dan bertindak. Berdasarkan penelitian para ahli terkemuka yang terangkum menjadi sebelas prinsip CEP (2003: 152) dalam melaksanakan Pendidikan Karakter yang efektif yakni sebagai berikut.

1) Mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik.

2) Mengajar siswa untuk memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan inti nilai-nilai etis.

3) Mencakup semua aspek dari budaya sekolah.

4) Menumbuhkan kepedulian di dalam komunitas (lingkungan) sekolah.

5) Memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan tindakan moral.

commit to user

kepribadian siswa dan membantu siswa untuk berhasil.

7) Mengembangkan motivasi intrinsik, maksudnya memberikan motivasi

kepada siswa supaya mampu melaksanakan pendidikan dengan baik.

8) Keterlibatan seluruh staf atau karyawan di sekolah sebagai warga sekolah yang ikut memandu dan sebagai teladan siswa ketika melakukan pendidikan.

9) Membutuhkan kepemimpinan positif dari staf atau karyawan dalam hal ini yakni kepemimpinan moral sebagai penerapan dari pendidikan karakter.

10) Melibatkan orang tua dan anggota masyarakat sebagai bagian dari pembangunan karakter baik pada diri siswa.

11) Melakukan penilaian terhadap hasil pendidikan dan berusaha meningkatkannya. Menurut Samsuri (2011: 13) dari sebelas indikator pendidikan karakter yang

efektif tersebut terdapat peran orang tua dan masyarakat. Di lingkungan sekolah pun pendidikan karakter perlu didukung oleh budaya sekolah yang melibatkan seluruh elemen sekolah seperti pimpinan sekolah, guru, karyawan, dan iklim berkarakter mulia diantara sesama siswa. lebih lanjut Samsuri menyimpulkan bahwa pendidikan kareter akan efektif apabila dilakukan secara aktif, diarahkan untuk setiap individu, diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang baik.

Keberhasilanan program pendidikan karakter juga dipengaruhi oleh cara dan pola pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Menurut Wiliams sebagaimana yang dijelaskan oleh Samsuri (2011: 13) sedikitnya terdapat enam model pembelajaran

commit to user

oleh Lickona dan Berkowitz, a) model pembelajaran kooperatif, b) model pembelajaran sastra, c) model resolusi konflik, d) model diskusi dan pelibatan siswa dalam penalaran moral, dan e) model service learning. Selain model tersebut di atas terdapat juga model lainnya yakni model pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah, visi dan misi sekolah, teladan guru, penegakan peraturan, dan disiplin. Tentunya model ini akan tercapai apabila keadaan elemen sekolah telah benar-benar mendukung.

Kaitannya pendidikan karakter, identitas, jati diri, dan aspek-aspek kepribadian manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Soemarno Sudarsono sebagaimana dikutip oleh Salmah Fa’atin menyatakan bahwa identitas lebih mencerminkan penampilan fisik sedangkan jati diri merupakan sifat yang hakiki yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai sifat dasar, sementara karakter adalah watak yaitu pengembangan jati diri sebagai aspek kepribadian manusia, selain intelektual, tempramen, dan keterampilan (Salmah Fa’atin, dalam Ali Muhdi Amnur, 2007: 73). Karakter dan keterampilan dapat diubah atau dibentuk melalui pendidikan atau pengaruh lingkungan sekitar.

Doni Koesoema memberikan perbedaan antara pendidikan karakter dan pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama dan kewarganegaraan ditinjau dari keterkaitan dan hubungannya.

1) Pendidikan karkater dan pendidikan moral. Ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan. Pendidikan moral ruang lingkupnya adalah kondisi sedangkan pendidikan karakter pengambilan

commit to user

pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan.

2) Pendidikan karakter dan pendidikan nilai. Nilai merupakan nilai individu sedangkan karakter sistem nilai individu dan kelompok yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis.

3) Pendidikan karakter dengan pendidikan agama. Karakter menjadi bangunan dari landasan kekuatan iman dan relasi nilai spiritual dari teks menuju konteks.

4) Pendidikan karakter dan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaran merupakan sumber formal struktural pendidikan karakter dan pendidikan karakter memuat nilai-nilai demokrasi.

Soedijarto mengkaitkan pendidikan karakter bangsa sebagai cerminan dari Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menurut Soedijarto yakni sikap yang mengutamakan pada kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, nilai-nilai tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, nilai tentang pentingnya musyawarah dan mufakat sebagai bentuk pengambilan keputusan untuk kepentingan yang menyangkut orang banyak, pentingnya ketekwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disiplin nasional, sikap patriotik, kerjasama untuk kemajuan bangsa, menghargai harkat orang lain berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Soedijarto dalam Restu Gunawan, 1998:11-12).

Sutarno mengkaitkan pendidikan karakter dengan akhlak mulia, beliau mengatakan bahwa untuk menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia

commit to user

memungkinkan terbentuknya karakter menuju pribadi-pribadi yang berakhak mulia, perilaku jujur, cerdas, tangguh dan peduli, kompeten kreatif, serta memiliki komitmen yang tinggi sebagai warga negara yang demokratis. Hal ini akan terwujud jika lingkungan masyarakat, keluarga, pemerintah terus mendukung secara berkelanjutan (Sutarno, 2011: 6-7). Dengan demikian semua pemangku kepentingan harus bersama-sama saling mendukung untuk mewujudkan generasi yang berakhlak mulia.

CEP (2003: 155) sebagai lembaga yang menangani tentang pendidikan karakter yang berkedudukan di Washington menekankan bahwa pendidikan karakter masih berkaitan dengan ajaran agama sebagai keyakinan dari setiap manusia. Program pendidikan karakter menegaskan nilai religius dan filosofis komitmen. Iman adalah pembentukan dari lingkungan keluarga dan komunitas agama. Tetapi sekolah-sekolah umum dapat mengajarkan tentang agama (yang dibedakan dari indoktrinasi agama) sebagai bagian dari pendidikan karakter. Misalnya, kurikulum dapat mencakup pengajaran tentang peran agama dalam sejarah dan masyarakat kontemporer, mengingatkan siswa mengenai kenyataan bahwa keyakinan moral sering didasarkan pada ajaran-ajaran keagamaan. Di Amerika ataupun di Eropa yang merupakan penganut sekulerisme tentu pelajaran agama adalah bagian yang tidak ada dalam kurikulum di sekolah umum. Namun sangat disadari bahwa agama sebagai bagian dari hak dari seseorang yang tetap akan mempengaruhi dalam perilaku seseorang dalam mengambil keputusan untuk

commit to user

karakter.

. . . public schools may teach about religion (as distinguished from religious indoctrination) as part of complete education. For example, the curriculum may include teaching about the role of religion in history and contemporary society, alerting students to the fact that moral convictions are often grounded in religious traditions (CEP, 2003: 155).

Mengenai keterkaitan antara pendidikan karakter dengan ajaran agama Thomas Lickona (1999: 23-27) mengatakan terdapat tujuh cara memasukan nilai karakter melalui kontribusi nilai-nilai agama yakni sebagai berikut.

a) Memasukan moralitas kedalam diri siswa dengan konsep ajaran agama.

b) Persamaan derajat manusia dihadapan Tuhan dan menciptakan keharmonisan dan keadilan.

c) Membantu siswa memahami peran motivasi agama dalam kehidupan individu, baik dalam sejarah dan dalam waktu saat ini. Siswa dapat diperkenalkan dengan tokoh teladan dalam agama sebagai motivasi untuk kehidupannya.

d) Menciptakan kurikulum khusus yang mencakup pelajaran keagamaan.

e) Sekolah dapat mendorong siswa untuk memanfaatkan semua sumber daya intelektual dan budaya, termasuk tradisi iman mereka, ketika mereka mempertimbangkan masalah sosial (misalnya, kewajiban kita untuk orang miskin) dan membuat keputusan moral pribadi (misalnya, apakah melakukan hubungan seks sebelum menikah).

f) Sekolah juga dapat memanfaatkan agama sebagai cara untuk melibatkan para siswa dalam mempertimbangkan pertanyaan.

commit to user

Jadi yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah kegiatan yang dilakukan untuk membentuk suatu moralitas, akhlak mulia, secara perlahan melalui berbagai cara sehingga siswa akan mengalami perubahan sifat dan tingkah laku kearah yang lebih baik secara terbiasa. Sifat dan kebiasaan seperti inilah sebagai pembentuk karakter baik. Terdapat Perbedaan aspek teoritik pada pendidikan karakter. Perbedaan model tersebut menurut Samsuri dapat dibagi menjadi tiga yakni, pertama, pendidikan karakter yang menekankan pada model pengajaran langsung (direct instruction) yang mengedepankan pada penanaman nilai-nilai kepada generasi muda dengan keutamaan-keutamaan yang ada di masyarakat. Fokusnya ialah latihan pembiasaan atau perilaku keutamaan (kebajikan). Kedua, pendidikan karakter yang menekankan kepada model pengajaran tidak langsung (indirect instruction) yang menekankan kepada pemahaman anak dan perkembangan sosio-moral yang membentuk interaksi personal teman sebaya di bawah panduan perhatian orang-orang dewasa. Ketiga, pendidikan karakter yang menekankan pada pembangunan komunitas. Paradigma model ini menekankan kepada lingkungan dan hubungan kepedulian serta pembentukan komunitas-komunitas moral (Samsuri, 2011:11).

c. Karakteristik Siswa SMA/MA (Usia Remaja)

Usia siswa SMA/MA di Indonesia rata-rata berkisar antara 15-19 tahun, tahapan ini disebut dengan masa remaja (adolescence). Tidak ada patokan pasti mengenai batas usia masa anak-anak dengan masa remaja, Harlock (2004: 206) mengungkapkan bahwa awal dari masa remaja kira-kira dari umur tiga belas tahun

commit to user

17 sampai 18 tahun. Masa remaja terjadi pada saat anak matang secara seksual dan berakhir setelah ia matang secara hukum. Perilaku, sikap dan nilai-nilai mengalami perubahan secara mencolok. Walaupun demikian masa remaja tetap dipengaruhi oleh masa sebelumnya sebagai suatu runtutan tahapan perkembangan pada manusia.

Perkembangan pada manusia mempunyai beberapa tahap, Rousseau membagi empat tahapan perkembangan berdasar umur, 0-5 tahun masa anak-anak (infancy) perasaan senang dan tidak senang, 5-12 tahun masa bandel (savege stage). 12-15 tahun bangkitnya akal (ratio) nalar (reason) dan kesadaran diri (self consciousness), dan keempat adalah 15-20 sebagai masa kesempurnaan remaja (adolescence proper) dan masa puncak perkembangan emosi (Sarlito Wirawan S., 2008: 23).

Berbeda dengan teori Rousseau, Erik-Erikson mengungkapkan mengenai perkembangan manusia terdapat delapan tahap yang semuanya mempunyai dua kubu yang berlawanan. Tahap-tahap itu yakni tahap percaya yang berlawanan dengan tidak percaya (trust versus mistrust), tahap otonomi yang berlawanan dengan rasa malu dan ragu-ragu (autonomy versus shame and doubt) tahap ini berkisar antara 1-3 tahun, tahap inisiatif yang berlawanan dengan rasa bersalah (initiative versus guilt) dapat disebut juga sebagai tahap pra sekolah. Tahap industri yang berlawanan dengan perasaan rendah diri (industry versus inferiority) terjadi pada usia sekolah dasar. Tahap identitas yang berlawanan dengan kekacauan identitas (identitiy versus identity confusion) sebagai tahap remaja,

commit to user

(intimacy versus isolation), generativitas yang berlawanan dengan stagnasi (generativity versus stagnation), dan integritas yang berlawanan dengan rasa putus asa (integrity versus despair).

Menurut Erikson tahap remaja berada pada masa identitas versus kekecauan identitas. Tahap kelima ini dialami oleh individu selama masa remaja yang dihadapkan kepada pertanyaan siapa mereka, mereka sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju hidupnya. Remaja dihadapkan dengan peran baru dan status dewasa yang menyangkut dengan pekerjaan dan asmara. Peran orang tua seharusnya memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan bakatnya. Bila anak menemukan peran-perannya dengan sehat maka akan terbentuk identitas yang baik. Tetapi jika dipaksakan maka akan muncul kekacauan identitas pada diri remaja (John W. Santrock, a.b. Shinto B. Adelar & Serly Saragih, 2003: 46- 47).

Masa remaja memiliki ciri perubahan yang bersifat umum dan dialami oleh setiap remaja. Perubahan itu adalah pertama, meningginya emosi. Kedua perubahan tubuh, minat dan perubahan peran dalam kelompok sosial. Ketiga, pergeseran nilai-nilai, hal yang dianggap penting ketika masa anak-anak sekarang sudah tidak penting lagi. Keempat, mempunyai perasaan yang bertentangan dalam setiap perubahan, menginginkan kebebasan tetapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasan tersebut (Hurlock, 2004: 207).

Menurut Hall masa remaja adalah masa “topan badai” yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai dalam diri seorang remaja (Sarlito Wirawan S.,

commit to user

yang menentukan dengan kondisi seseorang yang banyak mengalami perubahan kejiwaan (psikis) maupun fisiknya. Remaja banyak mengalami gejolak dalam dirinya sehingga mudah melakukan penyimpangan dari aturan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungannya. Peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa biasanya seorang anak tidak mau lagi disebut sebagai anak-anak, karena secara fisik usia ini dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat hampir menyamai dengan fisik orang dewasa, tetapi secara kejiwaan mereka masih belum matang seperti layaknya orang dewasa. Kematangan jiwa remaja di pengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan, pengetahuan dan faktor manusia itu sendiri.

Teori belajar sosial yang diketengahkan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa perkembangan perilaku dipengaruhi oleh faktor manusia, pengetahuan, tingkahlaku, dan lingkungan. Komponen itu saling berhubungan, tingkah laku akan mempengaruhi pengetahuan dan sebaliknya, pengetahuan akan mempengaruhi lingkungan, pengaruh lingkungan akan mengubah pola pikir individu. Dalam hal ini lingkungan yang mempunyai pengaruh paling penting diantara yang lainya (John W. Santrock, a.b. Shinto B. Adelar & Serly Saragih, 2003: 53). Faktor lingkungan masyarakat dan kehidupan keluarga menjadi salah satu unsur penting dalam mempengaruhi perkembangan masa remaja. Menurut Zulkifli di lingkungan perkotaan masa remaja akan lebih lama terjadi sedangkan di daerah pedesaan akan cenderung cepat berakhir (Zulkifli, 2006: 63). Ciri perkembangan masa remaja yakni sebagai berikut di bawah ini.

commit to user

makan dan tidur akan bertambah dengan pertumbuhan tinggi badan dan otot yang cepat.

2) Perkembangan seksual, perkembangan seksual pada anak remaja lebih pada tanda-tanda biologis pada seorang anak biasanya di tandai dengan produksi seperma sedangkan pada perempuan mengalami menstruasi. Selain itu biasanya tumbuh jerawat.

3) Cara berpikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab dan akibat mereka cenderung mempertanyakan sebab dan akibat dari suatu norma. remaja sudah mulai berpikir kritis dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiranya.

4) Emosi yang meluap luap remaja suatu saat bisa sedih sekali senang sekali atau pun marah sekali karna kondisi emosi yang sedang labil. Remaja cenderung tertarik pada lawan jenis dan lingkungan serta terikat dengan kelompok (Zulkifli, 2006: 65-67).

Untuk membekali perkembangan masa remaja hal-hal yang bersifat keagamaan sudah mulai diajarkan sejak kecil di lingkuangan keluarga. Pendidikan ketuhanan akan mempertajam pandangan untuk melihat gejala-gejala pertama dari perkembangan keagamaan yang sebenarnya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan harus diterangkan misalnya saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Tahap ini merupakan dasar yang baik untuk pembentukan pandangan kritis remaja yang sedang berkembang.

commit to user

keagamaan dengan berbagai gejolak yang ada dalam pikirannya. Tradisi keagamaan terkadang dianggap sebagai hal yang menjenuhkan karena banyaknya dogma-dogma yang harus meraka taati. Dogma agama menjadikan kebebasan mereka menjadi terhalang, bahkan mereka tidak segan-segan untuk menentang tradisi yang telah lama ada karena dianggap tidak sesuai dengan akal rasionalnnya. Jika hal ini terus dibiarkan pada diri anak maka mereka akan semakin jauh terhadap ajaran agama. Perlu tindakan pencegahan agar tidak menagarah ke hal yang negatif dengan melakukan bimbingan yang sehat secara berkelanjutan.

Perkembangan etika juga terjadi pada masa remaja. Etika mengajarkan hal yang dianggap baik dan hal yang dianggap buruk dalam suatu lingkungan masyarakat. Ukuran baik dan buruk dalam diri seseorang adalah kata hati. Kata hati dipengaruhi oleh faktor pembawaan, lingkungan, agama dan usia. Anak yang lebih mendalam ajaran agamanya kata hati merupakan alat kontrol tingkah laku mereka. Etika menurut Zulkifli (2006: 74-75) lebih pada norma-norma yang merupakan keharusan bagi individu sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan dalam hidup. misalnya tidak boleh berbohong, tidak boleh nakal, tidak boleh mencuri dan sebagainya. Tidak salah ketika pendidikan karakter benar-benar ditanamkan pada masa remaja sebagai masa peralihan dan masa pencarian jati dirinya. Nilai-nilai karakter baik yang terbentuk dalam diri remaja akan melekat dan mewarnai perilakunya sebagaimana telah dijelaskan di atas.

commit to user

Peran Islam sebagai agama dalam kehidupan sebagai suatu sistem nilai yang diakui dan dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan kearah keselamatan hidup. Menurut Mawardi Lubis (2009: 29) Agama adalah suatu pandangan yang mencakup berbagai kepercayaan yang lahir melalui ide, pikiran atau gagasan manusia baik dalam bentuk budaya, maupun agama. Majid dalam Mawardi Lubis (2009: 29) mengungkapkan agama adalah sesuatu yang berkisar pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan seluruh yang ada termasuk manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Tuhan. Jadi agama adalah keyakinan adanya kekuatan di luar kekuatan yang dimiliki manusia yang dimiliki oleh Tuhan serta memiliki cara tertentu (ritual) dengan norma tertentu sebagai pengatur hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Dalam penerapan ajaran agama tentu biasa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yakni dengan pendidikan keagamaan di sekolah, madrasah, pesantren atau dalam keluarga. Lembaga keagamaan di Indonesia juga berperan dalam bidang pendidikan dengan agama sebagai dasar dari lembaga pendidikan tersebut.

Lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta dengan mengikuti aturan pemerintah disebut dengan madrasah. Sedangkan yang dikelola oleh masyarakat atas swadayanya sendiri disebut dengan pesantren (Muslih Usa, 1991: 1). Madrasah ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudyaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tahun 1975 dengan

commit to user

yang ada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun demikian madrasah tetap masih merupakan sekolah berbasis agama Islam dengan kadar pelajaran agama tiga puluh persen dan pelajaran umum lainnya tujuh puluh persen. Sedangkan pesantren lebih dari sembilan puluh persen pelajarannya merupakan pelajaran agama Islam (Muslih Usa, 1991: 2).

Pesantren pada dasarnya merupakan asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswa tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang di kenal dengan sebutan kiai, atau ajengan. Pesatren mempunyai unsur-unsur yakni masjid, pondok, atau kobong, santri, pelajaran kitab Islam klasik, dan kiai. Asrama atau pondok para santri letaknya tidak berjauhan dengan mesjid atau rumah kiai. Di daerah Jawa Tengah komplek pesantren dikelilingi oleh tembok dengan pengawasan yang ketat sesuai dengan peratutan yang berlaku. Dhofier membagi pesantren ke dalam tiga kategori yakni pesantren kecil, sedang dan besar. Kategori pesantren kecil jika jumlah santri kurang dari seribu orang. Pesantren berukuran sedang jika santrinya berkisar antara seribu sampai dua ribu orang, sedangkan karegori pesantren besar jika jumlah santri lebih dari dua ribu orang (Mohammad Iskandar, 2001:91-93). Perkembangan pesantren saat ini tidak luput dari sentuhan pembaruan sebagai jawaban atas perubahan zaman dan tuntutan yang lebih rumit dalam kehidupan masyarakat.

Pesantren menurut modelnya dapat dibadakan menjadi dua macam yakni pesantren salafiah dan pesantren khalafiah. Pesantren salafiah yakni lembaga pesantren yang mempertahankan kitab-kitab Islam klasik tanpa mengajarkan

commit to user

menjadi bahasan wajib bagi setiap santri sebagai tradisi dari pesantren salafiah. Sedangkan pesantren khalafiah yakni pesantren yang melakukan perubahan dalam sistem pendidikan dengan memasukan pelajaran umum dalam kurikulum pembelajaran. Pesantren khalafiah sebagai pesantren pola pembaruan yang banyak menyerap terhadap unsur-unsur pembaruan mengikuti perkembangan, bahkan memadukan tradisi pesantren dengan sistem lain sebagai langkah untuk mengikuti perkembangan zaman (asimilasi).

Menurut M. Abdul Karim (2007: 151) proses pembaruan dalam lingkungan pesantren ataupun madrasah tidak terlepas dari pengaruh budaya barat dimulai dengan penggunaan peralatan yang datang dari Eropa. Disamping itu dalam bentuk organisasi diperlukan adanya aturan mengenai keorganisasian, administrasi, komunikasi, manajemen, finansial, dan yang lainnya. Semuanya itu merupakan hasil pengadaptasian dari budaya barat yang sudah diambil oleh kaum muslim Mesir dan India. Pola pembaruan dengan menyatukan unsur-unsur pendidikan barat dengan bimbingan yang terdapat dalam al-Quran dan hadis memicu perkembangan pada pola pikir baru sehingga memicu munculnya gerakan-garakan Islam yang lebih solid. Proses percampuran budaya barat dengan Islam lebih cepat terjadi pada bagian pendidikan Islam seperti halnya persantren dan madrasah yang berorientasai pada sistem mutakhir. Istilah pesantren pembaruan (modern) dengan perpaduan antara gaya pendidikan Islam dengan barat menjadi bagian dalam sistem pendidikan sekarang ini.

commit to user

dengan menghilangnya pandangan berupa kebiasaan turun temurun. Moral yang bertentangan dengan kebudayaan Islam tentu akan dibendung dan sulit berkembang di Indonesia, sedangkan moral barat yang sejajar dengan moral Islam dibiarkan menjadi bagian moral bangsa Indonesia. Begitu juga dengan sistem sekolah atau madrasah yang banyak menyerap sistem pendidikan barat (M. Abdul Karim, 2007: 151). Penyerapan pola pendidikan barat juga pernah dianjurkan oleh Sukarno dalam surat yang ditulisnya menjalani pembuangan di Endeh. Surat itu bertanggal 22 April 1936 ditujukan kepada TA Hassan seorang guru Persatuan Islam. Diantara pernyataan Sukarno yakni sebagai berikut.

. . . hendaklah ditambah banyaknya “pengetahuan barat” yang hendak dikasihkan kepada murid-murid pesantren itu. Umumnya adalah sangat saya sesalkan bahwa kita punya Islam Scholars (orang berilmu Islam) masih sangat kurang pengetahuan modern science (pengetahuan modern) . . . Demi Allah Islam science bukan hanya pengetahuan Quran dan Hadits sahaja; Islam science adalah pengetahuan Quran dan Hadits plus pengetahuan umum! Orang tak dapat memahami betul Quran dan Hadits kalau tak berpengetahuan umum (Sukarno, 2005: 335-336).

Keinginan Sukarno mengenai perpaduan antara pendidikan pola barat dengan Islam pada masa pergerakan ternayata menuai kritik saat sekarang. Syafii Maarif mengatakan bahwa diterimanya sistem kemenduaan antara ilmu agama dan ilmu umum merupakan tanda rapuhnya dasar filosofi pendidikan Islam. Formula tersebut akan menciptakan generasi yang mempunyai pandangan berbeda tentang agama, manusia dan kehidupan. Konflik-konflik dalam masyarakat akan semakin sulit untuk diselesaikan jika dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan baik dalam politik, ekonomi, dan pelayanan kemanusiaan. Syafii Maarif meyakini secara teknis penyatuan metode pendidikan barat dalam konsep pendidikan Islam

commit to user

keduanya. Akibatnya banyak bermunculan pribadi yang pecah dalam masyarakat Islam, bahkan kegiatan dunia dianggap terlepas dari orientasi akhirat (Ahmad Syafii Maarif dalam Muslih Usa, 1991: 20). Hal ini tentu semakin melanceng dari tujuan agama Islam sebagai pedoman hidup.

Pendidikan Islam dalam sekolah keagamaan artinya sebuah lembaga pendidikan yang menjadikan agama sebagai landasan menjalankan pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan Islam. Menurut Arifin, pada dasarnya fungsi utama lembaga pendidikan Islam yakni melaksanakan pengalihan nilai budaya Islam serta kebudayaan pada umumnya dari generasi kegenerasi, dimana di dalamnya terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban yang selektif sangat dibutuhkan untuk kesinambungan hidup Islam dan umat Islam di dunia ini. Proses peralihan budaya hanya dapat berlangsung secara mantap apabila diarahkan melalui proses kependidikan dalam lembaga-lembaga yang terorganisasikan secara terstruktur dan melembaga (Arifin, 1993: 35-36).

Menurut Moh. Shofan ada tiga istilah yang dianggap memiliki makna yang dekat dengan konsep pendidikan Islam yakni tarbiyah, ta’lim dan ta’dib (Moh. Shofan, 2004: 38). Tarbiyah berasal dari kata rabba-yarbu yang berarti tumbuh dan berkembang. Menurut Abdurrahman al-Nahlawi sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Shofan mengartikan tarbiyah sebagai proses pendidikan yang mempunyai tujuan, sasaran dan target dengan memasukan ajaran Tuhan (Allah) sebagai sumber pendidikan melalui langkah-langkah yang sistematis dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran (Moh. Shofan, 2004: 41).

commit to user

menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi indera sampai akhir usia. Ta’lim tidak hanya menjangkau ranah pengetahuan (kognitif) saja melainkan terus menjangkau bagian afektif dan psikomotorik. Berarti ta’lim dalam kerangka pendidikan telah mencakup pengajaran untuk pengetahuan, moral dan keterampilan hidup melalui proses belajar yang dijalani. Adapun ta’dib merupakan serapan dari kata adab yang sering diartikan sebagai sopan santun. Ta’dib adalah usaha menciptakan keadaan (situasi) untuk mendorong jiwa dan hati manusia berprilaku beradab sesuai dengan harapan yang diinginkan (Moh. Shofan, 2004: 49). Ta’dib berati sebuah proses pembudayaan (enkulturasi) sikap sopan santun dalam diri manusia, dengan kata lain sebagai proses memanusiakan manusia. Dari definisi diatas ta’dib memiliki makna yang lebih luas dibandingkan dengan tarbiyah (pendidikan) atau ta’lim (pengajaran). Ta’dib mencakup tarbiyah dan ta’lim didalamnya.

Pendidikan dalam Islam sebagaimana dikemukakan oleh Mujamil Qomar (2007: 237) yakni sebagai proses menanamkan akhlak yang utama pada jiwa pemuda, mengisinya dengan petunjuk dan nasehat, sehaingga menjadi kebiasaan yang menetap dalam jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan dan cinta amal agar dapat memberikan manfaat bagi negara. Inti dari pendidikan Islam menurut Qomar terdapat pada ketinggian spiritual, moral, sosial dan intelektual. Menurut Muhaimin (2009: 14), pendidikan Islam dapat diartikan menjadi dua yakni pendidikan Islam sebagai aktifitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Arti

commit to user

semangat dan disemangati oleh nilai-nilai Islam. Muhammad S.A. Ibrahimy dalam Arifin (1993: 37), mengartikan pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam sehingga dengan mudah dapat membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Islam merupakan alat pembudayaan Islam dalam masyarakat dengan demikian harus mempunyai sifat lentur terhadap perkembangan aspirasi kehidupan masyarakat sepanjang zaman. Pendidikan Islam juga harus mampu menyeimbangkan tuntutan hidup manusia sejalan dengan tuntutan zaman termasuk tuntutan teknologi dan ilmu pengetahuan (Arifin, 1993: 37). Muhammad Athiyah Al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Moh. Shofan (2004: 59) merumuskan tujuan pendidikan Islam yakni pertama untuk membentuk akhlak mulia, kedua persiapan untuk kehidupan dunia akhirat, ketiga untuk persiapan mempertahankan kehidupan (mencari rizki) dan memelihara kehidupan yang baik, keempat untuk mempersiapkan keahlian dan keterampilan tertentu untuk menjalani hidup. Zakiah Daradjat (1992: 29-30) mengkaitkan tujuan pendidikan Islam dengan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya.

... pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepantingan hidup di dunia kini dan diakhirat nanti (Zakiah Daradjat, dkk., 1992: 29-30).

commit to user

nasional dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga penyelenggara pendidikan. Tujuan pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran (Zakiah Daradjat, dkk. 1992: 30). Proses mencapai tujuan itulah yang merupakan kegiatan yang penuh tantangan karena tidak hanya kecerdasan yang diharapkan melainkan juga menciptakan manusia yang mempunyai akhlak mulia atau karakter yang baik dalam kehidupan bermasyarakat kelak.

Secara ideal pendidikan Islam meurut Arifin dalam Muslih Usa (1991: 8) berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indera. Pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual. intelektual, imajinasi, keilmiahan dan lain sebagainya secara individu maupun berkelompok serta senantiasa memberikan dorongan bagi kedinamisan aspek-aspek diatas menuju kebaikan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungan dengan Tuhan, dengan manusia maupun dengan alam.

Ajaran-ajaran Islam tidak hanya menanamkan nilai pengetahuan (Intellectual Quotient) tetapi juga memasukan nilai-nilai kecerdasan emosi (Emosional Quotient) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual cenderung memiliki prinsip dan pegangan hidup yang jelas dan kuat yang berpijak kepada kebenaran umum seperti cinta, kasih sayang, keadilan, kejujuran, toleransi, dan wujud moral kebangsaan dalam

commit to user

menghadapi penderitaan dan memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. Mampu memaknai semua pekerjaan dan aktivitas dalam kerangka dan bingkai yang lebih luas dan bermakna. Memiliki kesadaran diri (self-awareness) yang tinggi (Abdul Wahid Hasan, 2006: 69-74).

Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia memperlihatkan perkembangannya sejak zaman kolonial. Setelah kemerdekaan pendidikan Islam tradisional mulai menyesuaikan dengan perkembangan modern. Pemodernan ini dapat dilihat dari kompisisi mata pelajaran yang diajarkan antara materi ilmu-ilmu agama dengan materi ilmu umum. Metode yang digunakan telah bervariasi tidak hanya metode hafalan, sorogan, dan wetonan. Pengelolaan telah menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan (Haidar Putra Daulay, 2007:3). Pendidikan semacam ini merupakan bagian dari usaha untuk menyesuaikan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam modern kebanyakan merupakan hasil serapan dari sistem pendidikan barat yang disesuaikan dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh dari perpaduan ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Sejak berdirinya Muhammadiyah telah melakukan sistem pendidikan Islam dengan meniru sistem pendidikan barat.

Pendidikan Islam sebagai jiwa pendidikan yang diselanggarakan Muhammadiyah dengan pengajaran berpola sekolah negeri yang ditambah dengan pelajaran agama sebagai ciri sekolah keagamaan tidak dimaksudkan membentuk suatu sistem pendidikan sendiri, melainkan untuk mengorganisasi sistem

commit to user

263). Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis yang lahir pada masa pergerakan telah memberikan perhatiannya untuk mendidik bangsa dengan memadukan sistem pendidikan barat (Eropa) dan ajaran agama Islam yang kuat. Pendidikan di sekolah Muhammadiyah memberikan corak baru yang berbeda dengan pendidikan kolonial.

Konsep pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah tidak lagi memisahkan antara pelajaran keagamaan dengan pelajaran yang dianggap ilmu umum. Dengan usaha perpaduan tersebut tidak ada lagi pembedaan mana yang ilmu agama dan ilmu umum (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2000: 90). Selain mengajarkan mengenai ilmu pengetahuan ilmiah seperti matematika, fisika, biologi, kimia, sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan duniawi, juga diajarkan mengani pendidikan agama yang mengajarkan mengenai keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang di pandu oleh al-Quran dan Sunah/Hadis.

Perpaduan tersebut untuk membentuk dan memperkokoh nilai-nilai keagamaan, sehingga akan tercipta manusia yang kompetitif dalam kehidupan dunia dan berakhlak mulia. Sudah seharusnya pendidikan di Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan Islam menerapkan pendidikan karakter sesuai dengan tujuan Muhammadiyah itu sendiri yaitu menciptakan ikhsan akhlaqul karimah (manusia berakhlak mulia).

Al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat merupakan wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada Muhammad Saw sebagai pedoman hidup umat akhir

commit to user

memberikan berbagai pelajaran penting untuk kesuksesan kehidupan di dunia dan akhirat termasuk ajaran moral untuk kesempuranaan kepribadian Islam (Abuddin Nata, 2000: 186) bagi umat yang mau mengamalkannya. Sedangkan Sunah merupakan sesuatu yang didapatkan dari Nabi Saw yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, baik pada masa sebelum kenabian maupun sesudahnya. Pengertian ini menyamakan antara sunah dengan hadis. Menurut ahli fikh, Sunah/Hadis merupakan sesuatu hukum yang berasal dari Nabi Saw yang tidak termasuk fardlu (wajib) (Abuddin Nata, 2000: 188). Dengan demikian pedidikan Muhammadiah didasarkan pada penghormatan terhadap prinsip dan nilai humanitas kemanusiaan universal, sehingga pendidikan Muhammadiyah dapat menghasilkan individu-individu yang handal secara moralitas dan akhlaqul karimah, cerdas, kreatif dan inovatif (Desvian Bandarsyah, 2010: 50).

2. Penelitian yang Relevan

Penanaman nilai-nilai perjuangan Muhammadiyah dalam menumbuhkan wawasan kebangsaan siswa (studi kasus pada mata pelajaran Kemuhammadiyahan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta), sebuah tesis dari Universitas Sebelas Maret yang ditulis oleh Susilowati mempunyai temuan bahwa penanaman nilai-nilai perjuangan Muhammadiyah dapat menumbuhkan wawasan kebangsaan siswa. Hal ini dapat ditunjukan dengan ditanamkannya nilai keteladanan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, nilai agama, nilai sosial kemasyarakatan dan nilai kerjasama melalui berorganisasi.

commit to user

pengembangan multimedia pembelajaran mata pelajaran kemuhammadiyahan bagi siswa kelas I Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Tesis ini mencoba mengembangkan multimedia untuk pembelajaran Kemuhammadiyahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa multimedia yang dikembangkan dinyatakan layak. Hasil dari ahli multimedia menyatakan secara umum produk multimedia pembelajaran Kemuhammadiyahan yang dikembangkan dalarn kategori baik dan layak digunakan.

Penelitian Laely Armiyati (2011), mengenai Pemanfaatan Film sebagai Media Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas Kota Yogyakarta. Penelitiannya melibatkan beberapa sekolah negeri dan swasta, salah satunya SMA Muhammadiyah 1. Hasil penelitian Laely Armiyati menunjukan Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan film masih difungsikan sebagai alat suplementer, belum menjadi alat fundamental. Sedangkan kreativitas dengan media film masih sebatas pada area pemikiran, tampak pada munculnya ide-ide baru dari peserta didik selama kegiatan pembelajaran. Bagi guru film sejarah digunakan untuk mempermudah dalam pendalaman materi dan dapat diarahkan untuk mencapai ranah afektif pada siswa. bagi siswa film mampu memunculkan suasana yang menyenangkan selama kegiatan pembelajaran.

Penelitian yang relevan lainnya yakni tesis karya Taufik Abdullah (2011) yang berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di SMP Muhammadiyah 1 Kota Ternate. Membahas mengenai penerapan pendidikan karakter di SMP Muhammadiyah. Sedangkan peneliti akan melakukan penelitian yang berbeda

commit to user

pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, budaya sekolah maupun pengembangan diri (ekstrakurikuler) dan proses pembiasaan berperilaku baik di SMA Muhammadiyah 1 dan MA Muallimin Yogyakarta, kemudian menguraikan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam proses pembelajaran, budaya sekolah maupun dari program pengembangan diri siswa sekaligus pengamalan (aktualisasi) nilai karakter tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.