Estimasi biomassa dan kerapatan vegetasi mangrove menggunakan data Landsat ETM+ Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat

(1)

Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap

Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat

OKTAMA FORESTIAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ETM+ (Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat). Oleh Oktama Forestian (NIM E34104070) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.

Hutan mangrove di seluruh dunia terus mengalami tekanan akibat kebutuhan akan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Hutan Mangrove Muara Gembong terletak di wilayah Pantai Utara yang berdekatan dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi. Tekanan yang dialami Hutan Mangrove Muara Gembong berupa okupasi lahan dan konversi menjadi tambak ikan/udang. Kondisi ini sudah berlangsung lama dan terjadi hampir di seluruh kawasan. Pemerintah Kab. Bekasi mengajukan agar kawasan tersebut dilepas dari statusnya sebagai kawasan hutan. Diperlukan data mengenai sebaran, luas, dan potensi biomassa mangrove kawasan tersebut sebagai data penimbang bagi Kemenhut RI untuk memutuskan hasil studi dalam rangka alih status kawasan hutan tersebut.

Penelitian difokuskan pada kawasan hutan mangrove Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kegiatan peninjauan lapang dilaksanakan pada Bulan Desember 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan luas, potensi biomassa, dan kerapatan vegetasi mangrove menggunakan data Landsat-7 ETM+ pada tahun 2001 dan 2010. Data Landsat diolah dengan beberapa tahap meliputi: strip-filling, importing, layer stacking, subsetting, koreksi geografik, koreksi radiometrik, klasifikasi citra, pendugaan karakter biosistem mangrove, dan accuracy assessement.

Jenis tutupan lahan (landcover) yang ditemukan pada citra Landsat kawasan tersebut terdiri dari sembilan kelas kategori klasifikasi citra, yaitu: laut 1, laut 2, mangrove, area terbuka/terbangun, padi 1, kebun campuran, padi 2, tambak, dan sungai. Citra Landsat diklasifikasikan dengan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification) metode kemiripan maksimum (maximum likelihood). Setiap setiap kelas jenis tutupan lahan dibuatkan 10 area contoh (training area). Nilai tingkat keterpisahan antar kelas (transformed divergence separability) citra tahun 2001dan tahun 2010 lebih dari 1.900 sedangkan akurasi keseluruhan (overall accuracy) dan akurasi Kappa masing-masing sebesar 99,8% dan 99,63% untuk citra tahun 2001 dan; 99,61% dan 99,39% untuk citra tahun 2010. Berdasarkan uji akurasi klasifikasi, citra tahun 2010 yang diklasifikasikan memiliki tingkat akurasi klasifikasi overall sebesar 83,33%, sedangkan statistik kappa overal bernilai 77,29%.

Luas mangrove pada tahun 2001 sebesar 540,72 ha kemudian menjadi 822,24 ha pada tahun 2010. Potensi biomassa mangrove pada tahun 2001 sebesar 46,7 ton/ha kemudian menjadi 53,49 ton/ha. Sedangkan untuk kerapatan mangrove pada tahun 2001 sebesar 55,78% dan menjadi 8,43% pada tahun 2010.


(3)

Biomass and Density Estimation of Mangrove Vegetation Using Landsat ETM + Data (Study on Forest Protection and Permanent Production Forest of Muara Gembong, Bekasi, West Java Province). By Oktama Forestian (NIM E34104070) Supervised by of Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc and Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.

Mangrove forests around the world continue to experience pressure due to the need for space for the construction of economic infrastructure. Muara Gembong mangrove forest is located in the north coast regioan adjacent to the center of economic activities. Pressures experienced Muara Gembong Mangrove Forest of land occupation and conversion into fish/shrimp ponds. This condition is of long standing and occurs almost throughout the region. Bekasi District Government proposed to be released from its status as a protection forest. Necessery data about distribution, size area, dan mangrove potential biomass as consideration for Forest Ministry of RI to decide the results of study in order to change status of it region.

The study focused on Muara Gembong Mangrove Forest, Bekasi District of West Java Province. Field activity was carried out in December 2009. The purposes of this study is to determined the extent, potential biomass, and density of mangrove vegetation using Landsat ETM+ data in 2001 and 2010. The data is processed by several stages include: strip-filling, importing, stacking layer, subsetting, geographic correction, radiometric correction, image classification, estimation of mangrove biosistem character, and accuracy assessement.

Land cover types found in Landsat scene of the region consists of nine class image classification categories, named: Sea 1, sea 2, mangroves, open/built area, rice field 1, mixed farms, rice field 2, ponds, and rivers. Landsat images were classified by supervised classification techniques with maximum likelihood method. Each class of land cover types created 10 training area. Value of the inter-class separability (transformed divergence separability) image 2001dan year of 2010 more than 1,900 while the overall accuracy and Kappa accuracy respectively of 99.8% and 99.63% for image in 2001; 99.61 % and 99.39% for the image in 2010. Based on the accuracy assessment, which is classified image of 2010 has the highest overall classification accuracy of 83.33%, while the kappa statistic overalls worth 77.29%.

Extent area of mangroves in 2001 is 540,72 hectares increase to 822,24 hectares in 2010. Mangrove biomass potential in 2001 is 46,6 tons/hectare increase to 53,49 tons/hectare in 2010. Density of mangrove vegetation in 2001 is 55,78% decrease to 8,43% in 2010.


(4)

Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap

Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat

OKTAMA FORESTIAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Estimasi Biomassa dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data LANDSAT ETM+ (Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Oktama Forestian NIM E34104070


(6)

Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat) Nama : Oktama Forestian

NIM : E34104070

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP. 19620316 198803 1 002

Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Ccecep Kusmana, M.S NIP. 19610212 198501 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP. 19580915 198403 1 003

`


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya milik Allah swt, Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan petunjuk-Nya. Terutama atas limpahan inspirasi dan kemudahan berfikir sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi penelitian sarjana ini. Penelitian ini merupakan rangkaian terakhir dari berbagai tugas yang harus diselesaikan dalam menempuh pendidikan di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Skirpsi penelitian ini berjudul Estimasi Biomassa dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat ETM+ (Studi di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat). Melalui penelitian ini, berusaha diungkap informasi mengenai Biomassa dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat ETM+. Informasi ini nantinya akan berguna sebagai basis-data potensi mangrove di kawasan tersebut. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data pendukung dalam proses penyelesaian okupasi di kawasan tersebut dengan memberikan gambaran nyata kondisi mangrove (existing condition).

Tentunya kesalahan mungkin terjadi, baik disebabkan kesalahan peneliti (human error) atau kesalahan sistematika metode penelitian (systhematic error). Oleh karena itu, kritik dan saran serta penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melengkapi khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian ini. Semoga Allah swt senantiasa memberikan petunjuk-Nya sehingga setiap hal ilmiah yang telah dilaksanakan mampu mendekatkan kita kepada-Nya.

Bogor, Agustus 2011 Penulis


(8)

Penulis dilahirkan di Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung, pada hari Jumat, tanggal 18 Oktober 1985, pukul 23.30 WIB. Ayahanda bernama Suharto Endang Jaya dan Ibunda bernama Supinar.

Riwayat pendidikan penulis dimulai di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Patoman, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Tanggamus, pada tahun 1990 sampai 1992. Pendidikan dilanjutkan pada SDN 02 Pagelaran selama dua tahun dari tahun 1992 sampai 1994 kemudian dilanjutkan di SDN Bumisari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan selama empat tahun dari tahun 1994 sampai 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTPN 05 Natar pada tahun 1998 sampai 2001. Pendidikan dilanjutkan di SMUN 01 Bandar Lampung pada tahun 2001 sampai 2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institutu Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis hanya aktif berorganisasi pada satu organisasi intra kampus, yaitu DKM Al-Hurriyyah. Berbagai pengalaman kegiatan, kepanitiaan, pelatihan, dan kepemimpinan di DKM Al-Hurriyyah pernah penulis ikuti.

Penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di Perhutani KPH Cilacap dan KPH Banyumas Barat; dan di Kampus Getas, Propinsi Jawa Timur pada tahun 2007. Penulis pernah melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang dan Profesi (PKLP) di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Propinsi Lampung dan Bengkulu pada tahun 2008.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Estimasi Biomassa dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat ETM+ (Studi di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pendekatan Masalah ... 2

1.3. Batasan Permasalahn ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Hutan Mangrove dan Ekosistemnya ... 5

2.2. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ... 8

2.3. Satelit LANDSAT-7 ETM+ ... 10

2.4. Aplikasi GIS pada Mangrove ... 12

2.5. Indeks Vegetasi ... 13

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2. Bahan dan Alat ... 15

3.3. Data dan Informasi yang Diperlukan ... 16

3.4. Metode Penelitian ... 16

3.4.1. Pengisian Garis (Strip Filling) ... 16

3.4.2. Penyiapan Citra ... 18

3.4.3. Geokoreksi dan Pemotongan Citra ... 18

3.4.4. Koreksi Radiometrik ... 19

3.4.5. Image Enhancement ... 19

3.4.6. Klasifikasi Citra ... 20


(10)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23

4.1. Luas dan Letak Kawasan Muara Gembong ... 23

4.2. Sejarah Kawasan ... 23

4.3. Lingkungan Biofisik ... 24

4.4. Sosekbud ... 26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Hasil ... 27

5.1.1. Gambaran umum hasil penelitian ... 27

5.1.2. Pengisian strip data citra SLC-OFF ... 27

5.1.3. Konversi format data citra ... 28

5.1.4. Penyusunan citra komposit ... 28

5.1.5. Koreksi geometrik dan pemotongan citra ... 28

5.1.6. Koreksi radiometrik ... 30

5.1.7. Penajamn citra ... 32

5.1.8. Klasifikasi penutupan lahan ... 33

5.1.9. Luas dan sebaran Mangrove ... 35

5.1.10. potensi biomassa dan kerapatan mangrove ... 35

5.2. Pembahasan ... 36

5.2.1. Pengolahan data citra ... 36

5.2.2. Kondisi penutupan lahan ... 52

5.2.3. Biomassa dan kerapatan mangrove ... 57

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

6.1. Kesimpulan ... 59

6.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2-1 Perbandingan spektral band pada sensor ETM dan ETM+ ... 12

3-1 Spesifikasi citra Landsat yang digunakan ... 15

5-1 Format citra sebelum dan sesudah dikonversi ... 28

5-2 Ukuran file tiap band dan citra komposit ... 28

5-3 Titik acuan/GCP pada proses georeferensi peta digital ... 29

5-4 Daftar GCP koreksi geometrik citra tahun 2010 ... 29

5-5 Koordinat titik pemotongan citra ... 30

5-6 Nilai minimum dan maksimum histogram nilai digital sebelum dan sesudah dikoreksi ... 31

5-7 Nilai OIF tiap kombinasi RGB ... 32

5-8 Nilai TD mangrove terhadap kelas penutupan lahan lainnya ... 34

5-9 Persentasi ketelitian matriks kontingensi ... 35

5-10 Karakteristik Band pada Landsat ETM+ ... 42

5-11 Nilai univariate citra tahun 2001 dan 2010 ... 44

5-12 Nilai variance-covariance (ragam-peragam) dan matriks korelasi citra tahun 2001 dan 2010 ... 45

5-13 Perbandingan kelas penutupan lahan berdasarkan tampilan visual ... 50

5-14 Nilai indeks TD pada tiap jenis penutupan lahan ... 53

5-15 Nilai akurasi berdasarkan matriks kontingensi ... 55


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2-1 Bentuk-bentuk Akar Nafas Pohon Mangrove ... 6

2-2 Zonasi Vegetasi Mangrove ... 7

2-3 Ilustrasi Perekaman Objek Oleh Satelit ... 9

2-4 Ilustrasi Penggunaan LANDSAT Berdasarkan Tahun ... 10

2-5 Konfigurasi Satelit LANDSAT-7 ... 11

2-6 Pergerakan Pola Perekaman Dengan dan Tanpa SLC ... 12

3-1 Tahap penelitian ... 17

4-1 Kawasan Hutan Lindung Muara Gembong dan sekitarnya ... 25

5-1 Data citra LANDSAT tahun 2010 Band 1 ... 27

5-2 Sebaran GCP pada koreksi geometrik citra 2010 ke citra 2001 ... 30

5-3 Citra tahun 2001 hasil pemotongan dengan metode two corners ... 31

5-4 Tampilan visual citra RGB-453 tahun 2010 ... 33

5-5 Sebaran mangrove citra tahun 2001 dan tahun 2010 ... 36

5-6 Tampilan citra tahun 2010 tiap band untuk identifikasi mangrove ... 43


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Tampilan citra Landsat ukuran asli dan ukuran setelah pemotongan

(subset) ... 63

2 Histogram tiap band citra tahun 2001 dan 2010 sebelum dan sesudah dikoreksi radiometrik ... 64

3 Citra komposit RGB kombinasi Band 3-4-5 (tahun 2010) ... 68

4 Koordinat hasil analisis lapang ... 69

5 Pola spektral area contoh citra tahun 2001 ... 70

6 Pola spektral area contoh citra tahun 2010 ... 71

7 Matriks kontingensi akurasi pembuatan area contoh citra tahun 2001 dan tahun 2010 ... 72

8 Peta kelas penutupan lahan tahun 2001 dan 2010 ... 73


(14)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago country) dengan wilayah mangrove terluas di dunia. Potensi ini didukung oleh panjang garis pantainya yang mencapai + 81.000 km dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Susilo, 1997). Menurut Quarto (2006), luas mangrove di Indonesia mencapai 4,25 juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia.

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO (2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 jt ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove mencapai 4,25 juta hektar pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta hektar pada tahun 199,0 dan tersisa 2,93 juta hektar pada tahun 2000. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang tepat, fenomena degradasi mangrove akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar potensi terjadinya pada daerah yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi.

Hutan Mangrove Muara Gembong yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan DKI Jakarta termasuk ke dalam kategori kawasan hutan lindung yang memiliki tingkat ancaman degradasi relatif tinggi. Sejak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung oleh Menteri Pertanian RI pada tahun 1954 melalui SK Nomor 92/UM/54, Hutan Mangrove Muara Gembong terus mengalami berbagai tekanan seperti okupasi lahan, konversi lahan, dan alih fungsi/status lahan. Okupasi lahan dan konversi lahan menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan Hutan Lindung Muara Gembong. Sebagian besar wilayahnya telah dikonversi menjadi tambak, sawah, kebun, bahkan permukiman.

Setelah melakukan kajian ilmiah dan bertujuan memberi ruang bagi pengembangan ekonomi masyarakat, Menteri Kehutanan RI mengeluarkan Surat


(15)

Keputusan No. 475/Menhut-II/2005 tentang Alih Status Kawasan Hutan Lindung Ujung Krawang (Muara Gembong) seluas 5.170 hektar menjadi hutan produksi tetap (HPT). Dengan demikian, kawasan ini bisa dikembangkan sesuai dengan perencanaan tata ruang Kabupaten Bekasi (Anonim, 2007). Kebijakan ini tentu membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi mangrove yang sudah rusak akibat berbagai tekanan.

Oleh karena itu, penting untuk diketahui informasi mengenai keberadaan mangrove, terutama pada wilayah yang masih berstatus kawasanan lindung. Informasi ini nantinya akan dijadikan bahan pertimbangan dan evaluasi kebijakan bagi Kementrian Kehutanan RI yang sedang mengkaji permohonan Pemkab. Bekasi guna alih status kawasan hutan produksi tetap menjadi area penggunaan lain (APL) melalui tukar menukar kawasan hutan untuk pengembangan wilayah Pantai Utara.

1.2 Pendekatan Masalah

Informasi mengenai sumberdaya mangrove pada kawasan hutan lindung penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan kebijakan pengelolaan. Kebijakan pengelolaan mangrove yang tidak didasarkan pada informasi komprehensif dapat menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan dan berakibat banyaknya mangrove yang terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Kendala utama dalam mengumpulkan informasi sumberdaya mangrove adalah aksesibilitas lapang, waktu, dan biaya. Untuk meminimalkan kendala ini, pemantauan dan pengawasan sumberdaya mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan sistem peginderaan jauh (Geographic Information System/GIS) sebagai pendekatan metodologis.

GIS dapat digunakan untuk melakukan inventarisasi dan monitoring mangrove dengan cakupan areal yang luas, repetitif, sinoptik, dengan biaya operasional yang relatif murah dan waktu yang lebih singkat dibandingkan metode inventarisasi lapang (Arhatin, 2007). GIS dapat digunakan untuk mengetahui beberapa parameter penting mengenai keberadaan mangrove seperti luas, penyebaran, kerapatan vegetasi, dan potensi biomassa. Namun demikian,


(16)

penggunaan metode GIS ini masih memiliki keterbatasan seperti akurasi dalam identifikasi jenis mangrove.

Informasi mengenai luas dan penyebaran mangrove pada kawasan hutan lindung dapat diketahui dengan melakukan klasifikasi penutupan lahan (landcover). Citra satelit diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan beberapa kelas penutupan lahan yang ada di kawasan hutan lindung. Setelah diketahui wilayah yang termasuk ke dalam kelas tutupan mangrove, dapat ditentukan luas areal tersebut juga dapat dipetakan sebarannya. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan ini juga dapat diamati pola perubahan mangrove di kawasan hutan lindung.

Informasi mengenai potensi biomassa dan kerapatan vegetasi merupakan hasil turunan dari proses klasifikasi kelas penutupan lahan di atas. Potensi biomassa dan kerapatan vegetasi mangrove ini nantinya digunakan sebagai gambaran seberapa besar kualitas mangrove yang ada. Untuk mendapatkan nilai potensi biomassa dan kerapatan vegetasi mangrove, data citra satelit yang sudah diklasifikasi dihitung nilai indeks vegasinya dan dimasukkan kedalam persamaan alometrik yang sudah ada. Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).

1.3 Batasan Permasalahan

Permasalahan pada penelitian ini di batasi pada penentuan luas mangrove berikut sebarannya pada kawasan Hutan Lindung Muara Gembong; penentuan potensi biomassa mangrove; penentuan kerapatan vegetasi mangrove; dan penentuan tingkat perubahan penutupan lahan khususnya kelas penutupan mangrove. Kerapatan vegetasi yang dimaksud adalah persen kerapatan kanopi mangrove.

1.4 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menentukan luas dan sebaran mangrove


(17)

1.5 Manfaat

Manfaat peneliatian ini adalah:

1. Menganalisi pola perubahan mangrove guna pengelolaan mangrove kedepan. 2. Sebagai bahan masukan/pertimbangan bagi Kemenhut RI dalam pengkajian


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove dan Ekosistemnya

Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup diantara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang-surut. Ekosistem mangrove seringkali ditemukan ditempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau payau.

Hutan mangrove biasa ditemukan disepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32o Lintang Utara dan 38o Lintang Selatan. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas didaerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara sungai yang lebar.

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Murdiyanto, 2003).

Adaptasi pohon mangrove terhadap keadaan tanah berlumpur dan minim oksigen adalah dengan pembentukan sistem perakaran yang dapat berfungsi sebagai akar nafas (pneumatofora) dan penunjang tegaknya pohon. Bentuk sitem perakaran pada pohon mangrove terdapat tiga jenis, yaitu akar lutut (knee roots), akar pasak, dan akar tunjang (still roots). Akar pasak terdapat pada jenis Sonneratia spp., Avicennia spp., dan kadang-kadang pada Xylocarpus moluccensis. Sedangkan akar lutut dan akar tunjang, masing-masing terdapat pada jenis Bruguiera spp. dan Rhizophora spp.(Istomo, 1992 dalam Budi, 2000).


(19)

Gambar 2-1. Bentuk-bentuk Akar Nafas Pohon Mangrove.

Vegetasi mangrove memiliki zonasi sesuai dengan karakter habitatnya. Zonasi mangrove dicirikan dengan adanya suatu jenis spesies mangrove tertentu yang menempati lokasi-lokasi tertentu. Terbentuknya zonasi dan dominasi spesies bergantung pada tingkat genangan dan frekuensi penggenangan gelombang pasang-surut, tingkat salinitas, karakteristik tanah, dan percampuran air tawar dengan air laut.

Di pantai yang terbuka, vegetasi mangrove yang dominan adalah komunitas pioner seperti Avicennia dan Sonneratia. Kemudian diikuti berturut-turut dari laut ke darat jenis Rhizophora dan Bruguiera. Tumbuhan bawahnya didominasi oleh jenis Acrostichum aureum dan Acanthus illicifolius (DEPHUT, 1995). Sedangkan Watson (1928) dalam Hilmi dan Kusmana (1999) bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima zonasi berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: (1) zonasi yang terdekat dengan laut didomonasi oleh Avicennia spp. dan Sonneratia spp.; (2) zonasi yang tumbuh pada tanah cukup kuat dan dicapai air didominasi oleh Bruguiera cylindrica; (3) zonasi pada tanah yang agak basah dan lumpur yang dalam didominasi oleh Rhizophora mucronata; (4) zonasi yang didominasi oleh Bruguiera parviflora; dan (5) zonasi paling belakang yang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza.

Akar Banir Akar Pasak


(20)

Gambar 2-2. Zonasi Vegetasi Mangrove.

Sebagai sebauh ekosistem yang berada di antara darat dan laut, mangrove memiliki fungsi ekologis yang penting. Fungsi ekologis ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek fisik, kimia, dan biologis. Aspek fisik meliputi kemampuannya meredam gelombang laut, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari abrasi. Bila ditinjau dari aspek kimia, mangrove memiliki peranan sebagai penyerap unsur-unsur pencemar, sebagai sumber energi, dan sebagai produsen bahan organik. Sedangkan dari aspek biologis, mangrove sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, berlindung, dan berkembangnya berbagai biota (TNC dan P4L, 2003; Pramudji, 2001). Selain itu, mangrove juga memiliki potensi sebagai kawasan wisata berwawasan lingkungan. Di beberapa negara, kawasan mangrove dikelola secara lestari sebagai salah satu tujuan wisata pendidikan seperti di Malaysia, Australia, dan Indonesia.

Di dunia, dikenal banyak jenis tumbuhan mangrove. Tercatat telah dikenali sebayanak 24 famili dan antara 54 samapai 75 spesies, tergantung ahli mangrove yang mengidentifikasinya (Tomlinson, 1986 and Field, 1995 dalam Murdiyanto, 2003). Di Indonesia disebutkan memiliki sebanyak 89 jenis pohon mangrove atau menurut FAO (1985) dalam Murdiyanto (2003) terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang-surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. Sedangkan, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.) dan pedada (Sonnetaria sp.).


(21)

2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry, 1983 dalam Jaya, 2009), penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena menggunakan suatu alat perekaman dari kejauahan tanpa melakukan kontak fisik dengan ojek atau fenomena yang diukur/diamati. Pada saat ini, penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara komputerisasi dan interpretasi (manual), analisis citra, dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik.

Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan atas penginderaan jauh pasif (passive remote sensing) dan penginderaan jauh aktif (active remote sensing). Penginderaan jauh pasif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan energi yang telah ada seperti reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah MSS, TM, ETM+, NOAA, AVHRR, MOS-1, MESSR, IRS, dan potret udara. Sedangkan penginderaan jauh aktif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan seperti gelombang/microwave. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah RADAR, RADARSAT, ERS-1, JERS-1, SLAR, dsb (Jaya, 2009).

Kualitas data yang diperoleh dipengaruhi oleh komponen yang terlibat secara langsung. Menurut Butler at al. (1988) komponen yang terlibat pada proses pengumpulan data terdiri dari sumber energi elektromagnetik, atmosfer sebagai media lintasan energi elektromagnetik, keadaan obyek sebagai fenomena yang diamati, dan sensor sebagai alat yang mendeteksi radiasi elektromaknetik dari suatu obyek dan merubahnya menjadi sinyal yang selanjutnya dapat direkam dan diproses.


(22)

Gambar 2-3. Ilustrasi Perekaman Objek Oleh Satelit

Teknik penginderaan jauh memiliki kemampuan yang tinggi dalam menganalisis areal yang luas dan sulit ditempuh dengan cara konvensional dalam waktu yang singkat. Kelebihan dalam teknik inderaja ini sangat berguna untuk kegiatan pengkajian dan monitoring sumberdaya alam di seluruh dunia baik di darat maupun di laut. Data penginderaan jauh juga dimanfaatkan dalam berbagai jenis aplikasi seperti kehutanan, pertambangan, pertanian, pengembangan wilayah pesisir, perikanan, penataantata ruang kota, dan pemanfaatan bagi militer.

Menurut Purwadhi (2001), analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang alam, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumber daya daerah yang diindera. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam pengembangan daerah tersebut. Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data, hingga penggunaan data disebut Sistem penginderaan jauh.

Dalam aplikasinya sebagai teknologi pemetaan dan monitoring sumberdaya alam seperti mangrove, penginderaan jauh digunakan sebagai metode pendekatan pada beberapa penelitian terdahulu. Menurut Arhatin (2007) beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya: Cornejo et al. (2005) melakukan pemantauan mangrove di lagun Navachiste-San Ignacio-Macapule, Sinaloa, Mexico; Vaiphasa (2006) memetakan mangrove di Sawi Bay, Chumporn,


(23)

Thailand; Upanoi dan Tripathi (2003) melakukan pemantauan mangrove di Krabi, Thailand; Liu et al. (2002) melakukan pemantauan mangrove di Hainan, China; Hartono (1994) melakukan inventarisasi mangrove di Cimanuk, Jawa Barat; Zuhair (1998) melakukan pemantauan mangrove di Kalimantan Timur; Widyastuti (2000) memetakan mangrove di Segara Anakan, Cllacap, Jawa Tengali; Harsanugraha et al. (2000) menganalisis potenai mangrove di Pulau Bali.

2.3 Satelit LANDSAT-7 ETM+

LANDSAT-1 merupakan satelit pengamat permukaan bumi (earth observation sattelite/EOS) pertama yang diluncurkan AS pada tahun 1972. Kemampuannya dalam mengamati permukaan bumi jauh dari ruang angkasa telah diakui. Setelah LANDSAT-1, LANDSAT-2, 3, 4, 5 dan 7 diluncurkan. LANDSAT-7 masih digunakan sampaim sekarang sebagai satelit utama.

(sumber: http://landsat.usgs.gov/images/squares/timeline.jpg)

Gambar 2-4. Ilustrasi Penggunaan LANDSAT Berdasarkan Tahun

LANDSAT-5 dilengkapi dengan peralatan pemindai multispektral (multi spectral scanner/MSS) dan Thematic Mapper (TM). MSS adalah sebuah sensor optik yang dirancang untuk mengamati radiasi matahari, yang tercermin dari permukaan bumi dalam empat saluran/band spektral yang berbeda, menggunakan kombinasi dari sistem optik dan sensor. TM adalah versi yang lebih canggih dari peralatan pengamatan yang digunakan dalam MSS, yang mengamati permukaan bumi dalam tujuh band spektral yang berkisar dari sinar tampak sampai ke daerah inframerah termal. TM dirancang untuk mendapatkan citra dengan resolusi yang lebih tinggi, pemisahan spektral yang tegas, meningkatkan konsistensi geometrik, dan ketepatan radiometrik dan resolusi yang lebih tinggi dari sensor MSS.

LANDSAT-7 berhasil diluncurkan pada 15 April 1999 dari markas angkatan udara Vanderburg. LANDSAT-7 memiliki berat sekitar 5.000 pound dan


(24)

mengorbit Bumi pada ketinggian 705 km. Orbita satelit diprogram dengan siklus 16 hari sesuai Landsat Worlwide Reference System. LANDSAT-7 dilengkapi dengan sensor Enhanched Thematic Mapper Plus (ETM+) yang merupakan penerus dari sensor TM pada LANDSAT-5 (SIC, 2001-2010).

(sumber: http://science.nasa.gov/media/medialibrary/2010/03/31/landsat_7_schematic.gif)

Gambar 2-5. Konfigurasi Satelit LANDSAT-7

Sensor ETM+ tidak jauh berbeda dengan sensor TM. Prinsip pengamatan spektral menggunakan tujuh band spektral dengan penembahan pankromatik band-8 dengan resolusi 15x15 m2. Pada Tabel 2-1 berikut terlihat perbedaan band spektral TM dan ETM+.

Pada tanggal 31 Mei 2003, Scan Line Corrector (SLC) yang berfungsi untuk mengatur arah perekaman citra pada LANDSAT-7 mengalami kegagalan kerja (malfungsi). Tanpa operasi SLC, arah perekaman sensor ETM+ menjadi zigzag. Keruskan ini bersifat permanen sehingga citra LANDSAT-7 yang direkem setelah tanggal tersebut memiliki cacat berupa duplikasi perekaman yang tumpang tindih dan gap (USGS, 2010).


(25)

Tabel 2-1. Perbandingan spektral band pada sensor ETM dan ETM+

Band Panjang Gelombang (µm) Resolusi Spektral/radiasi

TM ETM+ TM ETM+

1 0.45-0.52 0.45-0.52 30 30 Visibel – biru

2 0.52-0.60 0.52-0.60 30 30 Visibel – hijau

3 0.63-0.69 0.63-0.69 30 30 Visibel – Merah

4 0.76-0.90 0.77-0.90 30 30 Infra merah dekat

5 1.55-1.75 1.55-1.75 30 30 Infra merah menengah

6 10.40-12.50 10.40-12.50 120 60 Thermal infra merah

7 2.08-2.35 2.09-2.35 30 30 Infra merah menengah

8 N/A 0.52-0.90 N/A 15 Visibel

Sumber: USGS (http://landsat.usgs.gov/band_designations_landsat_satellites.php) dan Sattelite Imaging Corporation (http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/landsat.html).

Sumber:http://landsat.usgs.gov/products_slcoffbackground.php

Gambar 2-6. Pergerakan Pola Perekaman Dengan dan Tanpa SLC

2.4 Aplikasi GIS pada Mangrove

Perkembangan penginderaan jauh untuk vegetasi saat ini telah dapat digunakan untuk pemantauan luasan, perhitungan biomassa, produktivitas tanaman, dan lain-lain. Hal yang perlu dipahami disini adalah pola karakteristik spektral dari vegetasi (daun), yaitu dengan melihat perbedaan intensitas radiasi tenaga ekektromagnetik yang dipantulkan.

Pada spektrum cahaya tampak, klorofil mempengaruhi respon spektral dari daun. Pigmen klorofil daun pada mesophyll palisade mempunyai pengaruh yang signifikan pada penyerapan dan refkektansi pada ujung gelombang tampak (red, green, blue). Sedanglan sel pada spongy mesophyll mempunyai pengaruh yang signifikan pada penyerapan dan reflektansi pada cahaya NIR yang datang. Selain klorofil, nilai respon spektral juga tergantung pada sudut datang matahari dan waktu pengambilan data.


(26)

Klorofil tidak menyerap semua cahaya. Molekul klorofil menyerap cahaya biru dan merah untuk fotosintesis kira-kira sebesar 70% sampai 90% cahaya datang. Cahaya hijau sedikit diserap dan banyak dipantulkan sehingga dapat kita lihat pantulan cahaya hijau yang dominan sebagai warna dari vegetasi yang hidup (Campell, 1987 dalam Arhatin, 2007).

Selain didasarkan pada pantulan spektral spektrum tampak, penginderaan jauh untuk vsegetasi mangrove juga didasarkan pada sifat penting mangrove yang hanya tumbuh di daerah pesisir. Dua hal tersebut akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendetekdi mangrove melalui data citra satelit.

Antara vegetasi mangrove dan vegetasi terestrial mempunyai sifat optik yang hampir sama. Karakteristik mangrove yang hidup di pinggir pantai maka biasanya antara kedaunya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut. Berdasarkan hal tersebut pemantauan luasan serta kerapatan mangrove memungkinkan untuk dilakukan (Arhatin, 2007).

2.5 Indeks Vegetasi

Salah satu cara untuk menyederhanakan hubungan antara perkembangan tanaman dengan ciri reflektansinya adalah dengan mentransformasikan data reflektansi masing-masing saluran menjadi satu atau lebih peubah baru, kemudian melihat hubungan antara fase pertumbuhan tanaman dengan salah satu atau lebih peubah baru tersebut. Indeks vegetasi merupakan salah satu peubah baru yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman yang diturunkan dari beberapa reflektansi saluran spektral.

Beberapa indeks vegetasi berhubungan erat dengan parameter fisik tanaman yang penting sehingga dapat digunakan untuk menduga indeks luas daun, persentase penutupan lahan, tinggi tanaman, biomassa hijau dan populasi/kerapatan tanaman. Beberapa diantaranya mampu menghilangkan atau setidaknya memperkecil gangguan radiometrik pada suatu liputan, dan memperkecil perbedaan radiometrik antar liputan dan antar sensor, sehingga memungkinkan pengintegrasian data spektral yang dikumpulkan pada waktu berbeda dan oleh sensor yang berbeda.


(27)

Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah normalised difference vegetation index (NDVI), yang untuk data landsat dihitung dari nilai spektral saluran 3 dan saluran 4, dengan rumus:

Keterangan: NIR dan Red masing-masing adalah nilai digital untuk saluran 3 dan saluran 4 data Landsat.

Penggunaan NDVI untuk analisis vegetasi sudah cukup banyak dilakukan. Beberapa peran penting NDVI adalah dalam pendugaan pertukaran CO2 dari tanaman selama masa pertumbuhan, monitoring tanaman pertanian, pendugaan hubungan antara klorofil daun dan nilai reflektannya, pendugaan klorosis yang terjadi pada daun tanaman terganggu dengan yellowness index dan dalam pengukuran fluks suhu tanah atau radiasi tanah. Selain itu, NDVI juga dapat digunakan untuk keperluan pemetaan, misalnya pemetaan dan pemantauan produktivitas bersih dari suatu areal pertanian pangan dan perkebunan (Ardiansyah et al., 2005).


(28)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Desember 2009, sedangkan data digital berupa data satelit dan peta digital dikumpulkan dalam rentang waktu bulan November 2009 sampai dengan bulan Juni 2010. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial PPLH Institut Pertanian Bogor. Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Muara Gembong di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa Citra Satelit LANDSAT ETM+ path/row 122/064 dengan spesifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3-1. Selain itu, Peta Digital Kawasan Hutan Dimohon Pemerintah Kabupaten Bekasi tanggal 3 Agustus 2009 nomor 522.12/978/Planologi skala 1:50.000 digunakan sebagai peta acuan area kerja. Tabel 3-1. Spesifikasi citra Landsat yang digunakan

No Kode Perekaman SLC Keterangan Kegunaan

1 20011222 22-12-2001 On Citra komposit 2001

2 20100302 02-03-2010 Off Master citra komposit 2010 3 20100521 21-05-2010 Off Filler citra komposit 2010

Sumber: Pengolahan data header-file masing-masing citra.

Peralatan yang digunakan berupa Software ERDAS Imagine v9.1, ArcView v3.2, IDL v7.0, ErMapper v7.1, dan Microsoft Office 2010; GPS, dan kamera digital.


(29)

3.3 Data dan Informasi yang Diperlukan

Data dan informasi yang diperlukan pada penelitian ini adalah 1. Data hasil pengolahan citra satelit Landsat, yaitu:

a. Peta klasifikasi penutupan lahan kawasan hutan, b. Nilai distorsi Digital Number (DN) citra asli. c. Nilai indeks vegetasi (NDVI) areal mangrove,

Normalized DVI =

(Rouse et.al, 1974 dalam Budi, 2000).

2. Data hasil peninjauan lapang berupa koordinat groundtruth.

3. Data pendukung, yaitu: Foto lokasi mangrove, peta tata batas kawasan dan peta penutupan lahan.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap utama seperti ditunjukkan Gambar 3-1. Tahap awal bertujuan untuk membuat peta penutupan lahan kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Muara Gembong. Fokus kegiatannya adalah pengolahan data citra satelit dan peta digital untuk mendeteksi keberadaan vegetasi mangrove. Tahap selanjutnya bertujuan untuk memperoleh gambaran kuantitas mangrove berdasarkan peta penutupan lahan yang telah dibuat. Fokus kegiatnnya adalah mendeskripsikan peta tutupan lahan sehingga diperoleh luas dan sebaran mangrove; grafik perubahan mangrove berdasarkan analisis time series masing-masing citra; serta potensi biomassa dan kerapatan mangrove dengan referensi allometrik indeks vegetasi penelitian terdahulu.

3.4.1 Pengisian Garis (Gap The Filling)

Data LANDSAT ETM+ yang perlu diisi gap-nya adalah yang mengalami kerusakan akibat SLC-OFF, yaitu data tahun 2010. Data tersebut diisi dengan data tahun yang sama dengan tanggal perekaman dan pola gap yang berbeda. Pengisian gap ini bertujuan untuk memperbaiki data yang cacat akibat kerusakan sensor SLC. Perangkat yang digunakan adalah software IDL v7.0 yang diperoleh dari situs resmi NASA (http://www.nasa.gov/).


(30)

Gambar 3-1. Tahap penelitian

Penyiapan Citra

Pengisian Strip

LANDSAT ETM+ SLC-ON

LANDSAT ETM+ SLC-OFF

Geokoreksi dan Pemotongan Citra Peta Digital

HL/HPT

Citra kawasan Muara Gembong

Koreksi Radiometrik

Image Enhancement

Klasifikasi Citra

Ground Thruthing

& Google

Maps

Reklasifikasi Citra Citra komposit

Accuracy assessment Rejected

Accepted

Allometrik (studi literatur)

Luas dan Sebaran Mangrove

Transformasi Indeks Vegetasi Peta Landcover

Potensi Biomassa & Kerapatan Mangrove


(31)

3.4.2 Penyiapan Citra

Citra yang sudah diisi gap-nya, kemudian dipersiapkan untuk diolah menggunakan software pengolah data citra. Kegiatan yang dilakukan dalam penyiapan citra meliputi konversi data citra (importing); pembuatan citra komposit (layer stack); dan reproyeksi citra (image reprojection). Keseluruhan kegiatan tersebut dikerjakan dengan bantuan software ERDAS Imagine v9.1.

Data yang diperoleh dari USGS masih berekstensi *.L1G untuk citra dengan SLC-ON dan *.TIFF untuk citra dengan SLC-OFF. Kedua format ekstensi tersebut harus dikonversi menjadi ekstensi *.IMG agar dapat diolah. Proses ini dilakukan satu per satu untuk layer/band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 tiap data citra. Selanjutnya, data tiap layer/band yang telah dikonversi digabungkan menjadi citra komposit. Citra komposit yang dihasilkan harus diperiksa sistem proyeksinya. Sistem proyeksi yang digunakan adalah koordinat UTM; Spheroid dan Datum WGS84; UTM Zona 48; dan lintang selatan.

3.4.3 Geokoreksi dan Pemotongan Citra

Tujuan dilakukannya geokoreksi atau koreksi geometri adalah untuk menyamakan posisi piksel-piksel dari data citra LANDSAT multi waktu yang akan dianalisis, sekaligus memperbaiki piksel-piksel tersebut dari distorsi yang mungkin terjadi. Metode yang digunakan adalah koreksi geometri image-to-image dengan citra LANDSAT tahun 2001 sebagai acuan. Citra LANDSAT tahun 2001 tersebut dijadikan citra master atau acuan karena citra tersebut sudah dilakukan koreksi geometri oleh provider-nya yaitu USGS.

Citra yang sudah dikoreksi dipotong untuk mereduksi ukuran data sehingga lebih ringan ketika diolah komputer. Selain itu, pemotongan citra juga bertujuan untuk membuat deliniasi area sebagai batas kajian, yaitu batas wilayah hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Acuan dalam pembuatan batas wilayah tersebut adalah peta digital hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat.


(32)

3.4.4 Koreksi Radiometrik

Teknik koreksi radiometrik yang digunakan yaitu teknik penyesuaian histogram (histogram adjustment). Asumsi dari metode ini adalah dalam proses koding digital oleh sensor, obyek yang memberikan respon spektral yang paling rendah seharusnya bernilai 0. Apabila nilai ini ternyata melebihi angka 0 maka nilai tersebut dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengurangi seluruh nilai pada saluran tersebut dengan offset-nya. Nilai

Penyesuaian histogram meliputi evaluasi histogram pada setiap band dari data citra Landsat. Biasanya data pada panjang gelombang tampak (TM saluran 1-3) mempunyai nilai minimum yang lebih tinggi karena dipengaruhi oleh hamburan atmosfir. Sebaliknya penyerapan atau absorbsi pada atmosfir akan mengurangi kecerahan pada data yang direkam dalam interval panjang gelombang yang lebih besar seperti TM 4,5,7. Sehingga data pada band ini nilai minimumnya mendekati nilai nol (Samsuri, 2004).

Teknis dalam penyesuaian histogram yaitu dengan menggunakan software Er Mapper 7.1 yang sudah kompatibel dengan data Landsat berformat *.IMG. Formula pada kotak dialog algoritma diedit dengan persamaan 3 sebagai berikut:

“INPUT1-G” Keterangan:

INPUT1 = Band/layer data landsat (setiap layer dikoreksi). G = Nilai minimum pada setiap band/layer.

3.4.5 Image Enhancement

Citra Landsat yang akan diklasifikasikan penutupan lahannya harus memiliki tingkat kecerahan yang terbaik sehingga setiap piksel yang ada mudah dikenali dan dibedakan. Khususnya pada klasifikasi terbimbing (supervised classification).

Pada penyajian citra Landsat dengan multiband, untuk mendapatkan kombinasi band yang terbaik dilakukan evaluasi dengan metode OIF (optimim index factor). OIF merupakan ukuran banyaknya informasi yang dimuat pada satu citra komposit. Ukuran ini merupakan perbandingan antara total simpangan baku


(33)

dari ketiga band yang digunakan dengan ketiga koefisien korelasi dari masing-masing pasangan band yang digunakan (Jaya, 2009). Kombinasi tiga kanal spektral yang terpilih adalah kombinasi yang memiliki nilai OIF tertinggi. Rumus yang digunakan untuk OIF adalah:

∑ | | (Chaves et al., 1981 dalam Budi, 2000)

Keterangan: Si = Simpangan baku tiap kanal

ri,j = Koefisien korelasi antara kanal i dan j

Setelah mendapatkan pola kombinasi yang memuat informasi terbanyak, citra Landsat yang akan diklasifikasi perlu dilakukan penajaman kontras sesuai dengan kemudahan interpreter dalam membedakan warna dan rona pada citra. Penajaman citra (image enhancement) dilakukan untuk lebih memudahkan interpretasi visual suatu citra. Walaupun citra telah dikoreksi terhadap pengaruh radiometrik, atmosferik dan karakteristik sensor, kenampakan citra masih tetap kurang optimal untuk interpretasi visual.

Ada banyak metode dari penajaman citra, yaitu penajaman kontras (contrast enhancement) yang juga dikenal sebagai penajaman global (global enhancement) dan penajaman lokal (spatial/local enhancement). Penajaman kontras yaitu mentransformasi seluruh bagian dari citra asli dengan menggunakan pendekatan statistik, contohnya adalah perentangan kontras linear (linear contras stretch); perentangan dengan kesetaraan histogram (histogram equalitzed stretch) dan perentangan kontras perbagian (piece wise contrast stretch). Penajaman lokal yaitu penajaman yang didasarkan pada kondisi lokal yang dijadikan penentuan untuk penajaman seluruh citra, contohnya adalah penghalusan citra (image smoothing) dan penajaman citra (image sharpening) (Tim PIDD, 2003).

3.4.6 Klasifikasi citra

Citra LANDSAT diklasifikasi dengan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Metode yang digunakan adalah metode kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Classifier). Menurut Jaya (2009), metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang suatu


(34)

piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Peluang ini sering disebut dengan prior probalility, dapat dihitung dengan menghitung prosentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat).

Citra yang sudah diklasifikasi selanjutnya dilakukan evaluasi akurasi. evaluasi akurasi bertujuan untuk menguji tingkat keakuratan secara visual dari hasil klasifikasi terbimbing dengan menggunakan titik-titik kontrol lapangan untuk uji akurasi. Titik-titik lain yang ditentukan sebanyak kelas-kelas yang telah ditetapkan dalam klasifikasi pada lokasi diluar area contoh yang telah digunakan sebelumnya.

Evaluasi akurasi terhadap besarnya kesalahan klasifikasi area contoh untuk menentukan besarnya persentase ketelitian pemetaan. Evaluasi ketelitian pemetaan meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian nama kelas secara benar, persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total.

3.4.7 Pendugaan Biomassa dan Kerapatan Mangrove

Biomassa dan kerapatan mangrove dihitung menggunakan persamaan alometrik dari hasil penelitian terdahulu. Persamaan tersebut menggambarkan hubungan erat antara indikator biologis mangrove dengan pola reflektansi yang direkam oleh satelit. Pola reflektansi yang direkam tersebut diolah sehingga dihasilkan nilai atau indeks yang semakin erat hubungannya dengan karakteristik mangrove. Nilai indeks yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).

Persamaan NDVI yang digunakan untuk menduga potensi biomassa mangrove dan kerapatannya adalah sebagai berikut:

1. Persamaan alomterik penduga potensi biomassa (Budi, 2000):

W = Potensi biomassa (kg/m2) R2 = 83,7 %


(35)

2. Persamaan alomterik penduga kerapatan vegetasi (Arhatin, 2007): Y = -50,28 + (311,54NDVI) + (10,3NDVI2) – (242,44NDVI3) Y = Kerapatan vegetasi (%)


(36)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Luas dan Letak Kawasan Muara Gembong

Kawasan Hutan Gembong memiliki luas + 5.311,15 Ha. Kawasan hutan ini membentang di sepanjang pantai Ujung Krawang (Muara Gembong) yang terletak di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak antara 107o00’ 00’’ BT sampai 107o06’ 00’’ BT dan 5o 55’ 00’’ LS sampai 6o 05’ 30’’ LS. Secara administratif, kawasan ini berbatasan dengan:

Utara : Laut Jawa.

Timur : Kabupaten karawang.

Selatan : Kota Bekasi, Kecamatan Tambun. Barat : DKI Jakarta.

Secara administrasi kehutanan, kawasan ini termasuk di dalam BKPH Ujung Krawang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

4.2 Sejarah Kawasan

Hutan lindung Muara Gembong berawal dari tanah partikelir yang kemudian berubah status menjadi tanah negara bebas pada tahun 1949. Bupati Bekasi kemudian menyerahkan tanah seluas 9.311 hektar tersebut kepada Kepala Dinas Kehutanan Jakarta Raya.

Menteri Pertanian kemudian menetapkan lahan eks-partikelir Cabang Bungin, Pondok Tengah, Babadan, Pangkalan, dan Terusan sebagai hutan tetap seluas 9.311 hektar. Berita Acara Tata Batas (BATB) kelompok hutan Ujung Karawang KPH Bogor dibuat tanggal 2 Februari 1957 dan disahkan 31 Mei 1957 seluas 10.481,1 hektar. Pemerintah kemudian menambah kawasan hutan tersebut seluas 1.123 hektar karena ada tanah timbul. Kawasan ini merupakan muara Sungai Citarum yang memiliki hulu di kawasan bendungan Jati Luhur.

Perkembangan masyarakat yang semakin padat di kawasan tersebut membuat Menteri Kehutanan atas usulan Bupati Bekasi menerbitkan surat keputusan Menhut Nomor SK.475/Menhut-II/2005 pada 16 Desember 2005 untuk


(37)

mengubah fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi tetap seluas 5.170 hektar. Masyarakat kemudian mendiami delapan desa dan tiga kecamatan yang berada di dalam kawasan tersebut.

Pada awal tahun 2009, pemerintah Kabupaten Bekasi mengajukan permohonan kepada Departemen Kehutanan mengenai Tukar Menukar Kawasan Hutan dan Perubahan Status Kawasan Hutan Produksi Tetap menjadi Areal Budi Daya. Areal budi daya tersebut nantinya akan dikembangkan menjadi beberapa kategori pengembangan, yaitu perumahan (residential), pelabuhan, pergudangan, industri, dan penggunaan lainnya (mixed used). Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bekasi bekerjasama dengan PT. Menara Group sebagai pihak ketiga.

4.3 Lingkungan Biofisik

Kondisi penutupan lahan Kawasan Hutan Lindung Ujung Krawang (Muara Gembong) berdasarkan Citra Ikonos Tahun 2002 adalah bakau 682,10 ha (6,51%), semak/rumput/rawa 2.703,96 ha (25,80 %), tambak/empang 4.709,59 ha (44,93 %), sawah 1.116,98 (10,65 %), ladang/kebun 428,60 ha (4,09 %), tegalan 547,61 ha (5,23 %), dan pemukiman/perkampungan 292,31 ha (2,79 %).

Ekosistem lahan basah di Kawasan Hutan Ujung Krawang (Muara Gembong) terdiri dari : rawa, estuaria dan mangrove. Ekosistem rawa air tawar terletak di Muara Nawan, Sungai Keramat, Tanjung Air dan Sungai Larangan sampai dengan Muara Blacan. Ekosistem rawa air tawar ini merupakan habitat dari beberapa jenis flora dan fauna endemik.

Ekosistem Estuaria pada umumnya terdapat di seluruh muara di kawasan Hutan Ujung Krawang. Kebanyakan estuaria ini didominasi oleh endapan lumpur yang berasal dari air tawar dan air laut. Ekosistem mangrove umumnya terdapat dalam jalur yang sangat tipis di sepanjang pantai sebelah utara dan barat.


(38)

Keterangan: Wilayah penelitian. Sumber: GoogleMaps

Gambar 4-1. Kawasan Hutan Lindung Muara Gembong dan sekitarnya. Pada kawasan pesisir pantai hutan mangrove ditemukan jenis tumbuhan mangrove sejati terdiri dari 23 jenis yang didominasi oleh Api-api (Avicennia spp.), Bakau (Rhizophora spp.), Pedada (Sonneratia caseolaris). Sedangkan hutan mangrove ikutan terdiri dari 13 jenis yang didominasi oleh Bintan (Cerbera odollam), Kiser (Fimbristylis verruginea) dan Ketapang (Terminalia catappa). Adapun jenis tumbuhan di muara air tawar terdiri dari 11 jenis yang didominasi oleh Kiser (Fimbristylis verruginea) dan Nipah (Nypha fruticans).

Berdasarkan data sekunder, jenis burung yang ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Ujung Krawang (Muara Gembong) sebanyak 158 jenis. Dari sejumlah jenis tersebut, 7 jenis merupakan kelompok endemik dan 6 jenis dilindungi berdasarkan kriteria IUCN.

Jenis Raja-udang biru Alcedo coerulecens dan Layang-layang batu Hirundo tahitica ditemukan cukup banyak di sepanjang Sungai Citarum dan


(39)

Sungai Bungin. Di pantai bagian utara, terdapat beberapa jenis burung air diantaranya Kuntul Perak (Egretta intermedia), Kuntul Kecil (Egretta garzetta), dan Cangak Abu (Ardea cinerea).

Burung-burung laut seperti Cikalang Christmas (Fregata andrewsi) dan Dara-laut (Dara-laut jambul dan Dara-laut kecil) yang merupakan jenis burung migran, ditemukan di sekitar pantai. Sedangkan jenis burung Pecuk-padi hitam ditemukan di bagan-bagan di tengah laut.

Terdapat 15 jenis mamalia yang didominasi oleh Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan Surili (Presbitis cristata). Untuk jenis reptilia terdapat 6 jenis dan 3 jenis diantaranya masuk ke dalam Appendix CITES, antara lain Kura-kura Hutan dan Biawak (Varanus salvator). Jenis ikan yang banyak ditemukan di kawasan mangrove adalah Ikan blodok (Periophtalmus sp.) (Timdu, 2005).

4.4 Sosekbud

Penduduk Kecamatan Muara Gembong tahun 2004 berjumlah 34.754 jiwa, yang terdiri dari 8.214 KK, menempati sebanyak 18 dusun, 6 desa sehingga rata-rata jumlah penduduk adalah 5.792 jiwa atau 1.369 KK per desa. Jumlah penduduk tersebut terdiri atas 16.757 perempuan dan 16.891 laki-laki atau dengan sex ratio sebesar 99,21%. Penduduk Kecamatan Muara Gembong terdiri dari suku Betawi, Sunda, Jawa, dan Bugis, sedangkan asal usulnya berasal dari Bekasi dan sekitarnya, seperti Cirebon, Serang, Indramayu, dan Makasar.

Mata pencaharian penduduk adalah petani 2.233 jiwa (15,95%), pedagang 1.480 jiwa (10,57%), buruh industri 423 jiwa (3,02%), jasa angkutan 349 jiwa (2,49%), PNS, TNI/POLRI & pensiunan 183 jiwa (1,31%), karyawan 1.498 jiwa (10,70%), wiraswasta 854 jiwa (6,10%) serta petani tambak dan nelayan 6.978 jiwa (49,85%).


(40)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Gambaran umum hasil penelitian

Hasil yang diperoleh setelah melalui berbagai proses adalah peta penutupan lahan yang memuat informasi mengenai sebaran dan luasan vegetasi mangrove di kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas Muara Gembong pada tahun 2001 dan 2010. Selain itu, informasi mengenai perubahan luasan vegetasi mangrove berikut potensi biomassa dan kerapatan vegetasinya sebagai indikator biologis mangrove dapat diketahui juga.

5.1.2 Pengisian strip data citra SLC-OFF

Pengisian strip (garis) pada data citra yang rusak akibat kerusakan sensor SLC dilakukan menggunakan software (perangkat lunak) IDL v7.0. Perangkat lunak ini dikeluarkan oleh NASA, Amerika Serikat. Pengisian ini bertujuan untuk memperbaiki data yang hilang akibat strip tersebut. Strip diisi dengan menggunakan data citra lain yang mengalami stripping pada tempat yang berbeda. Gambar 5-1 menunjukkan data citra sebelum dan sesudah diisi strip-nya.

(sebelum pengisian strip) (sesudah pengisian strip)


(41)

5.1.3 Konversi format data citra

Data citra yang diperoleh dari USGS tersimpan dalam format dasar (raw image). Format ini tidak dikenali oleh perangkat lunak pengolah data spasial seperti ERDAS Imagine sehingga perlu dikonversi ke dalam format standar yang dikenali perangkat lunak tersebut. Tabel 5-1 menunjukkan bentuk format data sebelum dan sesudah dikonversi.

Tabel 5-1 Format citra sebelum dan sesudah dikonversi

Citra tahun Format dasar Format konversi Keterangan

2001 *.L1G *.IMG SLC-ON

2010 *.TIFF *.IMG SLC-OFF

Sumber: Hasil pengolahan data.

5.1.4 Penyusunan citra komposit

Citra yang sudah dikonversi masih terdiri dari file-file tiap band yang terpisah. Setiap band tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam menampilkan suatu objek liputan. Band-band tersebut perlu untuk disatukan agar dapat dilakukan analisis band pada data citra. Citra yang terdiri dari multi-band disebut citra komposit. Kombinasi multi-band yang dibutuhkan untuk analisis citra pada penelitian ini adalah band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Tabel 5-2 menunjukkan perbedaan ukuran file tiap band dan citra kompositnya.

Tabel 5-2 Ukuran file tiap band dan citra komposit

Citra tahun Ukuran file (Kb)

Tiap band Citra komposit

2001 57.039 342.189

2010 57.410 355.002

Sumber: Hasil pengolahan data.

5.1.5 Koreksi geometrik dan pemotongan citra

Peta digital yang digunakan sebagai pembatas objek/wilayah kajian belum memiliki sistem proyeksi digital. Peta ini harus diberi koordinat digital agar dapat sinkron dengan data citra.. Sistem kordinat digital yang dipakai adalah Sistem Grid UTM, Proyeksi Transverse Mercator, Datum WGS 84, dan Zona 48 South. Titik acuan (ground conrtol point) yang digunakan sebanyak sembilan titik ( Tabel 5-3).


(42)

Tabel 5-3 Titik acuan/GCP pada proses georeferensi peta digital

GCP Input Referensi RMSE

X Y X Y

1 577 -603 715000 9345000 0,00

2 577 -2989 715000 9325000 0,00

3 3535 -2993 740000 9325000 0,00

4 3539 -606 740000 9345000 0,00

5 2944 -2395 735000 9330000 0,00

6 1169 -1797 720000 9335000 0,00

7 2944 -1799 735000 9335000 0,00

8 1169 -2393 720000 9330000 0,00

9 1761 -604 725000 9345000 0,00

Sumber: Hasil pengolahan data.

Koreksi geometrik citra tahun 2010 menggunakan teknik image-to-image dengan citra tahun 2001 sebagai acuan. Metode resampling yang digunakan adalah nearest neighbor. Koreksi geometrik citra tahun 2010 menggunakan sebelas titik GCP dengan nilai RMSE Total-nya sebesar 0,44. Daftar titik GCP pada koreksi citra tahun 2010 diperlihatkan pada Tabel 5-4. Sedangkan sebaran GCP citra tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar 5-2.

Tabel 5-4 Daftar GCP koreksi geometrik citra tahun 2010

GCP Input Referensi RMSE

X Y X Y

1 725762.518 9338105.172 725807.345 9338099.148 0.312

2 736318.728 9330244.324 736368.885 9330237.231 0.495

3 757528.751 9280661.671 757593.580 9280621.523 0.295

4 731937.825 9333273.791 731985.935 9333266.945 0.543

5 711001.843 9324038.984 711042.281 9324012.072 0.297

6 755257.589 9340845.582 755312.935 9340858.583 0.423

7 659523.426 9333453.983 659542.744 9333406.689 0.187

8 704338.517 9340808.042 704374.718 9340791.923 0.498

9 738154.427 9281052.085 738211.093 9281001.634 0.307

10 723844.231 9341172.179 723887.065 9341167.213 0.730 11 722038.563 9334700.306 722081.837 9334688.664 0.419

RMSE ∑ 0.435


(43)

Gambar 5-2. Sebaran GCP pada koreksi geometrik citra 2010 ke citra 2001. Area liputan citra yang luas melebihi objwk kajian perlu dipersempit dengan melakukan pemotongan citra. Citra dipotong dengan metode two corners. Metode ini membutuhkan dua koordinat sebagai sudut pemotongan. Kedua titik ini (Tabel 5-5) diperoleh dari peta digital. Hasil dari pemotongan citra tahun 2001 ditunjukkan pada Gambar 5-3, sedangkan perbandingan antara citra sebelum dan sesudah dipotong untuk masing-masing citra dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5-5 Koordinat titik pemotongan citra

Sudut Sumbu X Sumbu Y

Kiri atas 711213 9349054

Kanan atas 741693 9321755

Sumber: Hasil pengolahan data.

5.1.6 Koreaksi radiometrik

Hasil analisis histogram menunjukkan bahwa tiap band citra tahun 2001 dan 2010 mengalami distorsi radiometrik. Nilai distorsi untuk setiap band berbeda satu sama lain (Tabel 5-6). Metode yang digunakan dalam memperbaiki distorsi ini adalah metode penyesuaian histogram. Nilai digital setiap band menjadi seragam dimulai dari nol setelah dikurangi nilai biasnya. Nilai bias merupakan nilai digital minimal yang tidak dimulai dari nol.


(44)

Gambar 5-3. Citra tahun 2001 hasil pemotongan dengan metode two corners. Tabel 5-6 Nilai minimum dan maksimum histogram nilai digital sebelum dan

sesudah dikoreksi

Citra Sebelum dikoreksi Bias Setelah dikoreksi

Min. Maks. Min. Maks.

2001

B1 66 210 66 0 144

B2 41 211 41 0 170

B3 25 208 25 0 183

B4 8 152 8 0 144

B5 7 255 7 0 248

B7 6 255 6 0 249

2010

B1 73 221 73 0 148

B2 46 210 46 0 164

B3 30 241 30 0 211

B4 11 128 11 0 117

B5 9 255 9 0 246

B7 6 255 6 0 249


(45)

5.1.7 Penajaman citra

Ukuran yang digunakan untuk menyatakan banyaknya informasi yang dapat diberikana oleh suatu tampilan citra adalah Nilai Optimum Index Factor (OIF). Semakin tinggi nilai OIF menunjukkan semakin banyak keragaman informasi yang ditampilkan citra. Pemilihan citra komposit dengan keragaman informasi tertinggi dapat dilakukan dengan melihat nilai OIF tampilan citra tersebut. Hasil analisis nilai OIF menunjukkan bahwa tampilan citra komposit dengan kombinasi Band 3-4-5 memiliki nilai OIF tertinggi (Tabel 5-7). Nilai OIF untuk citra tahun 2001 sebesar 1.395,05 dan untuk citra tahun 2010 sebesar 724,93.

Kombinasi Band 3-4-5 pada filter layer RGB (red-green-blue) dapat dijadikan enam kombinasi citra komposit RGB. Keenam kombinasi tersebut adalah RGB-345, RGB-354, RGB-435, RGB-453, RGB-534, dan RGB-543. Setiap kombinasi citra komposit RGB memiliki tampilan warna yang berbeda dalam mendeteksi suatu objek tertentu seperti vegetasi, badan air, atau tanah terbuka. Berdasalkan analisi visual ditetapkan citra komposit RGB-453 memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi objek khususnya mangrove (Gambar 5-4).

Tabel 5-7 Nilai OIF tiap kombinasi RGB

RGB Nilai OIF RGB Nilai OIF

Citra 2001 Citra 2010 Citra 2001 Citra 2010

123 131,04 116,82 234 635,70 439,50

124 459,66 311,82 235 923,31 502,04

125 656,12 358,10 237 484,11 310,27

127 284,13 222,59 245 1.114,92 544,58

134 558,33 418,07 247 779,92 451,29

135 839,13 495,13 257 843,10 411,70

137 422,29 300,36 345 1.395,05 724,93

145 912,59 472,25 347 1.075,16 546,23

147 621,32 381,25 357 1.188,86 502,74


(46)

Gambar 5-4. Tampilan visual citra RGB-453 tahun 2010.

5.1.8 Klasifikasi penutupan lahan

Proses klasifikasi pentupan lahan (landcover) suatu citra diawali dengan penentuan kelas-kelas penutupan lahan yang teridentifikasi dari analisis visual citra tersebut. Analisi visual citra komposit RGB-453 yang dikombinasikan dengan data peninjauan lapang dan tampilan rupa bumi pada Goolge Maps menunjukkan bahwa citra tahun 2001 dan 2010 yang dianalisis memiliki sembilan kelas penutupan lahan. Kesembilan kelas penutupan lahan tersebut meliputi: (1) Laut 1; (2) Laut 2; (3) Mangrove; (4) Tanah terbuka/terbangun; (5) Padi 1; (6) Kebun campuran; (7) Padi 2; (8) Tambak; dan (9) Sungai.

Ukuran yang digunakan untuk menentukan tingkat keterpisahan kelas-kelas tersebut adalah nilai Transformed Divergence (TD). TD memiliki selang nilai antara 0 sampai dengan 2.000. Semakin tinggi nilai TD menunjukkan bahwa objek tersebut semakin terpisah dengan objek lainnya yang dibandingkan.

Tingkat keterpisahan (separabilitas) mangrove pada citra tahun 2001 terhadap kelas penutupan lahan lainnya menunjukkan derajat baik


(47)

(2.000>TD≥1900), sedangkan untuk citra tahun 2010 menunjukkan derajat sempurna (TD=2.000). Tabel 5-8 menunjukkan nilai TD kelas mangrove terhadap kelas penutupan lahan lainnya pada citra tahun 2001 dan 2010.

Tabel 5-8 Nilai TD mangrove terhadap kelas penutupan lahan lainnya

Landcover Nilai TD mangrove

Citra 2001 Citra 2010

Laut 1 2.000 2.000

Laut 2 2.000 2.000

Mangrove 0 0

Tahah terbuka/terbangun 2.000 2.000

Padi 1 2.000 2.000

Kebun campuran 1.989 2.000

Padi 1 2.000 2.000

Tambak 1.985 2.000

Sungai 2.000 2.000

Sumber: Hasil pengolahan data.

Teknik yang digunakan dalam mengklasifikasikan citra menjadi kelass penutupan lahan adalah teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Teknik ini membutuhkan beberapa area contoh (training area) sebagai penciri statistik untuk mengelompokkan piksel-piksel pada citra sesuai dengan nilai digitalnya. Area contoh yang dibuat harus merepresentasikan kelas penutupan lahan yang ditetapkan. Tingkat keterwakilan tiap kelas penutupan lahan terhadap area contoh yang dibuat dapat diukur menggunakan uji akurasi pada matriks kontingensi/error (error matrix).

Nilai uji akurasi tersebut menggambarkan tingkat ketelitian dalam pembuatan area contoh tiap kelas. Nilai akurasi yang diperoleh dengan menggunakan matriks kontingensi menghasilkan nilai producer’s accuracy (PA),

user’s accuracy (UA), overall accuracy (OA), dan kappa accuracy (KA).

Area contoh yang dibuat sudah mewakili kelas penutupan lahan yang ditentukan. Persentase nilai akurasi menunjukkan nilai terkecil sebesar 94,40% yang masih lebih tinggi dari standar minimal yang ditetapkan sebesar 85%. Bahkan pada beberapa kelas penutupan lahan, nilai akurasinya dapat mencapai angka 100% (Tabel 5-9).


(48)

Tabel 5-9 Persentasi ketelitian matriks kontingensi

Penutupan lahan Citra 2001 Citra 2010

UA (%) PA (%) UA (%) PA (%)

Laut 1 99,98 99,98 99,98 99,94

Laut 2 99,97 99,88 99,67 99,48

Mangrove 98,06 100,00 100,00 99,80

Tahah terbuka/terbangun 100,00 100,00 100,00 100,00

Padi 1 100,00 100,00 100,00 100,00

Kebun campuran 100,00 99,59 99,87 100,00

Padi 1 94,40 97,39 99,74 98,98

Tambak 98,70 95,94 95,90 97,39

Sungai 94,86 99,64 94,89 99,24

Overall accuracy (%) 99,80 99,61

Kappa accuracy (%) 99,63 99,39

Sumber: Hasil pengolahan data.

5.1.9 Luas dan sebaran mangrove

Luasan mangrove pada tahun 2010 mengalami pertambahan luas sebesar 281,52 ha atau sekitar 52,09 % dari luas tahun 2001. Pada tahun 2001 luas mengrove sebesar 540,72 ha kemudian menjadi 822,24 ha pada tahun 2010. Proses klasifikasi penutupan lahan citra tahun 2010 memiliki tingkat akurasi klasifikasi overall (overall classification accuracy) sebesar 83,33% dan nilai statistik kappa overal bernilai 77,29%. Sebagian besar pertambahan mangrove terjadi di sekitar pantai seperti ditampilkan pada Gambar 5-5. Gambar tersebut memperlihatkan overlay mangrove tahun 2001 dan 2010.

5.1.10 Potensi biomassa dan kerapatan mangrove

Potensi biomassa vegetasi mangrove tahun 2001 sebesar 46,7 ton/ha kemudian pada tahun 2010 menjadi sebesar 53,5 ton/ha. Total potensi biomassa mangrove di Muara Gembong pada tahun 2001 sebesar 34.043,12 ton kemudian meningkat menjadi 63.135,99 ton pada tahun 2010. Total pertambahan potensi selama sembilan tahun sebesar 29.092,87 ton atau sekitar 3.232,54 ton/tahun. Sedangkan untuk kerapatan mangrove pada tahun 2001 mencapai 55,78% kemudian menjadi 8,43% pada tahun 2010.


(49)

Keterangan:

Mangrove 2001;

Mangrove 2010;

Irisan mangrove 2001-2010.

Gambar 5-5. Sebaran mangrove citra tahun 2001 dan tahun 2010.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Pengolahan data citra

Sejak tahun 2003, sensor ETM+ LANDSAT-7 mengalami kerusakan SLC (scan line corrector) sehingga citra yang direkam mengalami strip /garis-garis. Garis-garis tersebut merupakan area yang tidak terekam oleh satelit dan

720000 720000 725000 725000 730000 730000 9 33 0 0 0

0 93

3 0 0 00 9 3 3 5 0 0

0 93

3 5 0 0 0 9 3 4 0 0 0

0 93

4 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0

0 934

5

0

0

0

100 0 0 100 0 200 0 300 0 Me ters


(50)

ukurannya akan semakin besar ke kanan dan ke kiri, sedangkan pada bagian tengahnya tidak mengalami stripping. Namun, ada juga citra yang mengalami stripping di sepanjang area liputannya. Posisi stripping dapat berbeda untuk setiap citra. Kerusakan ini menyebabkan proses interpretasi menjadi lebih sulit. Dalam beberapa kasus interpretasi citra, kerusakan ini tidak dapat ditoleransi.

Kerusakan citra tersebut dapat diperbaiki dengan menggunakan software frame_and_fill (IDL v7.0) yang direkomendasikan oleh NASA. Software dapat diunduh pada alamat http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/handbook/software/ gap_filling_software.html. Prinsip kerjanya adalah dengan meng-overlay-kan citra master dan citra pengisi. Citra master adalah data citra utama yang akan diinterpretasikan. Citra pengisi adalah data citra yang memiliki posisi stripping berbeda dan waktu perekaman yang relatif dekat dengan citra master. Stripping pada citra master akan diisi oleh data pada citra pengisi sehingga stripping pada citra master akan hilang.

Citra tahun 2010 yang direkam pada tanggal 02 Maret 2010 diperbaiki dengan cara diisikan citra lain yang memiliki posisi stripping berbeda dan waktu perekaman relatif dekat. Data di USGS yang paling memungkinkan digunakan sebagai citra pengisi adalah citra perekaman tanggal 21 Mei 2010. Software ini bekerja pada level individual band sehingga perbaikan yang dilakukan adalah pada level band. Citra yang telah diisi akan memiliki band yang terbebas dari garis-garis (Gambar5-1). Band 1 citra tahun 2010 akan hilang garis-garisnya setelah diperbaiki.

Band-band pada kedua citra hasil pengisian stripping tersebut masih berbentuk format dasar dari USGS. Format dasar ini tidak dikenali oleh software mengolahan citra seperti ERDAS Imagine v9.1 sehingga tidak bisa diolah. Citra tahun 2001 berbentuk format *.L1G sedangkan citra tahun 2010 berformat *.TIFF. Menurut USGS (2001), *.L1G adalah format untuk citra yang diterbitkan dalam keadaan sudah terkoreksi secara geometrik sehingga citra dalam format ini sudah setengah jadi dan dapat langsung digunakan tanpa harus mengalami proses koreksi geometrik. Sedangkan citra dengan format *.TIFF adalah format citra yang diterbitakan tanpa terlebih dahulu dikoreksi. Dengan kata lain, citra tersebut masih berupa citra dasar/mentah (raw image) sehingga harus dikoreksi sebelum


(51)

digunakan. Kedua jenis format tersebut harus dikonversi menjadi format *.IMG agar dapat dikenali oleh software ERDAS Imagine v9.1.

Konversi format diproses dengan bantuan menggunakan fasilitas impor software ERDAS Imagine v9.1. Proses konversi dilakukan satu per satu untuk tiap band citra. Band yang dikonversi adalah band yang akan digunakan dalam pembuatan citra komposit untuk keperluan analisis penutupan lahan saja. Band yang dikonversi adalah band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Band 6 dan Band 8 tidak dikonversi karena tidak digunakan dalam analisi penutupan lahan. Band 6 berisi informasi mengenai temperatur permukaan bumi, sedangkan Band 8 adalah band pankromatik dengan ukuran piksel 15x15 m2.

Proses konversi format *.TIFF ke *.IMG berbeda dengan proses konversi format *.L1G ke *.IMG. Pada proses konversi format *.TIFF ke *.IMG tidak memerlukan informasi tambahan sehingga dapat langsung dikonversi. Sedangkan pada proses konversi format *.L1G ke *.IMG membutuhkan informasi tambahan berupa Number of Line dan Pixel per Line. Kedua informasi ini diperoleh dari metadata citra tahun 2001 yang disertakan dalam paket citra tahun 2001. Dari data tersebut diketahui bahwa Number of Line bernilai 7061 sedangkan Pixel per Line bernilai 8141. Pada akhir proses, didapatkan file band-band dari kedua citra (tahun 2001 dan 2010) sudah dalam format *.IMG. Perbedaan format antara sebelum dan sesudah konversi ditunjukkan pada Tabel 5-1.

Data citra hasil konversi terdiri dari beberapa file band citra yang berdiri sendiri. File-file band ini belum dapat dijadikan data yang baik untuk keperluan analisis. Apabila ditampilkan pada jendela tampilan software pengolah citra digital, file band ini hanya menampilkan gradasi warna hitam dan putih saja. Objek yang ada pada area liputannya sulit untuk diidentifikasi. Proses analisis citra membutuhkan kombinasi informasi dari beberapa band agar dapat membedakan objek tutupan lahan dengan baik, sehingga citra yang akan dianalisis penutupan lahannya harus disajikan dalam beberapa kombinasi band yang sesuai dengan objek kajiannya.

Setiap band citra tersebut memiliki informasi dan karakteristik yang berbeda ketika ditampilkan. Penyajian dalam beberapa kombinasi band akan meningkatkan jumlah informasi yang diberikan oleh citra. File-file band tersebut


(52)

harus disatukan menjadi satu kesatuan citra agar dapat ditampilkankan dalam berbagai kombinasi band. Citra yang terdiri dari beberapa kombinasi band disebut citra multi-band atau citra komposit.

Penyusunan band-band menjadi citra komposit dilakukan dengan Layer Stacking menggunakan software ERDAS Imagine v9.1. Tidak ada perbedaan prosedur dalam penyatuan band-band tiap citra tersebut. Band yang disatukan adalah semua band yang telah dikonversi, yaitu Band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Setelah proses ini dilakukan, file band citra menjadi satu kesatuan file yang berukuran lebih besar. Perbedaan ukuran file tersebut disajikan pada Tabel 5-2.

Citra yang akan dianalisis penutupan lahannya harus memenuhi beberapa persyaratan agar hasil yang didapatkan sesuai dengan objek kajian dan dapat dibandingkan antara satu citra dengan citra yang lain. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Wilayah yang dianalisis mencakup objek kajian yang sama yaitu Muara Gembong;

2. Antara satu citra dengan citra yang lain memiliki posisi piksel yang sama agar dapat dibandingkan; dan

3. Sistem proyeksi peta yang digunakan sesuai dengan wilayah kajian.

Peta yang dijadikan acuan penentuan batas objek kajian adalah Peta Penutupan Lahan Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Wilayah Pantai Utara Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat (Surat Menteri Kehutanan Nomor : S.184/Menhut – II/2009). Peta digital ini sudah planimetri dan memiliki koordinat UTM yang tercetak pada peta. Peta ini belum memiliki koordinat sistem secara digital, sehingga harus dilakukan proses georeferensi yaitu proses pemberian koordinat digital pada peta yang sudah planimetri (Jaya, 2009). Proses georeferensi peta digital dilakukan dengan software ERDAS Imagine v9.1.

Sistem proyeksi peta digital diperbaiki sesuai dengan informasi yang diperoleh dari legenda peta tersebut. Sistem proyeksi yang digunakan adalah Sistem Grid UTM, Proyeksi Transverse Mercator, Datum WGS 84, dan Zona 48 South. Pada proses georeferensi ini, titik acu (GCP/ground control point) yang digunakan sebanyak sembilan titik yang tersebar merata pada seluruh area peta


(53)

digital (Tabel 5-3). Peta digital yang sudah memiliki sistem koordinat digital dapat digunakan untuk menentukan batas objek/area kajian.

Membandingkan penutupan lahan antara satu citra dengan citra lain sesuangguhnya adalah membandingkan antara piksel pada satu citra dengan piksel pada citra lain dengan posisi yang sama. Piksel sebagai komponen terkecil citra digital memberikan informasi tentang jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Agar citra dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, maka setiap citra harus memiliki posisi piksel yang sama. Proses pembandingan piksel ini sesungguhnya adalah proses pengamatan perubahan penutupan lahan.

Nilai piksel tersebut menunjukkan jenis penutupan lahannya sehingga sebuah piksel yang diamati harus berada pada koordinat yang sama pada citra yang lain. Oleh karena itu, setiap citra harus diregistrasai (disamakan posisinya) dengan sebuah citra acuan. Citra acuan yang digunakan adalah citra tahun 2001. Citra 2001 dipilih sebagai acuan karena sudah planimetri sesuai keterangan dari USGS (2001). Proses penyamaan posisi ini disebut juga koreksi geometrik dengan metode image-to-image (citra ke citra).

Citra tahun 2010 digeokoreksi dengan menggunakan persamaan transformasi orde 1 atau disebut juga Affine transformation dengan teknik resampling nearest neighbor. Transformasi affine dipilih dengan memperhatikan bahwa pada proses geokoreksi image-to-image yang terjadi adalah pergeseran piksel-piksel yang terkoreksi hanya seputar sumbu absis (X) dan sumbu ordinat (Y). Sedangkan teknik resampling nearest neighbor dipilih karena teknik ini hanya mengambil kembali nilai yang terdekat yang telah tergeser ke posisi yang baru sehingga tidak akan mengubah nilai peksel-piksel yang ada (Arhatin, 2007).

Proses koreksi geometrik citra tahun 2010 menggunakan 11 titik kontrol (GCP). Kesebelas titik kontrol tersebut tersebar seperti diperlihatkan pada Gambar 5-2. Nilai RMSE total yang didapatkan adalah sebesar 0,44. Nilai ini memenuhi kaidah pemilihan GCP yang mensyaratkan RMSE total maksimal 0,5. Setiap titik kontrol yang dipilih memiliki nilai RSME yang berbeda-beda (Tabel 5-4).

Citra yang sudah dikoreksi geometrik kemudian dipotong untuk mendapatkan wilayah kajian yang lebih fokus. Pemotongan citra menggunakan metode dua sudut (two corners). Metode ini akan menghasilkan potongan citra


(1)

Lampiran 4 Koordinat hasil analisis lapang.

No. LANDUSE X Y

1 Kebun campuran 726036 9337991

2 Tambak 724563 9336865

3 Tambak dengan galangan mangrove 724778 9336744

4 Tegakan pedada 724370 9328533

5 Pemancar seluler/menara BTS 723070 9329663 6 Bangunan SDN Hurip Jaya 03 723029 9329638 7 Mangrove tepi sungai 722801 9329794 8 Bangunan SDN Hurip Jaya 02 724719 9328084

9 Mangrove 725639 9343751

10 Sawah 728488 9338144

11 Kebun campuran 726353 9337762

12 Sawah 726281 9337742

13 Kebun campuran 726035 9338004

14 Tambak 724526 9337192

15 Tambak 724538 9336866

16 Asosiasi mangrove-tambak 724777 9336742 17 Asosiasi mangrove-tambak 724739 9336596

18 Tepi mangrove 1 725161 9339968

19 Tepi mangrove 2 725053 9339942

20 Tepi mangrove 3 725033 9339844

21 Tepi mangrove 4 725172 9339856

22 Tepi mangrove 5 725147 9339776

23 Kebun campuran 725263 9338480

24 Pal batas hutan produksi 724841 9328206 25 Tegakan Avicennia spp. 724510 9344235 26 Tegakan Avicennia spp. 722165 9344947 27 Tegakan Rhizophora spp. 725639 9343751 28 Tegakan Rhizophora spp. 725109 9339884

29 Sawah 726128 9337874

30 Kebun campuran 726036 9337991

31 Areal terbuka/Bangunan 724753 9328175

32 Badan Air 726698 9343749

33 Badan Air 723919 9342368

34 Tambak 724563 9336865


(2)

Lampiran 5 Pola spektral area contoh citra tahun 2001.

Laut 1 Laut 2 Mangrove

Tanah terbuka/terbangun Padi 1 Kebun campuran

Padi 2 Tambak Sungai


(3)

Lampiran 6 Pola spektral area contoh citra tahun 2010.

Laut 1 Laut 2 Mangrove

Tanah terbuka/terbangun Padi 1 Kebun campuran

Padi 2 Tambak Sungai


(4)

Lampiran 7 Matriks kontingensi akurasi pembuatan area contoh citra tahun 2001 dan tahun 2010.

Data klasifikasi

Data referansi Citra tahun 2001

UA (%) Laut 1 Laut 2 Mangrove Tanah

terbuka Padi 1

Kebun

campuran Padi 2 Tambak sungai ∑

Class 1 Class 2 Class 3 Class 4 Class 5 Class 6 Class 7 Class 8 Class 9

Class 1 19.121 3 0 0 0 0 0 0 0 19.124 99,98

Class 2 3 10.788 0 0 0 0 0 0 0 10.791 99,97

Class 3 0 0 152 0 0 1 0 2 0 155 98,06

Class 4 0 0 0 309 0 0 0 0 0 309 100,00

Class 5 0 0 0 0 214 0 0 0 0 214 100,00

Class 6 0 0 0 0 0 241 0 0 0 241 100,00

Class 7 0 1 0 0 0 0 523 30 0 554 94,40

Class 8 1 1 0 0 0 0 7 757 1 767 98,70

Class 9 0 8 0 0 0 0 7 0 277 292 94,86

∑ 19.125 10.801 152 309 214 242 537 789 278 32.447

PA (%) 99,98 99,88 100,00 100,00 100,00 99,59 97,39 95,94 99,64 OA (%) 99,80

KA(%) 99,63 Data

klasifikasi

Data referansi Citra tahun 2010

UA (%) Laut 1 Laut 2 Mangrove Tanah

terbuka Padi 1

Kebun

campuran Padi 2 Tambak sungai ∑

Class 1 Class 2 Class 3 Class 4 Class 5 Class 6 Class 7 Class 8 Class 9

Class 1 13.284 2 0 0 0 0 0 0 0 13.286 99,98

Class 2 8 11.751 0 0 0 0 0 31 0 11.790 99,67

Class 3 0 0 501 0 0 0 0 0 0 501 100,00

Class 4 0 0 0 669 0 0 0 0 0 669 100,00

Class 5 0 0 0 0 365 0 0 0 0 365 100,00

Class 6 0 0 1 0 0 758 0 0 0 759 99,87

Class 7 0 0 0 0 0 0 776 0 2 778 99,74

Class 8 0 59 0 0 0 0 0 1.381 0 1.440 95,90

Class 9 0 0 0 0 0 0 8 6 260 274 94,89

∑ 13.292 11.812 502 669 365 758 784 1.418 262 29.862

PA (%) 99,94 99,48 99,80 100,00 100,00 100,00 98,98 97,39 99,24 99,94 OA (%) 99,61


(5)

Lampiran 8 Peta kelas penutupan lahan tahun 2001 dan 2010.


(6)

Lampiran 9 Peta sebaran mangrove tahun 2001 dan 2010.

Peta Sebaran Mangrove Muara Gembong Tahun 2010 dan 2001

Legenda

Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial

DKSHE Fakultas Kehutanan IPB 2011

Laut Mangrove