Penerapan Peraturan Dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Di Sekolah Dasar Kota Dan Kabupaten Bogor

(1)

KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

RIKA WIJAYA

I 14076032

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

PENERAPAN PERATURAN DAN PRAKTEK KEAMANAN

PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR

KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

RIKA WIJAYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(3)

Judul : Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor

Nama : Rika Wijaya NRP : I 14076032

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Siti Madanijah, MS. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes.

NIP. 19491130 197603 2 001 NIP. 19660725 199002 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP . 19621204 198903 2 002


(4)

ABSTRACT

Rika Wijaya. The Application of Food Safety Rules and Practice on Student’s Meal in Elementary School at City and District of Bogor. Siti Madanijah and Ikeu Ekayanti.

The main purpose of this research is to analyze the application of food safety rules and practice on student’s meal in elementary school at city and district of Bogor. This research use a cross-sectional study design. This research was located in two elementary schools at the city and district which have caffetaria and similar other facilities. Selection of the research location was determined by purposive sampling methode, with criterias 1) The school has a caffetaria, 2) Has a strong commitment, 3) Recomended government. Based on the criterias, two elementary school from city and district of Bogor was taken as the subjects based on the acreditation status. All population of the snack hawkers are also taken as the subjects (total 47 hawkers). The process of data analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation between variables were analyzed with Pearson’s correlation test, whereas the difference between variables were analyzed by Independent Sample T-Test.

The result of this research is that the application Most of the subjects (53% of subjects) are lack of information about nutrition and food safety. Statistical test shown that there are no significant differentiation for nutritional education rate and food safety knowledge based on location, accreditation status and seller groups classification. However, correlation test shown that there is a positive relation between education rate and nutrition and food safety knowledge of the subjects (r=0.356*, p=0.014).

As a whole result of subject’s food safety practice, about 51.1% of them are in the category of inadequate. Statistical differential test shown that there are no significant differentiation on food safety for student’s snack in the categories based on location, accreditation status and seller groups. Correlation test result shown that nutritional and food safety knowledge has a negative relation with food safety practice for student’s snack (r=-0.079, p>0.05).

Based on the application of the student’s snack rules, every school have rules for student’s snack which most of them are unwritten. Most of the rules are about food sanitation, discipline of the street hawker’s and the use of food additive. Those rules are not applied in an optimal fashion because most of the subjects are in the category lack of knowledge about food safety and they are still using food additives. The applications of those rules by most of the schools are in the medium category and only one of them applied the rules perfectly. The school has a committee who involved in the making of those rules. The street snack hawkers’ perception about application of those rules have varieties, even 51.1% of them do not know that there are some rules from the schools. This might be because lack of socialization about the rules. Correlation test result shown that there is no significant relation between the application of the rules with nutrition and food safety knowledge (p>0.05), and also no significant relation between the application of the rules with food safety practice (p>0.05).


(5)

RINGKASAN

RIKA WIJAYA, Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan IKEU EKAYANTI.

Pangan dan gizi merupakan komponen penting dalam tumbuh kembang anak usia sekolah, salah satunya adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), selain berkontribusi positif makanan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat masalah keamanan pangan. Penyebab terjadinya masalah keamanan pangan yaitu tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman. Dalam rangka upaya mencegah dan mengatasi masalah keamanan pangan dibutuhkan suatu peraturan mengenai PJAS yang dibentuk oleh pihak sekolah maupun instansi lain yang terkait.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik penjaja PJAS, (2) Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS, (3) Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan penjaja PJAS, (4) Menganalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi sekolah dan kelompok penjual, (5) Menganalisis hubungan antar variabel (karakteristik individu, pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan).

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2009. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan pada dua sekolah dasar yang berlokasi di Kota dan Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi sekolah dasar ditetapkan secara purposive, yaitu berdasarkan: 1) Mempunyai kantin sekolah; 2) Komitmen dari pengelola sekolah; 3) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat. Dari persyaratan tersebut diambil dua sekolah dari kota dan kabupaten, yang masing-masing terdiri dari sekolah dengan status akreditasi A dan B. Seluruh populasi penjaja merupakan sampel penelitian sebanyak 47 responden. Sedangkan seluruh kepala sekolah merupakan informan yang memberi informasi.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer meliputi karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), profil PJAS (jenis pangan, kemasan dan register), data peraturan sekolah mengenai PJAS, pengetahuan gizi dan keamanan pangan, praktek keamanan PJAS (higiene dan sanitasi, penanganan dan penyimpanan pangan, sarana dan fasilitas, serta penggunaan BTP). Data sekunder berasal dari sekolah meliputi profil sekolah. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15,0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan perbedaan antar variabel menggunakan uji t (Independent Sample t-Test).

Umur responden sebagian besar (68.1%) tergolong pada dewasa awal. Sebagian besar (72.3%) responden berjenis kelamin laki-laki sedangkan perempuan hanya 27.7%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun pada status akreditasi dan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Sebagian besar (57.4%)


(6)

responden berpendidikan SD, sedangkan responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3%. Hasil uji beda statistik berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual masing-masing menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan, namun berdasarkan status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan BPS 2008, sebagian besar (61.7%) responden umumnya tidak miskin. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun untuk kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Secara keseluruhan sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan pikulan berkisar 34.0% hingga 36.2%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan.

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1%, sedangkan jenis kemasan sebagian besar (78.4%) penjaja PJAS banyak menggunakan plastik. PJAS umumnya memiliki register pangan MD sebanyak 68.5% dan register makanan yang paling sedikit adalah register PIRT. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan adalah jenis penguat rasa dengan merk dagang Sasa, Royco, Masako dan bumbu penyedap sebanyak 44.7%.

Sebagian besar (53.2%) responden memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang. Hasil uji beda statistik, pengetahuan gizi dan keamanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden (r=0.356*, p=0.014).

Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1%. Hasil uji beda statistik praktek keamanan PJAS menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan PJAS (r=-0.079, p>0.05).

Berdasarkan penerapan peraturan mengenai PJAS, semua sekolah mempunyai peraturan mengenai PJAS yang sebagian besar sekolah memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan makanan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS, dan penggunaan BTP. Peraturan tersebut masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang hanya satu sekolah yang terkategori baik. Sekolah tersebut memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Penerapan peraturan menurut penjaja PJAS memiliki persepsi yang berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan, dan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.


(7)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 3 Juni 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan M. Budi Wijaya dan Rasidah Rusli. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Inpres Tanjung Morawa pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Morawa. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 4 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004.

Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Medan Jurusan Gizi Program D-III Departemen Kesehatan pada tahun 2004 dan lulus tahun 2007. Penulis pernah mengikuti praktikum lapang di RSU. Pirngadi Medan dan Hotel Dharma Deli. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2007.


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi ini yang berjudul “Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi selama bimbingan serta kesabarannya dalam membimbing.

2. Ir. Eddy Setyo Mudjajanto, selaku dosen penguji yang banyak memberikan kritikan serta saran yang membangun untuk perbaikan skripsi.

3. Katrin Roosita, SP, MSi, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu penulis dalam perkuliahan awal semester.

4. Papa dan Mama yang selalu sabar dan memberikan kasih sayang yang tulus dan berdoa dalam setiap sujudnya. Terima kasih atas semua yang papa dan mama berikan baik dukungan moril maupun materi selama menempuh pendidikan ini.

5. Bang Riki dan adikku Rini, terima kasih atas kasih sayang dan support

selama ini.

6. PJAS Crew dalam pengumpulan data Mba Zulaikhah, SP, yang telah berbagi pengalaman dan ilmu, Aci, Veni, Kak nurma, Nyit2, Hani, Ida dan Nenden yang telah mambantu pengumpulan data serta semangat dan candanya yang membuat penulis tetap semangat.

7. Tak lupa untuk teman-teman di WPN dan Pondok Mutiara atas semangat dan kebersamaannya.

8. Seluruh peserta Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi angkatan 01 yang telah memberikan dukungan pada penulis. I Love U FUll.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak.

Bogor, September 2009


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan... 4

Hipotesis ... 4

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar ... 5

Peranan pangan Jajanan ... 6

Kantin dan Penjaja PJAS ... 7

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan ... 8

Peraturan Makanan Jajanan ... 10

Praktek Keamanan PJAS... 11

KERANGKA PEMIKIRAN... 19

METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu ... 21

Cara Pengambilan Contoh ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operasional ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah... 27

Karakteristik Penjaja PJAS... 32

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan ... 38

Praktek Keamanan Pangan ... 42

Penerapan Peraturan PJAS... 51


(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 63

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(11)

KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

RIKA WIJAYA

I 14076032

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

PENERAPAN PERATURAN DAN PRAKTEK KEAMANAN

PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR

KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

RIKA WIJAYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(13)

Judul : Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor

Nama : Rika Wijaya NRP : I 14076032

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Siti Madanijah, MS. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes.

NIP. 19491130 197603 2 001 NIP. 19660725 199002 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP . 19621204 198903 2 002


(14)

ABSTRACT

Rika Wijaya. The Application of Food Safety Rules and Practice on Student’s Meal in Elementary School at City and District of Bogor. Siti Madanijah and Ikeu Ekayanti.

The main purpose of this research is to analyze the application of food safety rules and practice on student’s meal in elementary school at city and district of Bogor. This research use a cross-sectional study design. This research was located in two elementary schools at the city and district which have caffetaria and similar other facilities. Selection of the research location was determined by purposive sampling methode, with criterias 1) The school has a caffetaria, 2) Has a strong commitment, 3) Recomended government. Based on the criterias, two elementary school from city and district of Bogor was taken as the subjects based on the acreditation status. All population of the snack hawkers are also taken as the subjects (total 47 hawkers). The process of data analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation between variables were analyzed with Pearson’s correlation test, whereas the difference between variables were analyzed by Independent Sample T-Test.

The result of this research is that the application Most of the subjects (53% of subjects) are lack of information about nutrition and food safety. Statistical test shown that there are no significant differentiation for nutritional education rate and food safety knowledge based on location, accreditation status and seller groups classification. However, correlation test shown that there is a positive relation between education rate and nutrition and food safety knowledge of the subjects (r=0.356*, p=0.014).

As a whole result of subject’s food safety practice, about 51.1% of them are in the category of inadequate. Statistical differential test shown that there are no significant differentiation on food safety for student’s snack in the categories based on location, accreditation status and seller groups. Correlation test result shown that nutritional and food safety knowledge has a negative relation with food safety practice for student’s snack (r=-0.079, p>0.05).

Based on the application of the student’s snack rules, every school have rules for student’s snack which most of them are unwritten. Most of the rules are about food sanitation, discipline of the street hawker’s and the use of food additive. Those rules are not applied in an optimal fashion because most of the subjects are in the category lack of knowledge about food safety and they are still using food additives. The applications of those rules by most of the schools are in the medium category and only one of them applied the rules perfectly. The school has a committee who involved in the making of those rules. The street snack hawkers’ perception about application of those rules have varieties, even 51.1% of them do not know that there are some rules from the schools. This might be because lack of socialization about the rules. Correlation test result shown that there is no significant relation between the application of the rules with nutrition and food safety knowledge (p>0.05), and also no significant relation between the application of the rules with food safety practice (p>0.05).


(15)

RINGKASAN

RIKA WIJAYA, Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan IKEU EKAYANTI.

Pangan dan gizi merupakan komponen penting dalam tumbuh kembang anak usia sekolah, salah satunya adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), selain berkontribusi positif makanan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat masalah keamanan pangan. Penyebab terjadinya masalah keamanan pangan yaitu tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman. Dalam rangka upaya mencegah dan mengatasi masalah keamanan pangan dibutuhkan suatu peraturan mengenai PJAS yang dibentuk oleh pihak sekolah maupun instansi lain yang terkait.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik penjaja PJAS, (2) Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS, (3) Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan penjaja PJAS, (4) Menganalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi sekolah dan kelompok penjual, (5) Menganalisis hubungan antar variabel (karakteristik individu, pengetahuan, praktek keamanan penjaja PJAS dan penerapan peraturan).

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2009. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan pada dua sekolah dasar yang berlokasi di Kota dan Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi sekolah dasar ditetapkan secara purposive, yaitu berdasarkan: 1) Mempunyai kantin sekolah; 2) Komitmen dari pengelola sekolah; 3) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat. Dari persyaratan tersebut diambil dua sekolah dari kota dan kabupaten, yang masing-masing terdiri dari sekolah dengan status akreditasi A dan B. Seluruh populasi penjaja merupakan sampel penelitian sebanyak 47 responden. Sedangkan seluruh kepala sekolah merupakan informan yang memberi informasi.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer meliputi karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), profil PJAS (jenis pangan, kemasan dan register), data peraturan sekolah mengenai PJAS, pengetahuan gizi dan keamanan pangan, praktek keamanan PJAS (higiene dan sanitasi, penanganan dan penyimpanan pangan, sarana dan fasilitas, serta penggunaan BTP). Data sekunder berasal dari sekolah meliputi profil sekolah. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15,0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan perbedaan antar variabel menggunakan uji t (Independent Sample t-Test).

Umur responden sebagian besar (68.1%) tergolong pada dewasa awal. Sebagian besar (72.3%) responden berjenis kelamin laki-laki sedangkan perempuan hanya 27.7%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun pada status akreditasi dan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Sebagian besar (57.4%)


(16)

responden berpendidikan SD, sedangkan responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3%. Hasil uji beda statistik berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual masing-masing menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan, namun berdasarkan status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan BPS 2008, sebagian besar (61.7%) responden umumnya tidak miskin. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun untuk kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Secara keseluruhan sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan pikulan berkisar 34.0% hingga 36.2%. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan.

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1%, sedangkan jenis kemasan sebagian besar (78.4%) penjaja PJAS banyak menggunakan plastik. PJAS umumnya memiliki register pangan MD sebanyak 68.5% dan register makanan yang paling sedikit adalah register PIRT. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan adalah jenis penguat rasa dengan merk dagang Sasa, Royco, Masako dan bumbu penyedap sebanyak 44.7%.

Sebagian besar (53.2%) responden memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan kurang. Hasil uji beda statistik, pengetahuan gizi dan keamanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden (r=0.356*, p=0.014).

Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1%. Hasil uji beda statistik praktek keamanan PJAS menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan berhubungan negatif dengan praktek keamanan PJAS (r=-0.079, p>0.05).

Berdasarkan penerapan peraturan mengenai PJAS, semua sekolah mempunyai peraturan mengenai PJAS yang sebagian besar sekolah memiliki peraturan secara lisan. Peraturan umumnya mengenai kebersihan makanan jajanan, kedisiplinan penjaja PJAS, dan penggunaan BTP. Peraturan tersebut masih belum diterapkan secara optimal karena sebagian besar praktek keamanan PJAS responden berkategori kurang dan responden masih menggunakan BTP. Sebagian besar penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori sedang hanya satu sekolah yang terkategori baik. Sekolah tersebut memiliki komite sekolah yang diduga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan mengenai PJAS. Penerapan peraturan menurut penjaja PJAS memiliki persepsi yang berbeda-beda bahkan 51.1% responden tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah, hal ini diduga bahwa peraturan mengenai PJAS masih kurang disosialisasikan oleh pihak sekolah ke penjaja PJAS. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan, dan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.


(17)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 3 Juni 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan M. Budi Wijaya dan Rasidah Rusli. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Inpres Tanjung Morawa pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Morawa. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 4 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004.

Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Medan Jurusan Gizi Program D-III Departemen Kesehatan pada tahun 2004 dan lulus tahun 2007. Penulis pernah mengikuti praktikum lapang di RSU. Pirngadi Medan dan Hotel Dharma Deli. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2007.


(18)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi ini yang berjudul “Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi selama bimbingan serta kesabarannya dalam membimbing.

2. Ir. Eddy Setyo Mudjajanto, selaku dosen penguji yang banyak memberikan kritikan serta saran yang membangun untuk perbaikan skripsi.

3. Katrin Roosita, SP, MSi, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu penulis dalam perkuliahan awal semester.

4. Papa dan Mama yang selalu sabar dan memberikan kasih sayang yang tulus dan berdoa dalam setiap sujudnya. Terima kasih atas semua yang papa dan mama berikan baik dukungan moril maupun materi selama menempuh pendidikan ini.

5. Bang Riki dan adikku Rini, terima kasih atas kasih sayang dan support

selama ini.

6. PJAS Crew dalam pengumpulan data Mba Zulaikhah, SP, yang telah berbagi pengalaman dan ilmu, Aci, Veni, Kak nurma, Nyit2, Hani, Ida dan Nenden yang telah mambantu pengumpulan data serta semangat dan candanya yang membuat penulis tetap semangat.

7. Tak lupa untuk teman-teman di WPN dan Pondok Mutiara atas semangat dan kebersamaannya.

8. Seluruh peserta Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi angkatan 01 yang telah memberikan dukungan pada penulis. I Love U FUll.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak.

Bogor, September 2009


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan... 4

Hipotesis ... 4

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar ... 5

Peranan pangan Jajanan ... 6

Kantin dan Penjaja PJAS ... 7

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan ... 8

Peraturan Makanan Jajanan ... 10

Praktek Keamanan PJAS... 11

KERANGKA PEMIKIRAN... 19

METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu ... 21

Cara Pengambilan Contoh ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operasional ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah... 27

Karakteristik Penjaja PJAS... 32

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan ... 38

Praktek Keamanan Pangan ... 42

Penerapan Peraturan PJAS... 51


(20)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 63

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data ... 22

Tabel 2 Pengkategorian beberapa variabel penelitian ... 24

Tabel 3 Kondisi fasilitas sekolah ... 28

Tabel 4 Kondisi kantin sekolah ... 30

Tabel 5 Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi.. 32

Tabel 6 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan ... 34

Tabel 7 Sebaran responden menurut sarana penjualan... 36

Tabel 8 Sebaran profil PJAS berdasarkan jenis pangan ... 36

Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan... 38

Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan ... 41

Tabel 11 Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan... 43

Tabel 12 Sebaran responden menurut penggunaan BTP ... 50

Tabel 13 Sebaran sekolah menurut penerapan peraturan PJAS ... 52

Tabel 14 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan peraturan umum... 52

Tabel 15 Sebaran penerapan peraturan mengenai sarana dan fasilitas .... 53

Tabel 16 Sebaran penerapan peraturan mengenai pembinaan ... 54

Tabel 17 Sebaran penerapan peraturan mengenai pengawasan... 55

Tabel 18 Hubungan karakteristik responden dengan praktek keamanan PJAS ... 59

Tabel 19 Hubungan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS ... 61

Tabel 20 Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan ... 61

Tabel 21 Hubungan penerapan peraturan PJAS dengan praktek keamanan PJAS ... 62


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS... 20 Gambar 2 Cara penarikan contoh penelitian... 21 Gambar 3 Sebaran responden menurut umur ... 33 Gambar 4 Sebaran responden menurut jenis kelamin ... 33 Gambar 5 Sebaran responden menurut pendapatan ... 35 Gambar 6 Profil kemasan PJAS ... 37 Gambar 7 Profil register PJAS ... 37


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Gambaran keadaan kantin dan penjaja luar di kota dan

kabupaten... 67 Lampiran 2 Karakteristik responden... 68 Lampiran 3 Uji perbedaan antar variabel dengan Uji-t ... 69 Lampiran 4a Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan

responden mengenai higiene dan sanitasi penjual ... 70 Lampiran 4b Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan

responden mengenai penanganan dan penyimpanan ... 72 Lampiran 4c Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan

responden mengenai sarana dan fasilitas... 73 Lampiran 5 Hubungan berbagai variabel dengan Korelasi Pearson ... 68


(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan dan gizi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam meningkatkan status gizi. Oleh karena itu anak sekolah dasar perlu mendapatkan pembinaan mengenai pengetahuan bagaimana memilih makanan jajanan yang sehat baik di lingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, karena anak usia sekolah adalah investasi bangsa.

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa makanan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya makanan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Makanan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Pangan jajanan termasuk kategori pangan siap saji yaitu makanan dan atau minuman yang merupakan hasil proses dengan cara atau metode tertentu, untuk langsung disajikan, sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, hampir setiap hari dikonsumsi sebagian besar anak usia sekolah, dan harga terjangkau oleh anak-anak. Dimana pangan jajanan sangat strategis untuk memberi tambahan asupan gizi bagi anak-anak.

Ada tiga alasan mengapa anak suka jajan. Pertama karena anak tidak sempat makan pagi sebelum ke sekolah (karena ibu tidak sempat menyiapkan, anak tidak nafsu makan, atau anak lebih senang jajan). Kedua, alasan psikologis pada anak (gengsi, anak bisa mendapat uang saku). Ketiga, kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi (kegiatan fisik yang memerlukan tambahan asupan).

Masalah keamanan pangan jajanan di sekitar sekolah antara lain ditemukannya (1) produk pangan olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) pangan siap saji yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan, ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah & guru) akan pangan jajanan yang aman (Artista 2009).


(25)

Pada tahun 2005, Badan POM RI telah melakukan pengujian terhadap 861 contoh/responden makanan jajanan anak di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% (344 contoh/responden) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total contoh/responden tersebut, 10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu

Rhodamin B, Methanil Yellow dan Amaranth (BPOM 2005).

Menurut Kepala DKK Sukoharjo Suryono (2008) dalam melakukan Sidak (inspeksi mendadak) di SD 1 Gayam dan SD Jetis 1 Sukoharjo, dengan hasil 75% kantin sekolah yang ada kurang memenuhi syarat kesehatan. Sebab rata-rata kantin sekolah dikelola tukang kebun atau juru kunci sekolah yang kurang memperhatikan kualitas dan keamanan makanan jajanan yang dijualnya. Parahnya kondisi serupa juga dilakukan pada pedagang jajanan yang berjualan di luar sekolah. Di satu sisi jajanan yang disediakan pedagang kurang memenuhi standar kesehatan, namun di sisi lain siswa sangat suka jajanan tersebut.

Masih banyak sekolah, terutama SD dan SMP yang belum memiliki kantin yang memenuhi standar kantin sehat. Dari hasil pemetaan sekolah sehat di 115 kabupaten/kota di 20 provinsi yang dilakukan oleh Depdiknas (2007) menunjukkan 40,2% kantin masih berada di bawah standar. Selain itu banyak ditemukannya produk jajanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, termasuk perilaku pengelola kantin yang tidak mencerminkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55 % sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37 % sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%).


(26)

Banyaknya berbagai masalah keamanan pangan jajanan disebabkan karena penjaja pada umumnya belum memenuhi syarat sesuai Permenkes Nomor 236/Menkes/Per/IV/1997 yang telah disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan. Hal ini menyebabkan perlunya pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai makanan jajanan sehat dan menggiatkan kembali peran usaha kesehatan sekolah (UKS).

Perumusan Masalah

Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan, namun banyak terdapat permasalahan mengenai praktek keamanan PJAS yang meliputi kurangnya higiene sanitasi dari penjaja PJAS maupun penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Permasalahan keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) disebabkan kurangnya perhatian dari pihak sekolah, orang tua, murid, dan penjaja pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Pengawasan dari pihak sekolah dalam membuat peraturan mengenai PJAS yang mengatur tentang murid sekolah, penjaja, dan kantin sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman.

Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi praktek keamanan PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi saran yang mendukung peningkatan praktek keamanan PJAS oleh penjaja.

Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah peraturan mengenai PJAS, apabila ada peraturan dipatuhi atau tidak, fasilitas yang diberi pihak sekolah pada penjaja PJAS, menganalisis hubungan antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS, menganalisis perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan PJAS di kota dan kabupaten.


(27)

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik penjaja PJAS.

2. Mengidentifikasi penerapan peraturan yang dibentuk oleh sekolah mengenai PJAS.

3. Mengidentifikasi pengetahuan dan praktek keamanan PJAS.

4. Mengananalisis perbedaan pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual.

5. Menganalisis hubungan antar variabel (karakteristik responden, pengetahuan, praktek keamanan PJAS dan penerapan peraturan).

HIPOTESIS

1. Tidak ada hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor.

2. Tidak ada perbedaan penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat terutama pada pihak sekolah, penjaja PJAS, orang tua dan anak usia sekolah tentang pentingnya keamanan makanan jajanan yang sehat dan bebas dari penggunaan BTP yang tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Selain itu, diharapkan pula penelitian ini dapat berguna untuk pihak sekolah dalam menentukan kebijakan peraturan mengenai praktek keamanan PJAS di sekitar sekolah.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Sekolah Dasar

Pada golongan anak sekolah, gigi geligi susu tanggal secara berangsur dan diganti secara permanen. Anak sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan aktifitas fisik, misalnya berolah raga, bermain, dan sekolah. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemia dan supaya anak lebih mudah menerima pelajaran (Almatsier 1994).

Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk

anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasI untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai

sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion 1991).

Anak-anak mempunyai pemikiran yang terbuka dibandingkan orang dewasa dan pengetahuan yang diterima merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya. Anak-anak umumnya mempunyai hasrat besar untuk ingin tahu dan mempelajarinya lebih jauh. Anak-anak sebagaimana orang dewasa juga memerlukan dorongan yang kuat agar anak itu mau belajar. Misalnya diberi gambaran bahwa anak yang gizinya baik itu dapat tumbuh dengan baik, badannya menjadi besar, kuat, sehat, kulitnya bagus, pintar mudah masuk sekolah lanjutan, dan lain sebagainya (Suhardjo 2003).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak yang makan pagi mempunyai sikap dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat sarapan. Penelitian oleh Pollitt, Leibel, dan Greenfield menunjukkan pada anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, makan pagi mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Penelitian lain menunjukkan konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah merah dapat bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa sarapan, pada siang hari persediaan glukosa


(29)

menurun sehingga anak kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi (Muhilal dan Damayanti 2006).

Anak yang tidak sempat makan pagi di rumah, anak biasanya membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal juga dapat menjadi tambahan makan pagi anak. Makanan tambahan atau makan pagi dibutuhkan sebab kebutuhan gizi anak semakin meningkat sedangkan kemampuan saluran cerna untuk mengonsumsi masih terbatas, sehingga diperlukan makanan bekal (Muhilal dan Damayanti 2006).

Peranan Pangan Jajanan

Pangan jajanan adalah makanan atau minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel (Kepmenkes RI No 942/Menkes/SK/VII/2003).

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa pangan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya pangan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Pangan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), pangan jajanan adalah makanan siap makan atau diolah di lokasi jualan seperti di daerah pemukiman, pertokoan, terminal, pasar, atau dijajakan dengan cara berkeliling. Selain berkontribusi positif di bidang ekonomi, pangan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat kontaminasi mikroba, bahan kimia dan pemakaian bahan tambahan non pangan. Persoalan ini timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan, dan saat penyajian makanan di lokasi jualan.

Berdasarkan cara kerjanya, pangan jajanan dibagi menjadi dua golongan. Pertama, pangan jajanan stationer yaitu yang bekerja pada lokasi tetap atau pada saat-saat tertentu. Sedangkan yang kedua pangan jajanan ambulatory yaitu yang bekerja dengan menjajakan kemana-mana, misal para pedagang yang menjajakan dagangannya dengan cara berjalan sambil memikul, menyunggi diatas kepala, menggendong di punggungnya, atau dengan menggunakan gerobak dorong, atau sepeda roda tiga (Winarno 1991).

Salah satu tujuan makan adalah agar tubuh sehat. Di sisi lain makanan dapat menjadi salah satu sumber penyakit. Oleh karena itu, hindari makan


(30)

makanan dan jajanan yang sudah busuk, tercemar oleh mikroorganisme atau yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Pangan jajanan yang sehat selain keadaannya segar juga harus bersih, tidak dicemari oleh debu, bahan-bahan pengotor lainnya, dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Pangan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi pangan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan pangan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto 2005)

Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), pangan jajanan rata-rata menyumbang 14% protein, 22% karbohidrat, 29% lemak, 16% kalsium, 17% zat besi, 8% vitamin A, 43% vitamin B1 dan 12% vitamin C dari total konsumsi setiap hari. Namun, sebanyak 88% dari macam makanan dan minuman jajanan yang dijual di sekitar sekolah mempergunakan satu macam atau lebih zat pewarna.

Jenis makanan jajanan dapat dibagi menjadi tiga kelompok meliputi, minuman (es cendol, es teler, teh, kopi, es sirup, es susu, es kolang-kaling), panganan/snack (combro, pisang goreng, rempeyek, kacang dan lain sebagainya), makanan (meals) contohnya nasi rames, nasi goreng, nasi pecel, lotek, ketoprak dan lain sebagainya (Winarno 1991). Namun menurut Nuraida et al (2009) pangan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok meliputi, (1) makanan sepinggan (gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain); (2) makanan camilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu camilan basah (goreng pisang, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain) dan camilan kering (produk ekstrusi, keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain); (3) minuman (air putih, minuman ringan dalam kemasan, minuman campur seperti es campur, es cendol, es doger); (4) buah yang dijual dalam bentuk utuh (pisang, jambu, jeruk) maupun kupas dan potong (pepaya, nenas, melon, mangga, dan lain-lain).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai


(31)

pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman yang sehat dan bergizi (Nuraida et al 2009).

Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga yang belum, kepala sekolah dan guru sepertinya belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan sesuai dengan PUGS. Selain itu pihak sekolah, kelompok orang tua murid dapat merangsang perubahan agar kantin menyediakan makanan yang sehat, bergizi, dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006).

Menurut Depkes RI 2001 penjaja makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain :

a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya;

b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya); c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian; d. Memakai celemek dan tutup kepala;

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

Disamping itu penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan dilarang antara lain :

a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan;

b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya;

c. Batuk atau bersin dihadapan pangan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Menurut Madrie (1981) dalam Fatima (2002), pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya.

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan.


(32)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh penjaja PJAS. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan pangan, dan penyajian pangan. Dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik diharapkan para penjaja PJAS akan menerapkan cara pengolahan pangan dan penyajian pangan yang benar (Andarwulan et al

2009).

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun seseorang berpendidikan rendah, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Syafiq et al 2007).

Penjaja PJAS harus memiliki pengetahuan mengenai gizi seimbang, cara pengolahan pangan yang baik, keamanan pangan yang baik, keamanan pangan dan praktek sanitasi dan higiene. Pengetahuan tentang gizi seimbang dan beragam diperlukan dalam menyusun menu sehari-hari yang diperlukan oleh masing-masing kelompok umur anak sekolah, sehingga anak-anak tercukupi kebutuhan gizinya dan tidak bosan mengkonsumsinya. Pengetahuan cara pengolahan pangan yang baik diperlukan dalam memilih cara-cara pengolahan yang tepat, pemilihan bahan baku dan bahan tambahan untuk menghasilkan makanan yang bergizi dan aman.

Pengetahuan tentang keamanan pangan diperlukan untuk mengenali bahaya-bahaya dalam pangan dan menentukan cara pencegahannya. Pengetahuan tentang sanitasi dan higiene diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri dan bahan kimia berbahaya ke dalam pangan. Sedangkan pengetahuan mengenai sarana dan prasarana minimum yang harus dipenuhi oleh penjaja PJAS adalah mewujudkan sarana makanan jajanan yang sehat.

Berdasarkan Semiloka makanan jajanan 1991, terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku nyata. Produsen dan penjaja makanan jajanan


(33)

walaupun alasannya tidak terlalu jelas. Para penjaja mengetahui masalah yang berhubungan dengan nilai gizi makanan dan penggunaan bahan tambahan tertentu yang membahayakan.

Peraturan Makanan Jajanan

Peraturan makanan jajanan adalah suatu standar atau persyaratan kesehatan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijaksanaan hendaknya tidak hanya restriktif tetapi juga stimulatif, konstruktif dan fasilitatif yang berbeda-beda menurut kategori usaha makanan jajanan. Keragaman produk yang tinggi mengharuskan agar pendekatan kebijaksanaan hendaknya berorientasi makro dan nasional, artinya program pembinaan terkait dengan berbagai sektor dalam kerangka pembangunan daerah, dan dapat dilaksanakan oleh pimpinan-pimpinan Daerah di Indonesia (Sanim 1991).

Untuk peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di sekolah termasuk keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), juga menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulan et al 2009).

Di Amerika Serikat diberlakukan aturan makanan yang di jual di kantin sekolah atau mesin penjual makanan harus mengandung sedikitnya 5% dari angka kecukupan gizi anak sekolah yaitu untuk satu atau lebih zat gizi yaitu protein, vitamin A, vitamin C, niasin, vitamin B1, vitamin B12, kalsium, dan zat

besi. Aturan ini membatasi penjualan air minum bersoda atau soft drink, permen karet, es, dan beberapa permen lainnya. Selain PUGS di Indonesia belum ada aturannya, kebijakan di negeri adidaya dapat diadopsi sebagai pedoman dalam mengatur penjualan makanan di kantin maupun penjaja di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Berdasarkan penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2008 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55% sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37% sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan


(34)

maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%).

Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan misalnya dengan memberikan penyuluhan kepada penjaja PJAS, melatih penjaja agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang memdapat pengawasan (Yusuf 2004).

Pembinaan dan pengawasan makanan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dll. Pembinaan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan penjaja makanan dari informal menjadi formal (Anonimous 1990).

Ketiadaan kontrol dan pengarahan terhadap kualitas makanan yang dijual dan pengelolaan makanan yang higienis menyebabkan penjual makanan jajanan menangani pengolahan makanan menurut pengetahuan yang mereka miliki (Fardiaz dan Fardiaz 1994). Pihak pengelola sekolah juga diharapkan terlibat aktif memperbaiki keamanan pangan melalui unit kesehatan sekolah. Salah satunya dengan menginventarisasi siapa saja pedagang jajanan yang berjualan di sekitar sekolah dan menanyakan proses pengolahannya (Rachmawati 2005).

Praktek Keamanan Pangan Jajanan

Keamanan pangan didefenisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang- undang RI no.7 tentang Pangan Tahun1996).


(35)

Pangan aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologis/ mikrobiologis, kimia dan fisik. Bahaya keamanan pangan terdiri dari (Depdiknas 2009):

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E. Coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin.

2. Bahaya Kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/ toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan gelas, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan dan berat badan.

Higiene dan Sanitasi

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan dan sebagainya.Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewaspadai sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI 2001) .

Pengertian dari prinsip higiene dan sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat faktor penyehatan makanan, yaitu faktor tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang, dan makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan


(36)

makanan. Untuk mengetahui apakah faktor tersebut perlu dilakukan analisis terhadap rangkaian kegiatan dari faktor-faktor tersebut secara rinci.

Pedoman persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 yang terdiri dari 12 BAB dan 22 pasal yang menjelaskan peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh penjaja makanan, yaitu mengenai ketentuan umum, penjamah makanan, peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan pangan, penyajian, sarana penjaja, sentra pedagang, pembinaan dan pengawasan.

Penggunaan peralatan juga belum memenuhi syarat kesehatan. Kebanyakan penjual makanan jajanan mempunyai peralatan terbatas untuk berbagai pemakaian dan belum menggunakan sabun untuk mencuci peralatan yang kotor. Karena peralatan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu dan kayu, maka cenderung menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Piring, gelas, sendok sering dilap dengan kain yang basah dan kotor karena keterbatasan jumlahnya. Lalat dan debu yang berasal dari sampah yang dibiarkan berceceran di lantai waktu persiapan, pengolahan, maupun di lokasi berjualan semakin memperparah keadaan (Fardiaz dan Fardiaz 1994).

Salah satu masalah keamanan pangan yang sering dijumpai adalah praktek higiene dan sanitasi yang masih kurang sehingga bahaya mikrobiologi sangat mungkin berada di produk pangan. Bahaya biologi (mikroba) pada pangan perlu mendapat perhatian karena jenis bahaya ini yang sering menjadi agen penyebab kasus keracunan pangan. E.coli merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu mikroba indikator sanitasi. Sedangkan S.aureus merupakan bakteri yang biasa menghuni hidung, mulut, tenggorokan, maupun kulit. Keberadaan E.coli pada pangan dapat menunjukkan praktek sanitasi lingkungan yang buruk sedangkan adanya S.aureus mengidentifikasi praktek higiene yang kurang (Andarwulan et al

2009).

Berdasarkan hasil penelitian dasar Fardiaz dan Fardiaz (1994), menunjukkan bahwa banyak penjual makanan jajanan yang menjadikan tempat pengolahan makanan sekaligus sebagai ruang tamu, tempat bermain anak, atau bahkan ruang tidur. Ventilasi dan cahaya yang kurang menyebabkan ruangan menjadi pengap. Celah-celah, lubang-lubang dan langit-langit penuh dengan jelaga, dinding serta lantai kotor tak bersemen menyebabkan bersarangnya binatang-binatang kecil dan mikroba : sebanyak 60% penjual makanan jajanan


(37)

bekerja di lantai dengan kondisi ini dan hanya 20% yang memakai meja. Sebanyak 12,5% penjual makanan menggunakan air sungai untuk mencuci bahan mentah dan peralatan masak. Mereka yang menggunakan air sumur juga tidak lebih bersih karena letaknya acapkali berdekatan dengan WC karena keterbatasan tempat.

Penanganan dan Penyimpanan Pangan

Bahan pangan memerlukan tempat penyimpanan khusus yang dibedakan menjadi dua yaitu tempat penyimpanan bahan makanan kering dan bahan makanan segar. Tempat penyimpanan bahan makanan kering harus selalu bersih, tertata dengan baik, tidak dijangkau oleh serangga dan tikus, sirkulasi udara harus baik, diberi penerangan yang cukup, jarak rak terbawah dengan lantai ± 10 cm. Sedangkan untuk tempat penyimpanan bahan makanan segar disimpan di dalam ruang pendingin, refrigerator ataupun freezer dengan suhu tertentu dan suhu harus selalu diawasi (Subandriyo 1994).

Penanganan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan, yaitu persiapan dan pemasakan (pematangan). Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci, memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk, mengayak dan membentuk). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan. Sedangkan pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah bahan makanan mentah menjadi makanan siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan kandungan gizi, bahkan menambah rasa dan membuat makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990).

Menggunakan air yang tidak berwarna dan tidak berbau. Air harus bebas mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseorang. Memilih bahan baku yang aman yaitu pangan harus segar dan utuh, jangan menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya. Mencuci sayuran dan buah-buahan sebelum disajikan atau digunakan serta membuang bagian yang busuk atau memar (Nuraida et al 2009).


(38)

Sarana dan Fasilitas

Praktek keamanan PJAS salah satu diantaranya adalah sarana dan fasilitas. Berdasarkan Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 pada pasal 12 menyatakan bahwa pangan jajanan yang dijajakan harus memiliki konstruksi sarana yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi pangan dari pencemaran. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain : mudah dibersihkan dan tersedia tempat air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), serta tempat sampah.

Air bersih yang digunakan harus memenuhi syarat baik kualitas maupun kuantitas yang sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No. 01/ Birhukmas/I/1975. Hal ini harus dipenuhi karena melalui air dapat ditularkan berbagai penyakit, seperti : penyakit perut, kulit, mata, dan kelumpuhan. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut water borne disease. Sedangkan saluran pembuangan air limbah harus dibuat kedap air, dan sebaiknya tertutup dengan kemiringan yang cukup. Saluran pembuangan air kotor /air limbah ini jika memungkinkan dihubungkan dengan saluran umum (Subandriyo 1994).

Fasilitas sanitasi dalam kantin maupun penjaja PJAS mempunyai persyaratan yaitu : (1) Tersedia bak cuci piring dan peralatan dengan air mengalir serta rak pengering; (2) Tersedia wastafel dengan sabun/detergen dan lap bersih atau tisue di tempat makan dan tempat pengolahan/persiapan makan; (3) Tersedia suplai air bersih yang cukup, baik untuk kebutuhan pengolahan maupun untuk kebutuhan pencucian dan pembersihan; (4) Tersedia alat cuci/pembersih yang terawat bai seperti sapu lidi, sapu ijuk, selang air, kain lap, sikat, kain pel, dan bahan pembersih seperti sabun/detergen dan bahan sanitasi. Perlengkapan kerja karyawan kantin/ penjaja PJAS harus disediakan antara lain baju kerja, tutup kepala, dan celemek berwarna terang, serta lap bersih. Jika tidak memungkinkan menggunakan tutup kepala, rambut harus tertata rapi dengan dipotong pendek dan diikat (Nuraida et al 2009).

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang


(39)

bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen makanan atau mempengaruhi sifat khas makanan (Depkes.RI 2001).

Penggunaan BTP dilakukan bila betul-betul diperlukan dalam pengolahan makanan dan tidak dibenarkan untuk tujuan menyembunyikan dari cara pengolahan yang tidak baik atau mengelabui konsumen, misalnya menutupi mutu bahan baku yang kurang baik. Pengaturan dan pengawasan BTP dimaksudkan agar hanya bahan yang diizinkan saja yang digunakan pada pengolahan makanan, dimana bahan tersebut betul-betul diperlukan untuk pengolahan makanan yang bersangkutan, mutunya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan jumlahnya sesuai dengan cara produksi yang baik dan tidak melebihi batas maksimum yang diizinkan (Depkes.RI 2001).

Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam makanan jajanan: 1. Pewarna

Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak bewarna agar kelihatan lebih menarik.

2. Pemanis

Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (winarno, 1994). Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan pada penderita diabetes melitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam penolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami.

3. Pengawet

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam atau pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno, 1994). Umumnya dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi.

4. Penyedap rasa

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau


(40)

mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu penyedap alami terdiri dari bumbu alami, herba, dan daun, minyak esensial dan turunannya, oleoresin, isolat penyedap, penyedap dari sari buah, ekstra tanaman atau hewan. Sedangkan penyedap sintesis merupakan komponen atau zat yang dibuat menyerupai penyedap alami (Cahyadi 2008).

Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan adalah salah satu masalah keamanan pangan yang masih sering dijumpai di lapangan. Bahan berbahaya pada pangan yaitu formalin, boraks, dan pewarna terlarang (Rhodamin B, Methanil Yellow, dan Amaranth). Formalin dan boraks merupakan bahan berbahaya yang tidak boleh digunakan pada pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang bahan tambahan makanan. Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dimana didalamnya termasuk Methanil Yellow dan

Rhodamin B. Implementasi teknis peraturan ini diperbaharui dengan Keputusan Direktur Jenderal Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 239/Menkes/Per/V/85 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan akan sangat merugikan konsumen karena pada umumnya bahan berbahaya tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan bahkan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kematian (Andarwulan et al 2009).

Menurut Judarwanto 2008, makanan jajanan menyumbang asupan energi bagi anak sekolah 36%, protein 29%, dan zat besi 52%, namun masalah keamanan pangan jajanan baik dari segi mikrobiologi maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) masih sangat penting untuk diperhatikan, yaitu dengan menjamin konsumen memperoleh pangan yang aman untuk kesehatan. Dampak dari kurangnya perhatian terhadap keamanan pangan antara lain keracunan pangan karena proses penyiapan dan penyajian yang tidak higiene, risiko berbagai penyakit karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Dampak penggunaan BTP selami ini kurang dipahami oleh para produsen maupun konsumen. Dampak dari kesalahan dosis maupun kesalahan pemilihan jenis bahan tambahan memang tidak langsung dirasakan. Dampak ini baru terasa beberapa waktu kemudian, setelah terjadi akumulasi dalam tubuh. Oleh


(41)

karena itu, memberi pengertian kepada masyarakat tentang risiko dan manfaat BTP merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan (Saparinto dan Hidayati 2006).

Hasil pengawasan PJAS oleh Badan POM pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 2903 sampel yang diambil dari 478 SD di 26 ibukota propinsi di Indonesia, 50.57% sampel memenuhi syarat (MS) dan 49.43% tidak memenuhi syarat (TMS). Pada umumnya, TMS mengandung cemaran mikroba, kadar pemanis dan pengawet berlebih, atau penyalahgunaan bahan berbahaya yang tidak boleh ada dalam pangan.

Berdasarkan hasil penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2009, dari 4500 penjaja PJAS ysng disurvei hanya sebagian kecil (<35%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Sebagian besar dari mereka (57,5%) membeli BTP di pasar. Sejumlah faktor maupun alasan yang menjadi penyebab penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan oleh produsen, seperti ketidaktahuan, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih awet, dan kurangnya akses ke tempat yang menjual BTP legal.


(42)

KERANGKA PEMIKIRAN

Umumnya anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang dijajakan di lingkungan sekolahnya. Karakteristik lingkungan sekolah yang meliputi kantin, penjaja PJAS, dan sarana fasilitas yang terdapat di sekitar sekolah akan menggambarkan praktek keamanan PJAS. Karakteristik penjaja yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan merupakan variabel yang dapat membedakan antara masing-masing penjaja .

Peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah mengenai kantin sekolah maupun penjaja PJAS di sekitar sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan keamanan makanan jajanan anak sekolah. Peraturan ini dapat mempengaruhi pengelola kantin sekolah maupun penjaja PJAS melakukan pembenahan diri. Makanan yang dijual hendaknya diseleksi dengan ketat sehingga dapat mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman.

Praktek keamanan PJAS yang meliputi higiene penjaja, penanganan dan penyimpanan PJAS, sarana dan fasilitas yang dimilki oleh penjaja sendiri, pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, serta penggunaan BTP (penggunaan pewarna, pemanis, dan pengawet), sehingga dapat memenuhi standar kantin sehat dan terjaminnya keamanan makanan jajanan yang dijajakan oleh PJAS.

Pengetahuan mengenai gizi dan kemanan pangan dapat mempengaruhi praktek yang dilakukan oleh penjaja, dengan pengetahuan maka penjaja lebih mengetahui bagaimana praktek yang sebaiknya dilakukan dalam keamanan PJAS. Dengan adanya praktek keamanan PJAS yang telah memenuhi standar kesehatan, maka mempermudah anak sekolah dalam memilih makanan jajanan yang sehat.


(43)

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis Karakteristik Lingkungan Sekolah :

• Sarana dan Fasilitas

• Kondisi Kantin

• Penjaja PJAS

Karakteristik Penjaja :

• Umur

• Jenis kelamin

• Pendidikan

• Pendapatan

• Sarana Penjualan

Peraturan Sekolah mengenai PJAS

Pengetahuan penjaja mengenai gizi dan keamanan

PJAS

Praktek Keamanan PJAS

• Higiene dan sanitasi

• Penanganan dan penyimpanan pangan

• Sarana dan Fasilitas (penyediaan air bersih)

• Penggunaan BTP


(1)

Hubungan Penerapan Peraturan Sekolah dengan Praktek Keamanan Pangan Responden

Salah satu upaya dalam merubah perilaku atau praktek keamanan pangan PJAS adalah dengan adanya penerapan peraturan. Penerapan peraturan ini meliputi banyak hal, salah satunya adalah dengan diberlakukannya sanksi sehingga penjaja dengan adanya sanksi merasa terawasi dan takut untuk melanggar peraturan tersebut.

Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata (p>0.05) antara penerapan peraturan dengan praktek keamanan. Hal ini diduga karena masih kurangnya sosialisasi oleh pihak sekolah mengenai peraturan yang ada, dan banyaknya jumlah penjaja luar sehingga sulit bagi pihak sekolah untuk mengawasi secara rutin. Hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Hubungan penerapan peraturan dengan praktek keamanan PJAS

Praktek Keamanan PJAS

Baik Sedang Kurang Total Penerapan

Peraturan

n % n % n % n %

Hasil Uji

Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0

Sedang 4 80 14 77.8 21 87.5 39 83 Baik 1 20 4 22.2 3 12.5 8 17 Total 5 100 18 100 24 100 47 100

P = 0.183 r = 0.198

Penerapan peraturan sekolah berhubungan positif dengan praktek sarana dan fasilitas (r=0.346*, p=0.017). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan peraturan sekolah mengenai sarana dan fasilitas berhubungan dengan praktek sarana dan fasilitas, dimana dalam penelitian ini sebagian besar sekolah masih kurang menerapkan peraturan mengenai sarana dan fasilitas untuk kantin maupun penjaja luar. Mengingat jenis penjualan PJAS merupakan usaha kecil yang masih kekurangan modal yang cukup untuk memenuhi sarana dan fasilitas yang baik, jika tidak dibantu oleh pihak sekolah maka praktek sarana dan fasilitas ini akan selalu berkategori kurang yang juga akan mempengaruhi praktek keamanan pangan lain seperti praktek higiene dan sanitasi dan praktek penanganan dan penyimpanan pangan.

Menurut Winarno (1991) menyatakan jenis pangan jajanan yang dijual oleh pedagang kecil lebih besar peluangnya terhadap kontaminan dan bahaya kesehatan dibanding yang berasal dari pedagang besar dengan perlengkapan yang memadai.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak sekolah di sekolah dasar Kota dan Kabupaaten Bogor, dapat disimpulkan bahwa :

1. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 72.3% sedangkan perempuan hanya 27.7%, tersebar pada usia dewasa awal berkisar 18-40 tahun, dengan latar belakang pendidikan SD sebanyak 57.4%, 2. Penerapan peraturan mengenai PJAS pada sekolah dengan akreditasi A berdasarkan wilayah kota dan kabupaten berkategori baik, sedangkan sekolah dengan akreditasi B berkategori kurang. Penerapan peraturan sekolah masih kurang disosialisasikan pada penjaja luar,

3. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan sebagian besar tergolong kurang dengan persentase 53.2%, demikian pula dengan praktek keamanan pangan lebih dari 50% responden berkategori kurang,

4. Tidak terdapat perbedaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan dan praktek keamanan PJAS berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual.

5. Terdapat hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan praktek keamanan PJAS, namun tidaK terdapat hubungan antara pendidikan, pendapatan, serta sarana penjualan dengan praktek keamanan PJAS. Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan PJAS (r=-0.079, p>0.05) hal ini disebabkan bahwa praktek sarana dan fasilitas yang masih kurang memadai. Tidak terdapat hubungan antara penerapan peraturan dengan pengetahuan gizi dan keamanan, penerapan peraturan dengan praktek keamanan pangan.

Saran

1. Mengingat masih rendahnya pengetahuan dan praktek mengenai gizi dan keamanan pangan penjaja, untuk itu perlunya dilakukan penyuluhan/ pembinaan secara rutin dan merata mengenai PJAS, baik untuk penjaja kantin maupun penjaja luar.

2. Adanya kerjasama pihak sekolah, orang tua murid, penjaja PJAS, dan instansi lain yang terkait dalam melakukan pengawasan keamanan PJAS.


(3)

3. Diperlukannya sosialisasi pihak sekolah mengenai penerapan peraturan yang dibentuk oleh pihak sekolah.

4. Serta diberikannya bantuan fasilitas yang cukup untuk penjaja kantin maupun luar, tidak secara cuma-cuma namun dengan memberikan cicilan yang ringan dalam pemenuhan sarana dan fasilitas.

5. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan peraturan secara khusus mengenai BTP pada PJAS.


(4)

KOTA DAN KABUPATEN BOGOR

RIKA WIJAYA

I 14076032

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 1994. Penuntun Diet Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Anonimous. 1990. Lokakarya Program Intervensi Proyek Makanan Jajanan.

IPB-TNO-VU 27 Desember 1990 Kerjasama Indonesia Belanda. Bogor.

Anonimous. 2006. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). www.bpom.go.id

Andarwulan et al. 2009. Laporan Akhir Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008. Direktorat Surveilan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Pangan Berbahaya. BPOM RI dan SUCOFINDO. Artista. 2009. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah.

http://www.UNScybernews.co.id. [7 April 2009].

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik. http://www.bps.go.id. [ 14 Maret 2009].

Departemen Kesehatan RI. 2001. Kumpulan Modul Kursus Penyehatan Makanan Bagi Pengusaha Makanan Dan Minuman. Jakarta : Yayasan Pesan. Fardiaz D. dan S. Fardiaz. 1994. Proyek Makanan Jajanan. Bogor : Materi

Semiloka Program Intervensi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM IPB).

Fatima L. I. dan Liliek, 2002. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Penjamah Makanan Terhadap Aspek Keamanan Pangan di Usaha Katering. Media Gizi & Keluarga, 26(2). Institut Pertanian Bogor.

Husaini dkk. 1993. Kebiasaan Makan Konsumsi Jajanan dan Aspek-aspek Kesehatan Anak SD . Laporan Proyek Penelitian Gizi tahun 1992/1993. Pusat penelitian Dan Pengembangan Gizi Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes. RI.

Judarwanto W. 2006. Antisipasi Perilaku Makan Anak di sekolah. http:/www.pdpersi.co.id. [ 14 Maret 2009].

Khomsan A. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan. Diktat yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor.

Mudjajanto E.S. 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional dalam Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas.

Muhilal, D. Damayanti . 2006. Gizi Seimbang Untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Primamedia Pustaka.

Mukrie, A. B. Ginting, I. Ngadiarti, A. Hendrorini, N. Budiarti, Tugiman A. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Akademi Gizi, Depkes RI, Jakarta

Nasoetion A. dan E. S. Wirakusumah. 1991. Pangan Dan Gizi untuk Kelompok Khusus. Laboratorium Gizi Masyarakat. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Nuraida L. et al. Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor : SEAFAST Center. Papalia DE. dan Olds SW. 1981. Human Development. USA : Mc Grow-Hill, Inc.


(6)

Rachmawati E. 2005. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas.

Sanim B. 1994. Produsen Makanan Jajanan. Semiloka Program Diseminasi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB dengan Pemda TK. II Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Slamet J.S. 1998. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher. Saparinto C dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta :

Kanisius.

Subandriyo V.U. 1994. Sanitasi dan Keselamatan Kerja Pada Usaha Jasa Boga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Suryono. 2008. Tujuh Puluh Lima Kantin Sekolah Tak Sehat. [2 Maret 2009] Syafiq A. et al. 2007. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen. Bogor : Ghalia Indonesia.

Sztainer D et al. 2005. Associations with School Food Environment and Policies. www.ijbnpa.org.

Winarno F.G. 1997. Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

___________. 1991. Proyek Makanan Jajanan. Majalah Pangan, Vol II (9). Bogor.

Yusuf A. L. 2004. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan di Kantin Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama IPB [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.