The Nutrients and shelf life of Traditional food Enbal from Kei Islands adding with Contained Round Scad Fish Flour

(1)

i

KANDUNGAN GIZI DAN MASA SIMPAN MAKANAN

TRADISIONAL “ENBAL “ASAL KEPULAUAN KEI DENGAN

PENAMBAHAN TEPUNG IKAN LAYANG

ELIZABETH J. TAPOTUBUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Kandungan Gizi Dan Masa Simpan Makanan Tradisional “Enbal “Asal Kepulauan Kei Dengan Penambahan Tepung Ikan Layang “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012

Elizabeth J. Tapotubun


(4)

(5)

v

ABSTRACT

ELIZABETH J. TAPOTUBUN. The Nutrients and shelf life of Traditional food Enbal from Kei Islands adding with Contained Round Scad Fish Flour. Under direction of BUSTAMI IBRAHIM and IRIANI SETYANINGSIH

Enbal is a traditional food from Kei Islands. The product contains high carbohydrates but very low nutritional value. One of the efforts to improve the nutritional of enbal, i.e. by way of adding fish flour. Round scad fish is the most catches in Maluku. The Aims are; (1) Characterization of raw materials, fish flour and enbal cassava by used as the ingredients for product;(2)Determine the best concentration of fish in enbal product;(3) Characterization of fishy enbal product to physical, chemical and microbiological:(4) Shelf life determination of fishy enbal product based on ASLT methode with arrhenius model. Fish meat, fish flour, and cassava as raw material have good quality. Formulation of fish enbal product contained 15% of fish flour the best choice product contain 20,16% protein; 1,10% fat; 10,46% water; 1,54% ash; 6,09 dietary fiber; 65,85% carbohydrate 1,72ppm HCN; 4089,33cal/g energy; 15 amino acid with 7 esensial amino acid and 8 non esensial amino acid; 6 saturated fatty acid containing and 7 kind of unsaturated fatty acid; 0,87 mg malonaldehid/kg TBA; 2794,1 gr/f physical texture of enbal and shelf life of fish enbal in storage at temperatures 30 - 35°C (2,1 week) and 45 °C about 2 week.


(6)

(7)

vii

RINGKASAN

ELIZABETH J. TAPOTUBUN. Kandungan Gizi Dan Masa Simpan Makanan Tradisional “Enbal “Asal Kepulauan Kei Dengan Penambahan Tepung Ikan Layang. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan IRIANI SETYANINGSIH

“Enbal” merupakan salah satu jenis makanan tradisional dari Kepulauan

Kei (Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual) yang terbuat dari singkong dan menjadi makanan yang telah dikenal sejak lama secara turun temurun, diolah dengan cara dan peralatan yang sederhana serta jarang atau tidak ditemui di luar daerah Kepulauan Kei. Enbal ini awalnya dijadikan makanan sewaktu paceklik namun sekarang sudah dijual bebas dengan beraneka ragam rasa, seperti coklat, keju dan kacang. Produk ini mengandung karbohidrat tinggi namun nilai gizi lainnya sangat rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan kandungan gizi enbal, yaitu dengan cara menambahkan tepung ikan layang ke dalam enbal yang selanjutnya disebut enbal ikan. Penelitian tentang enbal ikan layang belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian, antara lain formulasi enbal ikan layang, nilai gizinya serta masa simpannya.

Tujuan khusus adalah (1) melakukan karakterisasi bahan baku ikan layang, tepung ikan layang dan tepung enbal yang akan digunakan sebagai bahan pembuat enbal ikan, (2) mendapatkan formulasi enbal ikan layang secara kimia, dan organoleptik (3) melakukan karakterisasi produk enbal ikan layang terpilih secara kimia, fisik, dan mikrobiologi, serta (4) menentukan daya simpan produk enbal ikan layang menggunakan metode akselerasi.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap percobaan. Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi

bahan baku ikan layang dan singkong, pembuatan tepung ikan layang yang akan ditambahkan dengan enbal. Tahap ini diawali dengan pembuatan tepung ikan yang mengacu pada modifikasi metode penelitian. Pembuatan tepung ikan diawali dengan proses penimbangan ikan untuk mengetahui berat awal ikan yang akan digunakan untuk menghitung rendemen fillet. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air dingin untuk membuang kotoran, lendir, dan benda-benda asing yang melekat pada tubuh ikan. Ikan dibuat fillet kemudian dilumatkan dengan alat meat separator. Langkah selanjutnya adalah daging ikan layang lumat dikukus dengan air yang mendidih selama 30 menit kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50 °C. Setelah itu, daging lumat yang telah kering tersebut digiling dan diayak menggunakan ayakan ukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung ikan layang. Daging ikan dan tepung ikan layang dilakukan analisis proksimat, TPC, TVB, dan rendemen. Hal yang sama juga dilakukan pada tepung enbal yang dihasilkan meliputi analisis proksimat, rendemen, TPC dan HCN.

Penelitian tahap II adalah pembuatan enbal ikan dengan berbagai tingkat

penambahan tepung ikan pada tepung enbal, yaitu 0% (tipe A), 5% (tipe B), 10% (tipe C), 15% (tipe D) dan 20% (tipe E) kemudian dicampur sampai

homogen dan diletakkan dalam cetakan yang terbuat dari alumunium. Cetakan yang telah berisi adonan tepung enbal dengan tepung ikan kemudian dibakar di atas tungku perapian selama 15 menit. Pada produk enbal yang dihasilkan dengan


(8)

viii

masing- masing tipe tersebut, dilakukan uji proksimat dan serat kasar serta organoleptik meliputi warna, rasa, kerenyahan, aroma dan tekstur. Parameter organoleptik digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik pada tahap II dengan metode Buyes.

Pada penelitian tahap III, pada konsentrasi penambahan tepung ikan terbaik yang diperoleh pada tahap ke II, dilakukan pengujian berupa analisis karbohidrat, HCN, total energi, karakteristik asam amino, karakteristik asam lemak, Bilangan

thiobarbiturid acid (TBA), kerenyahan, TPC, kapang dan pendugaan umur

simpan produk dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing

(ASLT) dengan model Arrhenius.

Bahan baku ikan layang, tepung ikan dan tepung enbal memiliki mutu yang baik. Formulasi terpilih berdasarkan metode Buyes adalah enbal dengan penambahan tepung ikan 15%. Karakterisasi kimia enbal ikan konsentrasi terpilih

15% memiliki kandungan karbohidrat 65,85%, HCN 1,72 ppm, jumlah energi sebesar 4089,33 kal/g, TBA 0,87 mg malonaladehid/kg, karakterisasi fisik berupa

uji kerenyahan sebesar 2794,1 gf dan karakterisasi mikrobiologi berupa TPC sebesar 3,64 log CFU/g (4,33 x 103 CFU/g) dan kapang sebesar < 1,0 x 102 CFU/g serta dibawah standar ambang batas SNI 01-2973-1992 pada produk biskuit yaitu maksimum 1,0 x 106 CFU /g. Total asam amino esensial pada enbal ikan sebesar 7,85 g/100 g sampel dengan asam amino esensial tertinggi adalah lisin. Kandungan asam amino tertinggi pada enbal ikan layang terpilih adalah asam glutamat dan terendah adalah treonin dan glisin. Enbal ikan terpilih mengandung 6 jenis asam lemak jenuh dan 7 jenis asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) tertinggi pada enbal ikan terpilih adalah DHA 49,40 mg/100g sampel dengan asam linoleat 17,8 mg/100g sampel dan EPA 12,56 mg/100g sampel. Umur simpan enbal ikan pada penyimpanan 30 dan 35 ⁰C selama 2,1 minggu (15 hari) dan penyimpanan pada 45 ⁰C umur simpan selama 2 minggu (14 hari).

Kata kunci: Enbal, ikan layang, Kepulauan Kei, tepung ikan, nutrisi


(9)

ix

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apa pun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(10)

(11)

xi

KANDUNGAN GIZI DAN MASA SIMPAN MAKANAN

TRADISIONAL “ENBAL “ASAL KEPULAUAN KEI DENGAN

PENAMBAHAN TEPUNG IKAN LAYANG

ELIZABETH J. TAPOTUBUN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii


(13)

xiii

Judul Penelitian : Kandungan Gizi Dan Masa Simpan Makanan Tradisional

“Enbal “Asal Kepulauan Kei Dengan Penambahan Tepung Ikan Layang

Nama : Elizabeth J. Tapotubun NIM : C351100021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M. Sc. Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M. Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr.


(14)

(15)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur tak terhingga penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah, kekuatan dan karunia-Nya yang tak terhingga yang diberikan kepada penulis.

Tesis dengan judul “Kandungan Gizi Dan Masa Simpan Makanan Tradisional Enbal Asal Kepulauan Kei Dengan Penambahan Tepung Ikan Layang” merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing d a n Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS, selaku anggota pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis, bukan hanya kritikan dan saran dalam penelitian dan penulisan, namun pelajaran yang sangat berharga untuk menjadi pribadi yang lebih baik, disiplin, teliti, ikhlas dan sabar dalam memaknai hidup.

Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan Beasiswa bagi Penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor.

2 Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.

3 Dr. Desniar, S.Pi, M.Si, selaku penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu dan pemikiran untuk menguji dan memberikan masukkan yang sangat membangun karya ilmiah ini.

4 Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama penulis menempuh studi di Teknologi Hasil Perairan.


(16)

xvi

5 Mami Dina Tapotubun dan Papi Hein Rumahlaiselan serta kedua adikku Selly dan suami serta bu Rio, sungguh kalian adalah motivasi dan sumber inspirasi bagi ananda untuk terus belajar memaknai setiap proses kehidupan ini.

6 Imanuel Musa Thenu, S.Pi dan Yeshua Nouch Huan Thenu, terima kasih atas kasih sayang yang sangat tulus yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis pada saat penulis membutuhkan hal itu, kalian adalah penyemangat penulis untuk terus melangkah ke depan menjalani sebagian dari proses kehidupan ini.

7 Seluruh Dosen dan Staf Pegawai Program Studi Hasil Perairan yang telah memberikan ilmu maupun pengalaman-pengalaman berharga bagi penulis selama menempuh ilmu di IPB.

8 Opa Markus dan Oma Helena, Semy Tapotubun SH dan keluarga, Ir. Alex W. Rahanra dan keluarga, Drs. Paulus Tapotubun dan keluarga, Muda Sin Tapotubun dan Febby, Dr. Ir Johan Riry, M.Si dan keluarga, Alm Edizon Tapotubun, SH dan Keluarga, Terima kasih atas segala dukungan, doa dan kasih sayang yang tulus, sungguh kalian adalah keluarga terbaik yang sangat berarti bagi hidup penulis.

9 Papa John dan keluarga, terima kasih untuk doa dan perhatian yang diberikan bagi penulis selama menempuh studi.

10 Mama lis, Bapak Agus Thenu, Livan, Wilyam, Mila, Alicia dan kristiano, Oma keke, terima kasih buat dukungan doa, nasihat, dan kasih yang tulus bagi penulis selama menempuh studi.

11 Teman-teman Dosen dan Staf Pegawai di Politeknik Perikanan Negeri Tual atas doa dan dukungan yang diberikan.

12 Mba Lastri, Mas Ipul, Mas Adi, Mba Ema, terima kasih buat semua bantuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi di Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

13 Bu Tati dan Keluarga sebagai orang tua asuh selama penulis menempuh studi, terima kasih atas segala doa, dan nasihatnya.


(17)

xvii

14 Teman-teman S2 THP angkatan 2010 atas semangat dan kebersamaan yang terjalin erat selama ini khususnya Dewi Merdekawati, Muhammad Fikri dan Eka Saputra.

15 Smile Crew “ Lady Tetelepta, Boy Toisuta, Styla Johanes, Meiske Manery, Frejon Rieuwpassa, Aprillia Tomasoa; terima kasih buat doa dan kebersamaan kita selama ini.

16 Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA); terima kasih untuk semua doa, nasihat dan kebersamaan yang terjalin selama ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, November 2012


(18)

(19)

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tual, 17 Juni 1981 adalah putri pertama dari pasangan Bapak Hein J. Rumahlaiselan dan Ibu Dina A. Tapotubun. Penulis mengawali pendidikan di SD Inpres Vatwahan Tual pada tahun 1987 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMP Karel SadSuitubun Tual dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1996.

Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kei-Kecil dan menyelesaikan pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Perikanan Negeri Tual. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, dengan

judul “Kandungan Gizi Dan Masa Simpan Makanan Tradisional “Enbal “Asal

Kepulauan Kei Dengan Penambahan Tepung Ikan Layang”, dibimbing oleh


(20)

(21)

xxi DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... ... 1

1.2Perumusan masalah ... 2

1.3 Tujuan penelitian ... 3

1.4 Manfaat penelitian ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan layang ... 5

2.2Tepung ikan ... 7

2.3Mutu tepung ikan ... 8

2.4Singkong ... 9

2.5Enbal ... 10

2.6Pengeringan ... 11

2.7Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan ... 13

2.8Umur simpan ... 14

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat penelitian... 17

3.2 Bahan dan alat ... 17

3.3 Prosedur penelitian ... 18

3.4 Prosedur analisis ... 24

3.4.1 Kadar air (AOAC 2005) ... 24

3.4.2 Kadar abu (AOAC 2005) ... 24

3.4.3 Kadar protein (AOAC 2005) ... 24

3.4.4 Kadar lemak (AOAC 2005) ... 25

3.4.5 Kadar serat kasar (AOAC 1995) ... 26

3.4.6 Metode HCN (AOAC 1995) ... 26

3.4.7 Kadar karbohidrat (AOAC 1995) ... 26

3.4.8 Jumlah energi (Bom calorimeter) ... 27

3.4.9 Analisis asam amino (AACC 1994) ... 28

3.4.10 Analisis asam lemak (AOAC 1995)... 30

3.4.11 Bilangan thiobarbituric acid (TBA) (AOAC 1995) ... 31

3.4.12 Total volatile base (TVB) (AOAC 1995) ... 31

3.4.13 Total plate count (TPC) dan kapang (BAM 2003) ... 32

3.4.14 Pengujian sifat fisik (Alat Rheonar RE-3305) ... 33


(22)

xxii

3.4.16 Prosedur uji Buyes ... 34 3.5 Rancangan percobaan dan analisis data ... 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik bahan baku ... 37 4.1.1 Ikan layang ... 37 4.1.2 Tepung ikan layang ... 39 4.1.3 Tepung enbal ... 41 4.2 Nilai Organoleptik enbal ikan layang ... 42 1) Warna ... 42 2) Rasa ... 43 3) Kerenyahan ... 44 4) Tekstur ... 45 5) Aroma ... 46 4.3 Analisis kimia enbal ikan layang ... 47 4.4 Penentuan formulasi enbal ikan layang berdasarkan uji buyes ... 51 4.5 Karakteristik kimia, fisik dan mikrobiologi enbal ikan layang ... 52 4.5.1 Karakteristik kimia, fisik dan mikrobiologi ... 52 4.5.2 Profil asam amino enbal ... 56 4.5.3 Profil asam lemak enbal ... 59 4.6 Penetuan faktor kritis ... 61 4.7 Pendugaan umur simpan ... 67 4.7.1 Penetuan ordo reaksi ... 67 4.7.2 Pendugaan umur simpan dengan persamaan Arrhenius ... 68

5 SIMPULAN

5.1 Simpulan ... 71 5.2 Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN ... 81


(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp) dalam 100 g ... 6 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan ... 8 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan

tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu ... 10 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992 ... 10 5 Karakteristik daging ikan layang ... 37 6 Komposisi kimia tepung ikan layang ... 40 7 Komposisi gizi tepung enbal ... 41 8 Kadar proksimat dan serat enbal ikan layang ... 48 9 Karakterisasi kimia,fisik dan mikrobiologi enbal kontrol dan enbal

terpilih ... 53 10 Komposisi asam amino enbal kontrol dan enbal ikan ... 57 11 Komposisi asam lemak enbal kontrol dan enbal ikan ... 60 12 Nilai K dan Ln K pada tiga suhu penyimpanan enbal kontrol... 68 13 Nilai K dan Ln K pada tiga suhu penyimpanan enbal ikan layang... 68 14 Umur simpan enbal kontrol pada berbagai suhu ... 69 15 Umur simpan enbal ikan layang pada berbagai suhu ... 69


(24)

(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ikan layang (Decapterus spp) ... 5 2 Bagan alir pembuatan tepung ikan teri untuk pangan (Dullah et al.

1985) ... 7 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional (komunikasi

pribadi) ... 11 4 Tahapan pembuatan tepung ikan.(* modifikasi Dullah et al. 1985) ... 19 5 Tahapan pembuatan tepung enbal cara tradisional. (Komunikasi

pribadi) ... 20 6 Skema metode penelitian pembuatan enbal dengan penambahan

tepung ikan ... 21 7 Tahap penelitian ... 23 8 Histogram warna enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang

diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan

berbeda nyata (p<0,05) ... 42 9 Histogram rasa enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang

diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan

berbeda nyata (p<0,05) ... 44 10 Histogram kerenyahan enbal ikan layang. (Angka –angka histogram

yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan

berbeda nyata (p<0,05) ... 45 11 Histogram tekstur enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang

diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan

berbeda nyata (p<0,05) ... 46 12 Histogram aroma enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang

diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan

berbeda nyata (p<0,05) ... 47 13 Histogram bobot prioritas penentuan formulasi konsentrasi

penambahan tepung ikan (0%, 5%, 10%, 15% dan 20%) ... 51 14 Nilai TPC enbal kontrol pada penyimpanan suhu ruang ... 62 15 Nilai TPC enbal ikan layang terpilih pada penyimpanan suhu ruang... 63 16 Nilai kadar air enbal kontrol pada penyimpanan suhu ruang ... 64


(26)

xxvi

17 Nilai kadar air enbal ikan layang pada penyimpanan suhu ruang ... 64 18 Skor sensori pada penentuan faktor kritis enbal kontrol ... 65 19 Skor sensori pada penentuan faktor kritis enbal ikan layang ... 66


(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Form uji organoleptik………... 83 2 Uji organoleptik Kruskal Wallis enbal ikan layang dan

uji lanjut Multiple Comparison……… 85 3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan protein enbal ika……….. 87 4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan kadar air enbal ikan..….. 88 5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan kadar lemak enbal ikan.. 89 6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan kadar abu enbal ikan…. 90 7 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan serat kasar enbal ikan…. 91 8 Pembobotan Buyes penentuan enbal ikan layang terbaik………….... 92 9 Pemenuhan kebutuhan energi anak-anak dan dewasa per hari ... 93 10 Skor asam amino ... 94 11 Analisis regresi TPC enbal ... 95 12 Gambar ordo nol dan ordo satu enbal kontrol dan enbal ikan ... 96 13 Persamaan formula Arrhenius untuk enbal kontrol ... 98 14 Persamaan formula Arrhenius untuk enbal ikan layang ………. 99 15 Foto proses pembuatan tepung ikan mulai dari bahan baku

ikan segar sampai tepung ikan ... 100 16 Foto proses pembuatan tepung enbal mulai dari bahan baku

singkong segar sampai menjadi tepung enbal ... 104 17 Foto proses pembuatan enbal ikan... 106


(28)

(29)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai salah satu provinsi kepulauan, 90% wilayah provinsi Maluku adalah lautan yang memiliki potensi besar dalam bidang perikanan khususnya potensi ikan layang yang produksinya meningkat dari tahun ke tahun. Produksi ikan layang per tahunnya cukup besar, yaitu 290.609 ton atau 6,59% dari total produksi perikanan laut di Indonesia (DKP 2007). Data BPS provinsi Maluku 2011 menunjukkan bahwa dari beberapa jenis ikan pelagis yang ditangkap, ikan layang menduduki tingkat tertinggi, yaitu pada tahun 2010 sebesar 27.798,2 ton dan meningkat pada tahun 2011 sebesar 36.7137,7 ton (BPS Maluku 2011). Selain dikonsumsi oleh masyarakat, ikan layang juga digunakan sebagai umpan hidup pada alat penangkapan tuna long line di Samudera Indonesia oleh beberapa kapal penangkap tuna (DKP 2002).

Ikan layang kebanyakan masih dijual dalam bentuk segar, dingin/diawetkan serta dalam bentuk olahan ikan asap dan abon. Pengembangan diversifikasi industri pengolahan ikan harus dilakukan agar dapat memperkaya keragaman produk olahan dari ikan layang. Sebagai sumber protein, ikan layang juga memiliki salah satu potensi yang besar dalam membantu pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani secara nasional. Mengingat produk perikanan merupakan produk yang mudah rusak dan busuk (perishable) maka diperlukan tindakan yang cepat untuk dapat menyelamatkan mutunya. Beragam cara pengolahan pasca panen dihasilkan produk diversifikasi olahan untuk mengetahui gizi (Haryati et al. 2006). Chairita (2008) pada penelitiannya menunjukkan bahwa ikan layang memiliki nilai gizi yang cukup baik dengan kadar protein yang tinggi yakni sebesar 18,13%, lemak 1,90%, air 78,58%, dan abu 1,03%.

Pangan dan gizi merupakan faktor penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia dan tingkat kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki beragam sumberdaya pangan yang berasal dari makanan tradisional. Berkaitan dengan makanan tradisional, pemerintah telah mencanangkan kampanye “Aku Cinta Makanan Indonesia” (ACMI) untuk meningkatkan kecintaan terhadap


(30)

2

makanan Indonesia (Suhardjo 1993; Partini dan Sidik 1994). Salah satu program untuk mendukung produk tersebut adalah melalui diversifikasi produk, khususnya produk lokal.

“Enbal” merupakan salah satu jenis makanan tradisional dari Kepulauan Kei (Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual) yang terbuat dari singkong dan menjadi makanan yang telah dikenal sejak lama secara turun temurun, diolah dengan cara dan peralatan yang sederhana serta jarang atau tidak ditemui di luar daerah Kepulauan Kei. Enbal ini awalnya diproduksi hanya untuk dijadikan makanan sewaktu paceklik namun sekarang sudah dijual bebas untuk dikonsumsi sehari-hari dan dapat dijumpai di rumah makan dan toko-toko souvenir setempat dengan beraneka ragam rasa dan aroma, seperti coklat, keju, dan kacang.

Enbal merupakan produk yang mengandung karbohidrat tinggi, namun nilai gizi lainnya sangat rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan kandungan gizi enbal, yaitu dengan cara mencampur atau menambahkan tepung ikan ke dalam pembuatan enbal yang selanjutnya disebut “enbal ikan”. Ikan layang yang merupakan hasil tangkapan terbanyak di Maluku dapat digunakan untuk pembuatan enbal ikan. Enbal ikan layang belum pernah dilakukan dan diteliti oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian antara lain formulasi enbal ikan layang, nilai gizinya serta masa simpannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah produk diversifikasi berbahan baku ikan dan dapat memberikan nilai tambah pada produk enbal di Maluku.

1.2 Perumusan Masalah

Enbal merupakan makanan tradisional masyarakat Kepulauan Kei yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat karena praktis dan mudah dalam penyajiannya. Selama ini, bahan baku yang digunakan untuk membuat enbal adalah tepung enbal yang berasal dari singkong dan ditambahkan dengan kacang, coklat dan keju sehingga nama dari produk ini yang sudah popular, yaitu enbal kacang, enbal coklat dan enbal keju namun bahan-bahan pembantu tersebut cukup mahal dan masih harus didatangkan dari luar daerah.

Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi enbal dan diversifikasi produk perikanan adalah dengan memanfaatkan salah satu hasil perikanan


(31)

3

unggulan di Maluku yaitu ikan layang yang mudah dijangkau dan memberikan nilai tambah pada produk tradisional berupa enbal ikan.

1.3 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari karakteristik enbal yang ditambah tepung ikan. Tujuan khusus adalah (1) melakukan karakterisasi bahan baku ikan layang, tepung ikan layang dan tepung enbal yang akan digunakan sebagai bahan pembuat enbal ikan, (2) mendapatkan formulasi enbal ikan layang secara kimia, dan organoleptik (3) melakukan karakterisasi produk enbal ikan layang terpilih secara kimia, fisik, dan mikrobiologi, serta (4) menentukan daya simpan produk enbal ikan layang dengan menggunakan metode akselerasi.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini yaitu untuk mengetahui masa simpan dan kandungan gizi enbal sehingga dapat dijadikan sebagai produk andalan di Kepulauan Kei.


(32)

(33)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Layang

Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat permukaan laut (pelagis), berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Famili : Carangidae Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus spp.

Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, rata-rata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan layang ( Decapterus spp).

Ikan layang termasuk ikan pelagis dan dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil berdasarkan ukurannya. Di perairan Indonesia, terdapat lima jenis (spesies)


(34)

6

ikan layang, yaitu Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus

kurroides, Decapterus tabl dan Decapterus maruadsi (Burhanudin et al. 1983).

Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Ambon, dan Laut Jawa (Suyedi 2001).

Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari, ikan pelagis kecil berada di dasar perairan yang membentuk gerombolan yang padat dan kompak sedangkan pada malam hari ikan ini naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001). Ikan layang merupakan ikan perenang cepat yang hidup berkelompok di laut yang jernih dan bersalinitas tinggi. Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi

yaitu ± 32‰ (Hariati 2005).

Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar antara 10-20%, juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging. Pada saat ikan mengalami post-mortem, akan cepat mengalami glikolisis membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan turun secara cepat, mencapai pH 5,6 (Shimizu et al. 1992; Matsumoto dan Noguchi 1992).

Pada umumnya, komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%; protein 15-24%; lemak 0,1-22%; karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2% (Suzuki 1981). Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) dalam 100 g

Parameter Ikan Layang

Kadar Air (% ) 78,58

Kadar Abu (% ) 1,03

Lemak ( % ) 1,90

Protein ( % ) 18,13

TVB (mg N/100g ) 9,79

pH 5,98


(35)

7

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan (Ilyas 2003). Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik, umumnya berwarna cokelat yang diperoleh setelah melalui proses pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Produksi pembuatan tepung ikan dalam jumlah yang besar menurut FAO PBB yaitu hampir 90% digunakan sebagai konsumsi makanan manusia (Green 2010). Tepung ikan memiliki kadar air tidak lebih dari 4% ( BPOM 2006).

Produksi tepung ikan di Indonesia mencapai 57.010 ton dengan nilai ekspornya adalah sebesar 39.945 ton (BPS 2011). Tepung ikan mengandung nilai gizi yang tinggi terutama kandungan protein yang kaya akan asam amino esensial, yaitu lisin dan metionin. Tahap pembuatan tepung ikan teri untuk bahan pangan seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir pembuatan tepung ikan teri untuk pangan (Dullah et al.1985).

Ikan Teri

Sortasi

Pemasakan Pengeringan

Penggilingan basah Penggilingan

Pengeringan Tepung ikan

Segar

Penggilingan kering


(36)

8

2.3 Mutu tepung Ikan

Tepung ikan dengan mutu yang tinggi mempunyai tekstur tepung ikan halus, bebas benda asing dan serangga, baunya khas tepung ikan, berwarna coklat kekuningan khas tepung ikan. Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan baku yang digunakan, metode pengolahan serta cara dan lama penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan rendemen tepung yang dihasilkannya sehingga dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009).

Proses pembuatan tepung ikan menggunakan metode konvensional, yaitu persiapan bahan baku, pemasakan, pengepresan, pengeringan dan pengangin-anginan. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kesegaran bahan mentah yang diolah dan juga teknologi pengolahannya (Annafi 2009).

Pengolahan tepung ikan pada dasarnya adalah perubahan bentuk dari ikan utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan (Mulki 2005), sedangkan teknologi pengolahannya dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah.

Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. Tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan

Zat gizi Kandungan (%)

Air 10-12

Lemak 8-12

Protein 45-65

Abu 20-30

Serat 1,5-3

Calcium (Ca) 2,5-7,0

Fosfor 1,6-4,7

NaCL 2-4

Sumber: BSN (1996)

Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung


(37)

9

lemak (Ilyas 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

2.4 Singkong

Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ) merupakan sumber utama kalori di daerah tropis dan biasanya terdapat pada daerah dataran tinggi. Menurut Oluwole et al. (2007), singkong merupakan sumber utama kalori di daerah tropis yang dapat diproses menjadi beberapa makanan dan mengandung senyawa sianogen.

Singkong dikelompokkan menjadi singkong yang agak manis dan singkong yang agak pahit sehingga memerlukan pemrosesan yang lebih ekstensif sebelum dikonsumsi (Fregene et al. 2003; Manu-Aduening et al. 2005). Menurut Agbor-Egbe dan Lape Mbome (2006) serta Aloys (2006), umbi singkong dapat diproses menjadi beberapa makanan. Tanaman singkong memiliki banyak kelebihan, yakni (a) dapat tumbuh pada kondisi yang kurang baik dan iklim yang ekstrim, seperti tanah masam, (b) mampu berproduksi pada tanah yang subur tetapi tetap menghasilkan pada tanah yang kurang atau tidak subur, (c) rentang panen yang panjang, yakni antara 10 hingga 30 bulan, (d) merupakan makanan pokok terbesar dunia setelah gandum, beras dan jagung, (e) sumber terbesar karbohidrat, (f) sekitar 500 juta orang bergantung padanya dan (g) memiliki umbi manis dan pahit (Laswai et al. 2006; Vessia 2008).

Tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku pati (tapioka) harus memiliki kandungan protein rendah, viskositas (kekentalan) pati tinggi, kandungan pati tinggi, dan kandungan serat rendah.

Secara tradisional, ubi kayu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai makanan pokok seperti halnya beras dan jagung. Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan nomor tiga di Indonesia setelah padi dan jagung sekaligus sumber kalori pangan termurah dan cukup ketersediaannya. Ubi kayu di Indonesia terutama digunakan untuk bahan pangan (58%), bahan baku industri (28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%) dan pakan (2%) (DKU 2004). Umbi ubikayu dari setiap jenis dan cara pengolahan umbi sangat berpengaruh terhadap komposisi kimianya. Kandungan gizi ubi kayu, gaplek dan tepung tapioka yang


(38)

10

dibandingkan dengan beras dan terigu serta tepung ubi kayu untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2 dan standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu

Zat Makanan Singkong Beras Giling Gaplek Tapioka Terigu

Kalori (kal) 154,00 360,00 338,00 363,00 365,00 Protein (g) 1,00 6,80 1,50 1,10 8,90 Lemak (g) 0,30 0,70 0,70 0,50 1,30 Karbihidrat (g) 36,80 78,90 81,30 83,20 77,30 Zat Kapur (mg) 33,00 6,00 80,00 89,00 16,00 Phospor (mg) 40,00 140,00 60,00 125,00 106,00 Zat Besi (mg) 1,10 0,80 1,90 1,00 1,20 Vitamin B1 (mg) 0,06 0 0 0 0,12 Thiamine (mg) 20,00 0 0 0,40 0 Vitamin C (mg) 30,00 0,12 0 0 0,12 Sumber : Dir. Gizi Depkes diacu dalam DKU (2004)

Tabel 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992

Uraian Satuan Persyaratan

Keadaan: Bau Rasa Warna Benda-benda asing Derajat putih Abu Air Derajat Asam Asam sianida Kehalusan Pati %,b/b

BaSO4 = 100 %0 %, bb

%, bb

Ml N NaOH/100g mg/Kg

% %,

Khas ubi kayu Khas ubi kayu Putih

Tidak boleh ada Min . 85

Maks. 1.5 Maks. 12 Maks 3 Maks. 40 Min. 90 Min. 75

Sumber: (DKU 2004)

2.5 Enbal

Enbal (dalam bahasa daerah Kei) merupakan salah satu makanan pokok

masyarakat Daerah Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.


(39)

11

mengeluarkan air dari patinya yang kemudian disebut enbal gepe, lalu diayak untuk mendapatkan tepung enbal.

Bagi masyarakat Maluku Tenggara, enbal memiliki arti penting dan strategis. Enbal dijadikan makanan pokok sekaligus sebagai media keakraban dan persaudaraan. Suasana seperti itu semakin terasa pada saat datang dari rantau, niaga maupun setelah menyelesaikan pendidikan. Enbal dijadikan makanan utama mengalahkan jenis makanan pokok lainnya (beras dan jagung) atau sebagai bekal perjalanan dan buah tangan untuk sesama masyarakat Maluku Tenggara (Tual). Proses pengolahan enbal secara tradisional disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional. (komunikasi pribadi).

2.6 Pengeringan

Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya menggunakan energi panas.

Singkong segar

Pemarutan Tangan

Pengepresan dengan papan penjepit

Enbal mentah

Pengayakan

Penepungan


(40)

12

Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu, dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008).

Tujuan pengeringan pada suatu bahan pangan di antaranya adalah untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air (aw), mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, yaitu aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).

Proses pengeringan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum pemanasan

(preheating period), tahap kecepatan pengeringan konstan (constant drying-rate

period) dan tahap penurunan kecepatan pengeringan (decreasing drying-rate

period). Tahap pertama, air bebas dan terikat masih berada dalam bahan dengan

tidak mengalami perubahan. Pada tahap kedua, air bebas berada di permukaan bahan, suhu bahan tetap konstan dan sebanding dengan suhu basah pada udara panas. Semua panas yang diterima oleh bahan digunakan untuk proses penguapan. Pada tahap ketiga, tidak ada air bebas pada permukaan bahan, penguapan telah terjadi di seluruh bagian permukaan sehingga terjadi penurunan kecepatan pengeringan sampai akhir waktu pengeringan yaitu saat terjadi kesetimbangan kadar air (Masuda et al. 2006).

Menurut Brooker et al. (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:

1) Suhu udara pengering

Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.

2) Kelembaban relatif udara pengering

Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama.


(41)

13

Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang terjadi karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada udara dengan RH yang tinggi.

3) Kecepatan udara pengering

Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada permukaan bahan sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan.

4) Kadar air bahan

Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air pada bahan yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat basah dan pada saat kering.

Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering

(artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan

menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial

drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur

sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarno dan Fardiaz 1973).

2.7 Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan

Pengeringan dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan lainnya walaupun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan


(42)

14

yang akan dikeringkan. Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Reaksi browning non-enzimatik yang sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi (Muchtadi 2008).

Pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi namun sejumlah vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno dan Fardiaz 1973). Menurut hasil penelitian Chukwu (2009), jika dibandingkan dengan bahan baku, ikan jenis tilapia yang telah dikeringkan mengalami penurunan persentase kadar air, sedangkan persentase kadar protein, lemak, vitamin A, potassium, serta fosfor mengalami kenaikan.

Jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Case hardening juga dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadinya pengumpulan protein pada permukaan bahan karena adanya panas atau terbentuknya dekstrin dari pati yang dikeringkan (Winarno dan Fardiaz 1973). Pemanasan yang berlebih pada proses pemasakan produk seafood kering dapat mengakibatkan hilangnya asam amino yang tidak stabil terhadap panas (Pan 1988 diacu dalamShahidi dan Botta 1994).

Suatu tipe pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas produk akhir. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier dan kuartener dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan perubahan sekuen asam amino pada struktur protein (Kusnandar 2010).

2.8 Umur Simpan

Pengembangan teknologi pengolahan, pengemasan dan metode lain untuk mengukur dan meramalkan masa simpan produk makanan sangat penting dan


(43)

15

strategis. Semakin tinggi masa simpan produk makanan, semakin jauh jangkauan pemasarannya sehingga makin ekonomis.

Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu produk olahan yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya akibat mekanis contoh vibrasi, kompresi, dan abrasi (Arpah 2001).

Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian diterapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage

Studies (ASS) (Floros dan Gnanasekharan 1993). Metode ESS sering juga disebut

sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan.

Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, mengeplotkan kadar air tersebut pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis produk. Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis ditarik garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk (Herawati 2008). Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan ( Arpah dan Syarief 2000).

Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan (Herawati 2008), yaitu:

1) Pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa.


(44)

16

2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu menggunakan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan.

Analisis penurunan mutu dengan metode akselerasi memerlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik atau uji mikrobiologi seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud cair, bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, tidak semua parameter yang diuji melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat yang mempengaruhi konsumen (Syarief dan Halid 1993).

Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan, yaitu suhu, kelembaban, kandungan oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya disebut sebagai deteriorasi (Arpah 2001). Produk pangan mengalam deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi. Reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari lingkungan (Arpah 2001). Hal ini akan meyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi maupun mikrobiologis. Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).


(45)

17

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Mei 2012 di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Terpadu IPB; Laboratorium SEAFAST Center; Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB; Laboratorium Pengolahan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon dan Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan Tual.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan untuk pengolahan enbal ikan dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan dalam pengolahan enbal ikan adalah bahan baku ikan layang dan singkong. Berat rata-rata ikan layang 350-500 gram/ekor dan berasal dari desa nelayan Waai Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah sedangkan singkong yang kemudian diolah menjadi tepung enbal diperoleh dari perkebunan singkong masyarakat Desa Ngilngof, Kabupaten Maluku Tenggara.

Bahan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi bahan untuk analisis proksimat, serat kasar, asam amino, asam lemak, karbohidrat, aktivitas air (Aw), jumlah energi, nilai TBA dan analisis mikrobiologi. Bahan untuk analisis proksimat pada penetapan kadar protein: H2SO4 pa, NaOH 30-33%, H3BO3 3%, HCl 0,1M, larutan bromcresol green, indikator metal merah, akuades; uji kadar lemak: heksana; kadar karbohidrat: CaCO3, alkohol 80%; penetapan asam amino: HCl 6 N, metanol, es kering, aseton, n-oktil alkohol, kalium borat, ortoftalaldehid (OPA), Na-asetat, Na-EDTA, metanol, tetra hidro furan; penetapan asam lemak: asam lemak margarat, NaOH metanolik 0,5 N, N2BF3 metanol, isooktana, NaCl, Na2SO4 anhidrous; penetapan (TBA): HCl 4 M, pereaksi TBA, akuades; pengamatan mikrobiologi dengan metode (TPC) dan kapang: nutrient agar, akuades, larutan bufferfield phosphate buffered, (PCA) dan (PDA).


(46)

18

Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan: meat separator, panci kukus, blender, plastik Polyethylene (PE), timbangan, oven, loyang almunium.; pembuatan tepung enbal: ayakan, mesin parut.

Alat yang digunakan untuk analisis kimia dan fisika adalah pH meter (Orion), stirrer, oven, alat destilasi, aw meter (Shibaura), alat Bom Kalorimeter

(Parr 6200 Calorimeter), High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

merk Shimadzu dengan tipe LC- 20AB dan kromatografi gas (Shimadzu). Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi: inkubator (Binder), oven. Alat yang digunakan untuk analisis organoleptik: piring kertas dan format uji.

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap percobaan. Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi bahan baku ikan layang dan singkong, pembuatan tepung ikan layang yang akan ditambahkan dengan enbal. Tahap ini dilakukan uji proksimat, analisis TPC, analisis TVB dan perhitungan rendemen terhadap ikan layang segar, pengujian proksimat dan analisis TPC terhadap tepung ikan layang serta pada tepung enbal,

dilakukan analisis proksimat, HCN dan perhitungan rendemen tepung enbal. Penelitian tahap II adalah pembuatan enbal ikan dengan menambahkan tepung ikan layang dengan konsentrasi 0% (A kontrol), 5% (B), 10% (C), 15% (D) dan 20% (E). Pada tahap ini dilakukan uji proksimat, serat kasar serta organoleptik untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk sedangkan penentuan perlakuan terbaik, dilakukan dengan metode Bayes dan hasilnya dilanjutkan pada penelitian di tahap III.

Pada penelitian tahap III, perlakuan terpilih tahap ke II diuji analisis kimia, fisik dan mikrobiologis meliputi analisis karbohidrat, HCN, total energi, karakteristik asam amino, karakteristik asam lemak, TBA, kerenyahan, TPC,

kapang dan dilakukan uji daya simpan produk terbaik menggunakan desain percobaan metode Accelerated Shelf Life Testing ( ASLT ) dengan model Arrhenius.


(47)

19

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I diawali dengan pembuatan tepung ikan yang mengacu pada modifikasi metode penelitian Dullah et al. (1985). Pembuatan tepung ikan diawali dengan proses penimbangan ikan untuk mengetahui berat awal ikan yang akan digunakan untuk menghitung rendemen fillet. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air dingin untuk membuang kotoran, lendir dan benda-benda asing yang melekat pada tubuh ikan.

Ikan dibuat fillet kemudian dilumatkan dengan alat meat separator. Langkah selanjutnya adalah daging ikan layang lumat dikukus dengan air yang mendidih selama 30 menit kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50⁰C. Daging lumat yang telah kering tersebut digiling dan diayak menggunakan ayakan ukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung ikan layang. Tepung ikan yang dihasilkan dianalisa kadar protein, air, lemak dan abu. Diagram alir tahapan pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan pembuatan tepung ikan.(* modifikasi Dullah et al. 1985).

Sortasi

Penyiangan

Pencucian

Pelumatan *

Pengukusan (30 menit)setelah air mendidih*

Pengeringan

Penggilingan kering Ikan layang


(48)

20

Pembuatan tepung enbal dilakukan menggunakan prosedur yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat yang biasanya mengolah tepung enbal. Pada tahap awal, dilakukan pengupasan singkong dan pemarutan. Langkah selanjutnya, dilakukan pengepresan dengan papan penjepit kemudian dilakukan pengeringan selama 4 jam di bawah sinar matahari. Enbal yang telah dijemur kemudian diayak dengan ayakan ukuran 70 mesh. Tahapan pembuatan tepung enbaldapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahapan pembuatan tepung enbal cara tradisional. (Komunikasi pribadi).

Penelitian Tahap II

Pada penelitian tahap II, dilakukan pembuatan enbal ikan dengan berbagai tingkat penambahan tepung ikan pada tepung enbal, yaitu 0% (tipe A), 5% (tipe B), 10% (tipe C), 15% (tipe D) dan 20% (tipe E) kemudian dicampur sampai homogen dan diletakan dalam cetakan yang terbuat dari alumunium. Cetakan yang telah berisi adonan tepung enbal dengan tepung ikan kemudian dibakar di atas tungku perapian selama 15 menit dengan cetakan yang tertutup agar proses pembakaran berjalan sempurna dan adonan matang secara merata. Tahapan pembuatan enbal ikan layang pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Pemarutan tangan

Pengepresan dengan papan penjepit

Pengayakan Singkong segar

Tepung enbal Pengeringan


(49)

21

Pada produk enbal yang dihasilkan dengan masing – masing tipe tersebut, dilakukan uji proksimat dan serat kasar serta organoleptik meliputi warna, rasa, kerenyahan, aroma dan tekstur. Penentuan perlakuan terbaik pada tahap ke-2 dilakukan dengan metode Buyes dan hasilnya digunakan sebagai formula pada pembuatan enbal ikan di tahap III.

Gambar 6 Skema metode penelitian pembuatan enbal dengan penambahan tepung ikan layang.

Enbal ikan terpilih dilakukan pendugaan umur simpan dengan model Arrhenius pada

suhu 30 ⁰C, 35 ⁰C dan 45 ⁰C. Analisis Proksimat, serat kasar dan uji

organoleptik. formulasi enbal ikan terpilih dengan metode Bayes dilakukan

analisis kimia, fisik dan mikrobiologis meliputi analisis karbohidrat, HCN, total

energi, karakteristik asam amino, karakteristik asam lemak, TBA,

kerenyahan, TPC dan kapang

Pencampuran

Pengeringan oven dengan suhu sedang + 35-600C hingga produk benar-benar

kering

rr kering

Pencetakan Pemanggangan selama

15 menit

Tepung enbal Tepung ikan

Tepung ikan di campurkan dengan enbal dengan perbandingan tertentu sesuai perlakuan 0%, 5%, 10%, 15%, 20%

Produk Enbal Ikan

Enbal tipe B Enbal tipe A Enbal tipe C Enbal tipe D Enbal tipe E


(50)

22

Penelitian Tahap III

Pada konsentrasi penambahan tepung ikan terbaik yang diperoleh pada tahap ke II dilakukan pengujian berupa analisis kimia, fisik dan mikrobiologis yang meliputi analisis karbohidrat, total energi, karakteristik asam amino, karakteristik asam lemak, TBA, kerenyahan, TPC, kapang dan pendugaan umur simpan produk dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing

(ASLT) dengan model Arrhenius. Penentuan faktor kritis merupakan tahap pendahaluan yang dilakukan untuk mengetahui parameter yang sangat berpengaruh terhadap kualitas produk enbal ikan layang selama penyimpanan suhu ekstrim. Suhu yang digunakan pada penentuan faktor kritis yaitu suhu ruangan. Parameter yang digunakan adalah parameter kimia meliputi kadar air, TPC, dan organoleptik. Setiap parameter diamati dan diuji setiap 3 hari. Parameter yang paling cepat melebihi standar (untuk TPC dan kadar air) atau yang paling cepat ditolak oleh panelis (skor sensori = 3 atau tidak suka) akan menjadi faktor kritis yang akan digunakan untuk pendugaan umur simpan.

Parameter kritis yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan daya simpan enbal ikan layang yang dikemas pada kemasan polyethylene dengan menggunakan 3 perlakuan suhu ekstrim, yaitu 30⁰C, 35⁰C dan 45⁰C. Pengamatan terhadap nilai TPC, kadar air dan organoleptik dilakukan setiap 7 hari dari hari ke-0 sampai hari ke-30. Data kemudian diplotkan dan kurva yang terbentuk dimasukkan dalam persamaan Arrhenius untuk menduga umur simpan enbal kontrol dan enbal ikan layang. Diagram alir keseluruhan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.


(51)

23

Gambar 7 Tahap penelitian.

Tahap I

Karakterisasi bahan baku singkong

Karakterisasi bahan baku ikan layang

Preparasi singkong

Analisis proksimat dan HCN

Tahap II

Penentuan formulasi enbal ikan

Pencampuran formulasi enbal ikan

Pencetakan, pembakaran dan pengeringan

Pencucian dan pemarutan Enbal gepe/mentah

Ikan layang segar analisis proksimat Pencucian dan penghalusan dengan

menggunakan grinder Pengukusan dan pengeringan

Tepung ikan layang

Perlakuan 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% tepung ikan terhadap enbal

Uji organoleptik, proksimat, serat kasar

Tahap III

Pendugaan umur simpan

Formulasi terbaik tahap II Analisis karbohidrat, HCN, jumlah energi,

TBA, asam amino, asam lemak, kerenyahan , TPC dan kapang Pendugaan umur simpan dengan model Arrhenius pada suhu 30, 35, dan 45 °C.


(52)

24

3.4 Prosedur Analisis

3.4.1 Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Setelah selesai proses, cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air:

Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)

Kadar air (berat basah) =

3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu, cawan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan pada suhu 400 oC selama 1 jam kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – cawan kosong (g) % Kadar abu =

3.4.3 Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke

kehilangan berat (g)

X 100% berat sampel awal (g)

berat abu (g)

X 100% berat contoh (g)


(53)

25

dalam labu Kjeldahl 50 mL lalu ditambahkan 7 g K2SO4, kjeltab 0,005 g jenis HgO, 15 mL H2SO4 pekat dan 10 mL H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan selama 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410 ⁰C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 mL kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator

bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1.

Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 mL destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N =

Hitungan:

% Protein = % N x faktor konversi* *) FK = 6,25

3.4.4 Kadar lemak (AOAC 2005)

Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak kemudian sampel yang telah dibungkus, dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena) kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.

Pada saat destilasi, pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor dan dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ⁰C dan setelah itu, labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

(mL HCl-mL blanko ) x N HCl x 14,007 x 100%


(54)

26

Perhitungan kadar lemak pada daging ikan layang :

% Kadar lemak = Keterangan : W1 = Berat ikan layang (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 3.4.5 Kadar serat kasar (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 1g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 mL, kemudian ditambah dengan 100 mL H2SO4 0,3 N dan dididihkan di bawah pendingin, balik selama 30 menit. Setelah mendidih, ditambahkan 50 mL NaOH 1,5 N dan disaring kembali selama 30 menit. Cairan di dalam labu erlenmeyer disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Penyaringan dilakukan menggunakan pompa vakum dan selanjutnya, dicuci dengan pompa vakum. Pencucian berturut-turut dengan 50 mL air panas dan 25 mL aseton. Residu beserta kertas saring dikeringkan sampai bobotnya konstan lalu dihitung dengan ditimbang:

Keterangan : A = bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) B = bobot kertas saring kosong (g)

W = bobot sampel (g) 3.4.6 Metode HCN (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 20 g dan 100 mL air ditambahkan ke dalam labu kjedhal kemudian dibiarkan selama semalam. Sampel yang telah dibiarkan selama semalam ditambahkan 100 mL aquades dan dididihkan dan kemudian uapnya disuling. Uap hasil sulingan ditampung dalam erlenmeyer yang berisi larutan NaOH 2,5%. Destilat dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02N dan indikator KI kemudian dilakukan titrasi sampai terbentuk warna kuning. Perhitungan HCN dihitung dengan rumus:

HCN (%) ={ 2,7 ( ml blanko – ml sampel) AgNO3} /berat sampel 3.4.7 Kadar karbohidrat (AOAC 1995)

Sebanyak 20-30 gram contoh ditambahkan alkohol 80% dengan perbandingan 1:1. Contoh kemudian dihancurkan menggunakan waring blender


(55)

27

dalam gelas piala dan disaring menggunakan kapas. Sisa padatan kemudian dicuci dengan alkohol 80% sampai seluruh gula-gula terlarut dalam filtrat. Nilai pH contoh kemudian diukur. Bila asam maka ditambahkan CaCO3 sampai cukup basa dan dipanaskan pada penangas pada suhu 1000C selama 30 menit. Larutan yang sudah dingin disaring dengan kertas Whatman No. 2. Alkohol kemudian dihilangkan dengan memanaskan filtrat pada penangas air 85 ⁰C atau dengan bantuan vakum. Saat filtrat yang dihasilkan jernih, volume larutan ditempatkan sampai volume tertentu dengan air kemudian dikocok sampai tercampur merata dan siap digunakan untuk penetapan gula dengan metode spektrofotometer.

3.4.8 Jumlah energi ( Alat Bom Kalorimeter)

Prinsip dari analisis alat Bom Kalorimeter yaitu contoh dibakar menggunakan aliran listrik di bawah tekanan oksigen. Jumlah panas yang dihasilkan diukur dengan termometer. Peningkatan suhu yang diukur dengan thermometer dari contoh yang dibakar, dapat dihitung jumlah energi bruto (Gross

Energy)yang dihasilkan.

Prosedur kerja alat Bom Kalorimeter yaitu piring yang dipakai untuk menyimpan contoh dibersihkan kemudian dikeringkan dalam lemari pengering dan disimpan dalam eksikator hingga dingin dan selanjutnya ditimbang. Bahan makanan enbal yang dibuat akan ditentukan energi brutonya dengan berat antara 0,5–1,0 gram tergantung kandungan energinya kemudian disimpan dalam piring. Piring yang telah diisi contoh ini diletakkan dalam elektroda pada tutup bomb. Kawat platina di ikat diantara elektroda dengan disentuhkan pada contoh tersebut. Air destilasi diteteskan ke dasar bomb. Tutup bomb ditempatkan dalam bomb dan ditutup rapat bomb tersebut tapi hati-hati agar contoh tidak bergeser atau berubah maka bomb diisi dengan oksigen hingga 25 atmosfer. Air destilasi dimasukkan sebanyak 2 liter ke dalam bucket dan ditempatkan dalam jacket. Kalorimeter ditutup dan diturunkan thermometer. Air panas dimasukkan dan didinginkan hingga temperatur dalam bucket dan jacket sama dan di biarkan selama 5 menit hingga temperatur tetap kemudian dibaca temperatur hingga 0,0005 ⁰F. Pada saat temperatur dalam bucket naik harus diimbangi dengan pengaliran air panas agar temperatur dalam jacket mengikuti kenaikan suhu dalam temperatur bucket


(56)

28

calorimeter dibuka kemudian bomb dikeluarkan dan dilepaskan oksigen dari

bomb. Bomb dicuci di bagian dalam tutup bomb dan piring dengan air yang telah diberi metil orange sehingga cucian tidak berwarna merah lagi tetapi jernih kekuning-kuningan maka pencucian di hentikan. Air cucian dikumpulkan dengan gelas piala kemudian dititrasi dengan standar larutan Na2CO3 hingga warna jernih kekuning-kuningan. Kawat yang terbakar diukur dengan membandingkan panjang kawat sebelum terbakar dengan sisa kawat yang tidak terbakar.

Perhitungan

Energi bruto (kalori/gram) =

Keterangan:

ta = temperatur akhir ( ⁰F/ ⁰C ) tm = temperatur mula-mula W = water equvalent

el = koreksi asam yaitu jumlah larutan Na2CO3 yang digunakan (kalori) e2 = koreksi kawat yang terbakar (kalori)

e3 = koreksi sulfur bila kandungan S > 0,1 persen (kalori) X = jumlah sampel yang digunakan (gram)

Water equivalent didapat pada waktu bomb calorimeter distandarisasi.

Standarisasi bomb calorimeter – asam bensoat yang sudah diketahui energi brutonya. (EB) = 6.318 kalori dibakar dengan bomb calorimeter tersebut.

W = Hm + e1+e2 Keterangan:

W = Water equivalent kal/ ⁰F atau kal/ ⁰C

H = Panas pembakaran asam bensoat (kal/g) M = Berat asam bensoat (g)

e2 = Koreksi panas kawat terbakar (kalori) t = Kenaikan suhu ( ⁰F/ ⁰C)

3.4.9 Analisis asam amino (AACC 1994)

Komposisi asam amino ditentukan dengan High Performance Liquid

Chromatography (HPLC) merk Shimadzu dengan tipe LC- 20AB. Sebelum

digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan, juga harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; dan (4) tahap injeksi serta analisis asam amino.

(ta-tm) x W-e1-e2-e3 X


(57)

29

1) Tahap pembuatan hidrolisat protein

Tahap preparasi sampel adalah pembuatan hidrolisat protein. Prosedurnya sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur ditambahkan dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 mL kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ⁰C selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis dan jika pemanasan selesai, hidrolisat protein disaring dengan milipore

berukuran 45 mikron. 2) Tahap pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 30 μL larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat dan trietilamim dengan perbandingan 2:2:1. Setelah ditambahkan dengan larutan pengering, dilakukan pengeringan dengan gas nitrogen untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi.

3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 μL ditambahkan pada hasil pengeringan.

Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiotisianat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya, dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 10 ml asetonitil 60% atau bufer fosfat 0,1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali menggunakan milipore berukuran 0,45 mikron.

4) Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 μl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.

Penghitungan konsentrasi asam amino dilakukan dengan cara membandingkan kromatogram sampel dengan standar. Pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Kandungan masing-masing asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus:


(58)

30

Keterangan :

Kons stand = konsentrasi standar asam amino (0,5 μmol) Volume tera = faktor pengenceran (10 mL)

BM = bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol) 3.4.10 Analisis asam lemak (AOAC 1995 )

Sebanyak 20-30 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sampel kemudian ditambah dengan 1 mL larutan standar internal (SI) (asam lemak margarat/C17:0) dan 1 mL NaOH metanolik 0,5 N. Tabung diisi dengan N2 lalu ditutup rapat dan divorteks. Tabung dipanaskan dalam penangas bersuhu 80-100 ⁰C selama 5 menit kemudian didinginkan. Sebanyak 2 mL BF3 metanol (20% b/v) ditambahkan ke dalam tabung kemudian tabung diisi dengan N2 dan ditutup rapat. Tabung dipanaskan kembali pada suhu 80-100 ⁰C selama 30 menit dan selanjutnya didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Isooktana sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam tabung dan divorteks kemudian ditambah 2 mL larutan NaCl jenuh dengan segera lalu dikocok. Lapisan heksana dipisahkan dan ditambah dengan Na2SO4 anhidrous dan dibiarkan selama 15 menit.

Sampel disuntikkan ke dalam alat GLC dengan suhu injektor 220 ⁰C dan suhu detektor 240 ⁰C. Kolom yang digunakan adalah cyanoprofil methyl sil

(capillary column).

Suhu kolom diatur secara gradient yaitu suhu awal kolom 125 ⁰C kemudian dipertahankan selama 5 menit, peningkatan suhu kolom 10 ⁰C/menit hingga mencapai suhu 185 ⁰C dan dipertahankan selama 5 menit, 5 ⁰C/menit hingga mencapai suhu 205 ⁰C dan dipertahankan selama 10 menit dan 3 ⁰C/menit hingga mencapai suhu 225 ⁰C dan dipertahankan selama 7 menit. Asam lemak standar digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi asam lemak sampel.

Pelarut sebanyak 1 µL diinjeksikan ke dalam kolom. Bila aliran gas pembawa dan sistem pemanasan sempurna, puncak pelarut akan tampak dalam waktu kurang dari 15 menit. Waktu retensi dan puncak masing-masing komponen diukur dan dibandingkan dengan waktu retensi standar untuk mendapatkan


(59)

31

informasi mengenai jenis dari komponen-komponen dalam contoh. Perhitungan jumlah asam lemak (g asam lemak / 100g) dapat dilakukan dengan rumus:

Keterangan :

RF : Faktor retensi

Area : Area asam lemak yang terdapat pada kromatogram GC Area SI: Area standar internal

Mg SI : Miligram standar internal yang ditambahkan waktu persiapan sampel sebelum analisis GC

3.4.11 Penetapan bilangan thiobarbituric acid (TBA) (AOAC 1995)

Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan ke waring blender, ditambahkan 50 mL aquades kemudian dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 akuades dan ditambah ± 2,5 mL HCl 4M sampai pH menjadi 1,5 dan kemudian tambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent) secukupnya dan sekaligus menyiapkan labu destilasi pada alat destilasi. Jika perlu menggunakan electric mantle heater

kemudian sampel didestilasi dengan suhu tinggi selama 10 menit pemanasan hingga diperoleh 50 mL destilat. Destilat yang diperoleh diaduk merata, memipet

5 mL destilat ke dalam tabung reaksi tertutup kemudian menambahkan 5 ml pereaksi TBA dan 5 mL akuades dan setelah itu dipanaskan selama 35 menit

dalam air mendidih.

Blanko disiapkan menggunakan 5 mL akuades dan 5 mL pereaksi, dilakukan seperti penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan dengan air pendingin selama ± 10 menit kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Perhitungan bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7,8 D. 3.4.12 Penetapan total volatile base (TVB) (AOAC 1995)

Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, dan trimetilamin) yang terdapat dalam ekstrak sampel. Senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan asam klorida.


(60)

32

Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 mL larutan TCA 7% (W/V) kemudian diblender selama 1 menit dan disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 mL dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan.

Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri menggunakan pipet ukuran 1 mL yang lain, kemudian ditambahkan 1 mL larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Selain itu, blanko dikerjakan dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 5%.

Kedua cawan conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 ⁰C selama 24 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N (Vo) dengan menggunakan magnetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi merah muda. Cawan conway yang berisi sampel dititrasi dengan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V1).

TVB ( )- - x

Keterangan:

V1 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi Vo = Volume titrasi blanko

M = Berat sampel

W = Jumlah kadar air dalam bahan 14 = Bobot atom N

3.4.13 Total plate count ( TPC ) dan kapang (BAM 2003).

Pembuatan media agar dengan cara mencampurkan 23 gram nutrient agar

ke dalam 1 liter akuades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi (121 ⁰C, 1 atm) dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet dan blender dalam otoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air bersuhu 45 ⁰C. Pembuatan larutan pengencer dengan


(61)

33

pencampuran 8,5 gram NaCl ke dalam 1000 mL akuades. Larutan pengencer kemudian disterilisasi.

Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 gram bahan dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 mL sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 mL larutan sampel yang sudah homogen tersebut menggunakan pipet steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 mL larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 mL larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril.

Media agar ditambahkan ke dalam cawan petri dengan metode tuang sebanyak 20 mL dan digoyangkan sampai merata. Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik selama 48 jam dalam inkubator bersuhu 37 ⁰C. Perhitungan koloni bakteri pada cawan yang telah diinkubasi dihitung berdasarkan jumlah yang layak dihitung yaitu 30-300 koloni. Perhitungan jumlah bakteri total/gram dapat dihitung dengan memperhitungkan jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri menggunakan coloni

counter atau hand counter.

Pengujian kapang mempunyai prosedur kerja sama dengan uji TPC, tapi medianya digunakan diganti dengan potato dextrose agar (PDA).

3.4.14 Pengujian Sifat Fisik: Uji kekerasan dengan alat Rheonar (RE-3305) Pengukuran kekerasan berhubungan dengan kerenyahan enbal ikan, yaitu mudah tidaknya enbal ikan menjadi remuk. Kekerasan enbal ikan ditentukan secara obyektif menggunakan instrumen. Instrumen yang digunakan pada penelitian kali ini adalah Texture Profile Analysis (TPA) tipe TA-XT2i. dengan satuan gr force.

Langkah pertama yang dilakukan adalah penetapan blanko. Blanko diperlukan untuk melihat pengaruh gesekan antara probe dengan wadah terhadap gaya yang dihasilkan. Blanko yang diharapkan adalah blanko yang kecil/tidak signifikan sehingga pengaruhnya terhadap hasil pengukuran dianggap nol (0). Pengukuran kerenyahan enbal dilakukan dengan memasukkan enbal ke dalam


(62)

34

wadah yang telah dirangkaikan pada landasan texture analyzer hingga wadah terisi separuhnya. Alat setelah di kalibrasi, dilakukan pengukuran hingga dihasilkan grafik. Tingkat kekerasan dinyatakan dengan kg force (kgf).

3.4.15 Uji sensori (Soekarto 1985)

Uji sensori melalui uji hedonik bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan enbal ikan yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuannya dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan (Lampiran 1). Penilaian dilakukan oleh 30 panelis. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala 1-5 dengan tingkat kesukaan sangat tidak suka, tidak suka, biasa, suka dan sangat suka. Parameter yang diuji untuk penentuan konsentrasi terbaik, meliputi kesukaan terhadap warna, rasa, tekstur, aroma dan kerenyahan. Parameter organoleptik untuk penentuan umur simpan digunakan parameter tekstur, rasa, warna, aroma dan kerenyahan.

3.4.16 Prosedur uji Buyes (Marimin 2004)

Prosedur uji Buyes dilakukan dengan beberapa tahap uji yaitu pengujian kepentingan yang dilakukan oleh panelis terlatih kemudian tahap berikutnya yaitu dilakukkan pengujian berpasangan dengan cara panelis dapat memboboti tiap parameter organoleptik secara keseluruhan dan mendapatkan penentuan bobot terpilih sehingga dengan sendirinya dapat dilakukan penentuan perangkingan untuk mendapatkan nilai ranking yang tertinggi

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perhitungan uji organoleptik dilakukan menggunakan analisis non parametrik, yaitu uji Kruskal Wallis (Steel dan Torrie 1995) dengan rumus sebagai berikut:

H = Pembagi

=

1-H‟

=

Keterangan :

Ri : jumlah ranking dalam contoh ke-i

ni : jumlah pengamatan dalam perlakuan ke-i H : kriteria yang akan diuji


(1)

Gambar 7 Ikan di grinder/dihaluskan. Gambar 8 rantai dingin tetap diperhatikan

Gambar 9 dan 10 ikan layang lumat yang siap di kukus.

Gambar 11 ikan dikukus. Gambar 12 Ikan kukus yang siap


(2)

Gambar 13 dan 14 Pengeringan ikan dengan oven pada suhu 500C selama 24 jam hingga kering.


(3)

Gambar 1 Singkong segar dikupas.

Gambar 2 dan 3 Singkong diparut baik secara manual maupun dengan mesin pemarut singkong.

Gambar 4 dan 5 Singkong yang sudah diparut dibungkus untuk dijepit agar kandungan HCN dan cairannya keluar.


(4)

Gambar 6 dan 7 Singkong yang sudah dibungkus dijepi dan dikasih pemberat

Gambar 8 Enbal lolun. Gambar 9 Enbal lolun dibelah untuk diayak


(5)

Gambar 1 Enbal lolun ditimbang.

Gambar 2 Tepung ikan ditimbang.


(6)

Gambar 5 dan 6 Enbal dipanggang diatas tungku perapian.

Gambar 7 Enbal kontrol dan beredar di Kepulauan Kei.