21 Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam
dan teknik catat. Teknik rekam digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang akurat melalui tuturan anak autisme tersebut. Teknik catat adalah
pengambilan data dengan cara mencatat pada kartu data Sudaryanto, 1993: 135. Peneliti mencatat data-data yang telah terkumpul untuk selanjutnya dianalisis..
Penelitian melakukan ketekunan pengamatan, konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi dengan teman sejawat untuk menjaga keabsahan data.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah semua data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan aktivitas analisis data penelitian dengan cara identifikasi data untuk
dapat menyajikan hasil analisis data, dan menarik simpulan. Data dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang
alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan Sudaryanto, 1993: 13. Metode padan yang digunakan dalam
menganalisis data penelitian ini adalah metode padan referensial, alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa.
Teknik dasar yang digunakan untuk menganalis data penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu yang memiliki daya pilah bersifat mental yang dimiliki
oleh peneliti Sudaryanto, 1993: 21. Data yang dikumpulkan akan dipadankan dan dipilah-pilah berdasarkan hasil percakapan yang dilakukan oleh peneliti untuk
mengumpulkan kata-kata yang memunyai afiks yang diucapkan oleh anak autisme. Anak autisme tersebut akan diberi pertanyaan oleh peneliti atau terapis
22 ataupun peneliti didampingi terapis dengan jawaban yang diinginkan akan
menunjukkan adanya pembentukan afiks pada kata yang diucapkan. Sesuai jawaban tersebut kemudian dapat dilihat gangguan pembentukan afiks apa saja
yang terjadi pada tuturan anak autisme dan jawaban apa saja yang menyimpang dari yang diinginkan peneliti karena keterbatasan bahasa anak autisme tersebut.
Analisis data untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini menerapkan teori morfologi pembagian afiks oleh Verhaar 2001 dan teori
gangguan berbahasa oleh Haron 1997. Dalam menjawab rumusan masalah kedua, peneliti menerapkan teori gangguan berbahasa oleh Abdul Chaer 2009
tentang afasia yang selanjutnya dihubungkan ke dalam teori neurolinguistik tentang hubungan kerusakan bahasa pada syaraf otak oleh Wernicke dan Broca
Simanjuntak, 2008. Analisis data dapat dilihat yaitu pada contoh dialog percakapan antara
peneliti dengan Fahlevi Flv dan Aiga Ag di bawah ini: 1 Peneliti
: Kamu sedang apa? Flv
: Duduk. Peneliti
: Ibu sedang apa? menunjuk terapis Flv
: Diri.
Peneliti : Oh, Ibu sedang berdiri ya?
Flv : Ya, diri. sedikit keras karena sudah diulang
2 Peneliti : Halo adik sambil menggerakkan tangan
Apa kabar? Ag
: Halo Baik Kakak. mengikuti arahan dan perkataan dari terapis
Peneliti : Adik tau tidak, kaki digunakan untuk apa?
Ag : Kaki jala.
Peneliti : Coba katakan sekali lagi?
Ag : kaki jalan.
Peneliti : Iya pintar.sambil mengacungkan kedua jempol
23
Coba ikuti kakak, sebutkan berjalan.mengucapkan dengan
pelan dan jelas Ag
: Bejala.
Peneliti : Ya bagus. sambil bertepuk tangan
Contoh percakapan data 1 dan 2 dapat dilihat bahwa Flv dan Ag dapat memahami pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Data 1 menunjukkan
bahwa Flv mengatakan diri yang seharusnya dijawab dengan berdiri. Pada kata berdiri menunjukkan adanya prefiks ber- + diri. Pembubuhan awalan atau prefiks
ber- pada kata berdiri melibatkan kategori a dalam teori Verhaar2001. Dalam tuturan anak autisme Flv menunjukkan telah terjadi penghilangan unsur ber- pada
kata berdiri. Berdasarkan atas teori Haron 1997, gangguan seperti itu termasuk gangguan berbahasa yang disebut omission penghilangan unsur bahasaunsur
prefiks dalam penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa Flv tidak dapat membentuk prefiks ber- dalam tuturannya seperti anak normal berusia 8-13 tahun, yang
pembentukan prefiksnya sudah sempurna. Pada data 2 Ag memahami pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.
Jawaban awal yang diberikan Ag tidak berhasil membentuk prefiks ber- dalam kata berjalan, tetapi hanya diucapkannya menjadi jala. Setelah peneliti
melakukan pengulangan beberapa kali, perubahan pengucapan Ag mulai menunjukkan bahwa Ag dapat membentuk afiks pada kata jala menjadi jalan
menjadi bejala. Walaupun masih ada penghilangan fonem r dan fonem n pada kata berjalan, tetapi pembentukan prefiks ber- dalam bahasa lisan Ag sudah
terbentuk dengan cara membeo. Berdasarkan itu, menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukan afiks yaitu pembubuhan prefiks, dengan melibatkan kategori
24 a dalam teori Verhaar2001 yaitu prefiks atau awalan ber-. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron1997.
Pada data 1 dan 2, bila dihubungkan dengan jenis gangguan afasia yang diderita anak autisme melalui gangguan pembentukan afiks tesebut, maka Flv dan
Ag termasuk penderita afasia jenis afasia motorik subkortikal atau afasia Broca subkortikal, yaitu gangguan berbahasa dengan hilangnya kemampuan mengutaran
isi pikiran karena terputus sehingga perkataan yang diucapkannya tidak sempurna atau juga tidak keluar sama sekali. Akan tetapi, masih mungkin bisa
mengeluarkan isi pikiran melalui jalur lain dengan membeo Chaer, 2009: 157. Analisis ini sekaligus menjawab masalah no. 2 dalam rumusan masalah penelitian
ini. Contoh analisis data di atas merupakan gambaran cara kerja peneliti dalam
mengolah data penelitian yang telah terkumpul. Teknik lanjutan yang digunakan peneliti dalam menganalisis data selanjutnya yaitu dengan teknik hubung banding
memperbedakan teknik HBB. Peneliti akan menganalisis data yang diperoleh dengan menghubungkan kata berafiks yang diucapkan anak autisme dengan kata
berafiks yang diucapkan anak normal dan menemukan perbedaan diantara keduanya.
Bila dibandingkan dengan anak normal yang berusia 8-13 tahun bahasa anak autisme tersebut jauh tertinggal. Anak normal sudah sempurna membentuk
afiks dalam bahasanya, tetapi anak autisme dalam penelitian ini belum sempurna. Kemampuan pembentukan afiks anak autisme dalam penelitian ini juga hampir
25 sama bahkan tertinggal dengan anak normal yang berusia 5 tahun. Berikut ini
diuraikan dalam bentuk tabel pengujaran kata berafiks anak normal usia lima tahun dalam buku ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia
Dardjowidjojo, 2000 dengan anak autisme pada usia antara 8-13 tahun.
Anak Normal Echa Anak Autisme
1 Echa mengucapkan berdiri
menjadi beldiri. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau
fonem r masih diucapkan l.
2 Echa mengucapkan berjalan
menjadi beljalan. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau
fonem r masih diucapkan l. 1
Anak autisme mengucapkan kata berdiri menjadi diri. Belum
dapat membentuk prefiks ber-.
2 Anak autisme mengucapkan kata
berjalan menjadi
jala menjadi jalan menjadi bejala.
Sudah mulai dapat membentuk prefiks ber-, tetapi masih pada
tahap membeo.
Tabel di atas menjelaskan bahwa kemampuan membentuk afiks pada anak normal usia lima tahun dan anak autisme yang berusia 8-13 tahun sangat berbeda. Anak
normal, yang diwakili oleh Echa dapat membentuk afiks dan dapat memahami ujaran pada usia lima tahun, sedangkan anak autisme yang berusia 8-13 tahun
masih tidak dapat membentuk afiks dengan sempurna dan masih membutuhkan bimbingan, serta anak autisme juga masih membeo untuk mengucapkan kata
berafiks.
3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data