Afasia Sensorik Tinjauan Pustaka

15 perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain, perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu gudang Broca sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal. 3. Afasia Motorik Transkortikal Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan langsung antara daerah Broca dan Wernice. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderitanya dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan perkataan,”itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu 16 terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar pengertian auditorik terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat pengertian visual ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru neologisme yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun. Neologisme itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya bahasa verbal yang normal, keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih 2009 dalam disertasi berjudul “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder”, menyimpulkan bahwa anak autisme sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autisme mengalami 17 gangguan inisiasi initiation disorder dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autisme ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas. Rajagukguk 2012 dalam skripsinya berjudul “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”, menjelaskan bahwa kalimat inti bahasa Indonesia pada penderita Afasia Broca tidak sempurna karena adanya gangguan pada saraf medan Broca di hemisfer kiri otak. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Abdul Chaer 2007 dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan hanya pada bagian yang paling “inti” dari sebuah kalimat yang memiliki empat pola, yaitu pola “FN + FN, FN + Fnum, FV + FN, dan FP”. Gangguan berbahasa yang dialami adalah pelesapanpenghilangan unsur kebahasaan dan pertukaran unsur kebahasaan kalimat inti bahasa Indonesia. Girsang 2013 dalam skripsinya yang berjudul “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”, menjelaskan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan berbahasa dalam penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion pertukaran unsur bahasa, distortion salah urut unsur bahasa, dan omission pelesapan atau penghilangan unsur bahasa. Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu “P – K, P – Pel, dan S – O”. Kalimat dasar yang 18 diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang diucapkan oleh manusia normal. Aritonang 2014 dalam skripsinya berjudul “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”, menjelaskan tentang kosakata kerja kerja bahasa Indonesia yang paling sering digunakan pada anak autistik ringan. Skripsinya menggunakan teori psikolinguistik behaviorisme oleh Watson yang mengemukakan tentang dua prinsip yaitu recency principle prinsip kebaruan, dan frequency principle prinsip frekuensi. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kosakata kerja bahasa Indonesia yang paling banyak dikuasai anak autistik ringan usia 3-15 tahun adalah kosakata kerja keadaan dibandingkan dengan kosakata proses dan tindakan. Beberapa tinjauan pustaka di atas merupakan sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Kajian dalam tinjauan pustaka di atas menjadi sumber referensi bagi peneliti dalam meneliti gangguan berbahasa pada anak autisme, terutama melihat teori-teori untuk mengkaji tentang ganggguan berbahasa dan anak autisme. Tinjauan pustaka tersebut menunjukkan bahwa penelitian terhadap gangguan berbahasa pada anak autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi penelitian tentang gangguan pembentukan afiks pada anak autisme belum pernah ditemukan. Tinjauan pustaka di atas menjelaskan bahwa gangguan berbahasa terjadi pada anak autisme karena adanya kerusakan syaraf otak pada hemisfer kiri. Oleh karena itu, anak autisme dalam berbagai aspek kebahasaan memiliki kekurangan yang beraneka ragam. 19

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM Sekolah Autisme Tali Kasih, Jalan Sei Alas No.18 Telp. 061 4523643 Medan.

3.1.2 Waktu Penelitian

Peneliti merencanakan melakukan penelitian ini selama satu bulan setelah proposal disetujui. Sebagai data awal peneliti sudah melakukan observasi terlebih dahulu terhadap anak autisme yang berada di sekolah tersebut.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh dari tuturan bahasa Indonesia lisan anak autisme yang berusia 8-13 tahun yang berada di Sekolah Tali Kasih. Anak autisme yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah empat orang, yaitu: Fahlevi Tarigan 9tahun, Aiga Kartika 12tahun, dan Jolyn Junawi 8tahun.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan observasi. Data-data yang dikumpulkan berupa kata