METODOLOGI 1. Waktu dan Tempat

6 Gambar 5. Peta Topografi Kabupaten Sukabumi Asumsi : 1. Pola hujan jam-an di Sub DAS Cicatih, dianggap sama dengan pola hujan di pos pengamat hujan Ciemas, dimana letak pos tersebut terlihat pada Gambar 5. 2. Curah hujan yang di sintetis adalah CH 16 mm, karena di asumsikan bahwa CH 16 mm tidak menghasilkan limpasan. 3. Awal dan lama terjadinya hujan diambil dari kejadian hujan yang paling sering muncul. Pendugaan curah hujan sesaat perjam dilakukan dengan melihat pola curah hujan sesaat pada stasiun yang memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan daerah kajian. a Plot grafik intensitas dengan waktu terjadinya hujan, setiap kejadian hujan. b Buat grafik normalized rainfall intensity i’t = J t i i’ t = normalize rainfall intensity J = jeluk hujan it = intensitas hujan c Curah hujan sintetik ditentukan berdasarkan grafik normal rainfall intensity tersebut dengan mengalikan nilai normalized dan curah hujan wilayah di Sub DAS Cicatih.

3. Perhitungan Aliran Permukaan Aliran

permukaan dihitung menggunakan model H2U. Model H2U terdiri dari model fungsi produksi dan model fungsi alihan. • Model Fungsi Produksi Fungsi produksi ditetapkan menggunakan koefisien aliran permukaan, dengan rumus sebagai berikut : dimana: Kr: Koefisien aliran permukaan Vr:Volume aliran permukaan m 3 S : Luas DAS m 2 Pt : Tinggi hujan total dalam satu kejadian hujan mm Intensitas hujan netto dapat diperoleh dengan mengalikan antara koefisien aliran limpasan dengan tinggi hujan tiap jamnya, dimana : Pn t= Kr Pt Dengan: Pn t : Intensitas hujan netto pada waktu t Pt : Intensitas hujan dalam waktu t • Model Fungsi Alihan Fungsi alihan dihitung berdasarkan aplikasi model H2U dengan menghitung kurva pdf probability density functian butir Pt S Vr Kr 1000 = 7 hujan. Kurva pdf butir hujan untuk studi kasus Sub DAS Cicatih didapat dari hasil penelitian Jonsen yang berjudul “Pemodelan Hidrograf Menggunakan Pendekatan Geomorfologi Studi Kasus Sub DAS Cicatih”, dengan rumus sebagai berikut: t t t RH v DAS ρ ρ ρ ⊗ = ρ DAS t :pdf DAS sebagai fungsi waktu t. ρ v t :pdf lereng sungai sebagai fungsi waktu t. ρ RH t :pdf jaringan sungai sebagai fungsi Untuk mensimulasi debit digunakan persamaan sebagai berikut : [ ] t t Pn S t Q DAS ρ ⊗ = Qt : debit aliran permukaan pada waktu t S : luas DAS Pnt : intensitas hujan netto pada waktu t ρt : pdf waktu tempuh butir hujan pada waktu t dihitung dari pdf panjang alur hidraulik berdasarkan penetapan kecepatan aliran 8 : simbol konvolusi Tabel 2. Contoh hasil dari pdf DAS dan intensitas hujan netto. t jam t 1 t 2 t 3 ... t n pdf DAS ρ DAS t ρ 1 ρ 2 ρ 3 ... ρ n Pn tmms Pn 1 Pn 2 Pn 3 ... Pn t Tabel 3. Metode Perhitungan Konvolusi Debit Sungai

3. Aliran Dasar Baseflow

Untuk pendugaan aliran dasar dilakukan dengan menggunakan metode koefisien resesi yang didapat dari pemisahan aliran permukaan dan aliran dasar teknik pemisahan hidrograf. Teknik pemisahan hidrograf dilakukan untuk memisahkan aliran permukaan direct runoff dan aliran dasar base flow. Metode yang digunakan dalam pemisahan tersebut adalah straight line method penarikan garis lurus. Analisis dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: • Memplot kurva debit m 3 s dengan waktu. • Menentukan titik mulai terjadinya aliran permukaan dan waktunya sampai titik berakhirnya melalui ujung kurva yang menurun recession curve yang dijabarkan dalam persamaan: Qt = Qo exp -kt Qt = titik akhir terjadinya aliran permukaan Qo = titik awal terjadinya aliran permukaan k = konstanta penurunan recession constant • Untuk mencari nilai k dari persaman kurva resesi, dengan menurunkan persamaan di atas menjadi : t Q Q k t ln ln − = • Masukkan nilai k ke persamaan Q t = Q o exp-kt diperoleh nilai Q t dan waktunya t t . • Tarik garis lurus titik Qo dan Qt diperoleh persaman garis linier hubungan Qo, to, Qt dan t t dengan y = a-bx dimana sumbu y= base flow dan sumbu x= waktu kumulatif Debit ke-t Konvolusi Debit m 3 detik Q 1 Q 2 Q 3 Q 4 Q 5 ... Qt Pn 1 ρ 1 S Pn 2 ρ 1 + Pn1 ρ 2 S Pn 3 ρ 1 + Pn 2 ρ 2 + Pn 3 ρ 3 S Pn 4 ρ 1 + Pn 3 ρ 2 + Pn 2 ρ 3 + Pn 1 ρ 4 S Pn 5 ρ 1 + Pn 4 ρ 2 + Pn 3 ρ 3 + Pn 2 ρ 4 +Pn1 ρ 3 S ... Pn t ρ n S 8 • Masukan nilai waktu kumultif pada persamaan linier sehingga diperoleh nilai base flow 4. Pengujian Model Untuk mengevaluasi kualitas hasil simulasi, dilakukan uji perbandingan antara debit pengukuran dengan debit simulasi menggunakan koefisien kemiripan F Nash dan Sutcliffe, 1970: ∑ ∑ = = − − − = n i obs sim n i sim obs Q t Q t Q t Q F 1 2 1 2 1 F = koefisien Nash dan Sutcliffe F ≤ 1; F=1, simulasi sempurna Q obs t = debit pengukuran pada waktu ke- t m 3 s Q sim t = debit simulasi pada waktu ke- t m 3 s obs Q = debit pengukuran rata-rata m 3 s Hasil uji F dalam simulasi debit dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu buruk F0,5, sedang 0,5F0,7 dan baik F0,7. Gambar 6. Diagram Alur Penelitian Model H2U Penentuan Kejadian Hujan Hidrograf ya Pengukuran Debit Sungai Debit hasil simulasi Analisis Ya tidak tidak Curah Hujan Model Baseflow Qt = Qo exp –k Δt 9

IV. KEADAAN UMUM DAERAH KAJIAN

Sub DAS Cicatih merupakan anak sungai dari DAS Cimandiri. DAS tersebut termasuk daerah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan terletak antara 106 39’8”-106 57’30” BT dan 6 42’54”- 7 00’43”LS dengan luas 52.979 ha atau 530 km 2 . Terdiri dari lima sub-sub DAS yaitu Sub-sub DAS Ciheulang, Sub-sub DAS Cileuleuy, Sub-sub DAS Cicatih Hulu, Sub- sub DAS Cipalasari dan Sub-sub DAS Cikembar. Sub DAS Cicatih meliputi 15 kecamatan, yaitu kecamatan Bojong Genteng, Cantayan, Caringin, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Cikembar, Cikidang, Cisaat, Kadudampit, Kalapanunggal, Nagrak, Parakansalak, Parungkuda, dan Warungkiara.

IV.1. Topografi

Ketinggian tempat Sub DAS cicatih bervariasi mulai dari 200 meter di atas permukaan laut mdpl pada daerah hilir sampai mencapai 3000 mdpl pada daerah hulu di Gunung Pangrango. Sub DAS Cicatih merupakan daerah yang bergunung- gunung, diselingi dengan dataran atau lembah diantara bukit dan sungai yang mengalir di sela-selanya. Kemiringan lereng daerah Sub DAS Cicatih berrvariasi dari daerah datar sampai sangat curam. Variasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase luas lahan pada berbagai kelas kemiringan lereng Kelas Lereng Luas ha Luas Datar 0-8 23841 45 Landai 8-16 12185 23 Agak curam 16-24 7947 15 Curam 24-32 5298 10 Sangat curam 32-40 2119 4 Sangat curam sekali 40-48 1589 3 Total 52979 100 Sumber: Jonsen 2006 Daerah yang sangat curam sekali dengan kemiringan lebih dari 50 terletak di daerah hulu sungai dimana terdapat Gunung Salak dan di Sub-sub DAS Ciheulang yang terdapat Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Secara keseluruhan Sub DAS Cicatih merupakan daerah yang datar sampai landai seperti di Sub-sub DAS Cikembar. Sekitar 68 wilayah ini merupakan wilayah yang datar sampai landai dengan kemiringan 0-20 . Wilayah yang termasuk kategori sangat curam sekali 50 sekitar 3 dari keseluruhan wilayah atau 1589 ha.

IV.2. Penutupan Lahan

Terdapat tujuh tipe penutupan lahan di Sub DAS Cicatih, yaitu hutan, kebunperkebunan, tegalan, sawah, pemukiman, rumputtanah kosong, semak belukar, dan tubuh air. Gambar 6.. Tipe penutupan lahan yang mendominasi wilayah ini adalah kebunperkebunan yang mencapai 28 dari luasan total atau sekitar 14.720 ha sedangkan tubuh air hanya menempati luasan 9 ha 0,02. Luas dan persentase penutupan lahan di Sub DAS Cicatih dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini. Tabel 5. Luas ha daerah pada masing- masing tipe penutupan lahan Penutupan Lahan Luas ha Luas hutan 7724 14,58 kebunperkebunan 14765 27,87 pemukiman 6644 12,54 rumputtanah kosong 185 0,35 sawah 10055 18,98 semak belukar 4355 8,22 tegalanladang 9240 17,44 tubuh air 11 0,02 Total 52979 100 Sumber: Jonsen 2006 Berdasarkan Gambar 7 daerah hutan berada pada daerah hulu yang mempunyai kelerengan curam sampai sangat curam tepatnya disekitar Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Hanya sebagian kecil hutan yang berada di daerah tengah DAS yaitu yang berada di Gunung Walat. Daerah persawahan sebagian besar berada di wilayah tengah dan hulu DAS yang berada pada daerah dengan kemiringan kurang dari 15. 10 Gambar 7. Peta Penutupan Lahan Sub DAS Cicatih tahun 1999.

IV.3. Iklim

Keadaan curah hujan di wilayah Sub DAS Cicatih relatif tinggi dengan rata- rata curah hujan tahunan lebih besar dari 2000 mm. Gambar 9. menunjukkan curah hujan tahunan rata-rata 10 tahun dari tahun 1993-2003. Dari Gambar 9. dapat dilihat bahwa curah hujan tahunan tertinggi tercatat di Stasiun Salabintana dengan curah hujan tahunan sebesar 3624 mm dan terendah di Stasiun Cibunar dengan curah hujan tahunan sebesar 2271 mm. Berdasarkan perhitungan curah hujan wilayah dengan menggunakan metode Poligon Thiessen diketahui bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 366 mm, dengan nilai maksimum sebesar 538 mm dan nilai minimum sebesar 238 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 116 mm dengan nilai maksimum sebesar 172 mm dan nilai minimum sebesar 50 mm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8. Curah Hujan DAS rata-rata bulanan Sub DAS Cicatih 100 200 300 400 500 600 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des bulan c u ra h hu jan mm CH DAS CH max CH min Gambar 8. Curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun 1993-2003 di Sub DAS Cicatih deserta nilai maksimum dan minimumnya. Curah Hujan Tahunan Sub DAS Cicatih 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 P TP X Ci bu ng ur M and al in g C ike m ban g Ke c W a ru ng k ia ra C ik em bar Ci b od as Ci sa m po ra S ek ar w angi Si nag ar Pa ku wo n C ip et ir PU S M I Ka n t ke c C ic ur ug C ib una r C ip end euy S el abi nt ana nama stasiun CH m m Gambar 9. Curah hujan rata-rata tahunan dalam kurun waktu 10 tahun 1993-2003 11 Tabel 6. Tipe iklim Schimdt-Ferguson SF dan Koppen K pada daerah-daerah di Sub DAS Cicatih Tipe Iklim Stasiun SF K Parakansalak A Af Cicurug B Af Cipetir A Af Sinagar A Af Mandaling B Af Cisampora B Af Cikembang B Af Salabintana A Af Sukabumi B Af Sumber: Rafii 1995 Berdasarkan Tabel 6. kondisi iklim di Sub DAS Cicatih menurut Schmidt- Ferguson termasuk dalam tipe iklim A yang berarti daerah Sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropik dan B yang berarti daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropik. Sedangkan menurut Koppen seluruh wilayah Sub DAS Cicatih termasuk tipe iklim Af yang berarti suhu minimumnya lebih dari 18 C.

IV.4. Hidrologi DAS

Sungai Cicatih menerima jumlah aliran air yang melimpah sepanjang tahun. Berdasarkan pencatatan data dari UPT PLTA Ubrug pemakai debit Sungai Cicatih pada periode pengamatan 2000-2005, debit terendah sebesar 5,25 m 3 s terjadi pada 24 Agustus 2002 dan debit tertinggi sebesar 209,05 m 3 s pada tanggal 8 Febuari 2001. Debit rataan bulanan beserta nilai maksimum dan minimumnya disajikan pada Gambar 10 berikut ini. Debit Rataan Bulanan Sub DAS Cicatih 2000-2005 20 40 60 80 100 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec de bi t m 3 s Max Mean Min Gambar 10. Grafik debit rataan bulanan Sub DAS Cicatih tahun 2000-2005 Karakteristik hidrologi Sub DAS Cicatih ditunjukkan oleh parameter- parameter sungai seperti orde sungai, panjang alur hidroulik dan kecepatan aliran yang dapat dilihat pada Tabel 1. Orde sungai maksimum sama dengan enam menunjukkan bahwa Sub DAS Cicatih mempunyai orde sungai sampai orde ke enam. Orde ke enam merupakan jaringan sungai utama. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerapatan jaringan sungai di wilayah Sub DAS Cicatih sangat rapat. V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Curah Hujan Wilayah Curah hujan di wilayah Sub DAS Cicatih cukup tinggi dengan jumlah curah hujan tahunan pada tahun 2000 sebesar 1717 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan bulanan sebesar 238 mm dan terendah pada bulan Agustus dengan curah hujan bulanan sebesar 16 mm. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Namun penyebaran curah hujan tidak merata pada setiap daerah atau kecamatan. Penyebaran curah hujan terlihat pada durasi hujan dan besarnya intensitas hujan. Hal ini dapat disebabkan karena ketinggian tempat yang beragam antara 200 mdpl pada daerah hilir sampai 3000 mdpl pada daerah hulu di Gunung Pangrango. Topografi Sub DAS Cicatih merupakan daerah berbukit dan bergunung pada daerah Gunung Salak dan Gunung Pangrango, diselingi dengan dataran atau lembah diantara bukit dan sungai yang mengalir di sela-selanya. Dalam kajian ini curah hujan wilayah dihitung menggunakan metode Poligon Thiessen, karena titik-titik pengamatan tidak tersebar merata. Gambar poligon dapat dilihat pada Gambar 4. Poligon-poligon tersebut menunjukkan seberapa luas pengaruh satu pos pengamatan hujan. Berdasarkan Gambar 4 dapat di ketahui pos hujan Cibodas mempengaruhi 6,9, Sekarwangi 9,4, Cikembang 19,2, Cicurug 35,8, Cikembar 1,4 dan Cipeundeuy 24,7 dari total luasan Sub DAS Cicatih. Curah hujan wilayah dengan menggunakan metode Poligon Thiessen dapat dilihat pada grafik berikut