11
Tabel 6. Tipe iklim Schimdt-Ferguson SF dan Koppen K pada daerah-daerah di Sub
DAS Cicatih Tipe Iklim
Stasiun SF K
Parakansalak A Af Cicurug B
Af Cipetir A
Af Sinagar A
Af Mandaling B
Af Cisampora B
Af Cikembang B
Af Salabintana A
Af Sukabumi B
Af Sumber: Rafii 1995
Berdasarkan Tabel 6. kondisi iklim di Sub DAS Cicatih menurut Schmidt-
Ferguson termasuk dalam tipe iklim A yang berarti daerah Sangat basah dengan vegetasi
hutan hujan tropik dan B yang berarti daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropik.
Sedangkan menurut Koppen seluruh wilayah Sub DAS Cicatih termasuk tipe iklim Af
yang berarti suhu minimumnya lebih dari 18
C.
IV.4. Hidrologi DAS
Sungai Cicatih menerima jumlah aliran air yang melimpah sepanjang tahun.
Berdasarkan pencatatan data dari UPT PLTA Ubrug pemakai debit Sungai Cicatih
pada periode pengamatan 2000-2005, debit terendah sebesar 5,25 m
3
s terjadi pada 24 Agustus 2002 dan debit tertinggi sebesar
209,05 m
3
s pada tanggal 8 Febuari 2001. Debit rataan bulanan beserta nilai
maksimum dan minimumnya disajikan pada Gambar 10 berikut ini.
Debit Rataan Bulanan Sub DAS Cicatih 2000-2005
20 40
60 80
100
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
de bi
t m
3 s
Max Mean
Min
Gambar 10. Grafik debit rataan bulanan Sub DAS Cicatih tahun 2000-2005
Karakteristik hidrologi Sub DAS Cicatih ditunjukkan oleh parameter-
parameter sungai seperti orde sungai, panjang alur hidroulik dan kecepatan aliran
yang dapat dilihat pada Tabel 1. Orde sungai maksimum sama
dengan enam menunjukkan bahwa Sub DAS Cicatih mempunyai orde sungai sampai orde
ke enam. Orde ke enam merupakan jaringan sungai utama. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kerapatan jaringan sungai di wilayah Sub DAS Cicatih sangat rapat.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Curah Hujan Wilayah
Curah hujan di wilayah Sub DAS Cicatih cukup tinggi dengan jumlah curah
hujan tahunan pada tahun 2000 sebesar 1717 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Januari dengan curah hujan bulanan sebesar 238 mm dan terendah pada bulan Agustus
dengan curah hujan bulanan sebesar 16 mm. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 8.
Namun penyebaran curah hujan tidak merata pada setiap daerah atau
kecamatan. Penyebaran curah hujan terlihat pada durasi hujan dan besarnya intensitas
hujan. Hal ini dapat disebabkan karena ketinggian tempat yang beragam antara 200
mdpl pada daerah hilir sampai 3000 mdpl pada daerah hulu di Gunung Pangrango.
Topografi Sub DAS Cicatih merupakan daerah berbukit dan bergunung pada daerah
Gunung Salak dan Gunung Pangrango, diselingi dengan dataran atau lembah
diantara bukit dan sungai yang mengalir di sela-selanya.
Dalam kajian ini curah hujan wilayah dihitung menggunakan metode
Poligon Thiessen, karena titik-titik pengamatan tidak tersebar merata. Gambar
poligon dapat dilihat pada Gambar 4. Poligon-poligon tersebut menunjukkan
seberapa luas pengaruh satu pos pengamatan hujan. Berdasarkan Gambar 4 dapat di
ketahui pos hujan Cibodas mempengaruhi 6,9, Sekarwangi 9,4, Cikembang 19,2,
Cicurug 35,8, Cikembar 1,4 dan Cipeundeuy 24,7 dari total luasan Sub
DAS Cicatih. Curah hujan wilayah dengan menggunakan metode Poligon Thiessen
dapat dilihat pada grafik berikut
12
Grafik Curah Hujan DAS Cicatih tahun 2000
5 10
15 20
25 30
35 40
45
1 17
33 49
65 81
97 113 129 145 161 177 193 209 225 241 257 273 289 305 321 337 353
julian day je
lu k
h u
ja n
m m
Gambar 11. Grafik curah hujan wilayah tahun 2000 Sub DAS Cicatih.
V.2. Pendugaan Curah Hujan
Simulasi debit sungai dengan menggunakan metode H2U memerlukan
data hujan sesaat, sedangkan ketersediaan data yang ada sangat terbatas dalam jangka
waktu pengamatan dan kelengkapan data. Di Sub DAS Cicatih tidak terdapat alat
perekam data curah hujan sesaat, sehingga penulis melakukan pendugaan curah hujan
sesaat dari curah hujan wilayah harian di Sub DAS Cicatih dengan asumsi pola hujan
jam-jaman di kecamatan Ciemas sama dengan pola hujan di Sub DAS Cicatih.
Pada penelitian seblumnya Jonsen,2006 pemilihan episode hujan
untuk simulasi berdasarkan dari hujan tunggal yang menghasilkan hidrograf aliran
dengan puncak tunggal dan tinggi hujan harian lebih dari 20 mm. Tetapi ketika
dipakai untuk mensimulasi debit sungai di Sub DAS Cicatih tahun 2000, simulasi yang
dihasilkan sangat menyimpang dari data observasi. Oleh karena itu berdasarkan
pengecekan data curah hujan dan debit sungai hasil observasi di ketahui bahwa
setiap curah hujan yang tingginya lebih dari 16 mm menyebabkan kenaikan debit yang
cukup besar. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 12. Oleh karena itu di asumsikan
bahwa tinggi hujan yang dapat menghasilkan limpasan adalah tinggi hujan
lebih dari 16 mm. Curah hujan dibawah 16 mm akan terintersepsi, evaporasi dan
terinfiltrasi ke dalam tanah.
Grafik Pemilihan Kejadian Hujan
20 40
60 80
100 120
22 28
19 17
18 28
12 4
1 7
6 28
25 17
17
Curah Hujan mm D
e b
it m 3
s
Gambar 12. Plot Curah hujan DAS dan debit sungai Sub DAS Cicatih untuk penentuan kejadian hujan terpilih.
Pendugaan curah hujan tersebut menggunakan metode disagregasi empirik.
Curah hujan yang memenuhi kriteria sebagai input model H2U adalah curah hujan dengan
intensitas lebih dari 16 mm. Berdasarkan asumsi tersebut terdapat 22 kejadian hujan
yang diduga dapat menghasilkan limpasan. Dari curah hujan tersebut
ditentukan curah hujan netto atau curah hujan efektif dengan cara mengalikan nilai
curah hujan brutto dengan koefisien limpasan. Curah hujan netto adalah curah
hujan yang akan menjadi limpasan. Sedangkan curah hujan brutto adalah curah