Sistem Penanggalan Jawa. Tinjauan Pustaka

Hak dan kewajiban diantara saudara sedarah saudara dekat itu terbatas. Kelompok kerabat ini biasanya hanya melakukan kegiatan bersama kalau salah satu anggotanya mempunyai hajat atau perhelatan, misalnya mengadakan upacara perkawinan, khitanan, kelahiran, dan lain sebagainya. Kepada saudara dekat ini diharapkan agar memberikan bantuannya dengan menyumbang bahan makanan, uang dan tenaga. Koentjaraningrat 1994:154 menyatakan bahwa satu-satunya kegiatan yang masih melibatkan para warga keluarga luas ini dalam masyarakat Jawa adalah penyelenggaraan perayaaan-perayaan adat dan keagamaan. Sedangkan saudara jauh diharapkan akan hadir dalam peristiwa-peristiwa seperti itu, jika mereka tinggal berdekatan. Tetapi pada mereka tidak ada keharusan memberikan sumbangannya Geertz, 1985:29. Koentjaraningrat 1994:153 mengungkapkan bahwa jaringan kekerabatan orang Jawa terbatas pada asas kegunaan nyata dalam pergaulan, pengenalan dan daya ingat seseorang, dan biasanya tidak tergantung pada sistem normatif atau konsepsi. Oleh karena itu wujud jaringan orang Jawa dapat berlainan, tergantung keadaan masing-masing.

4. Sistem Penanggalan Jawa.

Masyarakat Jawa banyak melakukan ritual dan tradisi berdasarkan perhitungan penanggalan Jawa. Berbagai ragam upacara sakral juga dilaksanakan berdasarkan perhitungan menurut sistem kalender Jawa. Tradisi Saparan juga dilakukan berdasarkan sistem Jawa, yaitu dilaksanakan pada bulan Sapar dan pada hari yang ditentukan sesuai hari pasaran Jawa. Bahkan kata Saparan itu sendiri berasal dari kata Sapar, yaitu bulan kedua dari penanggalan Jawa dimana tradisi ini dilaksanakan. Sedangkan sistem hari pasaran adalah sistem siklus lima hari dalam pekan tradisional Jawa. Siklusnya dimulai dari hari pasaran yang secara berurutan adalah Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Siklus tersebut berputar, sehingga dalam seminggu 7hari bisa jadi ada dua hari pasaran yang sama. Sistem hari sepasaran tersebut sangat penting untuk diketahui dengan pasti siklusnya oleh masyarakat Jawa. Karena seringkali sistem perdagangan keperluan sehari-hari dan terutama makanan, ditentukan oleh irama hari pasaran tersebut. Bahkan sampai sekarang ini masih terdapat desa-desa Jawa yang dikelompokkan berlima-lima dengan hari pasar yang bergilir Lombard:2005. Sistem penanggalan Jawa yang sekarang ini masih digunakan adalah sistem kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara budaya Hindu-Budha Jawa dan budaya Islam. Karena ketika kerajaan Mataram menetapkan perhitungan Hijriyah tidak semua masyarakat mematuhinya. Sebagian masyarakat masih tetap menggunakan perhitungan Saka. Sehingga timbul akulturasi budaya dalam sistem penanggalan Jawa. Meskipun garis besar penanggalan Jawa bernafaskan Islam, namun dalam perhitungan nama-nama bulannya kalender Jawa tidak sepenuhnya sama dengan kalender Hijriyah. Sebagian nama bulan diambil dari kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranhaya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Nama-nama bulan dalam penanggalan Jawa secara urut adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadi Awal, Jumadi Akhir, Rejeb, Ruwah, PasaPoso, Sawal, SelaSelo, dan bulan terakhir disebut Besar. Masyarakat Jawa seringkali mengadakan ritual atau tradisi berdasarkan perhitungan bulan-bulan Jawa tersebut. Contohnya sebuah tradisi yang telah diungkapkan melalui penelitian Nursanti 2008 dengan judul Makna tradisi “Weh-wehan” dalam memperingati Maulid Nabi bagi masyarakat desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu kabupaten Kendal, telah menyimpulkan bahwa diadakannya tradisi Weh-wehan diyakini masyarakat akan mendapat safaat dari nabi Muhammad SAW. Tradisi ini dilaksanakan pada bulan sapar dan pada bulan mulud. Tradisi Weh-wehan memiliki makna mengajarkan kedermawanan pada masyarakat Kranjankulon.

B. LANDASAN TEORI