Unsur “Keadaan Tertentu” sebagai Pemberatan Pidana

dijatuhkan oleh pengadilan. Dalam memutuskan penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu akan dipengaruhi oleh kebijakan penegakan hukum pada umumnya, dan dipengaruhi pula oleh kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan harus dipertimbangkan tujuan dari penjatuhan tersebut apakah berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau bahkan sebaliknya. Jalan tengah yang bisa diambil adalah dengan tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positif Indonesia. Inilah kedaulatan hukum yang ditempuh oleh negara Indonesia dalam menegakkan supremasi hukum. Sekalipun kritik terhadap pelaksanaan pidana mati didengungkan baik di tingkat lokal, nasional dan sampai internasional bukan hambatan untuk memberlakukan pidana mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa extra- ordinary crime yang berdampak luas dan telah merusak tatanan nilai-nilai dalam masyarakat.

4.2 Dialektika Penerapan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi

4.2.1 Unsur “Keadaan Tertentu” sebagai Pemberatan Pidana

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Selain itu, korupsi dapat menyebabkan kegagalan negara, yang direpresentasikan oleh pemerintah, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Besarnya bahaya tindak pidana korupsi itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kejahatan tersebut dinyatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa extra-ordinary crime. 30 Sifat pengkategorian kejahatan korupsi itu sebagai extra-ordinary crime ini tidak berarti upaya pemberantasan kejahatan lewat penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara, mengabaikan moralitas internal dari hukum dan asas-asas hukum yang merupakan bagian integral dari moralitas internal dari hukum itu. Itulah 30 O.C. Kaligis. 2012. Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 8 Bandung: PT. Alumni. hlm. 129 15 sebabnya, penanganan masalah ini pun harus secara luar biasa agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tugas berat itu berada pada aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim semesti. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi KPK bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai maksimumnya mengungkap semua kasus korupsi hingga tuntas. 31 Trend penjatuhan pidana saat ini tergolong ringan dan masih enggan menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Perumusan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana dalam kasus tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara limitatif terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi dalam “keadaan tertentu”. Maksud frasa “keadaan tertentu” dalam pasal tersebut dalam hukum pidana lazimnya disebut dengan pemberatan pidana. Sebenarnya, yang dimaksud dengan pemberatan pidana secara umum dapat dijumpai dalam KUHP. Dasar pemberatan pidana umum terbagi menjadi 3 tiga yaitu: 1 dasar pemberat karena jabatan; 2 dasar pemberat karena menggunakan bendera kebangsaan; 3 dan dasar pemberat karena pengulangan recidive, di-samping pemberatan pidana lain yang tersebar di dalam pasal-pasal KUHP. 32 Pemberatan pidana diatur pula dalam UU Pemberantasan Korupsi, yang diberlakukan dengan adanya kriteria khusus bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Berbeda halnya dengan pemberatan pidana pada umumnya, pemberatan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dian-cam pidana terberat yaitu pidana mati. Kriteria khusus itu diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana 31 Komisi Pemberantasan Korupsi. http:www.acch.kpk.go.id . [04 Agustus 2016] 32 Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 73 16 alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sedangkan m enurut Busyro Muqodas, ada 3 tiga kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati, yaitu: 33 1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat; 2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi . Pembatasan kriteria diberlakukan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu itu sangat mencederai rasa kemanusiaan dan mengancam banyak orang, sehingga sangat layak jika dijatuhkan pidana mati. Perlu diingat pula bahwa penjatuhan pidana mati tidak serta merta berdasarkan teori pemidanaan yaitu teori balas dendam, melainkan jauh dari itu agar terpenuhinya rasa keadilan. Semangat pemberantasan korupsi layaknya negara-negara lain adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar sampai ke akar-akarnya. Kondisi semakin banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang tertangkap, baik pejabat pemerintahan, anggota legislatif hingga aparat penegak hukum itu sendiri mengindikasikan penjatuhan pidana yang seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal ini pidana mati. Mendasarkan pada konsep tersebut di atas maka dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan dengan mengedepankan kriteria khusus tindak pidana yang dilakukan sebagai berikut: 1 Melampaui batas kemanusiaan, 2 Mencelakai dan mengancam banyak manusia, 3 Merusak generasi bangsa, 4 Merusak peradaban bangsa, 5 Merusak tatanan di muka bumi, 6 Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara, 34 selain juga menegakkan keadilan.

4.2.2 Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam UU Pemberantasan Korupsi