Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi

(1)

URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI

TESIS

Oleh

HINDUN HARAHAP

087005076/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HINDUN HARAHAP

087005076/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI

Nama Mahasiswa : Hindun Harahap Nomor Pokok : 087005076

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 14 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M, Hum 2. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum 4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Di Indonesia praktek korupsi sudah semakin meluas dan bahkan sudah sampai disegala aspek kehidupan, baik ditingkat pusat maupun di daerah, korupsi disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah menyebabkan timbulnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat. Upaya pemberantasan korupsi telah direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah lagi menjadi Uu RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam era reformasi, penjatuhan pidana bagi pelaku korupsi mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor, banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi.

Tulisan ini mengangkat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Urgensi Pidana Mati terhadap Pelaku korupsi, yakni tentang Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dan Penerapan Pidana Mati dalam upaya pemberantasan Tindak pidana Korupsi di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.

Urgensi Pidana Mati terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dianggap masih sangat penting penjatuhannya terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, karena pemberlakuan Pidana Mati pada dasarnya bertujuan untuk menakut – nakuti dan memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi, agar orang – orang yang tadinya berniat melakukan korupsi menjadi takut untuk melakukannya, apalagi jika mengingat bahwa Indonesia termasuk Negara terkorup di dunia, maka penerapan pidananya memang harus tegas, namun tetap selektif dan hati – hati. Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diatur di dalam Pasal 2 (2) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan Indonesia sebagai Negara demokrasi muslim terbesar di dunia, yang mana di dalam hukum agama Islam sendiri memang ada


(6)

mengatur tentang pidana mati, sehingga pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral.


(7)

ABSTRACT

In Indonesia, corruption has been increasingly practiced and even spread into all aspects of life either at the local or central levels. Corruption is called a crime for humanity because its practice has resulted in people’s poverty and suffering. During habibie’s administration, the attempt to fight corruption had been realized in the juridicial framework trought the issuance of Law No. 31/1999 on Eliminating Corruption Criminal Act replacing Law No. 3/ 1971 on Eliminating Corruption Criminal Act and then it was replaced again with Law No.20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Eliminating Corruption Criminal Act. In this era of reformation, pronouncing the sentence of criminal act for the corruptor is developing in line with the bringing out of the plea for the pronouncing of death sentence for corruptors although in fact is still in pro and contra situation.

The purpose of this study was to bring out several problems related to the urgency of pronouncing death sentence and the application of death sentence to the corruptors in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia. This study employed normative juridicial method to analyze both the law which is written in the (text) books or the one dicided by the judge throughtthe trial process at the court of law.

The urgency of pronouncing death sentence to the corruptors in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia is still considered as being essential because it is intended to frighten the corruptors and to give them a lesson to learn that whoever has intention to practice corruption will be afraid of doing it, moreover if we know that Indonesia belongs to the countries with the most corruptors in the world, the application of the sentence must be strict but do it selectively and carefully. The application of death sentence in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia has been regulated I article 2 (2) of Law No. 20/2001 on the amendement of Law No. 31/1999 on the elimination of corruption criminal act. In Indonesia, a democratic country with the biggest Moslem population in the world, death sentence is still understood as something which is legally and morally legitimate because the death sentence is regulated in the Islamic law itself.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M, Hum, Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum,

dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.


(9)

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, dan Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Sekretaris Ilmu Hukum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

5. Ayahanda Drs. Harapan Naulisyah Harahap dan Ibunda Hanisah Ritonga tercinta yang telah mendidik Penulis dari kecil hingga dewasa dengan penuh rasa kasih sayang dan yang senantiasa mendo’akan penulis agar menjadi anak yang sukses dan berbakti kepada orangtua, bangsa, dan juga agama.

6. Abangda Muzni L.H. Harahap, SSTP dan Istri, adik – adikku Mardyah Harahap, Hafifah Harahap yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

7. Ardi Susilo, A.md yang dengan penuh kesabaran, perhatian, ketulusan, dan kasih sayang, yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan dan


(10)

semangat kepada penulis agar dapat segera menyelesaikan perkuliahan tepat pada waktunya.

8. Kepada seluruh staf sekretariat program studi magister ilmu hukum fakultas hukum universitas sumatera utara, kak Juli, kak Fika, kak Fitri, Bu Niar, Bu Ganti, dan bang Hendra, terima kasih telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

9. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta seluruh Staf Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Allah Membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, September 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hindun Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 02 Februari 1985 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Kejaksaan RI

Alamat : Jl. Gaperta Gg. Berkat No. 15 Medan

Pendidikan : SD YasPenHar 2 Medan Tamat Tahun 1997 SMP Negeri 1 P. Sidimpuan Tamat Tahun 2000 SMU Negeri 1 P. Sidimpuan Tamat Tahun 2003 Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2007


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Keaslian Penelitian... 13

E. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1.Kerangka Teori ... 14

2.Kerangka Konsep ... 20

F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan... 29

BAB II URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DI INDONESIA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 31 B. Pertanggungjawaban Pidana pada perkara


(13)

Tindak Pidana Korupsi ... 33 C. Tindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan

kemanusiaan (crime againts humanity) ... 38 D. Argumentasi Pro dan Kontra terhadap pidana

mati untuk pelaku korupsi ... 42 E. Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi

Dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia ... 52

BAB III PENERAPAN PIDANA MATI DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Mengenai Pidana Mati ... 57 B. Pidana Mati dalam Peraturan Perundang –

Undangan di Indonesia ... 69 C. Beberapa masalah dalam Pelaksanaan

Pidana Mati... 92 D. Pidana Mati dalam persfektif

Hak Asasi Manusia... 96 E. Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan


(14)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 115 B. Saran ... 117


(15)

ABSTRAK

Di Indonesia praktek korupsi sudah semakin meluas dan bahkan sudah sampai disegala aspek kehidupan, baik ditingkat pusat maupun di daerah, korupsi disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah menyebabkan timbulnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat. Upaya pemberantasan korupsi telah direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah lagi menjadi Uu RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam era reformasi, penjatuhan pidana bagi pelaku korupsi mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor, banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi.

Tulisan ini mengangkat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Urgensi Pidana Mati terhadap Pelaku korupsi, yakni tentang Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dan Penerapan Pidana Mati dalam upaya pemberantasan Tindak pidana Korupsi di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.

Urgensi Pidana Mati terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dianggap masih sangat penting penjatuhannya terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, karena pemberlakuan Pidana Mati pada dasarnya bertujuan untuk menakut – nakuti dan memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi, agar orang – orang yang tadinya berniat melakukan korupsi menjadi takut untuk melakukannya, apalagi jika mengingat bahwa Indonesia termasuk Negara terkorup di dunia, maka penerapan pidananya memang harus tegas, namun tetap selektif dan hati – hati. Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diatur di dalam Pasal 2 (2) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan Indonesia sebagai Negara demokrasi muslim terbesar di dunia, yang mana di dalam hukum agama Islam sendiri memang ada


(16)

mengatur tentang pidana mati, sehingga pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral.


(17)

ABSTRACT

In Indonesia, corruption has been increasingly practiced and even spread into all aspects of life either at the local or central levels. Corruption is called a crime for humanity because its practice has resulted in people’s poverty and suffering. During habibie’s administration, the attempt to fight corruption had been realized in the juridicial framework trought the issuance of Law No. 31/1999 on Eliminating Corruption Criminal Act replacing Law No. 3/ 1971 on Eliminating Corruption Criminal Act and then it was replaced again with Law No.20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Eliminating Corruption Criminal Act. In this era of reformation, pronouncing the sentence of criminal act for the corruptor is developing in line with the bringing out of the plea for the pronouncing of death sentence for corruptors although in fact is still in pro and contra situation.

The purpose of this study was to bring out several problems related to the urgency of pronouncing death sentence and the application of death sentence to the corruptors in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia. This study employed normative juridicial method to analyze both the law which is written in the (text) books or the one dicided by the judge throughtthe trial process at the court of law.

The urgency of pronouncing death sentence to the corruptors in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia is still considered as being essential because it is intended to frighten the corruptors and to give them a lesson to learn that whoever has intention to practice corruption will be afraid of doing it, moreover if we know that Indonesia belongs to the countries with the most corruptors in the world, the application of the sentence must be strict but do it selectively and carefully. The application of death sentence in an attempt to eliminate the practice of corruption in Indonesia has been regulated I article 2 (2) of Law No. 20/2001 on the amendement of Law No. 31/1999 on the elimination of corruption criminal act. In Indonesia, a democratic country with the biggest Moslem population in the world, death sentence is still understood as something which is legally and morally legitimate because the death sentence is regulated in the Islamic law itself.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.

Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, luas dan akibat yang ditimbulkannya, walaupun dampak akhirnya adalah menimbulkan kesengsaraan rakyat. Di negara miskin korupsi mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Di negara maju korupsi mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Indonesia, apabila tidak


(19)

dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar.1

Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Korupsi pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya Bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita sebagai berikut:

Menempatkan korupsi dalam posisi tersebut bukanlah tidak beralasan dan kecenderungan ke arah tersebut sudah dimulai oleh organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan atau Organization for Economic Cooperation

and Development (OECD) lembaga ini (OECD) telah mengambil inisiatif

dan berhasil mempertemukan visi dan misi para anggotanya dalam pemberantasan korupsi dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut

“The OECD Anti Corruption Treaty” yang ditandatangani oleh 29 (dua

puluh sembilan) anggota dan 3 (tiga) negara di Amerika Selatan dan 2 (dua) negara di Eropa. Perjanjian ini berlaku efektif sejak bulan Desember 1998.2

1

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 1-2.

2

Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 25 September 1999, hlm. 5.


(20)

Upaya pemberantasan korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.3

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah diubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam era reformasi dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi beserta penjatuhan pidana bagi pelakunya mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor. Banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi ini. Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada pembela pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkan

3

Indonesia, Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Diktum No. c.


(21)

sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi yang di luar jangkauan dan kontrol manusia.

Di Indonesia, penerapan pidana mati sendiri sebenarnya sudah diatur di dalam undang-undang. Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan". Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi efektif diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC), dan ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapat dijadikan contoh untuk Indonesia dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor.4

4

Romli Atmasasmita, Sosialisasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme, Disampaikan dalam Diskusi Panel di Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, 19 Juli 2000.


(22)

Berkenaan dengan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Republik Rakyat Cina, Presiden Republik Rakyat Cina Jiang Zemin menggambarkan sebagai kanker ganas yang menggerogoti tubuh pemerintah dan politik luar negeri, karena itulah Cina dalam beberapa tahun terakhir sangat giat melancarkan perang terhadap korupsi.

Efektivitas penerapan pidana mati didasarkan juga pada alasan bahwasannya pidana mati itu lebih pasti dan tertentu dari hukuman penjara, karena hukuman penjara sering diikuti dengan kemungkinan melarikan diri karena pengampunan ataupun karena adanya pembebasan. Pidana mati sering dipertahankan, karena pada dasarnya pidana mati memakan ongkos yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup.5

Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih radikal yang pada masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.6

5

Ibid., hal. 75. 6


(23)

Selain argumentasi yang pro terhadap pidana mati, tidak sedikit pula yang kontra terhadap pidana mati untuk koruptor. Di Indonesia sendiri, walaupun sudah diatur secara jelas di dalam perundang-undangan, namun sampai saat ini tidak ada implementasinya. Pihak yang kontra terhadap pidana mati pada umumnya menghubungan penjatuhan tindak pidana mati dengan hak hidup dan kemanusiaan.

Keterkaitan pidana mati dengan hak asasi manusia (HAM) sangatlah erat, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwasannya penjatuhan pidana mati terkait erat dengan hak yang paling asasi bagi manusia. Dalam konteks penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu haruslah dikaji secara mendalam, mengingat penjatuhan pidana mati merupakan pidana yang terberat dalam arti pelaku akan kehilangan nyawanya yang merupakan sesuatu hak yang tak ternilai harganya.

Eksistensi pidana mati sebagai pidana perampasan nyawa sudah digugat dengan timbulnya pendapat-pendapat yang kontra baik berupa pendapat perorangan atau kelompok. Alasan untuk menentang pidana mati yang paling mendasar adalah alasan kemanusiaan yang dilihat dari hak hidup seseorang. Walaupun pidana mati banyak yang menentang namun tidak satupun negara berkembang yang telah menghapuskan pidana mati dari KUHP nya termasuk Indonesia.

Pengakuan terhadap HAM di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan batasan tentang hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia


(24)

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.7

Berbicara mengenai Pidana Mati tidak lepas dari pembicaraan mengenai nyawa manusia, dan berbicara mengenai nyawa manusia yang merupakan Hak Azazi Manusia, berarti berbicara mengenai Penciptanya, dan sebagai manusia yang beragama, kita tidak bisa menutup mata dari hukum tuhan, yaitu agama.

Indonesia terdiri dari masyarakat yang pluralistik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Bangsa yang Pluralistik itu telah mengadakan kesepakatan nasional, yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, sebagai hukum dasar ( fundamental Law ) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Fundamental Law itulah yang merupakan hukum positif tertinggi yang harus dijadikan pegangan tertinggi oleh semua warga negara Indonesia.

Di dalam UUD 1945 Pasal 28J merupakan dasar utama pembenaran pidana mati, sepanjang pidana mati itu memenuhi kriteria yang ada dalam pasal 28J, khususnya yang berkaitan dengan “ untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai agama “, tidak bisa dilepaskan dari kelima sila yang terdapat dalam Pancasila, khusunya sila pertama “

7

Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1.


(25)

Ketuhanan Yang Maha Esa “, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 yang ada dalam pembukaan UUD 1945.

Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Segi lain yang perlu dicatat dalam hubungan dengan sila pertama ini ialah bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Prinsip yang terkandung dalam sila pertama itu ialah adanya suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan. Hal yang terakhir ini ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada Dies Natalis kerajaan ke-25 Universitas Indonesia, 15 Februari 1975, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, 24 Maret 1975 di Jakarta sebagai berikut: “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa ada kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti itu”8

Salah satu prinsip pengakuan dan perlindungan yang berkaitan dengan martabat manusia itu telah digariskan dalam al-Qur’an, surah al-Isra/17:33, yang artinya:

8

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat

dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,


(26)

“ Dan janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah, kecuali dengan suatu alasan yang benar.”

Yang dimaksud dengan “alasan yang benar” dalam ayat itu ialah alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam seperti qishas yang merupakan salah satu bentuk hukuman dalam hukum pidana Islam.Dari ayat di atas dapat ditarik suatu garis hukum bahwa manusia dilarang menghilangkan nyawa baik nyawa orang lain maupun nyawanya sendiri (bunuh diri). Disini tampak jelas bahwa hak untuk hidup dan hak atas perlindungan untuk hidup diwajibkan pada penyelenggara negara. Perlu segera dipahami bahwa dalam negara hukum menurut al-Qur’an dan sunnah, manusia hanya memiliki hak untuk hidup dan hak atas perlindungan untuk hidup. Adapun “hak untuk mati” sama sekali tidak dimiliki manusia karena soal kematian setiap manusia adalah wewenang Tuhan.9

Dalam nomokrasi Islam, jaminan perlindungan terhadap nyawa manusia sangat diperhatikan, sebagai tercantum dalam al-Qur’an, surat al-Maidah/5:32 yang artinya:

“ Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kekacauan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. Dari ayat ini dapat ditarik garis hukum yaitu manusia dilarang membunuh sesamanya, kecuali berdasarkan alasan yang dibenarkan hukum islam yaitu qishas. Menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan qishas dikualifisir sebagai tindakan pidana karena orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan qishas itu

9


(27)

wajib dijatuhi hukuman mati atau pidana mati. Suatu tindak pidana pembunuhan dalam ayat ini diumpamakan bahwa seoarang pembunuh seakan-akan telah melakukan pembunuhan terhadap seluruh manusia. Logika al-Qur’an di sini terletak pada bahwa manusia itu adalah anggota masyarakat dan membunuh seorang masyarakat berarti juga membunuh keturunannya, karena itu dalam hukum pidana Islam, hukuman mati wajib dijalankan kecuali apabila keluarga korban memaafkannya.10 Penjatuhan pidana mati kepada pelaku tindak pidana

merupakan obat terakhir (ultimum remedium), yang hanya dijalankan apabila upaya-upaya lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan.

Dari uraian yang dikemukakan di atas maka penerapan pidana mati dengan mendasarkan pada alasan-alasan yang sudah dikemukakan ternyata masih didukung oleh pihak-pihak yang pro dengan alasan bahwa pidana mati masih cukup efektif dan rasional khususnya diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang sangat berat jika tidak dijatuhkan pidana mati akan berakibat lebih buruk terhadap keamanan dan ketentraman di masyarakat. Sedangkan bagi pihak yang kontra menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi.

Pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, tepatnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang belum terealisasi pada akhirnya menjadi fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi dewasa ini serta upaya penyelesaiannya yang kurang maksimal,

10


(28)

tentunya kondisi ini sudah selayaknya menjadi bahan pemikiran khususnya bagi aparat penegak hukum dan pemerintah dalam upaya penegakan korupsi yang serius dan kongkrit sehingga kasus-kasus korupsi yang muncul dewasa ini tidak menjadi komoditas politik semata, tetapi benar-benar dapat diselesaikan melalui prosedur hukum yang transparan dan adil.

Berdasarkan dasar uraian yang penulis kemukakan di muka mengenai permasalahan korupsi, khususnya yang berkaitan dengan kondisi di Indonesia, mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi. Apakah penerapan pidana mati sudah sedemikian urgennya untuk situasi dan kondisi Indonesia sebagai negara dengan angka korupsi yang tinggi di dunia dan apakah penerapan pidana mati sudah berjalan sesuai norma hukum dan agama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji di dalam penulisan Tesis ini mendasarkan pada alasan bahwasanya permasalahan korupsi-korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya sehingga pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi apakah urgen bagi aparat penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan penjatuhan hukum pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia belum pernah dijatuhkan meskipun sudah mendapat landasan hukum yang kuat dengan telah diaturnya mengenai pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(29)

Mengingat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 1999 sehingga dalam penerapannya ditemukan masalah-masalah khususnya dalam hal penerapan sanksi pidananya terutama yang menyangkut pidana mati, karena penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi selain dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku tindak pidana korupsi juga dapat menimbulkan kontroversi terutama yang menyangkut hak asasi manusia, karena dengan penjatuhan pidana mati ini tentunya ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak yang paling hakiki bagi manusia.

Didasari oleh pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Bagaimana penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.


(30)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif dalam penanggulangan perilaku anti korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan era kini.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah sehingga kebijakan yang diambil agar tetap mempertimbangkan aspek kejujuran dalam berprofesi (mental anti korupsi) dalam rangka menciptakan manfaat dan keadilan bagi masyarakat.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.


(31)

E. Kerangka Teori dan Konsepsi a). Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan.

Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai urgensi penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu batasan atau pengertian dari pidana itu sendiri. Menurut Van Hamel, arti dari pidana adalah:

Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.11

Mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, pengaturannya diatur jenisnya dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pidana tambahan perampasan

11


(32)

barang-barang tertentu, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim.12

Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannya adalah nyawa seseorang yang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya, oleh karena itu setiap manusia, selalu berusaha untuk mempertahankan nyawanya untuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan. Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikuti dengan ancaman pidana lain sebagai alternatifnya.

Berkenaan dengan pidana mati ini Modderman mengatakan bahwa:

Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.13

Selanjutnya Oemar Seno Adji juga memberikan pendapatnya mengenai penjatuhan pidana mati sebagai berikut :

Selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih memerlukan pidana mati.14

12

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 6. 13

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V. Rajawali), hlm. 47. 14


(33)

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan pidana mati sebagai berikut:

Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum.15

Adapun pengertian korupsi itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pendapat antara lain menurut Andi Hamzah dinyatakan sebagai berikut:

Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.16

Pengertian tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Selain yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian

15

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hlm. 9.

16

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 9.


(34)

tindak pidana korupsi juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berkenaan dengan tindak pidana korupsi, Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat:

Tindak pidana korupsi termasuk jenis tindak pidana yang penanggulangannya sangat diprioritaskan, namun diakui termasuk jenis perkara yang sulit penanggulangannya atau pemberantasannya. Kongres PBB Ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Effenders pada tahun 1980 mengklasifikasikan jenis tindak pidana korupsi sebagai tipe tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law).17

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi memiliki landasan hukum yang kuat karena sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana sudah penulis sebutkan sebelumnya.

Adapun penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi palaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional,

17

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 134.


(35)

sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.18

Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat-aparatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ramelan selaku mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sebagai berikut :

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam negara demokrasi dimana supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah menggunakan asas-asas kepastian hukum dimaksudkan agar penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, transparansi terbuka penanganannya, tidak ditutup-tutupi dan bukan karena rekayasa.19

Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentunya merupakan dasar hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999.

Kekeliruan dalam menderivasikan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia pada masa Orde Baru terjadi tanpa hambatan. Model

18

Indonesia, Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 ayat (1). 19

Ramelan, Profesionalisme Jaksa Menyongsong Penegakan Hukum Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Menyongsong

Pemberlakuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Baru di Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti, Jakarta: 22 Agustus 1999, hlm. 22.


(36)

penataan oleh hukum mengikuti cara sentralisme dan regimentasi, yang secara sepihak memaksakan kehendak dan tidak toleran terhadap orang lain serta tidak menerima perbedaan atau pluralisme sebagai berkah dan kekayaan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakan nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum ini tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.20

Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun lima unsur utama itu bertumpu pada suatu prinsip yang sangat mendasar bagi segenap bangsa Indonesia yaitu sila pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena sila pertama ini menurut Hazairin mempunyai ”posisi yang istimewa”, ia ”terletak diluar ciptaan akal budi manusia”. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah maka negara hukum Pancasila memiliki bukan hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dari semua konsep negara hukum. Sila pertama merupakan pula dasar kerohanian dan dasar moral bagi Bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, artinya, penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan

20


(37)

mengimplementasikan petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu dan dengan empat sila lainnya setiap orang yang arif dan bijaksana akan melihat banyak persamaan antara konsep nomokrasi Islam dengan konsep Negara Hukum Pancasila. Persamaan itu antara lain tercermin dari lima sila atau Pancasila yang sudah menjadi Asas Bangsa dan Negara Indonesia.21 b). Kerangka Konsep

Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan konsep yang termuat dalam Teori penghukuman yang akan mendeskripsikan tujuan diberlakukannya hukuman kepada penjahat atas kejahatan yang dilakukannya. Demikian dengan tindak pidana korupsi yang meupakan kejahatan. Berkaitan dengan urgensi dan efektifitas pidana mati terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia akan dilihat dari teori penghukuman sebagaimana telah disebutkan di atas.

Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum adalah di dalam tangan negara (pemerintah)., yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :22

21

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat

dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

(Jakarta,Prenada Media,2003)Hal. 99. 2222

R. Soesilo dalam Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya


(38)

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :

a. Teori absolut atau teori pembalasan b. Teori relatif atau teori tujuan c. Teori gabungan

a. Teori absolut

Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan.


(39)

Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :23

1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif 2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak

boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi

3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.

Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang

dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :24 1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.

3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada

23

Ibid, hal. 5. 24


(40)

hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.

Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara


(41)

kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. penerapan hukum pidana b. pencegahan tanpa pidana

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media.

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the


(42)

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.25

Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.26

Metode penelitian yang digunakan pada proposal penelitian ini, sebagai berikut :

a. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,27 yang berkaitan urgensi dan efektifitas pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yagn menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses.28

25

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118

26

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 14.

28

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.


(43)

Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap urgensi dan penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

b. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan issue hukum yang sedang ditangani, yaitu : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999

jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.

2. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)

Pendekatan perbandingan (comparative approach) ini dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus penjatuhan pidana mati pada pelaku korupsi yang terjadi di negara lain, yaitu di China kemudian akan dilakukan perbandingan dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan ini


(44)

adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan yuridis dan sosial dalam penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. 29

c. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data-data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari :

1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ;

c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, tindak pidana dan penghukuman, hak asasi manusia beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer,

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007, hal. 94.


(45)

sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 30

d. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library

research, yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan

permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya. Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

e. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai urgensi dan efektifitas pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh, yaitu berupa data-data skunder melalui penelitian kepustakaan (library research).

30

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu


(46)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pada penulisan tesis ini adalah : BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori dan Konsepsi, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DI INDONESIA

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Tindak Pidana Korupsi, Pertanggungjawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity), Pro dan Kontra terhadap pidana mati dan urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

BAB III PENERAPAN PIDANA MATI DI INDONESIA

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Pidana Mati, Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, beberapa masalah dalam pelaksanaan Pidana Mati, Pidana Mati dalam persfektif Hak Asasi Manusia dan penerpan pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.


(47)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Kesimpulan dan Saran berdasarkan hasil pembahasan.


(48)

BAB II

URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.31 Korupsi menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Dalam arti yang luas, defenisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara – cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.32

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata – kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poewadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : ” Korupsi ialah

31

Fockema, S.J. andreae, 1951, rechtsgeleerd handwoordenboek, groningen – djakarta : Bij J. B. wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana dikutip andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, hlm.7

32

The Role of a National Integrty system in Fighting corruption, Peter langseth et al,


(49)

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.33

Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefenisikan tindak pidana korupsi, dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa:

“setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam – macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif ; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai bentuk korupsi, yaitu menempatkan keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana.34

33

W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 524. 34

Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : Ilmu dan Amal, Jakarta, hlm.36


(50)

B. Pertanggungjawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.35 Untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa juga korporasi ( lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum ) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini.

Perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, seharusnya dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Pelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD, dll.

35

Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(51)

Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.

Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil dalam Hukum pidana diartikan sama dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas yang dalam bahasa Latin, disebut : “Nullum Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonseia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada”.

Alasan dari para pihak yang menolak perluasan unsur “melawan hukum” ini pada dasarnya dapat di terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu pemikiran/akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan


(52)

menerapkan hukum secara materil dalam berbagai perkara tindak pidana korupsi.

Bertolak dari realita yang demikian dan fakta yang membuktikan bahwa para pelaku bermasalah dalam kasus korupsi selalu lolos dari jeratan hukum, maka dalam rangka melakukan pendidikan hukum kritis, pada tulisan ini akan dibuat catatan hukum terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan pasal utama dalam menjerat para koruptor.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa:

“setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dari bunyi pasal yang demikian, jelas pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak


(53)

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, pada pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati.

Ancaman hukuman seumur hidup untuk kasus korupsi, sudah dikenal sejak pemberlakuan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang yang menggantikannya membawa kemajuan yakni sanksi hukuman mati yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 2 dari UU tentang pemberantasan korupsi ini membangun harapan masyarakat terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, sebagaimana diberlakukan atas kasus-kasus narkotika dan terorisme. Pertimbangannya, tindak pidana korupsi telah menimbulkan dampak sosial yang luas.

Dengan adanya keterlibatan pejabat publik dan adanya "catatan" dalam ancaman sanksi maksimal kasus korupsi, bakal tidak mengherankan bila proses penerapan hukuman maksimal (hukuman mati) pun tidak akan


(54)

"semulus" kasus narkotika dan terorisme. Hukuman mati sebagaimana isi dari Pasal 2 (2) UU No 31/1999 yang menyatakan :

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan".36 Berdasarkan penjelasan UU ini, yang dimaksud "keadaan tertentu" adalah "apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter".

Dari keempat keadaan tertentu itu, hanya keadaan krisis ekonomi dan moneter yang dapat dengan mudah dirasakan. Kendati demikian walau Indonesia mengalami krisis semacam itu pada 1998 hingga tahun 2000, tidak ada tersangka koruptor yang divonis mati. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, batasan keadaan tertentu merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan. dalam penjelasannya, batasan tersebut dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

36

Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(55)

Dengan digunakannya batasan baru "keadaan tertentu" tersebut, ancaman hukuman mati pun semakin jauh dari realita. Bahkan terhadap bencana tsunami pun, jika pemerintah menilai peristiwa itu sebagai peristiwa lokal, karena dampak kerugian yang ditimbulkan tidak merata di hampir sebagian besar wilayah Indonesia, bila terdapat koruptor, ia akan sulit dijerat dengan pasal tersebut.

Hal paling pokok yang akan menghadang penerapan sanksi hukuman mati bagi koruptor adalah UUD19 45 yang secara hierarkis berada di atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 28 I (1) UUD 45 dinyatakan :

” hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

C. Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Againts Humanity)

Di Indonesia praktek korupsi sudah semakin meluas dan bahkan sudah sampai disegala aspek kehidupan, baik itu ditingkat pusat maupun di daerah, korupsi bak kecanduan narkoba yang sulit diberantas karena sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi setiap saat dan menjadi jalan hidup oleh koruptor untuk memperoleh harta kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa


(56)

mempedulikan lagi yang namanya hukum serta azas kemanusiaan. Perilaku korupsi di Indonesia dalam sejarahnya sudah menjadi kebiasaan (budaya) yang sulit untuk diberantas, karena banyaknya permasalahan-permasalahan diberbagai aspek yang mendukung terjadinya korupsi itu sendiri. Kompleksitas korupsi ini seolah-olah tidak menjadi permasalahan prioritas yang harus diselesaikan secara bersama-sama namun lebih kepada korupsi dijadikan alat bagi penguasa yang mempunyai wewenang dan otoritas untuk memberikan kesempatan serta peluang untuk dirinya sendiri dan kelompoknya (partai) agar korupsi itu ada dibawah tangannya.

Ini bisa dilihat dari berbagai indikator misalnya dimulainya dari Peraturan PerUndang-Undangan itu sendiri yang memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya korupsi, itu baru dilihat dari segi peraturannya yang memberikan peluang atau celah serta kesempatan terjadinya korupsi, belum lagi dari sistem yang bobrok yang diperlakukakan oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya yang tidak terkontrol dan anehnya orang yang berperilaku baik (sholeh) ketika sudah memasuki sisitem yang bobrok tersebut malah ikut-ikutan masuk ke dalam sistem yang tidak dikehendakinya, jadi orang yang baik, cerdas, profesional, dan mempunyai track record yang bagus tidak menjadi jaminan dia bisa terhindar dari kejahatan korupsi.

Korupsi bak seperti lingkaran setan yang sulit untuk keluar karena kerjanya dipengaruhi oleh sistem yang jelek yang dibangun oleh para penguasa yang mempunyai otoritas dan wewenang. Dan yang tidak kalah pentingnya


(57)

terjadinya korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi kepada publik sehingga kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tanpa mempedulikan nasib kepentingan rakyat yang semestinya mereka perjuangkan sebagai wakil rakyat (DPR) ataupun para pejuang penegak hukum (Kejaksaan Agung, hakim dan Kepolisian), sebagai konsekuensi dari korupsi itu rakyatlah yang menanggung beban akibat dari para pelaku koruptor, rakyat menjadi miskin, pengangguran bertambah banyak, biaya ekonomi semakin mahal, yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, kesenjangan itu semakin terlihat akibat ulah para koruptor. Tidak salah kalau korupsi itu disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), bahkan ia merupakan ancaman terhadap kemanusiaan (crime againts himanity).

Kejahatan korupsi adalah sebuah kejahatan kemanusiaan di lingkungan institusi pemerintah. Kejahatan ini dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mendapat amanat sebagai wakil rakyat untuk mengayomi hak-hak rakyat. Pada kenyataannya mereka justru tega menyelewengkan hak-hak tersebut demi kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai bentuk kejahatan yang kita jumpai saat ini tidak jauh beda dengan budaya feodal kerajaan Hanya saja zaman serta dari tata cara kerja dan motif operandinya yang berbeda, namun tetap pada substansi yang sama yaitu menyelewengkan kekayaan rakyat serta eksploitasi hak-hak rakyat kecil dengan kebijakan yang korup.


(58)

Korupsi pada hakekatnya adalah tindakan sabotase ekonomi, sabotase sosial dan sabotase budaya. Para koruptor bukan hanya melecehkan nilai-nilai agama, moralitas dan kemanusiaan, tapi juga menciptakan polarisasi ekonomi, amnesia sosial dan pembusukan kebudayaan sekaligus Korupsi pada gilirannya akan membuahkan kemiskinan secara berlapis-lapis. Tindakan para koruptor telah mengkhianati jutaan rakyat yang ada dalam lumpur kemiskinan. Sehingga tidaklah keliru kalau korupsi dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah menyebabkan timbulnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat.

Melihat kenyataan seperti ini, kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa di negeri ini hukum benar-benar tengah mengalami masalah yang sangat serius. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim dan pasti juga pengacara), nyaris ke tititk yang paling nadir. Bukan tidak ada oknum aparat hukum yang putih. Tapi warna dominan yang tampak dewasa ini memang telah menghitam. Korupsi yang hebat bisa saja terjadi di kalangan wakil rakyat dan para pejabat, mulai dari tingkat ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur sampai yang lebih atas lagi, atau dilakukan oleh aparat birokrasi dari yang paling rendah sampai ke yang paling tinggi.

Menurut ulama islam, korupsi merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat, sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, keharaman korupsi melebihi dari tindakan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Korupsi dalam berbagai


(59)

bentuknya misalnya suap (risywah), mark up (khiyanat), penggelapan (ghulul) dan pemerasan (muksu) adalah penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang demi menguntungkan diri dan kelompoknya serta merugikan negara dan rakyat banyak. Korupsi harus dilihat sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan, yang bukan hanya menyangkut soal uang semata, namun juga telah menyebabkan hilangnya kesempatan dalam mencapai tujuan bersama, baik secara ekonomi, sosial-budaya dan ekologi, serta diikuti dengan berbagai kekerasan, teror, dan penurunan kualitas kemanusiaan lainnya.37 Hukumannya adalah ta’zir sesuai dengan berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan dan bisa diperberat sampai hukuman mati.38

D. Argumentasi Pro dan Kontra terhadap pidana mati untuk pelaku korupsi

Tidak ada permasalahan hukum yang lebih mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum selain perdebatan mengenai hukuman mati. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah

37

Korupsi : Kejahatan Moral dan Kemanusiaan, diakses dari situs :

http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2008/1/29/o2.htm, tanggal 15 Juni 2010. 38

HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=399&Itemid=74 tanggal 13 Juni 2010.


(1)

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan, tanggal 18 Februari 2003.

Djoko Parkoso & Nurwahid, Studi tentang penapatpendapat mengenai efektifitas hukuman mati, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Imparsial, Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008. Updated hingga Juli 2008.

Jeffrey Fagan, Ohio State Journal of Criminal Law, Fall, 2006.

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, C.V. Rajawali, Jakarta, 1979.

---, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007.

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2003.

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Juricprudence, Seventh Edition, London, Sweet & Maxweel Ltd, 2001.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, 2003.


(2)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Mr J.E Jonkers, Buku Pedoman Hukum Hindia Belanda, Bina aksara, Jakarta, 1987.

Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, hal. 122. dalam Kajian Hukuman Mati Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia (Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian Dan Penelitian, Roichatul Aswidah, Komnas Ham Indonesia). Pandangan ini menegaskan sifat natural rights hak hidup.

P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group,

Jakarta, 2007.

Putusan No.2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007.

Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 15 Oktober 2008.

Ramelan, Profesionalisme Jaksa Menyongsong Penegakan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Menyongsong Pemberlakuan Undang-Undang


(3)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Baru di Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti, Jakarta, 22 Agustus 1999.

Roger Hood, The Death Penalty : A Worldwide Perspective, Third Edition, (New York : Oxford University Press, 2002.

Romli Atmasasmita, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 25 September 1999.

---, Sosialisasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme, Disampaikan dalam Diskusi Panel di Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, 19 Juli 2000.

Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara Dialog Interaktif tetnang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003.

Sir Nigel Rodley, ‘The United Nation’s Work in the Field of the Death Penalty’ dalam the Death Penalty Beyond Abolition, Council of Europe Publishing, 2004, hal. 128. Ibid, hal. 135 (Laporan Kajian Sekretaris


(4)

Subkomisi Pengkajian Dan Penelitian, Roichatul Aswidah, Komnas Ham Indonesia.

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973.

Syahrin Alvi, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2009.

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaaan Pendapat Hakim Konstitusi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009.

Tresna, peradilan Indonesia dari Abad ke abad, 1957.

Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1950.

William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death Penalty- Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989.

B. INTERNET

HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=399&Itemid =74 tanggal 13 Juni 2010.


(5)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2300/cina-hukum-mati-koruptor-bagaimana-indonesia tanggal 12 Juni 2010.

Hukuman Mati Untuk Koruptor, diakses dari situs : http://www.eramuslim.com, tanggal 2 Juni 2010.

Jabir Al Faruqi, Sempurnalah Korupsi di Indonesia, diakses dari situs : http://antikorupsi.org/indo/content/view/16577/7/, diakses tanggal 11 Juni 2010.

Korupsi : Kejahatan Moral dan Kemanusiaan, diakses dari situs : http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2008/1/29/o2.htm, tanggal 15 Juni 2010.

Laporan Amnesty Internasional tentang Indonesia Tahunan 2007, dalam Supriyadi Widodo Eddyono dan Wahyu Wagiman, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, diakses dari situs : http:www.hukumonline.com, tanggal 5 Juni 2010.

Pidana Mati dalam Isalam, diakses dari situs :

http://ekajazzlover.wordpress.com/2009/01/16/pidana-mati-dalam-pandangan-hukum-pidana-islam/ tanggal 10 Juni 2010.

R. Soesilo dalam Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya”, USU Digital Library, 2003.

Penghapusan Pidana Mati Menuntut Perubahan Sejumlah Undang-undang , diakses dari situs : http://www.legalitas.org/content/penghapusan-pidana-mati-menuntut-perubahan-sejumlah-undangundang, tanggal 9 Juni 2010.


(6)

Slamet Hasan, Pidana Mati Untuk Koruptor, diaskes dari situs : http://slameth034.blogdetik.com/ tanggal 10 Juni 2010.

.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, 1966

Konvensi Safeguards Guaranteeing Protection on the Rights of Those Facing the Death Penalty Economic and Social Council Resolution 1984/50, adopted 25 May 1984.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

UU No. 31 Tahun 1999/jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

D. SURAT KABAR

Cile Hapus Hukuman Mati, Suara Pembaruan, 30 Mei 2001.

Romli Atmasasmita, Hukuman Mati Untuk Koruptor, Harian Kompas, edisi 31 Juli 2008.