Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Ti

(1)

PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAK

ASASI MANUSIA (HAM)

MAKALAH

Disusun oleh:

(………..) NIM. ……….

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM 2016


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong hamba-Nya dapat menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya berkaitan dengan Penerapan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan data. Makalah ini disusun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri para penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Penulis memohon maaf bila ada kesalahan maupun kelebihan dalam penulisan makalah ini. Terima kasih.

Jember, 05 Agustus 2016


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang

... ... 1

1.2Rumusan Masalah

... ... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1Tindak Pidana Korupsi

... ... 3

2.1.1Pengertian Tindak Pidana Korupsi

... ... 3

2.1.2Tipologi Tindak Pidana Korupsi

... ... 4

2.2 Pidana Mati... ...4 2.2.1 Pengertian Pidana Mati

... ... 4

2.2.2 Ketentuan Pidana Mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi ... ... 5


(4)

2.3 Hak Asasi Manusia (HAM)

... ... 6

2.3.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

... ... 6

2.3.2 Macam-Macam Hak Asasi Manusia (HAM)

... ... ... 7

BAB 3 METODE PENULISAN

... ... 8

3.1 Tipe Penelitian

... ... 8

3.2 Pendekatan Masalah

... ... 8

3.2.1 Sumber Bahan Hukum

... ... 9

3.2.1.1 Bahan Hukum Primer... ...9 3.2.1.2 Bahan Hukum Sekunder... ...9 3.2.2 Analisis Bahan Hukum... ... 10


(5)

4.1 Penerapan Pidana Mati dalam dimensi HAM di Indonesia... ... 11 4.2 Dialektika Penerapan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak

Pidana Korupsi... ... 15 4.2.1 Unsur “Keadaan Tertentu” sebagai Pemberat Pidana... ... 15 4.2.2 Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam UU Pemberantasan Korupsi... ... 17

BAB 5 PENUTUP 20

5.1 Kesimpulan... ... 20 5.2 Rekomendasi... ... 20


(6)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi adalah masalah terbesar bagi semua negara. Mulai dari pejabat-pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, anggota legislatif bahkan sampai para aparat penegak hukumpun tidak luput tersandung kasus korupsi. Berbagai modus operandi dilancarkan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tindak pidana korupsi yang disebut-sebut sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) kini mulai mencapai klimaks dengan turut andilnya penegak hukum, baik polisi, jaksa, hingga hakim yang notabene wakil Tuhan di dunia.

Sebagai kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa ( extra-ordinary crime), korupsi perlu segera diberantas sampai pada akar-akarnya. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan memutus mata-rantai korupsi di Indonesia masih dapat dianggap kurang berjalan secara efektif. KPK menyebutkan bahwa merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana yang memberikan dampak terbesar bagi negara. Badan Pemeriksa Keuangan pernah melansir bahwa ditemukan sedikitnya 191.575 kasus penyimpangan keuangan negara dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 103,19 Triliun. Karena itu, secara teoretis, korupsi berpotensi mengurangi kesejahteraan rakyat karena besarnya inefisiensi akibat salah alokasi sumber daya.1 Kemudian

tahun 2014 berdasarkan data Corruption Perseption Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menyebutkan bahwa Indonesia berada diurutan 107 dari 175 negara terbersih di dunia.2 Hal tersebut masih jauh dari

harapan agar Indonesia terbebas dari kejahatan tindak pidana korupsi yang saat ini menjelma menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam rangka mewujudkan penegakan hukum (law enforcement). Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi baik preventif maupun represif telah dilaksanakan. Upaya preventif terhadap tindak pidana korupsi dilakukan dengan

1 Komisi Pemberantasan Korupsi. http://www.acch.kpk.go.id. [04 Agustus 2016]

2 Transparancy International, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corrup-tion-perceptions-index-2014 [04 Agustus 2016]


(7)

cara meningkatkan pendidikan dan budaya anti korupsi, kemudian meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan pemberian sanksi pidana yang berat hingga adanya ancaman pidana mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor (selanjutnya disebut dengan UU Pemberantasan Tipikor) bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

Penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, pidana mati juga dikaitkan dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut dengan HAM) yang dilakukan oleh negara atas nama hukum. Perdebatan dimasukkannya pidana mati sebagai salah satu ancaman pidana bagi para pelaku tindak pidana korupsi tidak lepas dari dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang begitu besar bagi suatu negara ditambah lagi jika perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu sebagai pemberat pidananya.

Dalam praktik, hingga saat ini belum ada satupun putusan baik tingkat Pengadilan Negeri, Banding maupun Kasasi yang menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Mengingat kekhususan jenis tindak pidana korupsi yang dapat dijatuhi pidana mati. Terlepas dari itu, baik yang pro dan kontra penerapan pidana mati khususnya bagi pelaku tindak pidana korupsi, hal tersebut dinamika yang terjadi di dalam masyarakat yang harus dihormati. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut ke dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan berjudul:

“PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAK

ASASI MANUSIA (HAM)”

.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah:

1. Apakah penerapan pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia?


(8)

2. Bagaimanakah eksistensi ancaman pidana mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia?

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindak Pidana Korupsi

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Ditinjau dalam sudut pandang etimologis, tindak pidana korupsi berasal dari 2 (dua) kata, yaitu tindak pidana dan korupsi. Pertama, istilah tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda

strafbaar feit atau delict dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.3 Istilah korupsi menurut Fockema Andrea

merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa coruptio itu berasal dari kata asal

corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,

corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie

(korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari Bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia yaitu “korupsi.”4 Dalam UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian korupsi yaitu “setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.”

Black’s Law Dictionary mendefinikan korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain 3 Lilik Mulyadi. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik, Bandung: PT. Alumni. hlm. 186-187

4 Andrea Fockema dalam Ermansjah Djaja. 2009. Memberantas Korupsi bersama dengan KPK. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 6


(9)

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.5

Korupsi adalah perbuatan buruk seperti: penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, perbuatan tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

2.1.2 Tipologi Tindak Pidana Korupsi

Menurut Aditjandra terdapat 3 (tiga) model korupsi.6 Pertama,

berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya. Kedua, jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional. Ketiga, korupsi dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.

Jika dilihat dari besarnya lingkaran aktor yang terlibat, korupsi dapat dibedakan menjadi dua, yakni korupsi yang terkonsentrasi pada tingkat elit kekuasaan (grand corruption) dan korupsi yang dilakukan secara ‘massal’ oleh oknum-oknum pegawai negeri sipil (petty corruption).7 Di Indonesia,

kedua jenis korupsi ini menjadi kebiasaan dan berkembang secara sistematis. Namun, tidak berarti bahwa korupsi masal yang dilakukan oleh 5 Henry Campbell Black dalam Marwan Effendy. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi. hlm. 80

6 Aditjandra dalam Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Surabaya: PT. Erlangga. hlm. 66


(10)

pegawai negeri mempunyai jumlah lebih besar dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh elit-elit politik.

2.2 Pidana Mati

2.2.1 Pengertian Pidana Mati

Pada hakikatnya pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan). Berdasarkan Pasal 69 KUHP pidana mati dikategorikan sebagai pidana terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat dari perbuatannya. Secara normatif pidana mati dibenarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara umum diatur dalam Pasal 10 KUHP sebagai kelompok pidana pokok disamping pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.

Pidana mati dijatuhkan kepada keadaan-keadaan tertentu yang khusus dipandang sangat mendesak saja dan juga sebagai tindakan darurat/noodrect.8 Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati

hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat, antara lain : kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat (2) KUHP); dan kejahatan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP).

2.2.2 Ketentuan Pidana Mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor

Pidana mati juga diatur diluar ketentuan KUHP, salah satu sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor. Pidana mati dapat dijatuhkan bagi para pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor yang menyatakan dalam hal tindak pi-dana korupsi dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Sementara itu dalam penjelasan pasal ini juga dirumuskan bahwa, yang dimaksud dengan keadaan dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimak-sudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana 8 Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 30


(11)

korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jadi, pidana mati dapat dijatuhkan terhadap para koruptor yang telah telah terbukti secara sah dan meyakinkan di persidangan melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan-keadaan tertentu.

2.3 Hak Asasi Manusia (HAM)

2.3.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Menurut Mahfud M.D., pengertian hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan hak tersebut dibawah sejak lahir ke permukaan bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan (power) apapun di dunia yang dapat mencabutnya. HAM bersifat sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehiduan manusia dan merupakan hak kodrat yang tidak bisa dilepaskan dari dalam kehidupan manusia. Ciri pokok hakikat dari hak asasi manusia (HAM) yaitu sebagai berikut:

 Hak asasi manusia atau HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi (need not be given, bought or inherited). HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis.

 HAM atau hak asasi manusia berlaku untuk semua manusia (Human rights apply to all human beings) tanpa memandang jenis kelamin (gender), etnis, agama (religion), pandangan politik (political view), ataupun asal usul sosial dan bangsanya.

 HAM atau hak asasi manusia tidak boleh dilanggar. Di dunia ini tidak ada satu manusia pun yang memiliki hak untuk melanggar serta membatasi setiap hak orang lain.


(12)

Pengakuan dunia terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sudah dimulai sejak dideklarasikan Universal Declaration of Human Rights

(UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dihadapan Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember1948 di Palais de Chaillot, Paris. DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional.

Dalam DUHAM yang memuat 30 pasal, apabila ditelaah lebih lanjut secara garis besar macam-macam Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: a. hak-hak politik dan yuridis; b. hak-hak atas martabat dan integritas manusia; c. hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya. Barulah tanggal 16 Desember 19669, Majelis Umum

PBB telah mengesahkan Interna-tional Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik), dan International Covenant on Economic Social and Culture Rights atau ICESCR (Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) sebagai tindak lanjut di deklarasikannya DUHAM.

Untuk menegaskan dan memperkuat daya ikat perlindungan HAM, jaminan HAM harus menjadi materi muatan,10 dengan dilakukannya

amandemen UUD 1945. Disamping itu, Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights dan ICESCR melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Inter-national Covenant on Economic Social and Culture Rights pada 28 Oktober 2005. Di dalam kedua kovenan tersebut, macam-macam hak asasi manusia dapat dikemukakan sebagai berikut. Yang termasuk hak-hak sipil dan politik (ICCPR) yaitu antara lain:

a. hak atas hidup,

b. hak atas kebebasan dan keamanan dirinya,

c. hak atas keamanan di muka badan-badan peradilan,

9 Institute For Criminal Justice System. http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik [04 Agustus 2016]


(13)

d. hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan (conscience), beragama,

e. hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan, f. hak atas kebebasan berkumpul secara damai, dan

g. hak untuk berserikat.

Sedangkan macam-macam hak asasi ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR):

a. hak atas pekerjaan,

b. hak untuk membentuk serikat kerja, c. hak atas pensiun,

d. hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan yang layak, dan

e. hak atas pendidikan.

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metodologi dalam penelitian hukum menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.11 Hal tersebut sejalan dengan dengan pengertian yang

dikemukakan oleh Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the law that governs activities in human society.12 Selanjutnya

Cohen menyatakan bahwa “It involves locating both the rules which are enforced by the states and commentaries which explain or analyze these rules”.13

3.1 Tipe Penelitian

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.14 Tipe Penelitian dalam karya tulis ilmiah ini adalah

yuridis-normatif (legal Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma atau aturan, baik yang diidentikkan dengan keadaan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma-norma yang 11 Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 35

12 Morris L.Cohen & Kent C. Olson. Legal Research, West Publishing Company, St. Paul, Minn. Sebagaimana dikutip dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 28

13 Enind Campbell, et al, Legal Research, The Law Book Company, Melbourne, 199, hlm. 271 Sebagaimana dikutip dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 29


(14)

telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum).15

3.2 Pendekatan Masalah

Terkait karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan beberapa pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dan berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan yang digunakan penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah yuridis yaitu dengan menggunakan antara lain :

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani16;

2. Pendekatan konseptual (conseptual approuch), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pendangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.17

3.2.1 Sumber Bahan Hukum

Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah :

3.2.1.1 Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

15 Ashofa Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.33 16 Ibid, hlm. 93


(15)

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.18

3.2.1.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.19

Bahan-bahan tersebut digunakan untuk mendukung, membantu, melengkapi, dan membahas masalah-masalah yang timbul dalam penulisan ini. Pada penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah buku-buku teks yang berkaitan dengan isu hukum yang menjadi pokok permasalahan.

3.2.2 Analisis Bahan Hukum

Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan analisa deduktif, yaitu dengan cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya.20 Peter Mahmud

Marzuki menyatakan bahwa dalam menganalisa bahan yang diperoleh agar dapat menjawab permasalahan dengan tepat dilakukan dengan langkah-langkah :

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;

3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan

5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

18 Ibid, hlm. 141 19 Ibid. hlm. 155


(16)

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Penerapan Pidana Mati dalam dimensi HAM di Indonesia

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, ketentuan yang dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Turning point dalam ketentuan tersebut adalah Indonesia memiliki kedaulatan hukumnya sendiri yang tidak dapat dicampuri oleh negara lain. Hukum berperan sebagai panglima dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman kepada hukum yang dimanifestasikan kedalam peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan yang memicu polarisasi dalam masyarakat adalah penerapan pidana mati terhadap kejahatan tertentu, seperti terorisme, narkotika dan korupsi.

Hukum positif yang berlaku di Indonesia masih menerima pidana mati dalam peraturan perundang-undangan kita.21 Dari segi hukum sering

dikatakan bahwa “isu pidana mati (sebagai isu HAM) adalah isu kedaulatan hukum masing-masing negara, dan harus diserahkan kepada setiap pemerintahan negara untuk mencari keseimbangan antara hak-hak individu yang bersaing dengan hak-hak kolektivitas”. Pada saat ini tidak ada konsensus internasional tentang apakah pidana mati harus dihapus selamanya.

Menurut Achmad Ali, alasan bahwa pemidanaan mati adalah melanggar HAM dan karena itu harus dihapuskan sangatlah tidak tepat, sebab bukan hanya pidana mati, melainkan seluruh jenis “pemidanaan” pada hakikatnya adalah pelanggaran HAM, tetapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan oleh hukum yang berlaku. Singkatnya bukan hanya pidana mati, tetapi semua jenis hukuman pidana pada hakikatnya

21 Mardjono Reksodiputro. 2013. Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional. hlm. 145


(17)

merampas atau melanggar HAM dari si terpidana, tetapi kemudian sah karena sesuai ketentuan hukum yang berlaku.22

Melalui penjatuhan pidana mati, general deterrence (pencegahan umum) yang berupa efek penjeraan dapat terlaksana. Argumentasi yang mengatakan bahwa penerapan pidana mati sama sekali tidak terbukti mengurangi kejahatan adalah tidak benar. Pemidanaan memang mustahil menghapuskan kejahatan, tetapi paling tidak pemidanaan menyebabkan

the sense of justice of the victims menjadi terwujud. Pemidanaan, termasuk di dalamnya pidana mati untuk mewujudkan tujuan mulia hukum, yaitu: kedamaian (peace); keadilan (justice); kemanfaatan (utility); dan kepastian (certainty).

Ungkapan yang sesuai dengan pemidanaan mati disampaikan oleh filsuf besar, Immanuel Kant “the science of right, 1790” yang bunyinya, “if you slander another, you slander yourself; if you steal from another, you steal from yourself; if you strike another, you strike yourself; if you kill another, you kill yourself” (jika anda memfitnah orang lain, anda memfitnah diri anda sendiri; jika anda mencuri dari seseorang, anda mencuri diri anda sendiri; jika anda menyerang seseorang, anda menyerang diri anda sendiri; dan jika anda membunuh seseorang, anda membunuh diri anda sendiri).23 Kalimat yang dikemukakan oleh Immanuel

Kant untuk menegaskan dukungannya terhadap penerapan “pidana mati” bagi pelaku kejahatan serius, baik yang memang secara nyata telah menghilangkan sejumlah nyawa manusia meskipun secara tidak langsung, termasuk didalamnya adalah pelaku tindak pidana korupsi (koruptor).

Di sisi lain, Leopold Pospisil menerangkan bahwa aturan atau cara bersikap yang menjadi wajib dengan pembebanan suatu sanksi serta diberlakukan oleh suatu otoritas pengendalian, berkenaan dengan pelanggaran. Menurutnya, sanksi merupakan salah satu atribut yang terbentuk dari fenomena sosial yang disebut hukum.24 Penjatuhan pidana

mati adalah bentuk dari atribut sanksi (attribute of sanction) yang 22 Achmad Ali. Op.Cit. hlm. 88

23 Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm. 82

24 Achmad Ali. 2013. Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm. 69


(18)

menentukan bahwa putusan dari pihak yang berkuasa (pengadilan) harus dikuatkan dengan sanksi berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata. Pidana mati dikategorikannya ke dalam jenis sanksi badan (corporal sanctions) sebagai hukuman terberat yang mengakibatkan dirampasnya hak hidup seseorang.

Di dalam sistem hukum Indonesia pun pidana mati merupakan hukum positif yang sah, secara tegas diatur oleh Pasal 10 KUHP, selain diatur pula secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Lantas bagaimana bahwa yang mereka menyatakan pidana mati bertentangan dengan UUD 1945. Yang terutama bahwa konstitusi selain menjamin HAM, juga membolehkan HAM itu dibatasi dengan syarat, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau demi pertimbangan moral, ketertiban dan keamanan masyarakat luas. Hal tersebut yang kemudian hari disebut dengan pembatasan hak (claw-back clause).

Di dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) secara tegas telah menghormati HAM sebagai hak kodrati manusia yang melekat sejak ada dalam kandungan. HAM diatur secara khusus 1 (satu) bab di dalam UUD 1945 yang merupakan komitmen negara terhadap HAM. Dengan kata lain HAM adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ( non-derogable rights).25 Namun, hak yang mencerminkan kebebasan seseorang

dapat dicabut dalam hal-hal tertentu, sebagai konsekuensi dirampasnya HAM orang lain yang menimbulkan ketidak-adilan terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Pasal 28A UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Disini nilai-nilai HAM seseorang sangat dijunjung tinggi, namun juga harus kiranya menghormati HAM orang lain. Seperti yang disebut dalam Pasal 28J UUD 1945 bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara.” Pasal 28J UUD 1945 inilah yang menjadi dasar utama pembenaran pidana mati sepanjang pidana mati itu memenuhi kriteria yang ada dalam pasal

25 Jimly Asshiddiqie. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 362


(19)

tersebut.26 Apalagi pembenaran atau kekecualian yang diatur oleh Pasal

28J UUD 1945, khususnya berkaitan dengan “untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai degan pertimbangan moral dan nilai agama”, tidak bisa dilepaskan dari 5 (lima) sila dalam Pancasila, khususnya Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945.

Konstelasi perdebatan hukum tentang pidana mati ini tidak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Pada satu pihak dikatakan bahwa pidana ini bertentangan dengan asas HAM yang melindungi jiwa manusia. Akan tetapi dikatakan pula, bahwa pidana ini masih diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman kejahatan yang sangat serius atau keji yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Ditingkat internasional pidana jenis ini dilarang untuk dijatuhkan pada terpidana.27

PBB mendorong untuk ditiadakannya penerapan jenis pidana ini berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi pada tanggal 10 Desember 1948, dengan menjamin hak hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan. Demikian pula dijaminnya hak untuk hidup terdapat dalam Pasal 6 ICCPR yang diratifikasi ke dalam UU No. 12 Tahun 2006.

Kaum yang menentang pidana mati (disebut kaum abolisionis) memandang bahwa pidana mati sangat merendahkan martabat manusia dan sangat bertentang-an dengan HAM bahkan sampai menuntut dibentuknya moratorium penghapusan pidana mati di Indonesia.28

Sebagian berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu, dapat dibenarkan adanya pidana mati, yaitu apabila si pelaku telah memperlihat-kan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.29

Penerapan pidana mati bukanlah tidak beralasan karena merupakan upaya penal dalam menanggulangi kejahatan melalui putusan yang 26 Achmad Ali. 2008. Op.Cit. hlm. 43

27 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. E-Jurnal WIDYA Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015. hlm. 108

28 Republika Online. www.republika.co.id. [04 Agustus 2016]

29 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: PT. Sinar Grafika. hlm. 108


(20)

dijatuhkan oleh pengadilan. Dalam memutuskan penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu akan dipengaruhi oleh kebijakan penegakan hukum pada umumnya, dan dipengaruhi pula oleh kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan harus dipertimbangkan tujuan dari penjatuhan tersebut apakah berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau bahkan sebaliknya.

Jalan tengah yang bisa diambil adalah dengan tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positif Indonesia. Inilah kedaulatan hukum yang ditempuh oleh negara Indonesia dalam menegakkan supremasi hukum. Sekalipun kritik terhadap pelaksanaan pidana mati didengungkan baik di tingkat lokal, nasional dan sampai internasional bukan hambatan untuk memberlakukan pidana mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa ( extra-ordinary crime) yang berdampak luas dan telah merusak tatanan nilai-nilai dalam masyarakat.

4.2 Dialektika Penerapan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi 4.2.1 Unsur “Keadaan Tertentu” sebagai Pemberatan Pidana

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Selain itu, korupsi dapat menyebabkan kegagalan negara, yang direpresentasikan oleh pemerintah, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Besarnya bahaya tindak pidana korupsi itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kejahatan tersebut dinyatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime).30 Sifat pengkategorian

kejahatan korupsi itu sebagai extra-ordinary crime ini tidak berarti upaya pemberantasan kejahatan lewat penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara, mengabaikan moralitas internal dari hukum dan asas-asas hukum yang merupakan bagian integral dari moralitas internal dari hukum itu. Itulah

30 O.C. Kaligis. 2012. Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 8 Bandung: PT. Alumni. hlm. 129


(21)

sebabnya, penanganan masalah ini pun harus secara luar biasa agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tugas berat itu berada pada aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim semesti.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai maksimumnya mengungkap semua kasus korupsi hingga tuntas.31 Trend

penjatuhan pidana saat ini tergolong ringan dan masih enggan menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Perumusan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana dalam kasus tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara limitatif terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi dalam “keadaan tertentu”. Maksud frasa “keadaan tertentu” dalam pasal tersebut dalam hukum pidana lazimnya disebut dengan pemberatan pidana. Sebenarnya, yang dimaksud dengan pemberatan pidana secara umum dapat dijumpai dalam KUHP. Dasar pemberatan pidana umum terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) dasar pemberat karena jabatan; (2) dasar pemberat karena menggunakan bendera kebangsaan; (3) dan dasar pemberat karena pengulangan (recidive), di-samping pemberatan pidana lain yang tersebar di dalam pasal-pasal KUHP.32

Pemberatan pidana diatur pula dalam UU Pemberantasan Korupsi, yang diberlakukan dengan adanya kriteria khusus bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Berbeda halnya dengan pemberatan pidana pada umumnya, pemberatan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dian-cam pidana terberat yaitu pidana mati. Kriteria khusus itu diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana 31 Komisi Pemberantasan Korupsi. http://www.acch.kpk.go.id. [04 Agustus 2016]

32 Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 73


(22)

alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sedangkan menurut Busyro Muqodas, ada 3 (tiga) kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati, yaitu:33

1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat;

2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi.

Pembatasan kriteria diberlakukan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu itu sangat mencederai rasa kemanusiaan dan mengancam banyak orang, sehingga sangat layak jika dijatuhkan pidana mati. Perlu diingat pula bahwa penjatuhan pidana mati tidak serta merta berdasarkan teori pemidanaan yaitu teori balas dendam, melainkan jauh dari itu agar terpenuhinya rasa keadilan. Semangat pemberantasan korupsi layaknya negara-negara lain adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar sampai ke akar-akarnya. Kondisi semakin banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang tertangkap, baik pejabat pemerintahan, anggota legislatif hingga aparat penegak hukum itu sendiri mengindikasikan penjatuhan pidana yang seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal ini pidana mati.

Mendasarkan pada konsep tersebut di atas maka dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan dengan mengedepankan kriteria khusus tindak pidana yang dilakukan sebagai berikut: (1) Melampaui batas kemanusiaan, (2) Mencelakai dan mengancam banyak manusia, (3) Merusak generasi bangsa, (4) Merusak peradaban bangsa, (5) Merusak tatanan di muka bumi, (6) Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara,34 selain juga menegakkan keadilan.

4.2.2 Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam UU Pemberantasan Korupsi

Pidana mati sama sekali bukan semata-mata dengan tujuan “pembalasan dendam” seperti yang dituduhkan oleh kaum penentang (abolisionis) pidana mati, melainkan berdasarkan keyakinan moral bahwa kejahatan yang mereka lakukan, secara moral adalah kejahatan yang

33 Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013. hlm. 106


(23)

sangat berat dan meresahkan serta melukai perasaan moral keadilan masyarakatnya.35

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor yang mengatur tentang dapat dipidana matinya seorang koruptor, secara faktual tidak pernah diterapkan karena syarat keadaan tertentu tidak terpenuhi oleh koruptor. Hal ini mengindikasikan bahwa terlepas dari pengulangan tindak pidana, penjatuhan pidana mati terhadap koruptor, hanya dapat dilakukan jika negara berada dalam keadaan “luar biasa.” Dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK No. 3/PUU-V/2007 pada intinya menyatakan bahwa hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa tentang Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Tertentu menegaskan bahwa Islam mengakui eksistensi hukuman mati, dan negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi. MUI tidak menerangkan juga bahwa dalam hukum Djinayah (hukum syariah) terdakwa yang diancam pidana mati dapat membayar diyat (uang santunan) dan memperoleh ampunan dari keluarga korban, tidak dipidana mati.36

Indonesia adalah salah satu negara retensionis yang secara de jure

maupun de facto mengakui adanya pidana mati. Kaum pendukung (retensionis) pidana mati di Indonesia berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi (UUD 1945) sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Modderman seorang sarjana yang pro terhadap pidana mati berpendapat bahwa demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sasaran/upaya terakhir (the last resort) dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.37

Pertimbangan hakim dalam putusan pidana mati pada hakikatnya untuk membela hak asasi manusia pada korban yang dirampas oleh 35 Achmad Ali. 2008. Op.Cit.. hlm. 91

36 Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013. hlm. 107

37 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 24


(24)

terpidana. Pesan yang ingin disampaikan adalah setiap orang tidak dapat mencabut nyawa orang lain dan harus saling menghormati hak asasi sesama. Hal ini mengacu pada Pasal 28J UUD 1945, dimana setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Persoalan lain yang akan muncul jika pidana mati dijatuhkan terhadap pela-ku tindak pidana korupsi (terpidana korupsi) adalah dalam hal menyangkut masalah pelaksanaan eksekusi pidana mati. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang berlarut-larut tanpa batas waktu yang strict

berakibat terpidana menjalani 2 (dua) pidana pokok (double punish), yaitu pidana mati dan pidana penjara waktu tentu hingga maksimum umum. Dalam sistem hukum pidana Indonesia berten-tangan dengan Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang pidana mati dan pidana penjara tidak boleh dijatuhkan bersamaan. Untuk menghindari keharusan ini pelaksanaan pidana mati yang trend-nya mengarah pada pidana khusus dan dilepas dari pidana pokok, pelaksanaannya sesegera mungkin. Ketepatan dan kecepatan eksekusi mati, agar waktu lama menunggu dapat dihindari dan tidak memungkinkan depresi yang merupakan siksaan tersendiri bagi terpidana.38 Apabila hak-hak terpidana telah dilaksanakan seperti misalnya

upaya hukum dimulai dari banding, kasasi, PK, hingga grasi, eksekusi pidana mati bagi terpidana korupsi harus segera mungkin dilaksanakan.

Pada akhirnya, pidana mati jelas dibutuhkan, terlebih bagi para koruptor yang telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang tidak sedikit disamping dalam hal keadaan-keadaan tertentu dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi. Penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (terpidana korupsi) bukan hanya sekedar mengancamkan melalui ketentuan undang-undang saja melainkan benar-benar di dalam realitasnya menjadi vonis hakim dan dieksekusi benar-benar sebagai pancaran rasa keadilan yang dijunjung tinggi oleh hukum.

38 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. E-Jurnal Widya Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015. hlm. 113-114


(25)

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindak pidana korupsi merupakan fenomena kejahatan yang tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan sebagai kejahatan krah putih (white collar crime) yang merujuk pada kejahatan yang hanya dila-kukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan tertentu.

2. Penjatuhan pidana mati berlaku terbatas dalam keadaan tertentu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pida-na korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

3. Indonesia menghormati dan menjamin berlakunya HAM yang terejawan-tahkan di dalam UUD 1945, dengan segala pembatasan yang berlaku. Pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia serta merupakan kedaulatan hukum Indonesia untuk menerapkannya.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa rekomen-dasi sebagai berikut:

1. Penerapan pidana mati hendaknya merupakan benteng pemberantasan tindak pidana korupsi yang terakhir (the last resort) yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan tingkat kerugian keuangan negara yang sangat besar dan berdampak luas terhadap masyarakat.

2. Penerapan pidana mati hendaknya dilakukan dengan segera untuk menghindari pidana berganda (double punish) bagi terpidana, jika hak-hak terpidana telah dilaksanakan, dan menghindari penerapan pidana diskriminatif dengan memperbaiki kinerja sistem peradilan pidana.


(26)

DAFTAR PUSTAKA JURNAL:

Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia. E-Jurnal Widya Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015

BUKU:

Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

---. 2013. Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 dan II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ashofa Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Surabaya: PT. Erlangga.

Ermansjah Djaja. 2009. Memberantas Korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika.

Janedjri M. Gaffar. 2012. Demokrasi Konstitusional, Jakarta: Konstitusi Press Jimly Asshiddiqie. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali

Pers.

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika Lilik Mulyadi. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan

Praktik, Bandung: PT. Alumni.

Mardjono Reksodiputro. 2013. Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional.

Marwan Effendy. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi.

O.C. Kaligis. 2012. Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 8, Bandung: PT. Alumni. Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

PUBLIKASI ELEKTRONIK:

Institute For Criminal Justice System. http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik [04 Agustus 2016]

Komisi Pemberantasan Korupsi. http://www.acch.kpk.go.id. [04 Agustus 2016] Republika Online. www.republika.co.id. [04 Agustus 2016]

Transparancy International. Publikasi Corruptions Perception Index (CPI) 2014. http://www.ti.or.id [04 Agustus 2016]


(1)

sebabnya, penanganan masalah ini pun harus secara luar biasa agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tugas berat itu berada pada aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim semesti.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai maksimumnya mengungkap semua kasus korupsi hingga tuntas.31 Trend penjatuhan pidana saat ini tergolong ringan dan masih enggan menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Perumusan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana dalam kasus tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara limitatif terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi dalam “keadaan tertentu”. Maksud frasa “keadaan tertentu” dalam pasal tersebut dalam hukum pidana lazimnya disebut dengan pemberatan pidana. Sebenarnya, yang dimaksud dengan pemberatan pidana secara umum dapat dijumpai dalam KUHP. Dasar pemberatan pidana umum terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) dasar pemberat karena jabatan; (2) dasar pemberat karena menggunakan bendera kebangsaan; (3) dan dasar pemberat karena pengulangan (recidive), di-samping pemberatan pidana lain yang tersebar di dalam pasal-pasal KUHP.32

Pemberatan pidana diatur pula dalam UU Pemberantasan Korupsi, yang diberlakukan dengan adanya kriteria khusus bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Berbeda halnya dengan pemberatan pidana pada umumnya, pemberatan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dian-cam pidana terberat yaitu pidana mati. Kriteria khusus itu diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana

31 Komisi Pemberantasan Korupsi. http://www.acch.kpk.go.id. [04 Agustus 2016]

32 Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 73


(2)

alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sedangkan menurut Busyro Muqodas, ada 3 (tiga) kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati, yaitu:33 1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara

massif telah merugikan rakyat;

2. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; 3. Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi.

Pembatasan kriteria diberlakukan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu itu sangat mencederai rasa kemanusiaan dan mengancam banyak orang, sehingga sangat layak jika dijatuhkan pidana mati. Perlu diingat pula bahwa penjatuhan pidana mati tidak serta merta berdasarkan teori pemidanaan yaitu teori balas dendam, melainkan jauh dari itu agar terpenuhinya rasa keadilan. Semangat pemberantasan korupsi layaknya negara-negara lain adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar sampai ke akar-akarnya. Kondisi semakin banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang tertangkap, baik pejabat pemerintahan, anggota legislatif hingga aparat penegak hukum itu sendiri mengindikasikan penjatuhan pidana yang seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal ini pidana mati.

Mendasarkan pada konsep tersebut di atas maka dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan dengan mengedepankan kriteria khusus tindak pidana yang dilakukan sebagai berikut: (1) Melampaui batas kemanusiaan, (2) Mencelakai dan mengancam banyak manusia, (3) Merusak generasi bangsa, (4) Merusak peradaban bangsa, (5) Merusak tatanan di muka bumi, (6) Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara,34 selain juga menegakkan keadilan.

4.2.2 Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam UU Pemberantasan Korupsi Pidana mati sama sekali bukan semata-mata dengan tujuan “pembalasan dendam” seperti yang dituduhkan oleh kaum penentang (abolisionis) pidana mati, melainkan berdasarkan keyakinan moral bahwa kejahatan yang mereka lakukan, secara moral adalah kejahatan yang 33 Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013. hlm. 106


(3)

sangat berat dan meresahkan serta melukai perasaan moral keadilan masyarakatnya.35

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor yang mengatur tentang dapat dipidana matinya seorang koruptor, secara faktual tidak pernah diterapkan karena syarat keadaan tertentu tidak terpenuhi oleh koruptor. Hal ini mengindikasikan bahwa terlepas dari pengulangan tindak pidana, penjatuhan pidana mati terhadap koruptor, hanya dapat dilakukan jika negara berada dalam keadaan “luar biasa.” Dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK No. 3/PUU-V/2007 pada intinya menyatakan bahwa hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa tentang Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Tertentu menegaskan bahwa Islam mengakui eksistensi hukuman mati, dan negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi. MUI tidak menerangkan juga bahwa dalam hukum Djinayah (hukum syariah) terdakwa yang diancam pidana mati dapat membayar diyat (uang santunan) dan memperoleh ampunan dari keluarga korban, tidak dipidana mati.36

Indonesia adalah salah satu negara retensionis yang secara de jure

maupun de facto mengakui adanya pidana mati. Kaum pendukung (retensionis) pidana mati di Indonesia berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi (UUD 1945) sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Modderman seorang sarjana yang pro terhadap pidana mati berpendapat bahwa demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sasaran/upaya terakhir (the last resort) dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.37

Pertimbangan hakim dalam putusan pidana mati pada hakikatnya untuk membela hak asasi manusia pada korban yang dirampas oleh

35 Achmad Ali. 2008. Op.Cit.. hlm. 91

36 Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013. hlm. 107

37 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 24


(4)

terpidana. Pesan yang ingin disampaikan adalah setiap orang tidak dapat mencabut nyawa orang lain dan harus saling menghormati hak asasi sesama. Hal ini mengacu pada Pasal 28J UUD 1945, dimana setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Persoalan lain yang akan muncul jika pidana mati dijatuhkan terhadap pela-ku tindak pidana korupsi (terpidana korupsi) adalah dalam hal menyangkut masalah pelaksanaan eksekusi pidana mati. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang berlarut-larut tanpa batas waktu yang strict berakibat terpidana menjalani 2 (dua) pidana pokok (double punish), yaitu pidana mati dan pidana penjara waktu tentu hingga maksimum umum. Dalam sistem hukum pidana Indonesia berten-tangan dengan Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang pidana mati dan pidana penjara tidak boleh dijatuhkan bersamaan. Untuk menghindari keharusan ini pelaksanaan pidana mati yang trend-nya mengarah pada pidana khusus dan dilepas dari pidana pokok, pelaksanaannya sesegera mungkin. Ketepatan dan kecepatan eksekusi mati, agar waktu lama menunggu dapat dihindari dan tidak memungkinkan depresi yang merupakan siksaan tersendiri bagi terpidana.38 Apabila hak-hak terpidana telah dilaksanakan seperti misalnya upaya hukum dimulai dari banding, kasasi, PK, hingga grasi, eksekusi pidana mati bagi terpidana korupsi harus segera mungkin dilaksanakan.

Pada akhirnya, pidana mati jelas dibutuhkan, terlebih bagi para koruptor yang telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang tidak sedikit disamping dalam hal keadaan-keadaan tertentu dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi. Penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (terpidana korupsi) bukan hanya sekedar mengancamkan melalui ketentuan undang-undang saja melainkan benar-benar di dalam realitasnya menjadi vonis hakim dan dieksekusi benar-benar sebagai pancaran rasa keadilan yang dijunjung tinggi oleh hukum.

38 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. E-Jurnal Widya Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015. hlm. 113-114


(5)

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindak pidana korupsi merupakan fenomena kejahatan yang tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan sebagai kejahatan krah putih (white collar crime) yang merujuk pada kejahatan yang hanya dila-kukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan tertentu.

2. Penjatuhan pidana mati berlaku terbatas dalam keadaan tertentu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pida-na korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

3. Indonesia menghormati dan menjamin berlakunya HAM yang terejawan-tahkan di dalam UUD 1945, dengan segala pembatasan yang berlaku. Pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia serta merupakan kedaulatan hukum Indonesia untuk menerapkannya.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa rekomen-dasi sebagai berikut:

1. Penerapan pidana mati hendaknya merupakan benteng pemberantasan tindak pidana korupsi yang terakhir (the last resort) yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan tingkat kerugian keuangan negara yang sangat besar dan berdampak luas terhadap masyarakat.

2. Penerapan pidana mati hendaknya dilakukan dengan segera untuk menghindari pidana berganda (double punish) bagi terpidana, jika hak-hak terpidana telah dilaksanakan, dan menghindari penerapan pidana diskriminatif dengan memperbaiki kinerja sistem peradilan pidana.


(6)

DAFTAR PUSTAKA JURNAL:

Elsa R.M. Toule. Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum PRIORIS. Vol. 3 No. 3 Tahun 2013 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia. E-Jurnal Widya Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015 BUKU:

Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

---. 2013. Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Adami Chazawi. 2011. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 dan II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ashofa Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Budi Winarno. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Surabaya: PT. Erlangga.

Ermansjah Djaja. 2009. Memberantas Korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika.

Janedjri M. Gaffar. 2012. Demokrasi Konstitusional, Jakarta: Konstitusi Press Jimly Asshiddiqie. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali

Pers.

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika Lilik Mulyadi. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan

Praktik, Bandung: PT. Alumni.

Mardjono Reksodiputro. 2013. Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional.

Marwan Effendy. 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi.

O.C. Kaligis. 2012. Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 8, Bandung: PT. Alumni. Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

PUBLIKASI ELEKTRONIK:

Institute For Criminal Justice System. http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik [04 Agustus 2016]

Komisi Pemberantasan Korupsi. http://www.acch.kpk.go.id. [04 Agustus 2016] Republika Online. www.republika.co.id. [04 Agustus 2016]

Transparancy International. Publikasi Corruptions Perception Index (CPI) 2014. http://www.ti.or.id [04 Agustus 2016]