Penerapan Pidana Mati dalam dimensi HAM di Indonesia

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Penerapan Pidana Mati dalam dimensi HAM di Indonesia

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, ketentuan yang dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Turning point dalam ketentuan tersebut adalah Indonesia memiliki kedaulatan hukumnya sendiri yang tidak dapat dicampuri oleh negara lain. Hukum berperan sebagai panglima dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman kepada hukum yang dimanifestasikan kedalam peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan yang memicu polarisasi dalam masyarakat adalah penerapan pidana mati terhadap kejahatan tertentu, seperti terorisme, narkotika dan korupsi. Hukum positif yang berlaku di Indonesia masih menerima pidana mati dalam peraturan perundang-undangan kita. 21 Dari segi hukum sering dikatakan bahwa “isu pidana mati sebagai isu HAM adalah isu kedaulatan hukum masing-masing negara, dan harus diserahkan kepada setiap pemerintahan negara untuk mencari keseimbangan antara hak-hak individu yang bersaing dengan hak-hak kolektivitas”. Pada saat ini tidak ada konsensus internasional tentang apakah pidana mati harus dihapus selamanya. Menurut Achmad Ali, alasan bahwa pemidanaan mati adalah melanggar HAM dan karena itu harus dihapuskan sangatlah tidak tepat, sebab bukan hanya pidana mati, melainkan seluruh jenis “pemidanaan” pada hakikatnya adalah pelanggaran HAM, tetapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan oleh hukum yang berlaku. Singkatnya bukan hanya pidana mati, tetapi semua jenis hukuman pidana pada hakikatnya 21 Mardjono Reksodiputro. 2013. Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional. hlm. 145 11 merampas atau melanggar HAM dari si terpidana, tetapi kemudian sah karena sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 22 Melalui penjatuhan pidana mati, general deterrence pencegahan umum yang berupa efek penjeraan dapat terlaksana. Argumentasi yang mengatakan bahwa penerapan pidana mati sama sekali tidak terbukti mengurangi kejahatan adalah tidak benar. Pemidanaan memang mustahil menghapuskan kejahatan, tetapi paling tidak pemidanaan menyebabkan the sense of justice of the victims menjadi terwujud. Pemidanaan, termasuk di dalamnya pidana mati untuk mewujudkan tujuan mulia hukum, yaitu: kedamaian peace; keadilan justice; kemanfaatan utility; dan kepastian certainty. Ungkapan yang sesuai dengan pemidanaan mati disampaikan oleh filsuf besar, Immanuel Kant “the science of right, 1790” yang bunyinya, “if you slander another, you slander yourself; if you steal from another, you steal from yourself; if you strike another, you strike yourself; if you kill another, you kill yourself” jika anda memfitnah orang lain, anda memfitnah diri anda sendiri; jika anda mencuri dari seseorang, anda mencuri diri anda sendiri; jika anda menyerang seseorang, anda menyerang diri anda sendiri; dan jika anda membunuh seseorang, anda membunuh diri anda sendiri. 23 Kalimat yang dikemukakan oleh Immanuel Kant untuk menegaskan dukungannya terhadap penerapan “pidana mati” bagi pelaku kejahatan serius, baik yang memang secara nyata telah menghilangkan sejumlah nyawa manusia meskipun secara tidak langsung, termasuk didalamnya adalah pelaku tindak pidana korupsi koruptor. Di sisi lain, Leopold Pospisil menerangkan bahwa aturan atau cara bersikap yang menjadi wajib dengan pembebanan suatu sanksi serta diberlakukan oleh suatu otoritas pengendalian, berkenaan dengan pelanggaran. Menurutnya, sanksi merupakan salah satu atribut yang terbentuk dari fenomena sosial yang disebut hukum. 24 Penjatuhan pidana mati adalah bentuk dari atribut sanksi attribute of sanction yang 22 Achmad Ali. Op.Cit. hlm. 88 23 Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm. 82 24 Achmad Ali. 2013. Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hlm. 69 12 menentukan bahwa putusan dari pihak yang berkuasa pengadilan harus dikuatkan dengan sanksi berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata. Pidana mati dikategorikannya ke dalam jenis sanksi badan corporal sanctions sebagai hukuman terberat yang mengakibatkan dirampasnya hak hidup seseorang. Di dalam sistem hukum Indonesia pun pidana mati merupakan hukum positif yang sah, secara tegas diatur oleh Pasal 10 KUHP, selain diatur pula secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Lantas bagaimana bahwa yang mereka menyatakan pidana mati bertentangan dengan UUD 1945. Yang terutama bahwa konstitusi selain menjamin HAM, juga membolehkan HAM itu dibatasi dengan syarat, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau demi pertimbangan moral, ketertiban dan keamanan masyarakat luas. Hal tersebut yang kemudian hari disebut dengan pembatasan hak claw-back clause. Di dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 secara tegas telah menghormati HAM sebagai hak kodrati manusia yang melekat sejak ada dalam kandungan. HAM diatur secara khusus 1 satu bab di dalam UUD 1945 yang merupakan komitmen negara terhadap HAM. Dengan kata lain HAM adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun non- derogable rights. 25 Namun, hak yang mencerminkan kebebasan seseorang dapat dicabut dalam hal-hal tertentu, sebagai konsekuensi dirampasnya HAM orang lain yang menimbulkan ketidak-adilan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pasal 28A UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Disini nilai-nilai HAM seseorang sangat dijunjung tinggi, namun juga harus kiranya menghormati HAM orang lain. Seperti yang disebut dalam Pasal 28J UUD 1945 bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara.” Pasal 28J UUD 1945 inilah yang menjadi dasar utama pembenaran pidana mati sepanjang pidana mati itu memenuhi kriteria yang ada dalam pasal 25 Jimly Asshiddiqie. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 362 13 tersebut. 26 Apalagi pembenaran atau kekecualian yang diatur oleh Pasal 28J UUD 1945, khususnya berkaitan dengan “untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai degan pertimbangan moral dan nilai agama”, tidak bisa dilepaskan dari 5 lima sila dalam Pancasila, khususnya Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945. Konstelasi perdebatan hukum tentang pidana mati ini tidak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Pada satu pihak dikatakan bahwa pidana ini bertentangan dengan asas HAM yang melindungi jiwa manusia. Akan tetapi dikatakan pula, bahwa pidana ini masih diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman kejahatan yang sangat serius atau keji yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Ditingkat internasional pidana jenis ini dilarang untuk dijatuhkan pada terpidana. 27 PBB mendorong untuk ditiadakannya penerapan jenis pidana ini berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM yang diadopsi pada tanggal 10 Desember 1948, dengan menjamin hak hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan. Demikian pula dijaminnya hak untuk hidup terdapat dalam Pasal 6 ICCPR yang diratifikasi ke dalam UU No. 12 Tahun 2006. Kaum yang menentang pidana mati disebut kaum abolisionis memandang bahwa pidana mati sangat merendahkan martabat manusia dan sangat bertentang-an dengan HAM bahkan sampai menuntut dibentuknya moratorium penghapusan pidana mati di Indonesia. 28 Sebagian berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu, dapat dibenarkan adanya pidana mati, yaitu apabila si pelaku telah memperlihat-kan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup. 29 Penerapan pidana mati bukanlah tidak beralasan karena merupakan upaya penal dalam menanggulangi kejahatan melalui putusan yang 26 Achmad Ali. 2008. Op.Cit. hlm. 43 27 Warih Anjari. Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. E-Jurnal WIDYA Yustisia. Vol. 1 No. 2 Maret 2015. hlm. 108 28 Republika Online. www.republika.co.id . [04 Agustus 2016] 29 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: PT. Sinar Grafika. hlm. 108 14 dijatuhkan oleh pengadilan. Dalam memutuskan penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu akan dipengaruhi oleh kebijakan penegakan hukum pada umumnya, dan dipengaruhi pula oleh kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan harus dipertimbangkan tujuan dari penjatuhan tersebut apakah berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau bahkan sebaliknya. Jalan tengah yang bisa diambil adalah dengan tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positif Indonesia. Inilah kedaulatan hukum yang ditempuh oleh negara Indonesia dalam menegakkan supremasi hukum. Sekalipun kritik terhadap pelaksanaan pidana mati didengungkan baik di tingkat lokal, nasional dan sampai internasional bukan hambatan untuk memberlakukan pidana mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa extra- ordinary crime yang berdampak luas dan telah merusak tatanan nilai-nilai dalam masyarakat.

4.2 Dialektika Penerapan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi