Jaringan aktor antara pemegang IUPHHK-HT yang bekerjasama dengan Jaringan aktor antara pemegang IUPHHK-HT yang bekerjasama dengan

Jaringan Aktor dalam Proses Agenda Setting Proses agenda setting adalah proses menyampaikan permasalahan menurut pelaku menjadi permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dalam bentuk permasalahan kebijakan. Bila dilihat dari permasalahan yang definisikan oleh aktor, maka permasalahan pembangunan HTI sebagai agenda kebijakan peraturan menteri kehutanan adalah permasalahan kesulitan finansial. Aktor yang memiliki pengaruh terhadap Kementerian Kehutanan untuk membuat peraturan pemerintah yang mengatur permasalahan kesulitan finansial pemegang IUPHHK-HT adalah pemegang IUPHHK-HT yang memiliki industri pulp kertas PT. RAPP dan PT. IKPP, pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial dan Asosiasi Pelaku usaha Hutan Indonesia APHI Riau dan APHI Pusat. Proses penyampaian permasalahan pembangunan HTI dan jaringan yang terbentuk dalam perumusan agenda kebijakan disajikan pada Gambar 3-1 berikut. Gambar 3-1. Jaringan Aktor Agenda Setting Peraturan Menteri tentang Kerjsama Operasi KSO disederhanakan Aktor yang terlibat langsung dalam penentuan agenda kebijakan adalah PT. RAPP, PT. IKPP, perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial dan APHI Riau. Sedangkan jaringan yang terbentuk dalam penentuan agenda kebijakan adalah sebagai berikut :

a. Jaringan aktor antara pemegang IUPHHK-HT yang bekerjasama dengan

PT. RAPP Aktor yang terlibat dalam jaringan ini adalah pemegang IUPHHK-HT yang berada dalam satu grup dan perusahaan yang lokasi HTI nya berada disekitar pabrik pulp kertas PT. RAPP. Grup yang terbentuk ini berasal dari pemegang IUPHHK-HT yang telah habis masa konsesinya. Sebagai contoh adalah grup eks HPH Barito Pasific Timber, eks HPH Siak Raya Timber dan eks HPH PT. Kementerian Kehutanan Bina Usaha Kehutanan F APHI A B E PT. RAPP PT. IKPP G H D A C Uni Seraya. Pemegang IUPHHK-HT ini merupakan eks HPH yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan IUPHHK-HT. Komunikasi antara pemegang IUPHHK-HT ini secara intens menyebabkan terbentuk jaringan diantara grup eks HPH yang telah menjadi HTI. Pertimbangan untuk membentuk jaringan dalam menyampaikan masukan terkait dengan penyelesaian permasalahan kesulitan finansial. Dengan membentuk jaringan akan memudahkan dalam menyampaikan kepentingan grup. Melaui pembentukan jaringan maka grup tersebut akan memiliki kekuatan dalam bernegosiasi dengan Kementerian Kehutanan. Jaringan antara pemegang IUPHHK-HT juga terbentuk dari kedekatan lokasi HTI dengan pabrik pulp kertas PT. RAPP. Lokasi industri pulp kertas PT RAPP ini berada di Kabupaten Pelalawan. Sehingga lokasi IUPHHK-HT yang berada di sekitar Kabupaten Pelalawan akan membentuk grup dengan PT. RAPP. Demikian pula dengan IUPHHK-HT yang berada di Kabupaten Rokan Hulu. Pemegang IUPHHK-HT yang membentuk grup dengan PT. RAPP berdasarka kedekatan lokasi pabrik ini adalah pemegang IUPHHK-HT yang tidak berada dalam satu grup dengan eks HPH yang ada sebelumnya. IUPHHK-HT ini biasanya adalah IUPHHK-HT yang tidak terkait dengan HPH sebelumnya.

b. Jaringan aktor antara pemegang IUPHHK-HT yang bekerjasama dengan

PT. IKPP Aktor yang terlibat dalam agenda setting ini adalah pemegang IUPHHK-HT dan APHI Riau. Pemegang IUPHHK-HT yang berada di Kab. Siak, Dumai ataupun Bengkalis, memiliki jaringan dengan PT. IKPP. Proses yang terjadi hampir sama dengan jaringan PT. RAPP. Agenda yang dibawa oleh perusahaan besar dalam menyelesaikan permasalahan kesulitan finansial HTI adalah melaui KSO. Agenda ini disampaikan melalui saluran APHI Riau dan APHI Pusat, serta komunikasi langsung antara perusahaan besar dengan Kementerian Kehutanan. Komunikasi yang terjadi antara Kementerian Kehutanan dan APHI Pusat maupun dengan pelaku usaha besar tidak diperoleh informasi. Proses Implementasi Proses implementasi Peraturan Menteri tentang KSO dilakukan melalui beberapa tahap yang melibatkan beberapa aktor. Aktor yang terlibat adalah APHI Riau, perusahaan yang melakukan KSO dan perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial. Proses implementasi ini hanya melibatkan aktor perusahaan HTI karena perjanjian kerjasama operasi ini berada dalam ranah private perusahaan. Perjanjian KSO ini berisi kesepakatan untuk melakukan KSO pelaksanaan pembangunan HTI antara pemegang IUPHHK-HT dengan pelaksana KSO. Perjanjian kerjasama ini harus diketahui dan disetujui oleh Menteri Kehutanan. Tahapan proses pengajuan ke Menteri Kehutanan untuk perjanjian KSO yang telah disepakati tertera pada Gambar 3-2. Gambar 3-2. Proses Implementasi Kerja sama Operasi KSO Sebelum proses pengajuan KSO ke Menteri Kehutanan seperti pada ambar 3-2, proses yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam implementasi peraturan menteri tentang KSO adalah sebagai berikut : 1. Penjajagan antara pihak yang melakukan KSO Proses yang dijalankan oleh perusahaan yang melakukan KSO ini melalui pendekatan secara personal untuk mencari peluang kemungkinan untuk melakukan KSO. Penjajagan dilakukan oleh kedua belah pihak. Pelaku usaha yang melakukan KSO mencari pelaku pemegang IUPHHK-HT untuk diajak bekerjasama. Sementara itu pemegang IUPHHK-HT berkepentingan untuk membangun HTI. Keterbatasan modal membuat pemegang IUPHHK-HT mencari pelaku usaha HTI yang memiliki modal besar yaitu PT.RAPP atau PT.IKPP. 2. Negosiasi isi perjanjian kerja sama operasi KSO Tahapan selanjutnya dalam proses implementasi KSO adalah pembuatan perjanjian kerja sama antara perusahaan yang melakukan KSO. Perjanjian tersebut berisi hal-hal yang terkait dengan : a. Waktu penandatanganan, identitas pemegang IUPHHK-HT dan pemohon yang bertindak sebagai pelaksana KSO b. Dasar perjanjian, maksud dan tujuan perjanjian, ruang lingkup perjanjian c. Lokasi dan luas areal yang dikerjasamakan, jenis kegiatan kerja sama, hak dan kewajiban, dan jangka waktu kerjasama Proses negosiasi mengenai isi perjanjian ini menjadi proses yang alot, terutama menyangkut mengenai perjanjian harga, pembagian hasil bagi hasil pembangunan HTI dan jangka waktu kerjasama operasi. Proses ini dilakukan dengan posisi tawar yang tidak setara antara pemegang IUPHHK-HT dengan yang akan melakukan KSO. 3. Pengajuan permohonan kerja sama operasi KSO ke Menteri. Permohonan ini ajukan ke Menetri Kehutanan untuk mendapatkan persetujuan Menteri. Pemegang IUPHHK-HT Permohonanpersyaratan 1. Keputusan RUPS 2. Proyek Proposal 3. Perjanjian KSO 4. Foto copy KTP Akte perusahaan 5. Surat Pernyataan Melengkapi persyaratan mengembalikan persyaratan Tembusan : Direktur Jenderal BUK, Pelaksana KSO PT, BUMSI, BUMN BUMD, Koperasi atau perorangan Direktur Jenderal BUK menelaah permohonan Menteri Kehutanan Tolak Terima Sekretariat Jenderal Kehutanan Walaupun KSO ini mensyaratkan persetujuan Menteri Kehutanan, sampai saat ini tidak ada KSO yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan. 4. Pembinaan, bimbingan teknis dan pengendalian serta pelaporan tiap bulan ke Menteri Kehutanan. Proses pembinaan dan pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan ini tidak dilaksanakan karena KSO yang terjadi tidak dilaporkan ke Menteri Kehutanan untuk ditandatangani. Aktor dan Jaringan dalam Proses Implementasi Aktor yang terlibat dalam proses implementasi Peraturan Menteri Kehutanan tentang KSO ini terdiri atas aktor dari pihak perusahaan yang melakukan kerja sama dan aktor dari pihak yang mengesahkan kerja sama tersebut. Peraturan Menteri tentang KSO ini merupakan peraturan yang mengatur tindakan yang terjadi antara pelaku usaha yang melakukan kerja sama, sehingga sifatnya adalah urusan perusahaan. Karena bersifat urusan swasta maka dalam implementasi tersebut Dinas Kehutanan Provinsi ataupun Kabupaten tidak terlibat. Secara detil aktor yang terlibat dalam implementasi peraturan ini adalah : 1. Pelaku usaha yang memiliki industri pulp kertas Pelaku usaha yang memiliki industri dan menjadi aktor utama dalam proses implementasi KSO ini adalah perusahaan PT.RAPP dan PT.IKPP. Kedua industri perusahaan terintegrasi dengan perusahaan HTI PT. RAPP dan PT. Arara Abadi. Proses perjanjian dilakukan oleh pemilik perusahaan masing- masing. Perjanjian yang dilakukan oleh PT.RAPP dilakukan oleh perusahaan yang tergabung dalam grup PT.RAPP. Namun demikian yang melakukan negosiasi mengenai perjanjian tersebut dilakukan oleh pimpinan perusahaan PT.RAPP dengan pemegang IUPHHK-HT yang mengalamim kesulitan. Hal yang sama juga terjadi dalam perjanjian kerjasama operasi antara PT.IKPP dengan pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial. 2. Pelaku usaha yang tidak memiliki industri pulp dan kertas Pelaku usaha yang tidak memiliki industri pulp kertas ini adalah perusahaan HTI yang mengalami kesulitan finansial dalam melaksanakan pembangunan HTI secara mandiri. Oleh karena itu KSO ini membantu pemegang IUPHHK- HT karena adanya jaminan pasar kayu HTI. Proses perjanjian ini menempatkan posisi tawar pemegang IUPHHK-HT tidak setara dengan pemiliki industri. Posisi tawar pemilik industri lebih besar sehingga dapat menekan harga kayu yang dihasilkan dari HTI. 3. Asosiasi Pelaku usaha Hutan Indonesia APHI Riau APHI Riau dalam proses implementasi peraturan tentang kerja sama operasi KSO ini tidak memiliki peranan yang besar. Seharusnya APHI Riau dapat membantu dalam proses negosiasi perjanjian kerjasama agar posisi tawar masing-masing pihak seimbang. 4. Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan SIMPULAN Aktor yang membawa ide kerja sama operasional KSO dalam pembangunan HTI menjadi agenda kebijakan adalah pemegang IUPHHK-HT yang memiliki industri pulp dan kertas yaitu PT.RAPP dan PT.IKPP. Jaringan aktor proses agenda setting terbentuk karena adanya kesamaan permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan bahan baku. Aktor yang terlibat dalam implementasi peraturan menteri kehutanan tentang kerja sama operasi KSO adalah pemegang IUPHHK-HT yang melakukan kerja sama. Proses implementasi peraturan menteri ini dikendalikan oleh perusahaan grup PT. RAPP dan PT.IKPP sehingga perjanjian tersebut tidak dilaporkan ke Menteri Kehutanan untuk disetujui. SARAN Perlu dilakukan penataan perjanjian kerjasama operasi KSO yang terjadi saat ini karena diduga terdapat pelanggaran terhadap ruang lingkup kerja sama operasi seperti yang telah diatur dalam peraturan menteri. DAFTAR PUSTAKA Birkland, T. 2001. An Introduction to the Policy Process, theories, concepts, and models of public policy making. M.E.Sharpe. New York-London Budiardjo, M. 2007. Ilmu Politik. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dunn, W. 1998. Pengantar Analisis kebijakan Publik. Wibawa Samodra. Penerjemah; Darwin M, penyunting. Jogjakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Public Policy Analysis: An Introduction Dye, T. 1975. Understanding Public Policy. Second Edition. Englewood Clifft, N.J. Prentice-Hall Giddens, A. 1984. Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Adi Loka S, penerjemah; Yogyakarta: Penerbit Pedati. Terjemahan dari: The Constitution of Society. Hogwood, Brian W dan Lewis, G .1983. Policy Analysis for The Real World. Oxford Univesity Press. Institute of Development Studies IDS. 2006. Policy Process Making. Krott, M. 2005. Forest Policy Analysis. Springer. Netherlands Lester, James P and Joseph Stewart. 2000. Public Policy : An Evolutionary Approach. Australia: Wadsworth, Second Ed Nugroho, B. 2008. Public Policy. Elex Media Komputindo. Jakarta Parsons W. 2001. Public Policy : Pengantar Teori Praktik Analisis Kebijakan penerjemah; Tri Wibowo Budi Santoso. Prenada Media. Jakarta. Terjemahan dari: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn CH, Stringer LC. 2000. Who’s in and Why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resources management. Journal of Enviromental Management 902009: 1933-1949 Ritzer, G and Goodman, D. 2007. Teori Sosiologi Modern, edisi keenam. Alimandan, penerjemah; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Terjemahan dari: Modern Sociology Theory, 6th edition. Surbakti, R. 1992. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Winarno, B. 2012. Kebijakan Publik teori, Proses dan Studi Kasus. Penerbit Caps. Jogjakarta

IV. POSISI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN