POSISI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN

IV. POSISI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN

HUTAN TANAMAN INDUSTRI Bagian ini mengkaji posisi negara dalam pembangunan hutan tanaman industri HTI dengan menggunakan teori property right dan principal agent. Kedua teori ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana posisi negara dalam pembangunan HTI. Teori property right melihat proses pelimpahan kewenangan pemanfaatan hasil hutan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Sementara teori principal agent menjelaskan bagaimana proses pelimpahan kewenangan kepada pihak lain agent oleh principal. Hasil kajian adalah diperolehnya posisi negara terhadap kawasan hutan dan pelaku yang telah diberi kewenangan oleh negara. Informasi ini diharapkan sebagai bahan dalam menentukan peran Kementerian Kehutanan sebagai institusi yang memiliki mandat dalam mengelola hutan dalam pembangunan HTI PENDAHULUAN Latar Belakang Kewenangan penyelenggaraan izin pemanfaatan hutan produksi selama era otonomi daerah dalam konteks pembagian kewenangan diatur dalam Peraturan Pemerintah PP No. 252000 jo Peraturan Pemerintah PP No. 382007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupatenkota. Pengaturan kewenangan kewenangan ini juga terdapat pada PP No. 342002 jo PP No. 72006 jo PP No. 32008, di mana Kementerian Kehutanan menjadi pemegang kewenangan tersebut. Selama tahun 2001 – 2003, kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan produksi dilimpahkan ke pemerintah daerah. Namun demikian karena maraknya praktik korupsi terkait dengan pemberian izin yang dilakukan oleh pemerintah daerah, kewenangan tersebut dikembalikan ke pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 322003. Menurut Dewi et al. 2010, dalam pembagian kewenangan ini perlu adanya kejelasan tanggung jawab sehingga pelayanan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Hutan produksi ini merupakan bagian dari hutan negara, dimana karakteristik sumber daya hutan ini menyebabkan adanya saling ketergantungan interdependensi Ostrom 2008 antar stakehoders dan antar wilayah. Salah satu upaya untuk menekan interdependensi dapat dilakukan melalui penataan hak kepemilikan sebagai bagian dari aturan main pengelolaan hutan. Pengalihan kewenangan ini tidak menghilangkan fungsi negara untuk melakukan pengawasan. Fungsi negara sebagai penyelenggara kehidupan termasuk pengelolaan sumber daya telah didefinisikan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh Roger H. Soltau, Harold J. Laski, Max Weber dan Robert M. Maclver Budiardjo 2007, dimana prinsip keberadaan negara adalah pemegang kewenangan dalam pengaturan masyarakat. Melalui konsep negara kesejahteraan welfare state, negara memiliki fungsi untuk menciptakan kesejahteraan melalui pemenuhan kepentingan umum Ilmar 2012. Dalam pengelolaan sumber daya hutan, keberadaan negara adalah mengatur pemanfaatan hutan, pendistribusian pihak dan hak dalam pemanfaatan hutan . Penguasaan hutan oleh negara menempatkan negara sebagai pihak yang melakukan pengaturan terhadap pengelolaan hutan Kartodihardjo, Jhamtani 2006: Hidayat 2008;. Penguasaan hutan ini dimaksudkan sebagai kewenangan negara untuk mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan UU No. 411999. Pengaturan oleh negara ini diwujudkan dalam bentuk pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu. Pemberian izin dalam masa era desentralisasi telah menempatkan pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar Zuhro 2013. Namun kewenangan tersebut masih dalam kendali pemerintah. Meskipun ada pelibatan daerah dalam pemberian izin, kewenangan pemerintah masih begitu besar. Berdasarkan deskripsi di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah, bagaimana posisi negara dalam pembangunan hutan tanaman industri ? Rawls 1995; Ali, Lino 2013. Posisi negara dimaksudkan sebagai peranan negara dalam pelaksanaan pembangunan hutan tanaman industri. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Mengetahui perubahan hak negara dan pelaku dalam pembangunan hutan tanaman industri 2. Mengetahui perubahan kewenangan negara dan pelaku dalam pembangunan hutan tanaman industri 3. Mengetahui posisi negara terhadap kawasan hutan dan pelaku dalam pembangunan hutan tanaman industri Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan dalam melakukan perubahan kelembagaan dalam pembangunan hutan tanaman industri. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan tahun 2012-2013 di Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Riau didasarkan atas pertimbangan bahwa luas hutan tanaman industri di Riau mencapai 1,6 juta ha Kementerian Kehutanan 2011 serta terdapat dua industri pulp dan kertas yang memiliki kapasitas produksi 4 juta ton atau 75,8 dari produksi pulp dan kertas nasional Mediadata Riset 2010. Metode Pengambilan dan Analisis Data Kajian ini melihat proses pelimpahan kewenangan dalam pembangunan hutan tanaman industri dari negaraKementerian Kehutanan principal ke pelaku usaha agent melalui pemberian IUPHHK-HT dan KSO yang menempatkan pelaku usaha sebagai principal dan menyerahkan kewenangan ke pelaku usaha lain atau kontraktor agent. Secara keseluruhan metode penelitian yang digunakan adalah metode fenomenologi sesuai dengan metode yang digunakan dalam disertasi ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah untuk menentukan waktu kejadian. Data-data yang dikumpulkan dalam proses wawancara merupakan data-data proses yang terjadi selama tahun 2001-2005 yaitu periode dimana terjadi perjanjian penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati Pelalawan yang dilanjutkan dengan kerja sama operasi KSO. Beberapa metode lain digunakan untuk melengkapi penelitian ini. Berikut adalah deskripsi metode berdasarkan tujuan penelitian. 1. Perubahan hak negara dan pelaku dalam pembangunan HTI Data diperoleh dari dokumen Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Bupati tentang pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HT dan dokumen perjanjian kerja sama operasi KSO. Dokumen tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis isi content analysis untuk mendapatkan isi dan makna dari pelimpahan kewenangan pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi. Untuk melengkapi data analisis isi ini dilakukan wawancara mendalam terhadap pelaku yang terlibat dalam pembangunan HTI. Wawancara ini dilakukan secara mendalam dalam konteks metode fenomenologi. Informan yang diwawancarai adalah pejabat di Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, pelaku usaha pemegang IUPHHK-HT yang memperoleh SK IUPHHK-HT dari Menteri Kehutanan dan Bupati Pelalawan. Analisis data menggunakan analisis data fenomenologi. Analisis data fenomenologi yang meliputi tahapan horizonalization, reduksi dan eliminasi; deskripsi tektural, deskripsi struktural dan penentuan makna Kuswarno 2009 2. Perubahan kewenangan negara dan pelaku dalam pembangunan HTI Data diperoleh dari dokumen peraturan perundangan yang terdiri atas: UU No. 411999, PP 61999, PP 342002, PP 62007 dan PP 32008, Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur kerja sama operasi yaitu Peraturan Menteri No.P.202005 jo P.372009 jo P.292012 dan dokumen perjanjian kerja sama dalam pelaksanaan kerja sama operasi dan dokumen perjanjian operasional pembangunan hutan tanaman industri dengan kontraktor pelaksana. Analisis data dilakukan melalui analisis isi Khan et al. 2010. Untuk melengkapi data hasil analisis isi dilakukan wawancara kepada pejabat di Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten dan pelaku usaha pemegang IUPHHK-HT menurut SK Menteri Kehutanan dan Bupati. 3. Posisi negara terhadap kawasan hutan dan pelaku dalam pembangunan hutan tanaman industri Data dikumpulkan dari dokumen peraturan perundangan dan SK IUPHHK-HT seperti yang disebutkan pada tujuan 1 dan 2 di atas. Klarifikasi terhadap hasil analisis isi melalui wawancara kepada beberapa informan. Penggalian informasi dan klarifikasi hasil ini dilakukan dengan wawancara mendalam dalam lingkup metode fenomenologi. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam menjalankan fungsi pengaturan kehidupan bernegara Aji 2013, negara memiliki kewenangan menguasai sumber daya hutan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan menguasai ini dipegang oleh Kementerian Kehutanan sebagai wakil negara. Bentuk penguasaan ini melalui pengurusan hutan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan UU No. 411999. Pengurusan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah yang dilaksanakan melalui a perencanaan hutan, b pengelolaan hutan, c penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan d pengawasan. Pengurusan hutan ini dilakukan secara bersama antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Sementara itu salah satu kegiatan pengelolaan hutan yang juga menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah adalah pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan melalui pemberian izin merupakan bentuk hubungan principal-agent yang mentransfer hak dari negara Menteri Kehutanan principal kepada perorangankoperasiBUMNBUMS yang berperan sebagai agent. Hubungan principal-agent ini merupakan hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaanprincipalP mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaanagentA untuk melaksanakan beberapa tugas principalP melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksudagentA Miller 2008. Sedangkan menurut Eggertsson 1990, hubungan principal-agent adalah hubungan-hubungan hierarki atau pertukaran hak kepemilikan property right antar individu. Izin ini adalah izin pemanfaatan hasil hutan kayu PP No.342002 jo PP.62007 jo PP No. 32008, yaitu segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Tujuan pemberian izin pemanfaatan ini untuk meningkatkan nilai hutan, menyediakan bahan baku industri dan penciptaan lapangan pekerjaan Srihadiono 2005. Bentuk pemanfaatan hutan yang tidak dilaksanakan dengan baik memiliki keterkaitan dengan tingginya tingkat deforestasi hutan Amsberg 1998 dan penerimaan negara Soedomo 2013. Karakteristik pemanfaatan hasil hutan kayu yang diatur dalam peraturan perundangan kehutanan tertera pada Tabel 1. Tabel 4-1 Karakteristik izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT No Karakteristik Izin Penjelasan 1. Pemberi Izin IUPHHK-HT Pihak yang memiliki kewenangan dalam memberikan izin IUPHHK-HT adalah Menteri Kehutanan dengan rekomendasi dari Gubernur dan atas pertimbangan BupatiWalikota 2. Cara memperoleh izin Pemberian izin dalam bentuk IUPHHK-HT dilakukan melalui permohonan oleh pelaku usaha kepada Menteri Kehutanan 3. Penerima Izin Pihak yang dapat mengajukan izin untuk memperoleh IUPHHK-HT adalah perorangan, koperasi, BUMN BUMD dan BUMS 4. Masa Konsesi Masa konsesi IUPHHK-HT adalah 60 tahun dan dapat diperpanjang sekali selama 35 tahun 5. Pemindahtanganan hak Pemindahtanganan hak untuk melakukan pemanfaatan hutan dilakukan setelah adanya persetujuan tertulis dari pemberi izin Pelimpahan Kewenangan dan Perubahan Hak Hutan produksi merupakan hutan negara state property. Kepemilikan negara merupakan salah satu bentuk kepemilikan property right. Property right adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumber daya assetendowment untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Hak ini terdiri atas hak milik pribadi, hak milik negara, hak milik komunalhak ulayat, hak milik umum dan tidak ada pemilikakses terbuka. Kewenangan negara dalam pengelolaan hutan terikat dalam hak-hak yang saling terikat dalam bundle of right Ostrom, Schlager 1992 yang terdiri atas hak akses access right, hak memanfaatkan withdrawal right, hak mengelola management right, hak mengeluarkan pihak lain exclusion right dan hak memperjualbelikan alienation right Arsyad et al. 2007. Pelimpahan kewenangan pemanfaatan hutan produksi dari negara kepada pelaku usaha merupakan bentuk pemanfaatan hutan produksi yang berimplikasi terhadap perubahan hak-hak yang melekat pada negara dan pelaku usaha. Pelimpahan ini tidak merubah hak kepemilikan property right, tetapi hanya melimpahkan hak-hak negara sesuai dengan bundle of rights. Hak kepemilikan hutan negara state property right merupakan kelembagaan yang mengatur interaksi yang terjadi dalam dalam pengelolaan hutan produksi Behera, Engel 2006. Pelimpahan kewenangan negara kepada pelaku usaha untuk membangun HTI dilaksanakan melalui 3 tiga tingkat. Bentuk hubungan tersebut terdiri atas hubungan principal-agent antara kementrian kehutanan dengan pemegang IUPHHK-HT, hubungan pemegang IUPHHK-HT dengan pelaksana kerja sama operasi KSO atau pemegang IUPHHK-HT dengan kontraktor. Hubungan ketiga adalah hubungan antara pelaksana kerja sama operasi dengan kontraktor pembangunan hutan tanaman industri. Bentuk hubungan principal-agent dalam pemanfaatan hutan alam telah diteliti oleh Nugroho 2003

1. Pelimpahan Kewenangan Negara ke Pemegang IUPHHK-HT

Pelimpahan kewenangan negara dalam bentuk izin dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Pemberian izin ini melalui permohonan yang kemudian diterbitkan Surat Keputusan IUPHHK-HT yang berisi ketentuan, hak, kewajiban dan larangan pemegang IUPHHK-HT. Izin pemanfaatan ini merupakan dokumen legalitas sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan hukum untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Perizinan ini terdiri atas izin, dispensasi, lisensi, konsesi dan rekomendasi Dewa 2011. Pelimpahan kewenangan ini melimpahkan hak akses, hak withdrawal dan hak mengelola kepada pemegang IUPHHK-HT Tabel 2. Tabel 4-2 Perubahan Bundle of Right setelah dikeluarkannya IUPHHK-HT oleh Kementerian Kehutanan No Stakeholder Bundle of Rights 26 Acces Right 1 Withdrawal Right 2 Management Right 3 Exclusion Right 4 Alienation Right 5 1. Kementerian Kehutanan √ √ √ √ √ 2. Pemegang IUPHHK-HT √ √ √ √ - 3. Pelaksana kerja sama operasi KSO √ √ √ - - 4. Kontraktor pembangunan HTI - √ - - - Keterangan : √ = Memiliki hak Proses pelimpahan kewenangan ini tidak diikuti dengan pelimpahan hak untuk menentukan pihak yang dapat ikut dalam pemanfaatan exclusion right atau memperjualbelikan alienation right kawasan hutan. Hak yang dimiliki oleh pemegang IUPHHK-HT adalah hak akses untuk memanfaatkan sumber daya hutan yang bersifat non subtraktif. Hal tersebut sama dengan hak pemanfaatan ikan di laut Arsyad et al. 2007. Walaupun hak ini telah diberikan kepada pemegang IUPHHK-HT, masyarakat sekitar juga masih memiliki hak akses untuk memanfaatkan hasil hutan yang bersifat non subtraktif. Pemanfaatan oleh masyarakat sekitar hutan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu yang diambil oleh masyarakat di dalam lokasi hutan tanaman industri diantaranya adalah sisa-sisa damar dari kayu alam yang terpendam di dalam tanah. Pengaturan hak akses ini ditentukan oleh pemegang IUPHHK-HT. Sementara itu, hak untuk memanfaatkan hasil hutan dalam kawasan serta hak memberikan kepada pihak lain untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan menjadi kewenangan pemegang IUPHHK-HT. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan ini memberikan hak kepada pemegang IUPHHK-HT untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan dan mengatur akses pihak lain. Kewenangan pemegang izin adalah membangun hutan tanaman yang meliputi kegiatan persiapan lahan, persemaian, penanaman, pemeliharaan, 26 Bundle of right terdiri atas 1 Hak untuk masuk kawasan hutan secara fisik dan menikmati manfaat yang non subtractif 2 Hak untuk mendapatkan manfaat produk hutan, misalnya memanfaatkan hasil hutan kayu atau bukan kayu 3 Hak untuk mengatur pola-pola penggunaan internal dan transformasi sumber daya melalui perbaikan-perbaikan 4 Hak untuk menentukan siapa yang memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut diperbolehkan untuk dipindahtangankan 5 Hak untuk menjual atau yang lainnya atau kedua hak-hak pilihan kolektif yang di atasnya. penebangan dan pemasaran. Disamping kegiatan tersebut, hal-hal yang dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK-HT sebelum pelaksanaan pembangunan HTI adalah persiapan dokumen perencanaan yang terdiri atas dokumen rencana karya usaha pemanfaatan hasil hutan kayu RKU, deliniasi makro delmak, deliniasi mikro delmik, inventarisasi hutan menyeluruh berkala IHMB, tata batas dan rencana kerja tahunan RKT. Penyusunan dokumen perencanaan hutan tersebut melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH. Pelimpahan kewenangan yang diikuti perubahan hak ini menempatkan kawasan hutan tetap menjadi aset negara tetapi pohon yang ditanam sebagai aset pemegang izin. Kepemilikan aset ini diatur Surat Keputusan IUPHHK-HT yang menetapkan bahwa pemegang IUPHHK-HT tidak diperbolehkan untuk melakukan kontrak atau menyerahkan seluruh atau sebagian kegiatan usaha kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri Kehutanan. Larangan tersebut merupakan bentuk pengawasan negara terhadap kawasan hutan agar pemegang IUPHHK-HT bertanggung jawab membangun hutan tanaman. Larangan mengontrakkan kegiatan kepada pihak lain juga dimaksudkan untuk mencegah adanya penguasaan usaha pembangunan HTI oleh grup tertentu. Menurut Sukarmi 2011, perjanjian atau kontrak dalam pengerjaan usaha dapat menimbulkan kartel. Kemungkinan kartel ini menjadi tugas negara untuk melakukan pengawasan sehingga tujuan bernegara untuk meningkatkan kesejahteraan dapat tercapai. Fungsi negara setelah pelimpahan kewenangan adalah melakukan pengawasan terhadap proses pembangunan hutan tanaman industri dan penerimaan negara Handadhari et al. 2005. Penerimaan negara dari dana reboisasi DR dan provisi sumber daya hutan PSDH dan iuran IUPHHK-HT. Pengawasan tersebut dilakukan oleh unit pelaksana teknis UPT Kementrian Kehutanan yang berada di daerah, yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH yang merupakan Unit Pelaksana Teknis UPT Direktorat Jenderal Planologi Hutan dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan produksi BP2HP sebagai Unit Pelaksana Teknis UPT Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementrian Kehutanan. Peranan Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH dalam pembangunan hutan tanaman industri adalah memberikan rekomendasi terhadap fungsi dan status kawasan hutan yang diajukan menjadi hutan tanaman industri. Sedangkan BP2HP memiliki peranan dalam memantau hasil hutan yang dimanfaatkan dari hutan produksi. Pengawasan yang dilakukan oleh Kementrian Kehutanan setelah pelimpahan kewenangan ini hanya meliputi pengawasan terhadap pemasukan negara yang diperoleh dalam pembangunan hutan tanaman industri. Bentuk pengawasan ini juga melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten. Namun demikian pelibatan pemerintah daerah dalam pengawasan ini hanya bersifat administratif Ekawati 2010. Dengan bentuk pengawasan yang hanya bersifat administrasi, pengawasan kondisi hutan seakan tidak dilakukan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah. Bentuk hubungan principal-agent dalam penerbitan IUPHHK-HT tertera pada gambar 2. Hubungan P-A yang tertera pada gambar 2 menunjukkan bahwa kelestarian hasil yang ditunjukkan oleh kelestarian hutan tidak menjadi perhatian. Kelestarian hutan yang dimaksud dalam hubungan P-A diukur melalui produksi kayu yang dihasilkan pada rotasi yang lebih tinggi. Tingkat produksi kayu HTI yang semakin turun disebabkan oleh penurunan kesuburan tanah. Sehingga untuk meningkatkan produksi dilakukan memperbanyak pemupukan yang berimplikasi terhadap biaya pembangunan HTI. Gambar 4-1 Bentuk Hubungan Principal-Agent dalam Pembangunan HTI Bentuk hubungan P-A dalam pelimpahan kewenangan pemanfaatan hutan produksi ini memiliki beberapa dampak yang terkait dengan transfer hak, ketidaksempurnaan informasi asymetri information dan biaya transaksi. Transfer hak yang terjadi adalah pelimpahan hak akses, hak memanfaatkan dan hak mengelola kepada pemegang IUPHHK-HT tidak bebas dari klaim pihak lain. Beberapa kasus dalam pembangunan hutan tanaman industri di Riau terjadi konflik yang disebabkan oleh ketidakjelasan status kawasan hutan. Diperlukan proses negosiasi Dhiaulhaq et al. 2014 untuk menyelesaikan klaim ini dan merupakan persoalan sosial yang menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK- HT. Penyelesaian klaim terhadap kawasan IUPHHK-HT ini menjadi biaya bagi pemegang IUPHHK-HT. Sementara dalam pemberian hak pemanfaatan melalui proses transfer seharusnya obyek yang ditransaksikan merupakan obyek yang jelas secara hukum. Dampak dari hubungan P-A dalam pembangunan hutan tanaman industri ini juga berasal dari adanya ketidaksempurnaan informasi asymetric information yang disebabkan oleh ketidaktahuan principal secara detil terhadap hutan. Informasi mengenai kondisi kawasan hutan ini dimiliki oleh agent. Pemberian IUPHHK-HT pada kawasan hutan produksi dengan potensi hutan Kementerian Kehutanan Negara Pemegang IUPHHK-HT KONTRAK SK IUPHHK-HT Hubungan Principal-Agent BP2HP BPKH Dinas Kehutanan ProvinsiKabupaten Kerjasama Operasi KSO Kontraktor Kegiatan :  Persiapan Lahan  PersemaianPembibitan  PenanamanPemeliharaan  PemanenanPengangkutan  Pemasaran Kelestarian Hasil Pendapatan Negara PSDH, DR, Iuran IUPHHK-HT yang lebih besar dari 20 m 3 ha merupakan ketidaksempurnaan informasi yang dimiliki oleh Kementerian Kehutanan. Disamping kedua hal di atas, hubungan principal-agent dalam pembangunan hutan tanaman industri ini juga berdampak pada tingginya biaya transaksi dalam proses memperoleh izin IUPHHK-HT. Proses memperoleh IUPHHK-HT yang melibatkan instansi pusat dan daerah yang diikuti dengan tidak adanya transparansi proses menyebabkan biaya transaksi yang tinggi Williamson 2008. Biaya transaksi yang tinggi ini karena adanya proses yang panjang dengan melibatkan banyak instansi. Instansi ini terdiri atas Kementerian Kehutanan : Direktorat Jenderal Planologi DIRPLAN, Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan BUK, Unit Pelaksana Teknis UPT Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH, sedangkan Instansi daerah meliputi Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan Bupati Walikota.

2. Pelimpahan Kewenangan Pemegang IUPHHK-HT ke Pelaksana Kerja

sama Operasi Proses penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati selama tahun 2001-2003 banyak dilakukan oleh para pencari rente yang memanfaatkan kedekatan dengan Bupati. Proses yang demikian menyebabkan pemegang IUPHHK-HT bukan pelaku usaha yang memiliki modal kuat dan memiliki kemampuan teknis untuk membangun hutan tanaman. Pelimpahan kewenangan operasional pembangunan hutan tanaman industri oleh pemegang IUPHHK-HT kepada kontraktor atau pelaksana kerja sama operasi melalui perjanjian KSO. Pelimpahan kewenangan kepada kontraktor dilakukan oleh pemegang IUPHHK-HT yang memiliki kemampuan finansial dalam melaksanakan kegiatan pembangunan hutan tanaman industri. Sementara pelimpahan kewenangan melalui kerja sama operasi dilakukan oleh pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan finansial. Karakteristik pemegang IUPHHK-HT tersebut memiliki kaitan dengan proses penerbitan IUPHHK-HT yang banyak melibatkan para pencari rente rent- seeker. Pencari rent rent-seeker ini mengejar keuntungan dengan memanfaatkan potensi kayu alam dari kawasan hutan. Tipologi pemegang IUPHHK-HT dalam pembangunan Hutan tanaman ini dapat dibedakan menjadi 3 tiga, yaitu pemegang IUPHHK-HT yang mampu melaksanakan pembangunan hutan tanaman industri secara mandiri, kedua pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan dalam membangun hutan tanaman industri, kemudian melakukan kerja sama operasi KSO. Ketiga adalah pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan finansial yang kemudian menjual IUPHHK-HT kepada pelaku usaha besar. Tipologi pemegang IUPHHK-HT ini memiliki kaitan dengan proses pemberian izin oleh pemerintah Oliveira 2008. Pelimpahan kewenangan oleh pemegang IUPHHK-HT melalui kerja sama operasi KSO didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No.P.202005 jo P.372009 jo P.292012. Pelimpahan ini diduga karena tekanan pelaku usaha untuk melegalkan kerja sama operasi yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK- HT. Kasus adanya tekanan terhadap proses kebijakan telah diteliti oleh Rumboko et al. 2013 dalam Community-based forest Management CBFM. Perubahan peraturan menteri tersebut hanya mengubah ruang lingkup pelaksanaan kerja sama operasi KSO. Sementara itu perjanjian kerja sama operasi KSO ini berisi hal-hal yang terkait kesepakatan tanggung jawab pemegang IUPHHK-HT dan pelaksana kerja sama operasi, penjualan hasil hutan ke pemilik industri pulp dan kertas, lama waktu pelaksanaan kerja sama operasi dan kesepakatan harga jual kayu dari hutan tanaman industri 27 . Kerja sama operasi KSO ini merupakan bentuk distribusi tanggung jawab antar pihak dalam pembangunan hutan tanaman industri. Distribusi tanggung jawab tersebut dapat digambarkan sebagai berikut, pemegang IUPHHK-HT memiliki tanggung jawab melaksanakan perencanaan hutan yang meliputi pelaksanaan tata batas kawasan konsesi IUPHHK-HT, penyusunan Rencana Karya Umum RKU jangka waktu 10 tahun, Deliniasi Makro, Deliniasi Mikro, Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB dan Rencana Karya Tahunan RKT. Pelaksana kerja sama operasi KSO sebagai penanggung jawab modal, sedangkan kontraktor sebagai pelaksana pekerjaan yang ditentukan oleh pelaksana kerja sama operasi KSO. Pelimpahan kewenangan oleh pemegang IUPHHK-HT kepada pelaksana kerja sama atau kontraktor yang mengakibatkan perubahan hak tertera pada Tabel 2. Hak yang dipegang oleh pelaksana kerja sama operasi KSO atau kontraktor adalah hak untuk mengelola management right, yaitu untuk melakukan pembangunan hutan tanaman industri. Sementara hak akses, hak withdrawal dan hak ekskulusi tetap menjadi hak pemegang IUPHHK-HT.

3. Pelimpahan Kewenangan ke Kontraktor

Hubungan tingkat tiga Nugroho 2003 dalam pembangunan hutan tanaman industri adalah hubungan principal-agent antara pemegang IUPHHK- HT atau pelaksana kerja sama operasi KSO dengan kontraktor. Kontraktor ini terdiri atas kontraktor pembibitan, kontraktor penyiapan lahan dan penanaman dan kontraktor penebangan dan pengangkutan. Kewenangan yang dimiliki oleh kontraktor ini hanya untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian. Dalam hubungan tingkat tiga ini, pengalihan hak dari pemegang IUPHHK-HT atau pelaksana kerja sama operasi KSO ke kontraktor adalah hak withdrawal. Pengalihan kewenangan kepada kontraktor ini tidak mengalihkan kewajiban pemegang IUPHHK-HT terhadap izin yang telah dimilikinya. Perjanjian yang telah disepakati antara pemerintah dengan pemegang IUPHHK- HT tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HT. Dengan pelimpahan kewenangan ini maka pemegang IUPHHK-HT tidak mengetahui kondisi kawasan hutan yang telah dikontrak kerjakan dengan kontraktor. Akibatnya pengawasan negara tidak dapat menjangkau kontraktor. Pemahaman kontraktor dalam pelaksanaan pekerjaan hanya sesuai dengan standar operasional prosedural SOP, dimana pada pelaksanaan operasional, standar operasional prosedural tidak semuanya sesuai dengan tujuan untuk menjaga kondisi sumber daya hutan. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksepadanan informasi antara pelaksana kerja sama operasi dengan kontraktor. 27 Kesepakatan dalam kerja sama operasi KSO ini menempatkan pemegang IUPHHK-HT berada pada posisi tawar yang lebih rendah sehingga kesepakatan mengenai harga dan jangka waktu perjanjian merugikan bagi pemegang IUPHHK-HT Posisi Negara Hubungan principal-agent Jensen, Meckling 1976 dalam pembangunan hutan tanaman industri adalah bentuk transfer hak yang bersifat sementara. Pelimpahan hak ini memerlukan pengawasan untuk menjaga status hutan yang di limpahkan tidak mengalami perubahan. Pengawasan ini dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten. Pengawasan ini menjadi penting karena industri pulp dan kertas yang menjadi konsumen kayu hutan tanaman industri memiliki prospek ekonomi yang cerah Alfarizi 2009. Bentuk pelimpahan kewenangan dalam pembangunan hutan tanaman industri yang telah mengalami perubahan, di mana pemegang IUPHHK-HT yang diberikan kewenangan oleh Kementerian Kehutanan melimpahkan sebagian kegiatan operasional pembangunan hutan tanaman industri kepada pelaksana kerja sama operasi atau kontraktor berdampak pada pengawasan yang tidak dapat dilakukan oleh kementrian kehutanan secara langsung. Pelimpahan ini berkaitan dengan adanya biaya transaksi yang tinggi dalam melaksanakan pembangunan hutan tanaman industri. Menurut Kim, Mahoney 2005, property right berhubungan dengan struktur insentif yang diberikan. Bentuk property right dengan status hutan negara serta hak pemanfaatan yang diberikan oleh negara telah menimbulkan biaya transaksi yang tinggi. Timbulnya biaya transaksi ini menjadi disinsentif bagi pembangunan hutan tanaman industri. Walaupun telah diberikan Insentif melalui penyertaan modal pemerintah dan insentif yang secara tidak langsung seperti adanya izin pemanfaatan kayu IPK, hal ini tidak dapat mengarahkan perilaku pemegang IUPHHK-HT untuk mentaati larangan pelimpahan kegiatan pembangunan ke pihak lain. Hal ini berdampak pada jangkauan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan tidak sampai ke pelaksana kerja sama operasi atau kontraktor. Hubungan Kementerian Kehutanan dalam pelimpahan kewenangan ini hanya kepada pemegang IUPHHK-HT. Pelimpahan kewenangan oleh pemegang IUPHHK-HT kepada pelaksana kerja sama operasi atau kontraktor ini terjadi karena adanya ketidakpatuhan pemegang IUPHHK-HT terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam surat keputusan IUPHHK-HT. Adanya ketidakmampuan pemegang IUPHHK-HT beroperasi dalam pembangunan hutan tanaman industri menjadi penyebab terjadinya kerja sama operasi. Kementerian Kehutanan sebagai principal tidak mengetahui kemampuan agent, baik kemampuan teknis dan finansial. Hal ini disebabkan oleh sistem perizinan yang hanya dilihat dari persyaratan administratif Muallidin 2012 sehingga informasi mengenai kondisi pemohon secara detil tidak diketahui. Akibatnya pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada pemegang IUPHHK-HT tidak sesuai dengan persyaratan yang digariskan oleh Kementerian Kehutanan. Adanya pelimpahan kewenangan pemegang IUPHHK-HT kepada pelaksana kerja sama operasi dan kontraktor ini dapat menyebabkan tujuan pembangunan hutan tanaman industri untuk mengurangi kemiskinan tidak tercapai Rumboko 2013. Pelimpahan ini juga menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh oleh Kementerian Kehutanan tidak efektif. Walaupun Kementerian Kehutanan memiliki unit pelaksana teknis UPT di daerah yang terdiri atas Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP, pengawasan yang dilakukan hanya bersifat administratif. Demikian pula dengan keberadaan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten hanya melakukan pengawasan yang bersifat administratif. Dalam jangka panjang, bentuk pelimpahan kewenangan dengan perubahan hak serta adanya hubungan principal-agent yang tidak efisien ini menyebabkan penurunan kondisi kesuburan lahan hutan tanaman industri Wasis 2004 dan pembangunan hutan tanaman industri memasuki rotasi tiga dan seterusnya mengalami penurunan kelayakan finansial Sudarmalik 2008. Pelimpahan kewenangan yang diikuti dengan hubungan principal-agent antara pemegang IUPHHK-HT dengan pelaksana kerja sama operasi serta pelaksana kerja sama operasi dengan kontraktor mengakibatkan kawasan hutan seakan tidak ada penanggung jawab. Akibatnya jaminan terhadap keberlanjutan usaha pembangunan hutan tanaman industri tidak ada. SIMPULAN Pelimpahan kewenangan dalam pembangunan hutan tanaman industri melalui pemberian hak pemanfaatan dengan hubungan principal-agent yang ada tidak memberikan jaminan kelestarian lahan hutan. Hubungan principal-agent yang tercipta menyebabkan pengawasan negara tidak menjangkau pelaksana kegiatan di lapangan. Untuk mencapai kelestarian hutan perlu dibuat kebijakan yang mengatur tentang jaminan kinerja. Jaminan kinerja ini menjadi jaminan untuk menjaga kelestarian lahan hutan ketika masa IUPHHK-HT berakhir. SARAN Perlu dilakukan pengawasan yang ketat oleh Kementerian Kehutanan terhadap proses pembangunan hutan tanaman industri yang melimpahkan kewenangan pembangunan hutan tanaman industri melalui kerja sama operasi KSO. DAFTAR PUSTAKA Aji G. 2013. Imperialisme Kehutanan dan Konflik Penguasaan Hutan di Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 41:21-32 Ali F, Lino J. 2013. Antara Pasar dan Politik, BUMN di Bawah Dahlan Iskan. Jakarta. PT. Gramedia. Alfarizi D. 2009. Analisa Struktur dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas Indonesia. Jurnal Persaingan Usaha 12009:61-92 Alston LJ, Muller B. 2008. Property Right and The State. In: Menard C, Shirley MM, editors. Handbook of New Institutional Economics. Heidenberg: Springer-Verlag Berlin Heidenberg. 573-590 Amsberg J. 1998. Economic Parameters of Deforestation. The World Bank Economic Review 121:133-153 Arsyad A, Kusumastanto, Saefudin A, Soetarto E. 2007. Karakteristik dan Tipologi Hak-Hak Kepemilikan dalam Perikanan Artisanal. Buletin PSP 162:......... Behera B, Engel S. 2006. Institutional Analysis of Evolution of Joint Forest Management in India: A New Institutional Economic Approach. Journal Policy and Economics 8:350-362. Budiardjo M. 2007. Ilmu Politik. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dewa, J. 2011. Hukum Administrasi Negara, dalam Perspektif Pelayanan Publik. Unhalu Press. Kendari. Dewi I, Rizal H, Kusumedi P. 2010. Implementasi Peraturan Tentang Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis kebijakan kehutanan 73:195-209 Denzim K, Lincoln Y. 1997editor. Handbook of Qualitative Research. terjemahan 2009. Pustaka Pelajar. Jakarta Dhiaulhaq A,Gritten D,Bruyn T,Yasmi Y,Zazali A,Silalahi M. 2014. Transforming Conflict in Plantation Through Mediation: Lesson Experiences krom Sumatera, Indonesia. Forest Policy Ana Economics 412014:22-30 Eggertsson, T. 1990. Economics Behavior and Institutions. Cambridge University Press. United State of America Ekawati S. 2010. Kajian Tata Hubungan Kerja Antar Institusi Kehutanan dalam Pengelolaan Hutan Lindung di Era Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 73:211-225 Gibson CC, Lehoucq FE, William JT. 2002. Does Privatization Protect Natural Resources? Property Rights and Forest in Guatemala. Social Sciences Quarterly 83 1:206-225 Gunawan K. 2004. The Politic of The Indonesian Rain Forest, A Rise of Forest Conflict in East Kalimantan During Indonesia’s Early Stage of Democratisation. Cuvillier Verlag. Gottingen. Handadhari T, Sumitro A, Warsito S, Widodo S. 2005. Analisis Pungutan Rente Ekonomi Kayu Bulat Hutan Tanaman Industri Di Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 22: 137-148 Hidayat H. 2008. Politik Lingkungan, Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ilmar A. 2012. Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN. Jakarta. Kencana Prenada Media Grup. Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Fisip UI Press. Jakarta Jensen MC, Meckling WH. 1976. Theory of The Firm:Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 34:305-360. Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di Indonesia. Equinox Publishing. Jakarta Singapore Kementerian Kehutanan. 2011. Statisti Kehutanan 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta Khan A, Kartodihardjo H, Soedomo S, Darusman D. 2010. Kebijakan Usaha Kehutanan : Sebuah Analisis Diskursus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 162:101-111 Kim J, Mahoney J. 2005. Property Right Theory, Transaction Costs Theory and Agency Theory: An Organizational Economics Approach do Strategic Management. Managerial and Decision Economics 26...:223-242 Kuswarno E. 2009. Fenomenologi : Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjajaran. Bandung Libecap GD. 2009. The Tragedy of The Commons: Property Right and Markets Solutions to Resource and Environmental Problem. The Australian Journal of Agricultural and Resource Economics 53:129-144 Media Data Riset. 2010. Progres Pasar Industri Pulp dan Kertas Indonesia, 2010. Media Data Riset. Jakarta Menard C. 2008. A New Institutional Approach to Organization. in:Menard C, Shirley MM, editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer- Verlang. Berlin Miller G. 2008. Solution do Principal-Agent Problem in Firm. in:Menarrd C, Shirley MM, editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer- Verlang.Berlin Moran D. 2000. Introduction to Phenomenology. Routledge 11 New Fetter Lane, London and 29 west 35 th street New York. Muallidin I. 2012. Implementasi Reformasi Organisasi Perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 153:246-255 Nugroho, B. 2003. Kajian Institusi Pelibatan Usaha Kecil-Menengah Industri Pemanenan Hutan untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari disertasi. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nugroho, B. 2011. Land Rights of Community Forest Plantation Policy: Analysis from an Institutional Perspective. Jurnal Manajamen Hutan Tropika 173:111-118 Oliveira JA. 2008. Property Right, and Conflict And Deforestation In The Eastern Amazon. Journal Forest policy and Economic, vol 10:303-315 Ostrom E. 2008. Institutions and The Environment. Journal Compilation of Institute of Economic Affair:24 - 31 Rawls J. 1995. A Theory of Justice. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. Rumboko LR, Race HD, Curtis AL. 2013. Policy Under Pressure:Policy Analysis of Community-Based Forest Management in Indonesia. Internasional Forestry Review 151:1-8 Rumboko LR, Race HD, Curtis AL. 2013. Optimizing Community-Based Forest Management Policy in Indonesia, A Critical Review. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 163: 250-272 Schlager E, Ostrom E. 1992. Property-Right Regimes and Natural Resources : A Conceptual Analysis. Journal Land economics 683: 249 – 262 Soedomo S. 2013. Double Devidend from Tariff Differentiation of Reforestation Fund. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 192:163-167 Srihadiono U. 2005. Hutan Tanaman Industri:Skenario Masa Depan Indonesia. PT Musi Hutan Persada dan Wana Aksara. Palembang-Banten Sukarmi. 2011. Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha 6:119-149. Sudarmalik. 2008. Analisis Kelayakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI pada Berbagai Rotasi tebang. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat BPHPS. Kuok, Riau Wasis, B. 2002. Karakteristik kesuburan tanah hutan tanaman industri Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Williamson O. 2008. Transaction Cost Economics. in:Menard C, Shirley MM, editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer-Verlang. Berlin Zuhro S. 2013. Politik Pertanahan: Jalan Tak Ada Ujung. Jurnal Ilmu Pemerintahan : Politik Agraria dan Konflik Agraria 41: 1-20.

V. PENGUASAAN AREAL DAN KEPEMILIKAN