DINAMIKA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HTI

II. DINAMIKA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HTI

Bagian ini menyajikan dinamika kebijakan pembangunan HTI yang berdampak terhadap penguasaan areal dan kepemilikan IUPHHK-HT oleh grup perusahaan besar. Kajian menggunakan perspektif sejarah. Bahan kajian adalah peraturan perundangan yang memberi peluang kepada pelaku usaha untuk menguasai usaha pembangunan HTI. Peraturan perundangan yang dikaji adalah Peraturan Menteri Kehutanan. Bab ini menganalisis jaringan kekuasaan web power, peluang korupsi dan pola-pola korupsi serta kerugian negara yang ditimbulkan dalam pembangunan HTI. Peraturan Menteri Kehutanan yang dikaji adalah peraturan yang diterbitkan selama periode waktu 1989 –2013. Kajian ini menggunakan teori konstruksi sosial dari Peter L.Berger dan Thomas Luckmann Berger dan Luckman 1990 dan teori strukturasi Anthony Giddens Giddens 1984 PENDAHULUAN Latar Belakang Secara yuridis formal, pembangunan hutan tanaman dimulai ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri HTI. Namun ide tentang pembangunan HTI sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Ide tersebut tersebut dikembangkan dalam kajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi, terutama Fakultas Kehutanan IPB dan UGM. Fakultas Kehutanan IPB telah menggagas ide tentang pembangunan HTI sebagai alternatif pengelolaan hutan eks Hak Pengusahaan Hutan HPH yang telah mengalami kerusakan berat. Pembahasan ide pembangunan HTI tersebut tertuang dalam lokakarya dengan tajuk Kini Menanam Esok Memanen tahun 1984. Gagasan ini kemudian dilanjutkan dengan implementasi dalam bentuk peraturan menteri kehutanan secara operasional. Sementara itu Fakultas Kehutanan UGM juga menggagas perlunya alternatif pembangunan hutan sebagai pengganti HPH yang telah mengalami penurunan potensi kayu. Pengembangan ide pembangunan HTI tersebut dilaksanakan melalui seminar pada tahun 1986. Gagasan pembangunan HTI didasarkan pada kondisi kerusakan hutan yang diakibatkan oleh eksploitasi dengan model HPH. Berkurangnya potensi kayu hutan alam ini menurunkan kemampuan hutan alam dalam menyediakan bahan baku bagi industri kehutanan, terutama industri kayu lapis plywood. Oleh karena itu, awalnya pembangunan HTI ditujukan untuk menyediakan bahan baku kayu lapis. HTI ini dikenal dengan HTI pertukangan. Selanjutnya pembangunan HTI untuk pemenuhan industri pulp dan kertas. Salah satu HTI yang dibangun untuk industri pulp dan kertas ini adalah HTI PT. Arara Abadi. HTI ini menyuplai bahan baku industri pulp dan kertas PT. Indah Kiat Pulp and Paper PT. IKPP. Disamping tujuan pemenuhan bahan baku industri, pembangunan HTI juga dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas hutan dan penyediaan lapangan kerja atau biasa dikenal dengan pro growth, pro job dan pro poor. Ketiga istilah tersebut diperkenalkan sebagai tujuan pembangunan HTI sekitar tahun 2000-an dengan menekankan bahwa pembangunan HTI tidak hanya semata-mata untuk tujuan industri. Tetapi memiliki tujuan lain yang juga lebih penting. Walaupun tujuan pembangunan HTI untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pro growth, penyerapan tenaga kerja pro job dan pengurangan kemiskinan pro poor, kenyataan menunjukkan bahwa tujuan tersebut belum tercapai. Beberapa kasus seperti kasus konflik lahan di Riau Dziaulhaq 2012 serta kasus pemberian IUPHHK-HT kepada PT. RAPP di Pulau Padang Riau telah menimbulkan pertentangan antara masyarakat dengan PT. RAPP. Pertentangan menjadi berita di berbagai media massa sekitar tahun 2011, baik di pusat maupun di daerah. Menurut beberapa analis, penolakan pembangunan HTI di Pulau Padang tersebut tidak lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di belakang masyarakat. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan HTI sarat dengan berbagai kepentingan. Para pelaku tersebut berkepentingan mendapatkan manfaat dari pembangunan HTI. Salah satu kepentingan pelaku usaha adalah menguasai areal dan kepemilikan IUPHHK-HT. Penguasaan ini dimaksudkan untuk mengamankan kelestarian bahan baku industrinya. Dengan menggunakan perspektif sejarah, dilakukan kajian dinamika kebijakan yang memberi peluang pada penguasaan usaha HTI. Melalui pengkajian terhadap perkembangan pembangunan HTI, dapat diketahui arah pengembangan HTI sampai saat ini. Fokus Penelitian Pembangunan HTI saat ini telah mencapai 10 juta ha yang melibatkan 249 unit usaha IUPHHK-HT di seluruh Indonesia dan 58 unit IUPHHK-HT di Riau Statistik Kehutanan 2011. Walaupun secara nasional IUPHHK-HT tersebar di seluruh Indonesia, tetapi pusat pengembangan HTI berada di Riau dengan luas total HTI mencapai 1,6 juta ha dengan dua industri pulp kertas yang memiliki kapasitas produksi total 4 juta ton per tahun. Fokus penelitian mengkaji dinamika kebijakan pembangunan HTI yang memberi insentif kepada grup perusahaan besar yang ada di Riau untuk menguasai usaha pembangunan HTI. Selanjutnya penelitian melihat apakah pembangunan HTI yang cenderung dikuasai oleh beberapa grup perusahaan besar menimbulkan kerugian bagi negara. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengevaluasi dinamika kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan yang menciptakan peluang terjadinya penguasaan usaha pembangunan HTI 2. Memetakan kekuasaan dan kepentingan aktorlembaga dalam proses penciptaan penguasaan usaha pembangunan HTI 3. Mengevaluasi peluang korupsi dan kerugian negara dalam permohonan perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam perubahan kebijakan untuk menghilangkan adanya peluang penguasaan usaha pembangunan HTI oleh grup perusahaan besar. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 –2013 di Riau sebagai bagian dari rangkaian penelitian disertasi secara keseluruhan. Subyek penelitian adalah pelaku yang terlibat dalam pembangunan HTI. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah komparatif Sulasman 2014. Pendekatan ini mengkaji faktor-faktor yang menciptakan peluang penguasaan usaha pembangunan HTI pada beberapa periode waktu. Metode pengumpulan dan analisis data didasarkan pada tujuan penelitian. 1. Dinamika kebijakan pembangunan HTI yang menciptakan penguasaan usaha pembangunan HTI Tujuan pertama ini ingin mengevaluasi peraturan menteri kehutanan. Peraturan menteri kehutanan yang dikaji adalah kebijakan yang memberi insentif kepada pelaku usaha sehingga memberi peluang kepada pelaku usaha untuk menguasai usaha pembangunan HTI. Kajian dilakukan terhadap kebijakan pembangunan HTI, terutama peraturan menteri kehutanan selama periode 1990−2013. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah, pertama melakukan pengumpulan peraturan perundangan UU, PP dan Permenhut yang diduga bersifat insentif bagi penguasaan usaha pembangunan HTI. Setelah diperoleh peraturan yang dimaksud dilanjutkan dengan analisis peraturan perundangan. Analisis data menggunakan analisis isi content analysis. Analisis isi yang digunakan adalah analisis isi kualitatif Eriyanto 2007 dengan melihat makna dibalik peraturan isi peraturan perundangan yang dikaji. Makna ini dikaitkan dengan implikasinya terhadap penguasaan usaha pembangunan HTI. Data hasil analisis ini selanjutnya di konfirmasi ke pelaku yang terlibat dalam proses pembangunan HTI. Informan ini terdiri atas Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Kabupaten, pelaku usaha HTI dan konsultan kehutanan. 2. Kekuasaan dan kepentingan dalam proses pembangunan HTI Tujuan kedua penelitian ini ingin menguraikan pusat-pusat kekuasaan dan kepentingan dalam pembangunan HTI. Identifikasi terhadap kekuasaan dan kepentingan ini dilakukan terhadap peraturan menteri kehutanan dengan mengurai proses yang terjadi dalam implementasi peraturan yang dimaksud. Peraturan menteri kehutanan yang dikaji untuk mengidentifikasi penguasaan usaha pembangunan HTI adalah peraturan menteri kehutanan yang diperoleh dari tujuan pertama. Selanjutnya untuk mengkofirmasi data yang telah diperoleh dari analisis isi kemudian dilakukan wawancara kepada pelaku pembangunan HTI. Analisis data menggunakan pendekatan konsep kekuasaan-kepentingan DFID 2003, Nugroho 2008 dan Hero 2012 yang dimodifikasi. Modifikasi yang dimaksud adalah menggunakan konsep kekuasaan-kepentingan untuk mengukur kekuasaan dan kepentingan aktor dengan menggunakan hasil analisis isi, wawancara dan pertimbangan peneliti. Pendefinisian tingkat kekuasaan dan kepentingan dilakukan secara kualitatif. 3. Peluang korupsi dan kerugian negara dalam pembangunan HTI Tujuan ketiga ini ingin memetakan peluang korupsi yang terjadi dalam pembangunan HTI, terutama korupsi yang berhubungan dengan implementasi peraturan menteri kehutanan yang memiliki keterkaitan dengan proses penguasaan usaha pembangunan HTI. Peluang korupsi yang teridentifikasi ini dianalisis berdasarkan kekuasaan yang ada dalam pembangunan HTI tujuan kedua. Peluang korupsi ini dianalisis dengan melihat ada tidaknya penyelewengan penggunaan kekuasaankewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Setelah teridentifikasi korupsi dengan pola korupsi yang terjadi kemudian dilakukan dengan menghitung peluang kerugian negara akibat korupsi. Metode perhitungan kerugian negara menggunakan pendekatan penerimaan negara yang menjadi hak negara tetapi tidak disetorkan ke kas negara 8 . Data dikumpulkan dari hasil wawancara dengan informan yang terdiri atas dinas kehutanan provinsikabupaten, pelaku usahaHTI, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan konsultan kehutanan. Penelusuran adanya peluang korupsi dilakukan melalui wawancara mendalam dan kajian dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Kerugian negara dihitung setelah diketahui peluang dan pola korupsi. Data kerugian negara ini diperoleh dari hasil wawancara yang selanjutnya divalidasi dengan melakukan perhitungan dengan menggunakan data tambahan lain yang berhubungan. Kerugian negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kehilangan pendapatan negara karena adanya korupsi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan idegagasan tentang pembangunan HTI dapat dibedakan menjadi beberapa periode. Pembagian periode ini didasarkan pada pengembangan idegagasan dan kinerja dalam pembangunan HTI 9 . a. Periode Pengembangan Gagasan Pembangunan HTI 1980–1990 Periode pengembangan gagasan adalah periode dimana ide pembangunan HTI mulai digodok. Pemikiran ini diawali oleh adanya realitas bahwa konsesi yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Hak Pelaku usahaan Hutan HPH telah menimbulkan kerusakan yang besar terhadap sumberdaya hutan. Pemikiran tentang pembangunan HTI ini dikembangkan oleh perguruan tinggi IPB dan UGM, Badan Penelitian Penelitian Pengembangan Kehutanan dengan Kementerian Kehutanan sebagai pelaksana idegagasan tersebut. Periode ini ditandai dengan pengembangan model pembangunan HTI yang meliputi aspek perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Beberapa ide yang dimunculkan dalam periode ini adalah pemberian bantuan modal dalam pembangunan HTI. b. Periode Implementasi Gagasan Pembangunan HTI 1990–2000 8 Metode penghitungan kerugian negara terdiri atas 5 cara yaitu : 1 kerugian keseluruhan total loss dengan beberapa penyesuaian, 2 selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi, 3 selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu, 4 penerimaan yang menjadi hak negara tetapi tidak disetorkan ke kas negara, dan 5 pengeluaran yang tidak sesuai dengan anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu Tuanakotta 2009 9 Periodesasi ini didasarkan atas hasil penelitian dan kajian peneliti. Dasar yang digunakan adalah perkembangan jumlah IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh pemerintah kaitannya dengan pengembangan gagasan pembangunan HTI. Periode ini merupakan periode dimana gagasan pembangunan HTI dituangkan dalam peraturan perundangan, yang dimulai dengan adanya Peraturan Pemerintah No.71990 tentang Hutan Tanaman Industri. Paradigma yang berkembang dalam periode ini adalah paradigma hutan sebagai sumber kehidupan atau the forest first Khan 2011. Periode ini ditandai dengan pertumbuhan izin pemanfaatan pembangunan HTI meningkat dengan pesat. c. Periode Puncak Pengembangan HTI 2000−2009 Periode ini merupakan periode puncak pengembangan HTI dimana pada periode ini terjadi peningkatan jumlah IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh pemerintah. Periode ini ditandai dengan adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam meneribitkan IUPHHK-HT, yaitu kebijakan percepatan pembangunan HTI. Semangat peningkatan jumlah IUPHHK-HT ini bersamaan dengan berakhirnya masa konsesi HPH yang banyak menimbulkan kerusakan hutan alam. Sampai tahun 2009, jumlah unit HTI secara nasional mencapi 231 unit dengan luas izin yang telah diberikan seluas 9,1 juta ha bukan realisasi dengan realisasi per tahun hanya 200.000 – 250.000 ha Kementerian Kehutanan 2009. d. Kesadaran Lingkungan 2009−sekarang Periode kesadaran terhadap kelestarian hutan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup manusia ini dipicu oleh adanya pemanasan global yang meningkatkan suhu bumi. Periode ini diwujudkan dalam bentuk pengurangan emisi yang ditimbulkan oleh degradasi hutan termasuk pembangunan hutan tanaman di kawasan gambut. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada periode ini adalah pemberantasan ilegal logging dan ilegal trading, moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan pada hutan alam dan hutan gambut. Kesadaran lingkungan akan kerusakan hutan yang mengakibatkan pemanasan globat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden tentang moratorium konversi hutan alam dan hutan gambut. Kebijakan SBY ini merupakan merupakan kebijakan radikal untuk menghentikan perizinan hutan alam dan hutan gambut Purnomo 2012. Kebijakan Bersifat Insentif Kebijakan yang memberi insentif pelaku usaha pembangunan HTI adalah kebijakan yang memberi ruang gerak besar bagi pelaku usaha. Kebijakan ini tidak menimbulkan biaya besar dalam implementasinya. Sedangkan kebijakan yang menimbulkan biaya besar bagi sasaran merupakan kebijakan yang bersifat disinsentif. Kebijakan yang bersifat insentif ini juga berarti kebijakan yang mengarahkan untuk memudahkan proses pembangunan HTI. Kebijakan yang bersifat memberi insentif bagi pembangunan HTI dapat dibedakan memadai dua kebijakan yaitu: 1. Kebijakan Nasional Kondisi politik nasional yang mempengaruhi pembangunan HTI adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah otonomi daerah. Kebijakan ini merupakan wujud dari asas desentralisasi. Desentralisasi ini dilaksanakan secara resmi tahun 2001 yang diikuti dengan penetapan Undang Undang No. 34 tahun 2000 tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang ini menempatkan daerah kabupaten dengan kewenangan besar. Otonomi dalam bidang kehutanan salah satunya diwujudkan dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada Gubernur atau BupatiWalikota untuk menerbitkan IUPHHK-HT 10 . Kebijakan pelimpahan kewenangan ini menyebabkan peningkatan jumlah IUPHHK-HT sebanyak 37 unit. Kemudahan pemberian IUPHHK-HT juga didorong adanya persaingan pemanfaatan kawasan hutan trade off antara peruntukan HTI dengan perkebunan kelapa sawit. 2. Kebijakan Sektor Kehutanan Kebijakan Kementerian Kehutanan yang mempengaruhi pembangunan HTI adalah kebijakan bantuan permodalan dan percepatan pembangunan HTI. Insentif yang pernah diberikan oleh pemerintah dalam pembangunan HTI adalah insentif penyertaan modal pemerintah sebesar 23 dan pinjaman tanpa bunga 23 melalui pola HTI patungan antara Inhutani dengan perusahaan pemegang IUPHHK-HT. Insentif yang langsung diberikan oleh pemerintah dan memberi dampak tidak langsung dalam peningkatan pelaku usaha HTI adalah adanya Izin Pemanfaatan Kayu IPK untuk melakukan persiapan lahan. Kebijakan ini berdampak pada peningkatan jumlah pelaku usaha HTI melalui munculnya para pemain kayu 11 . Pelaku yang mengajukan permohonan IUPHHK-HT kepada Bupati 12 sebagian besar merupakan pemain kayu. Jumlah IUPHHK-HT yang dimohonkan oleh pemain kayu ini mencapi 37 unit, sedangkan IUPHHK-HT yang memperoleh bantuan dana reboisasi DR hanya 6 unit. Kebijakan pemberian insentif permodalan merupakan bantuan pemerintah kepada pelaku usaha untuk membangun HTI karena adanya resiko dan ketidakpastian yang tinggi Darusman 1992 serta tingkat pengembalian modal yang rendah. Sementara kebijakan pelimpahan kewenangan ke Gubernur atau BupatiWalikota dalam menerbitkan IUPHHK-HT sebagai insentif untuk memperluas pelaku usaha HTI. Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada pelaku usaha kecil dan menengah melalui proses perizinan yang lebih mudah. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan ini memberi dampak pada banyaknya unit IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati. Dinamika Kebijakan Penguasaan Usaha HTI Pembangunan HTI di Riau saat ini diduga telah mengarah pada penguasaan areal dan usaha oleh dua Grup perusahaan besar yang memiliki industri pulp dan kertas. Kedua perusahaan 13 dapat menguasai areal dan usaha pembangunan HTI karena adanya peluang yang dimilikinya. Peluang ini tercipta oleh kebijakan kementrian kehutanan. Beberapa kebijakan yang memberi peluang tersebut tertera pada Tabel 2-1. 10 Pelimpahan kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Bupati, diantaranya oleh Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dengan menerbitkan IUPHHK-HT sebanyak 19 unit, dimana penerbitan tersebut menyebabkan yang bersangkutan dipidana dengan tuduhan gratifikasi dan saat ini menjalani hukuman. Luas IUPHHK-HT yang dilimpahkan ke Gubernur atau BupatiWalikota adalah IUPHHK-HT lebih kecil dari 50.000 ha. 11 Pemain kayu adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan pihak atau pelaku usaha yang hanya mencari keuntungan dari pemanfaatan IPK 12 Bupati Pelalawan, Bupati Siak dan Bupati Indragiri Hulu 13 Kedua perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan HTI dan industri pulp kertas PT. RAPP dan perusahaan HTI PT. Arara Abadi dan industri pulp kertas PT.IKPP keduanya saling terintegrasi secara vertikal Perilaku menguasai areal dan kepemilikan IUPHHK-HT oleh grup perusahaan besar terjadi karena kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas yang tidak dapat dipenuhi oleh konsesi kedua grup perusahaan tersebut. Kedua grup perusahaan tersebut dalam pemenuhan bahan baku industrinya melakukan pencarian bahan baku ke pemegang IUPHHK-HT. Proses pencarian bahan baku tersebut awalnya dimulai melalui kerja sama pemasaran kayu HTI. Seiring berjalannya waktu, karena biaya pembangunan HTI yang besar mengakibatkan beberapa pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki kemampuan untuk membangun hutannya sendiri. Selanjutnya pemegang IUPHHK-HT menyerahkan pelaksanaan pembangunan HTI ke perusahaan pemilik industri pulp dan kertas. Dalam jangka panjang penguasaan areal dan usaha pembangunan HTI oleh kedua grup besar pemilik industri pulp kertas tidak dapat dihindari. Beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh terhadap penguasaan areal dan usaha pembangunan HTI disajikan dalam Tabel 2-1. Peraturan perundangan tersebut memberi dampak terhadap jumlah pelaku usaha HTI dan kondisi finansial pemegang IUPHHK-HT. Dampak yang ditimbulkan dapat dilihat dari jumlah IUPHHK-HT dan kondisi finansial IUPHHK-HT. Kedua variabel digunakan sebagai indikator penguasaan areal dan IUPHHK-HT sesuai dengan fakta yang terjadi dalam usaha HTI. Kriteria yang digunakan untuk membangun dampak tersebut terdiri atas tiga kategori yaitu positif +, netral 0 dan negatif -. Tabel 2-1. Peraturan Perundangan yang memiliki dampak terhadap penguasaan Usaha Pembangunan HTI No Tahun Kebijakan Peraturan Perundangan Dampak Kebijakan Jumlah IUPHHK-HT Finansial IUPHHK-HT + - + - 1. 1989 Kebijakan pemberian dana bantuan dalam pembangunan HTI melalui pinjaman yang berasal dari dana reboisasi DR √ √ 2. 2003 Kebijakan pencabutan bantuan DR dan penyertaan modal pemerintah √ √ 3. 1990 PP No. 71990 jo PP 61999 tentang Hak Pelaku usahaan Hutan Tanaman Industri. √ √ 4. 2000 Keputusan Menteri Kehutanan No. 0.51 2000 jo No. 10.1 2000 jo No. 21 2001 tentang pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan IUPHHK-HT kepada pemerintah daerah. √ √ 5. 2003 SK Menteri Kehutanan No. 1012002 tentang Percepatan pembangunan hutan tanaman industri untuk pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas √ √ 6. 2005 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03 2005 jo No.P.05 2006 tentang Pedoman verifikasi IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Gubernur atau BupatiWalikota √ √ 7. 2005 Peraturan Menteri Kehutanan No.P.202005 jo P.372009 jo P.292012 tentang kerja sama operasi KSO. √ √ 8. 2009 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.342009 tentang Tata Cara Pemindahtanganan IUPHHK-HT √ √ 9. 2006 Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.472004 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.192006 tentang Tata Cara Pengambilalihan saham IUPHHK- HT yang berbentuk Perseroan Terbatas PT √ √ 10. 2011 Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan √ √ 11. 2013 Peraturan Presiden No.6. 2013 tentang perpanjangan moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan √ √ Sumber : hasil analisis 2014 Keterangan : Jumlah IUPHHK-HT Ukuran jumlah IUPHHK-HT ini melihat dampak yang ditimbulkan kebijakan terhadap pelaku usaha pembangunan HTI. Ukuran dampak adalah penambahan atau pengurangan jumlah IUPHHK-HT yang ada. Ukuran penambahan ini dilihat dari kecenderungan jumlah IUPHHK-HT setelah adanya kebijakan yang dimaksud. + = Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mendorong diterbitkannya IUPHHK-HT baru atau tetap mempertahankan keberadaan IUPHHK-HT yang ada sebelum diterbitkannya peraturan ini. - = Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan adanya pengurangan jumlah IUPHHK-HT yang akan diterbitkan atau mengurangi keberadaan IUPHHK-HT yang telah ada sebelum terbitnya peraturan ini = Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki dampak terhadap pengurangan atau peningkatan jumlah IUPHHK-HT setelah diterbitkannya peraturan ini Finansial IUPHHK-HT Ukuran finansial ini secara umum memetakan pengaruh kebijakan pada Tabel 2-1 tersebut terhadap adanya penambahan ataupun pengurangan biaya dalam pembangunan HTI. Penambahan atau pengurangan biaya ini dilihat dari biaya yang ditimbulkan dalam implementasi kebijakan. + = Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memiliki dampak terhadap peningkatan kemampuan finansial IUPHHK-HT - = Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memiliki dampak terhadap pengurangan kemampuan finansial IUPHHK-HT 0= Menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memiliki dampak terhadap peningkatan ataupun pengurangan kemampuan finansial IUPHHK-HT Peraturan perundangan pada Tabel 2-1 dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu, peraturan perundangan yang mendorong peningkatan IUPHHK-HT dan yang memberi peluang penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI oleh grup perusahaan besar. Berikut adalah peraturan menteri kehutanan yang mendorong terjadinya penguasaan usaha pembangunan HTI. 1. Kebijakan Penggunaan Dana Reboisasi DR Dana reboisasi DR pada awalnya merupakan dana jaminan pemegang Hak Pelaku usahaan Hutan HPH untuk melaksanakan reboisasi pada kawasan hutan yang telah ditebang. Namun selanjutnya dana jaminan ini menjadi retribusi yang dibayarkan oleh pemegang HPH yang digunakan oleh pemerintah untuk reboisasi. Dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI, dana reboisasi digunakan pemerintah untuk memberikan bantuan pendanaan melalui pinjaman tanpa bunga 32,5, pinjaman bunga komersial 32,5, hibah 14 dan dana swasta sebesar 21. Penggunaan dana reboisasi dalam pembangunan HTI ini digulirkan kepada 93 unit HTI dimana 6 unit berada di Riau. Dana reboisasi ini diberikan kepada BUMN kehutanan PT Inhutani I-V dan HTI patungan antara PT Inhutani dengan perusahaan swasta Barr et al. 2011. Kebijakan penggunaan dana reboisasi dalam pembangunan HTI melalui pinjaman dan penyertaan modal pemerintah ini ternyata tidak mencapai sasaran. Hal ini ditunjukkan oleh realisasi penanaman HTI yang tidak sesuai dengan target dan besarnya hutang pelaku usaha yang belum dilunasi. Dampak yang ditimbulkan oleh pemberian pinjaman dan penyertaan modal pemerintah dalam pembangunan HTI ini menimbulkan masalah kelayakan perusahaan pemegang IUPHHK-HT dan penerima pinjaman untuk melanjutkan pembangunan HTI. Kasus di Riau, dari enam unit IUPHHK-HT yang mendapat pinjaman dana reboisasi melalui pola patungan dengan PT Inhutani IV menunjukkan bahwa perusahaan tersebut saat ini telah diakuisisi dan melakukan KSO dalam pembangunan HTI. Perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang menerima dana reboisasi adalah : PT.Rimba Lazuardi KSO dengan PT. RAPP, PT. Rimba Rokan Hulu KSO, PT.Rimba Seraya Utama KSO dengan PT. RAPP, PT.Rimba Peranap Indah KSO dengan PT. RAPP, PT. Riau Abadi Lestari KSO dengan PT. Arara Abadi dan PT. Nusa Wana Raya akuisisi PT. RAPP. 2. Kebijakan Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Pembangunan HTI Kebijakan pelimpahan kewenangan penerbitan IUPHHK-HT kepada pemerintah daerah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 0.51 2000 jo No. 10.1 2000 jo No. 21 2001 tentang Pedoman pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman. Keputusan Menteri ini dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail, MSc. Pelimpahan kewenangan ini dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan IUPHHK-HT sebanyak 37 unit yang tersebar di Kabupaten Pelalawan sebanyak 21 unit, Kab. Siak 12 unit, Kab. Indragiri Hulu 4 unit. SK Menteri No. 10.12000 ini merupakan titik awal dari banyaknya IUPHHK-HT yang diterbitkan. IUPHHK-HT sebagian besar berada di kawasan hutan alam sekunder. Luas maksimum IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati ini adalah 50.000 ha. Pelimpahan kewenangan ini memberi dampak terhadap kemampuan finansial pemegang IUPHHK-HT. Tetapi hal tersebut tidak memili korelasi positif karena permohonan izin IUPHHK-HT dilakukan oleh orang-orang dekat Bupati yang tidak memiliki kemampuan finansial. Manfaat finansial yang diperoleh dari IUPHHK-HT hanya untuk kepentingan pribadi. 3. Kebijakan Verifikasi IUPHHK-HT Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.032005 jo P.052006 ini dimaksudkan untuk memberi kepastian usaha terhadap pemegang IUPHHK-HT. Kepastian usaha tersebut disebabkan oleh adanya cacat hukum dalam pemberian IUPHHK-HT, dimana proses penerbitan IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Bupati tidak sesuai dengan prosedur. Peraturan Menteri Kehutanan ini memberi dampak terhadap peningkatan biaya bagi pelaku usaha untuk menverifikasi IUPHHK-HT. Verifikasi IUPHHK-HT ini prosesnya hampir sama dengan proses permohonan awal untuk mendapatkan IUPHHK- HT. Aspek yang diverifikasi adalah kurun waktu penerbitan izin, prosedur penerbitan izin, status kawasan hutan yang diberi izin dan kelengkapan dokumen persyaratan permohonan IUPHHK-HT. Hasil verifikasi selama tahun 2005-2007 menunjukkan 8 unit IUPHHK-HT yang belum mendapat verifikasi dari total 37 unit IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati. Delapan IUPHHK-HT yang belum diverifikasi ini selanjutnya diserahkan kepada penerbit izin. Akibatnya status IUPHHK-HT tersebut tidak jelas. 4. Kebijakan Percepatan Pembangunan HTI Kebijakan percepatan pembangunan HTI ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.1012002 tentang percepatan pembangunan hutan tanaman industri untuk pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas. Kebijakan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan HTI pulp kertas. Hal ini disebabkan oleh adanya kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas di Riau yang cukup besar. Kebijakan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian IUPHHK-HT pada kawasan hutan sekunder yang masih memiliki potensi kayu alam. Proses percepatan pembangunan HTI pada areal hutan sekunder ini kemudian diterbitkan peraturan menteri kehutanan tentang Deliniasi makro dan deliniasi mikro. Prinsip deliniasi adalah mendeliniasi kawasan hutan yang dapat atau tidak dapat dijadikan HTI. Deliniasi Makro dan Deliniasi Mikro ini menggunakan parameter fisik yang terdiri atas 10 kriteria sebagai dasar penapisan. Percepatan pembangunan HTI ini memiliki dampak terhadap peningkatan jumlah IUPHHK-HT dan memberikan dampak peningkatan finansial dari izin IPK yang diberikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Tetapi peningkatan finansial dari IPK ini menjadi berkurang dengan pembuatan deliniasi makro dan deliniasi makro. 5. Kebijakan Kerja sama Operasi KSO Kebijakan KSO ini diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan. Peraturan ini telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan dilakukan terhadap ruang lingkup kegiatan dalam KSO. Ruang lingkup KSO yang dikerjakan oleh pelaksana KSO adalah penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan atau penebangan pohon, pengangkutan dan pemasaran. Pada peraturan perubahan selanjutnya dilakukan perubahan ruang lingkup, dimana kegiatan yang dapat dilakukan oleh pelaksana KSO adalah penyiapan lahan dan pemanenan. Kebijakan KSO ini menyebabkan pemegang IUPHHK-HT tidak kuat secara finansial. Hal ini disebabkan karena perjanjian KSO mengharuskan pemegang IUPHHK-HT memasarkan kayu HTI ke industri pulp kertas, dimana harga telah ditentukan lebih rendah dari harga internasional. 6. Kebijakan Pemindahtanganan Izin HTI Kebijakan pemindahtangan IUPHHK-HT ini diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P342009. Pemindahtanganan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK adalah perbuatan hukum pemindahtanganan IUPHHK yang dilakukan oleh Pemegang IUPHHK, baik dengan cara penjualan IUPHHK kepada pihak lain maupun dengan cara pengambilalihan sebagian besar atau seluruh saham pada perusahaan IUPHHK yang berbentuk BUMSI. Pemindahtanganan ini menyebabkan IUPHHK-HT dapat dipindahtangankan ke pihak lain. Hal ini berdampak pada pengurangan IUPHHK-HT dan penguasaan areal HTI oleh perusahaan yang memiliki kemampuan finansial besar. 7. Kebijakan Pengambilalihan saham akuisisi saham Izin HTI Pengambilalihan atau akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih seluruh ataupun sebagian besar saham pada perusahaan IUPHHK yang berbentuk BUMSI, yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perusahaan tersebut. Secara umum dinamika kebijakan pembangunan HTI yang memiliki pengaruh terhadap adanya peluang penguasaan usaha pembangunan HTI dapat dibedakan sebagai berikut : Kebijakan Tahun 1989 – 2003 Kebijakan Kementerian Kehutanan selama tahun 1989-2003 didasarkan pada wacana bahwa pembangunan HTI perlu dibantu melalui pemberian insentif perkreditan. Diskursus ini diperkuat oleh beberapa penelitian, baik lembaga penelitian maupun perguruan tinggi bahwa pembanguna HTI memiliki resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Oleh karena itu untuk menarik investor masuk dalam pembangunan HTI maka diberikan bantuan modal pembangunan HTI. Insentif ini melalui penyertaan modal pemerintah maupun pemberian pinjaman dengan bunga rendah. Kebijakan ini telah membantu pemegang IUPHHK-HT. Namun demikian kebijakan pencabutan bantuan pemerintah ini telah mengurangi jumlah IUPHHK- HT. Kebijakan lain yang juga memberi insentif menambah jumlah pelaku usaha pembangunan HTI adalah kebijakan pelimpahan kewenangan penerbitan IUPHHK-HT diberikan kepada pemerintah daerah Kebijakan Tahun 2005 - 2013 Kebijakan pembangunan HTI selama tahun 2003-2013 dicirikan oleh adanya kesadaran 14 pemerintah bahwa penerbitan beberapa IUPHHK-HT telah menimbulkan kerusakan hutan alam dan menyebabkan kerugian negara yang besar. Oleh karena itu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan selama periode ini adalah melakukan penyehatan IUPHHK-HT yang bermasalah, baik itu permasalahan kesalahan prosedur penerbitan maupun permasalahan kesulitan finansial yang dihadapi pemegang IUPHHK-HT. Peristiwa di Riau yang terjadi selama periode tahun 2003-2013 dan memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah adalah sebagai berikut : a. Periode Tahun 2003-2007 Peristiwa yang terjadi selama tahun 2003-2007 adalah verifikasi IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Bupati selama periode pelimpahan kewenangan ke Bupati. Verifikasi ini dilakukan karena izin yang dikeluarkan oleh Bupati diindikasikan telah melanggar status kawasan hutan dan pelanggaran prosedur pengajuan izin HTI. Selama periode ini tidak terjadi penambahan izin HTI sehingga jumlah IUPHHK-HT konstan. b. Periode Tahun 2008-2009 Periode selama tahun 2008-2009 ditandai dengan upaya pengendalian penebangan liar illegal logging dan perdagangan liar illegal trading yang dilakukan oleh individu atau perusahaan swasta. Kebijakan pengendalian ilegal logging ini menyebabkan kekurangan bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Selama periode ini beberapa Izin Pemanfaatan Kayu IPK yang dimiliki oleh grup usaha PT. RAPP dan PT. IKPP tidak dapat beroperasi karena 14 Kesadaran tersebut dilihat dari perkembangan HTI yang tidak sesuai dengan target pemerintah. Target untuk mencapai 5 juta ha pada tahun 2009 tidak sesuai dengan progresnya. Dengan semakin banyaknya IUPHHK-HT yang diterbitkan menyebabkan semakin besarnya kerusakan hutan. Disamping itu pemberian IUPHHK-HT telah menimbulkan kerugian bagi negara yang disebabkan oleh penggunaan kawasan hutan sekunder menjadi areal pembangunan HTI izin yang dimiliki dianggap bermasalah, sehingga penebangan pada kawasan hutan tersebut dianggap ilegal. c. Periode Tahun 2010-2013 Periode tahun 2010-2013 ini ditandai oleh adanya moratorium pemberian izin pembangunan HTI dari hutan alam dan kawasan hutan gambut. Kebijakan tersebut dilakukan melalui pemetaan kawasan hutan yang tidak dapat dimanfaatkan, baik pada hutan alam maupun kawasan hutan gambut. Dampak yang terjadi adalah kesulitan bagi PT. RAPP dan PT. IKPP untuk memperoleh bahan baku industrinya. Fenomena penguasaan usaha pembangunan HTI memiliki hubungan dengan pengaturan pemerintah melalui peraturan perundangan. Kebijakan pembangunan HTI 1989 −2013 menganut diskursus 15 yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan bahwa hutan produksi merupakan hutan negara. Selanjutnya pengelolaannya diserahkan kepada pihak ketiga. Pemberian izin pemanfaatan menempatkan pemerintah pada posisi pemilik hutan produksi melalui pengawasan yang ketat. Bentuk pengawasan tersebut dilakukan melalui peraturan menteri kehutanan yang bersifat rigid dan sampai ke hal-hal detil teknis. Menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens, dualitas antara agen dan struktur menunjukkan bahwa agen dalam hal ini Kementerian Kehutanan, menyusun peraturan menteri kehutanan untuk mempertahankan dominasi pemerintah terhadap kawasan hutan. Dominasi ini terlihat dari dinamika kebijakan pembangunan HTI yang mendorong terjadinya penguasaan usaha pembangunan HTI Tabel 2-1, dimana kewenangan pemerintah yang sangat besar. Peraturan Menteri Kehutanan ini juga menjadi dasar legitimasi Kementerian Kehutanan terhadap kawasan hutan produksi. Walaupun kawasan hutan tersebut telah dibebani izin pemanfaatan. Proses untuk menunjukkan dominasi dan legitimasi Kementerian Kehutanan tersebut berulang dalam bentuk peraturan menteri kehutanan ataupun peraturan di bawahnya, diantaranya peraturan atau surat edaran direktorat direktur jenderal ataupun. Proses ini berlangsung dalam periode waktu dan tempat yang berbeda. Akibatnya dominasi kementrian kehutanan dengan menggunakan legitimasi peraturan perundangan menuju pada suatu keinginan untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan dalam pengawasan kementrian kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan sebagai suatu alat dominasi dan legitimasi pemerintah terhadap kawasan hutan produksi yang telah diberikan izin pemanfaatan ini ditanggapi oleh pengusa dengan sikap dan tindakan yang didasarkan atas nilai value pelaku usaha. Dominasi negara yang besar dalam pembangunan HTI melalui peraturan menteri kehutanan yang sangat bersifat teknis tersebut dimaknai oleh pelaku usaha sebagai ketidakmauan pemerintah untuk melepaskan kewenangannya ke pelaku usaha. Kekuasaan dan Kepentingan dalam Usaha Pembangunan HTI Berdasarkan kajian pada tujuan pertama diketahui bahwa penguasaan usaha pembangunan HTI memiliki keterkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Kebijakan tersebut tertera pada Tabel 2-1. Melalui implementasi peraturan pada Tabel 2-1 dapat ditentukan titik-titik kekuasaan. Titik kekuasaan yang dimaksud adalah titik-titik dimana birokrat memiliki kewenangan 15 Diskursus adalah kerangka fikir atau pandangan seseorang atau kelompok yang berpengaruh terhadap penetapan ide, konsep dan pengkategorian terhadap sesuatu diskresi besar dan tidak ada pengawasan. Tanpa adanya pengawasan dan besarnya kewenangan birokrat menyebabkan transaksi antara pelaku usaha dengan birokrat dikuasai oleh salah satu aktor pelaku usaha atau birokrat. Proses transaksi tersebut ditandai oleh adanya kemampuan salah satu aktor untuk mengendalikan mengarahkan aktor lain. Kekuasaan ini merupakan salah faktor penting untuk mengetahui apakah penguasaan usaha pembangunan HTI yang terjadi saat ini disebabkan oleh kekuasaan yang dimiliki oleh aktorlembaga untuk mengatur pembangunan HTI, atau karena faktor lain. Kekuasaan yang dimaksud di sini dapat berupa kewenangan, modal finansial atau kekuasaan yang tercipta karena jaringan yang memudahkan akses ke pembuat peraturan. Keterkaitan antara penguasaan usaha pembangunan HTI dengan kekuasaan yang dimiliki oleh aktorlembaga ini dilihat dari proses permohonan izin IUPHHK-HT Penerbitan IUPHHK-HT dilakukan oleh Menteri Kehutanan dan pernah diberikan kepada pemerintah daerah. Kedua proses permohonan IUPHHK-HT ini melalui proses yang hampir sama. Perbedaannya hanya pada penerbit IUPHHK- HT saja, sementara persyaratan dan tata caranya tidak berbeda. Proses penerbitan IUPHHK-HT disajikan pada Gambar 2-1 berdasarkan pada Permenhut No. P.11Menhut-II2008 16 . Proses tersebut menunjukkan bahwa bahan kelengkapan persyaratan administrasi dan teknis seluruhnya diselesaikan di daerah dimana hutanareallokasi berada. Setelah seluruh proses di daerah selesai maka diajukan ke Menteri Kehutanan. Proses yang berlangsung di daerah menunjukkan kekuasaan terbesar dimiliki oleh Bupati dan Gubernur. Sementara kekuasaan terbesar di Kementerian Kehutanan berada pada keputusan Menteri Kehutanan untuk menyetujui atau tidak permohonan yang ajukan oleh pemohon. Berdasarkan proses permohonan dan penerbitan IUPHHK-HT tersebut dapat pula buat besaran kekuasaan dan kepentingan yang dimiliki oleh tiap aktor dalam proses permohonan IUPHHK-HT. Kekuasaan dalam kajian permohonan ini dimaksudkan dengan kemampuan aktor yang terlibat dalam permohonan penerbitan IUPHHK-HT mempengaruhi penyelesaian waktu penerbitan IUPHHK- HT dan mempengaruhi pemohon untuk mengikuti keinginan aktor yang bersangkutan. Kekuasaan ini dilihat dalam hubungan antara aktor dengan pemohon IUPHHK-HT. Berdasarkan definisi tersebut, kategori kekuasaan ini dibuat menjadi tiga kriteria yaitu besar, sedang dan kecil. Arti dan makna dari kriteria tersebut adalah :  Kekuasaan Besar Kekuasaan besar ini dimaksudkan bila aktor dapat mempengaruhi mengarahkan pemohon IUPHHK-HT dan pemohon IUPHHK-HT mengikuti dengan mengorbankan sesuatu yang bersifat material  Kekuasaan Sedang Kekuasan sedang dimaksudkan bila aktor dapat mempengaruhi mengarahkan pemohon IUPHHK-HT tetapi pemohon IUPHHK-HT tidak atau tidak mengikuti dan tanpa mengorbankan sesuatu yang bersifat material  Kekuasaan Kecil Kekuasaan kecil ini dimaksudkan bila aktor tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhimengarahkan pemohon IUPHHK-HT 16 Peraturan menteri ini tentang perubahan kedua peraturan menteri kehutanan No. P.11Menhut- II2007 tentang tata cara pemberian izin dan perluasan areal kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman pada hutan produksi Sementara itu kepentingan dimaksudkan sebagai keinginankeperluan aktor yang terlibat dalam proses permohonan IUPHHK-HT terhadap pemohon IUPHHK- HT. Deskripsi kepentingan ini menggunakan tiga kriteria yang dibuat, yaitu kepentingan tinggi, sedang dan rendah. Adapun arti dan makna dari ketiga kriteria tersebut adalah :  Kepentingan Tinggi Kepentingan Tinggi dimaksudkan bila aktor memiliki keinginan untuk terbitnya IUPHHK-HT. Keinginan tersebut berhubungan dengan adanya manfaat yang diperoleh dengan penerbitan IUPHHK-HT tersebut.  Kepentingan Sedang Kepentingan Sedang dimaksudkan bila aktor tidak memiliki keinginan untuk diterbitkannya atau tidak diterbitkannya IUPHHK-HT.  Kepentingan Rendah Kepentingan Rendah dimaksudkan bila aktor tidak memiliki keinginan untuk diterbitkannya IUPHHK-HT karena adanya permasalahan yang akan ditimbulkan oleh penerbitan IUPHHK-HT. Deskripsi kekuasaan dan kepentingan dalam proses permohonan IUPHHK- HT dideskripsikan dalam penjelasan di bawah ini. Penjelasan ini melihat pada tekshukum dan praktikpolitik dalam proses permohonan pembangunan HTI. Tabulasi kekuasaan dan kepentingan berdasarkan teks dan prakter tersebut tertera pada Tabel 2-2. 1. Menteri Kehutanan Menteri kehutanan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau tidaknya permohonan IUPHHK-HT yang telah memenuhi seluruh persyaratan. 2. Direktorat Jenderal Bina usaha Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan BUK memiliki kekuasaan yang besar untuk menentukan apakah permohonan dari pemohon di tolak atau tidak. Kekuasaan tersebut dalam bentuk kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap permohonan yang ditujukan ke Menteri Kehutanan. Penilaian ini meliputi penilaian terhadap kelengkapan administrasi dan teknis. Titik kekuasaan yang dimiliki oleh Dirjen BUK adalah menentukan apakah permohonan yang telah dinilai akan dilanjtkan atau tidak. 3. Direktorat Jenderal Planologi Direktorat Jenderal planologi memiliki kekuasaan untuk menentukan status kawasan hutan yang telah dinilai oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH. Kekuasaan planologi untuk menentukan status kawasan hutan. 4. Gubernur Gubernur memiliki kekuasaan yang besar untuk memberikan rekomendasi atas usulan pemohon untuk menentukan apakah permohonan akan diajukan ke Menteri Kehutanan atau tidak. Secara substansi, rekomendasi Gubernur hanya meneruskan pertimbangan yang telah diberikan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Peranan Gubernur yang hanya memberi rekomendasi atas pertimbangan Kepala dinas kehutanan provinsi sejatinya tidak diperlukan. Namun demikian walaupun pertimbangan teknis yang diberikan oleh Kepala Dinas dapat dilanjutkan, tetapi bila Gubernur tidak menyetujui maka permohonan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Persyaratan administrasi : 1. Akta pendirian PT 2. Surat Izin Usaha 3. NPWP 4. Pernyataan membuka kantor cabang di PropKab 5. Rekomendasi Gubernur dilampiri peta skala 1 :100.000, atas dasar:  Pertimbangan Bupati  Pertimbangan teknis dishut Kab  Pertimbangan teknis dishut Prop  Persyaratan Teknis : 1. Rencana lokasi, dilampiri Citra satelit resolusi min 30 m, peta skala 1 : 100.000 2. Proposal teknis Dokumen Administrasi Pemohon IUPHHK-HT Dokumen Teknis Menteri Kehutanan Tembusan :  Dirjen BUK  Dirjen Planologi  Kadishut Prop  Kadishut Kab Proses Penilaian : 1. Kelengkapan persyaratan 2. Penilaian Proposal Teknis 3. Konfirmasi areal SK Penolakan Tolak Dinas Kehutanan dan instansi terkait Terima Surat persetujuan Menhut dan perintah penyusunan Amdal Penyusunan Amdal Pengesahan Laporan Amdal Penilaian Amdal Penyiapan peta areal kerja Konsep keputusan IUPHHK-HT SK Menhut IUPHHK-HT Gambar 2-1. Proses Permohonan IUPHHK-HT 5. Bupati Bupati memiliki kekuasaan untuk memberikan pertimbangan teknis terhadap kawasan hutan yang dajukan oleh pemohon. Pertimbangan teknis Bupati ini berdasarkan hasil pertimbangan Kepala Dinas Kehutanan kabupaten. Kekuasaan Bupati pada kasus ini hampir sama dengan Gubernur. 6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kekuasaan yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dalam pengajuan permohonan IUPHHK-HT adalah menentukan lokasi yang dapat dijadikan sebagai lokasi pembangunan HTI dan memberikan pertimbangan teknis. 7. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kekuasaan yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan Provinsi dalam permohonan pembangunan HTI adalah memberikan pertimbangan teknis. Sementara dalam pelaksanaan pembangunan HTI, kekuasaan Dinas Kehutanan Provinsi adalah menerbitkan RKT. 8. Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH BPKH memiliki kekuasaan untuk menentukan status kawasan hutan yang diajukan oleh pemohon. Peranan BPKH dalam kasus ini adalah menentukan status kawasan hutan dilihat dari fungsi hutan dan status hutan. Bila secara hukum fungsi dan status hutan tersebut telah clear and clean maka proses permohonan dapat dilanjutkan. 9. Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD dalam proses penerbitan ini memiliki kewenangan untuk menyetujui atau tidaknya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL yang dibuat oleh pemohon. 10. Konsultan Kehutanan Konsultan kehutan memiliki peran dalam membuat dokumen yang dibutuhkan dalam proses permohonan IUPHHK-HT, diantaranya dokumen AMDAL atau Upaya Kelola LingkunganUpaya Pemantauan Lingkungan UKLUPL 11. Masyarakat sekitar hutan Masyarakat sekitar hutan tidak memiliki keterlibatan dalam permohonan IUPHHK-HT. Keterlibatan masyarakat tersebut terjadi ketika IUPHHK-HT sudah diterbitkan. Keterlibatan tersebut dapat berupa konflik atau sebagai tenaga kerja dalam pembangunan HTI Tabel 2-2. Kekuasaan dan Kepentingan Aktor dalam Permohonan IUPHHK-HT No Aktor Pelaku Teks Hukum Praktik Politik Kekuasaan Kepentingan Kekuasaan Kepentingan 1. Menteri Kehutanan Sedang Sedang Besar Tinggi 2. Direktorat Jenderal BUK Sedang Sedang Besar Tinggi 3. Dirjen Planologi Sedang Sedang Besar Tinggi 4. BPKH Sedang Sedang Besar Tinggi 5. Gubernur Sedang Sedang Besar Tinggi 6. Bupati Sedang Sedang Besar Tinggi 7. Kadishut Provinsi Riau Sedang Sedang Besar Kecil 8. Kadishut Kab. Pelalawan Kecil Sedang Besar Kecil 9. BLHD Kab. Pelalawan Kecil Sedang Kecil Kecil 10. Konsultan Kehutanan Kecil Kecil Kecil Tinggi 11. Masyarakat Sekitar Hutan Kecil Kecil Kecil Kecil Sumber : hasil analisis 2014 Berdasarkan deskripsi di atas, aktor yang memiliki kekuasaan yang besar dalam permohonan IUPHHK-HT adalah pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kekuasaan yang dimiliki oleh birokrat dalam permohonan IUPHHK-HT, dari Pusat Menteri, Dirjen BUK, Planologi, BPKH sampai daerah Gubernur, Bupati dan Kepala Dinas menurut teks aturan secara hukum berada dalam posisi sedang atau birokrat mampu mempengaruhi dalam permohonan IUPHHK-HT. Tetapi dalam praktiknya atau secara politik terdapat titik-titik kekuasaan yang menyebabkan birokrat memiliki kekuasaan untuk mengarahkan atau mempengaruhi pemohon. Upaya untuk mempengaruhi ini untuk kepentingan birokrat. Hal yang sama juga terhadap kepentingan para birokrat tersebut, dimana secara hukum, birokrat memiliki kepentingan yang sedang tetapi dalam praktiknya kepentingannya tinggi. Hal ini terjadi karena dominasi kementrian kehutanan terhadap proses permohonan IUPHHK-HT yang besar. Peluang Korupsi dan Kerugian Negara dalam Pembangunan HTI Korupsi dan kerugian negara merupakan dua hal yang saling berkaitan. Korupsi menyebabkan kerugian bagi negara. Korupsi merupakan fenomena komplek dan multisegi, baik sebab dan akibat yang ditimbulkan, bentuk dan fungsinya. Korupsi ini dapat dilihat dari konteks yang berbeda-beda. Klitgaard et al 2005, merumuskan korupsi C sebagai fungsi dari monopoli M, kewenangandiskresi D dan akuntabilitas. Korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan besar dan kewenangan diskresi yang tidak jelas serta tidak adanya transparansi. Perumusan korupsi dengan persamaan C = M + D – A. Korupsi dapat dilihat dalam dimensi politik, ekonomi dan budaya Ackerman, 2010. Korupsi dilihat dari dimensi politik melihat perilaku korup para aktor dalam menjalani hubungan antara negara dan swasta. Korupsi ini digambarkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Prilaku korupsi terjadi melalui suatu jejaring korupsi yang melibatkan petugas negara dan pelaku swasta Hadi, 2010. Sementara itu menurut Indriati 2014, korupsi politik adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan dengan memanipulasi kebijakan, lembaga, dan atau prosedur, terkait dengan alokasi sumberdaya dan pembiayaan, yang dilakukan oleh pembuat kebijakan demi terus mempertahankan kekuasaan, status dan kekayaannya. Dalam Undang-Undang No.311999, definisi korupsi menurut pengertian hukum adalah transaksi antara dua individu, satu sebagai wakil negara state agent dan yang lain sebagai orang sipil civilian, dimana wakil negara state agent melampaui batas hukum dan pengaturan untuk mengamankan manfaat yang diperolehnya dalam bentuk penyuapan. Sementara itu menurut kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk kepentingan pribadi. Selanjutnya UU Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa unsur-unsur korupsi adalah dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Selanjutnya juga disebutkan mengenai kelompok tindak pidana korupsi yang terdiri atas suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melakukan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi misalnya penggelapan uang atau di luar organisasi misalnya pemerasan. Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif dibidang sosial, namun pada umumnya korupsi membawa inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan. Tindak korupsi berbeda secara luas sebaran dan jenisnya. Korupsi ada yang dilakukan secara free lance artinya pejabat secara sendiri-sendiri atau kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun korupsi bisa mewabah menjadi sistemis. Korupsi sistemik memiliki dampak kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan dan kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Menurut Fjeldstand et al 2000, bentuk-bentuk korupsi dibedakan menjadi beberapa bentuk yaitu Penyuapan bribery, Penggelapan embezzlement, Penipuan fraund, Pemerasan extortion dan Pilih Kasih favouritism. a. Penyuapan bribery Penyuapan adalah pembayaran dalam bentuk uang atau kebaikan yang diberikan dalam hubungan korupsi. Penyuapan ini dilakukan kepada pejabat negara yang memiliki kewenangan dalam membuat kontrak. Beberapa pengertian yang memiliki makna hampir sama dengan penyuapan Bribery adalah : pembayaran kembali kickbacks, persen gratuities, commercial arragements, baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed dan grease money b. Penggelapan embezzlement Penggelapan embezzlement adalah pencurian sumberdaya oleh orang yang menjabat administratur. Penggelapan ini terjadi ketika pejabat negara mencuri sumberdaya publik institusi. Secara hukum, penggelapan ini tidak termasuk pada korupsi tetapi dengan adanya perluasan definisi dari korupsi maka penggelapan ini termasuk juga dalam tindakan korupsi. c. Penipuan fraund Penipuan adalah kejahatan ekonomi yang meliputi beberapa macam bentuk dari tipu daya trickery, pengecohan swindle atau kebohongan deci eit. Penipuan ini meliputi manipulasi atau distorsi informasi, fakta atau keahlian oleh pejabat publik terhadap politisi dan warga negara untuk mencari keuntungan pribadi. d. Pemerasan extortion Pengambilan uang atau sumberdaya lain dengan menggunakan paksaan coercion, kekerasan violence, atau dengan penggunaan kekuatan. Memeras blackmailing dan pemerasan extortion adalah transaksi korupsi ketika pengambilan uang secara kasar oleh mereka yang memiliki kekuasaan. e. Pilih Kasih favouritism Pilih kasih favouritism adalah penyalahgunaan kekuasaan secara pribadi dan bias distribusi sumberdaya negara tanpa memperhatikan adanya penumpukan sumberdaya pada salah satu pihak. Beberapa indikator yang digunakan untuk melihat korupsi dalam bentuk indeks global yaitu Corruption Perception Index CPI, Global Corruption Barometer GCB dan Bribe Payer’s Index. CPI adalah indeks mengenai korupsi yang setiap tahun dimumkan oleh Transparancy International TI. Survey untuk menentukan CPI ini dilaksanakan pada 180 negara. Persepsi yang digunakan dalam menentukan indeks CPI adalah persepsi para pakar. Nilai indeks CPI ini memiliki nilai maksimum 10 dan terendah 1 dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan persepsi korupsi yang semakin rendah. Selama tahun 2001, Indonesia selalu menempati indeks CPI yang rendah dengan peringkat termasuk negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi. Peringkat Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2001 dengan indeks 1,9 yang menduduki peringkat 88 dari 81 negara yang disurvey. Sementara itu peringkat terendah yang capai Indonesia terjadi pada tahun 2007 dengan indeks 2,3 yang menduduki peringkat 143 dari 180 negara yang disurvey. Global Corruption Barometer GCB adalah nilai yang menunjukkan opini publik tentang persepsi dan pengalaman korupsi. GCB menanyakan sektor publik mana yang paling korup, apakah pernah melakukan sogok menyogok dan apa pendapat masyarakat mengenai tingkat korupsi. Survey dilakukan oleh Gallup International untuk TI. Pihak yang disurvey adalah masyarakat pada umumnya. Survey tahun 2007 oleh GCB ini menempatkan Indonesia berada pada posisi 4 setelah Kamboja, Pakistan dan Filipina dilihat dari responden yang sering melakukan sogok untuk pelayanan publik. Sektor yang paling korup adalah Kepolisian yang disusul oeh DPR dan prediksi responden bahwa korupsi di Indonesia akan meningkat 59 dari kondisi saat tersebut Tuanakotta 2009. Bribe Payer’s Index BPI atau Indeks Pembayar Suap adalah indeks yang melakukan pemeringkatan terhadap 30 negara pengeksport utama di dunia atas dasar persepsi mengenai pembayaran sogok kepada pejabat publik senior public officials oleh perusahaan di negara-negara yang di survey. Sementara itu kerugian negara dibedakan berdasarkan pengertian ekonomi, akuntansi, hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum pidana Tuanakotta 2009. Korupsi yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari kerugian yang ditimbulkan terhadap negara. Berikut adalah definisi kerugian negara. 1. Menurut Hukum Perdata Dalam bagian 4 pasal 1243 sampai dengan 1252 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata KUHP, pengertian kerugian negara memiliki makna yang sama dengan bahasa Belanda biaya kosten, kerugian schaden dan bunga interessen. Kerugian memiliki arti tidak hanya yang berupa biaya- biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan kosten atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang schaden, tetapi juga yang berupa kehilangan potensi keuntungan interessen, yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berutang tidak lalai winstderving. Winsderving ini dalam pengertian ekonomi lebih dikenal sebagai opportunity cost atau opportunity loss atau sebagai keuntungan yang seharusnya diperoleh namun tak jadi diperoleh. Makna lain dari winstderving ini adalah kerugian yang timbul karena tidak dipilihnya alternatif terbaik. 2. Menurut Hukum Administrasi Negara Kerugian NegaraDaerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3. Menurut Hukum Pidana Kerugian Negara adalah suatu kerugian negara yang tidak hanya bersifat riil yaitu yang benar-benar telah terjadi namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan negara yang akan diterima dan lain sebagainya Undang-Undang No.31999 jo Undang-Undang No.202001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TIPKOR, 4. Menurut Pengertian Ekonomi Kerugian dalam konsep ekonomi memiliki keterkaitan dengan konsep well- offness atau better-offness. Bila asset atau kekayaan bertambah maka dikatakan better off atau well off, sedangkan bila mengalami kerugian atau asestnya berkurang dikatakan worst off. 5. Menurut Pengertian Akuntansi Kerugian dalam pengertian akuntansi melihat pada catatan pembukuan dengan realitas dari obyek. Penghitungan kerugian negara dapat didekati dari 4 empat pendekatan 17 yaitu, pendekatan penerimaan Receipt, Pengeluaran Expenditure, Aset Asset dan Kewajiban Liability. Berdasarkan proses permohonan IUPHHK-HT Gambar 2-1, peluang terjadinya korupsi berada pada transaksi pelayanan antara pemohon dengan birokrasi. Beberapa bentuk dan titik dimana terdapat peluang korupsi serta peluang kerugian negara terdapat pada deskripsi Tabel 2-3. Tabel 2-3. Pola Korupsi dalam Permohonan IUPHHK-HT No Peluang Korupsi Bentuk Korupsi 18 Kerugian Negara 19 1. Pertimbangan teknis Kadishut Kabupaten pemerasan 1.000.000.000 2. Pertimbangan teknis Kadishut Provinsi pemerasan 1.000.000.000 3. Pertimbangan teknis BPKH suap 50.000.000 4. Pertimbangan teknis Bupati pemerasan 1.000.000.000 5. Rekomendasi Gubernur pemerasan 2.000.000.000 6. Penilaian dokumen oleh Planologi suap tk 7. Penilaian dokumen oleh BUK suap tk 8. Pembuatan dokumen Amdal suap 75.000.000 9. Persetujuan dokumen Amdal suap 50.000.000 10. Persetujuan Menteri Kehutanan suap 6.000.000.000 Total Kerugian Negara 11.175.000.000 Sumber : hasil analisis 2014 Keterangan : tk : Terdapat biaya transaksi, tetapi informasi tersebut tidak diperoleh Peluang korupsi dalam proses permohonan IUPHHK-HT terjadi dalam proses transaksi antara pemohon dan pejabatbirokrasi yang terjadi pada 10 sepuluh titik Tabel 2-6. Titik korupsi tersebut dimungkinkan karena besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pejabat dalam proses permohonan IUPHHK-HT, sebagai contoh adalah pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan. Besarnya kewenangan diskresi yang dimiliki ini menyebabkan terjadi transaksi untuk memperoleh pertimbangan teknis. Korupsi yang terjadi dalam permohonan IUPHHK-HT melalui suap bribery dan pemerasan extortion. Suap cenderung terjadi pada birokrat dimana pelaku korupsi tidak memiliki kekuasaan yang bersifat absolut, tetapi terdistribusi pada beberapa pihak. Sebagai contoh pola korupsi yang terjadi dalam pertimbangan 17 Pendekatan kerugian negara ini menggunakan pendekatan yang digunakan oleh The Association of Certified Fraund Examiners ACFE yang dikenal dengan pohon kerugian negara R.E.A.L Tree 18 Suap ini menunjukkan adanya pemberian uang kepada pejabat tanpa adanya oleh pejabat. Sedangkan pemerasan terjadi pemberian uang yang disertai dengan ancaman. Ancaman yang biasa dilakukan adalah tidak memberikan rekomendasi yang menjadi kewenangan pejabat yang bersangkutan. 19 Kerugian negara ini terjadi dalam proses penerbitan IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan luas IUPHHK-HT lebih besar dari 50.000 ha. teknis mengenai status kawasan hutan yang dimohonkan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH dalam memberikan pertimbangan mengenai status kawasan hutan tidak menekan pemohon. Pertimbangan teknis BPKH ini masih memiliki kaitan dengan penilaian Direktorat Planologi, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh BPKH tidak absolut. Berbeda dengan kewenangan memberikan pertimbangan teknis yang dimiliki oleh Kepala Dinas Kehutanan kabupaten atau Provinsi, pertimbangan teknis Bupati serta rekomendasi Gubernur. Pertimbangan teknis dan rekomendasi tersebut tidak berkaitan dengan atasan dari pemberi pertimbangan atau rekomendasi. Akibatnya kekuasaan pemberi pertimbangan dan rekomendasi ini sangat besar sehingga dapat menekan pemohon IUPHHK-HT. Kerugian negara yang timbul dalam proses permohonan IUPHHK-HT ini tidak secara langsung menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN tetapi mengurangi penerimaan negara. Kerugian negara tersebut terjadi karena adanya manipulasi pada potensi kayu yang diperoleh dari izin Pemanfaatan Kayu IPK. Izin pemanfaatan kayu IPK ini merupakan izin melakukan penebangan pohon pada kawasan hutan yang akan dijadikan sebagai hutan tanaman industri HTI. Penerimaan negara dari IPK ini diperoleh dari pungutan dana reboisasi DR. Modus yang dilakukan untuk mengurangi pendapatan negara dari DR ini dilakukan dengan menurunkan potensi kayu. Penurunan potensi kayu ini akan menyebabkan penurunan pungutan dana reboisasi. Besaran penurunan potensi ini digunakan untuk membiayai proses permohonan IUPHHK-HT yang jumlahnya mencapai 11,175 milyar rupiah. SIMPULAN Peraturan menteri kehutanan sebagai produk kebijakan merupakan sarana untuk melegitimasi dominasi Kementerian Kehutanan terhadap pengelolaan hutan produksi. Legitimasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan seluruh aspek kegiatan dalam pembangunan HTI. Dominasi Kementerian Kehutanan dalam pembangunan HTI dapat diketahui dari besarnya kekuasaan yang dimiliki Kementerian Kehutanan. Walaupun kekuasaan yang dimiliki oleh Kementerian Kehutanan sangat besar, tetapi Kementerian Kehutanan tidak dapat menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengurangi adanya penguasaan usaha pembangunan HTI oleh kelompok tertentu. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Kementerian Kehutanan berpeluang menciptakan adanya korupsi dan menimbulkan kerugian negara. Korupsi kehutanan ini berdampak secara langsung terhadap kondisi kawasan hutan. SARAN Pembuatan peraturan menteri kehutanan perlu memperhatikan karakteristik aktor yang diatur sehingga tujuan pembuatan peraturan dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Ackerman, SR. 2010. Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat dan Reformasi. Siagian Toenggoel, penerjemah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Terjemahan dari: Corruption and Goverment, Causes, Consequences and Reform. Amiruddin dan Asikin, Z. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo. Jakarta Berger P and Luckmann T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Hasan Basri, penerjemah. Jakartas: LP3ES. Terjemahan dari: The Social Construction of Reality. A Treatise in The Sociology of Knowledge. Dhiaulhaq A,Gritten D,Bruyn T,Yasmi Y,Zazali A,Silalahi M. 2014. Transforming Conflict in Plantation Through Mediation: Lesson Experiences krom Sumatera, Indonesia. Forest Policy Ana Economics 412014:22-30 Eriyanto. 2007. Analisis Wacana Pengantar Analisis Media. Penerbit LKis Yogyakarta. Yogyakarta Giddens, A. 1984. Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Adi Loka S, penerjemah; Yogyakarta: Penerbit Pedati. Terjemahan dari: The Constitution of Society Hadi, K. 2010. Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. Jurnal Penelitian Politik : Good Governance dan Korupsi 7 1: 51-70 Hero Y. 2012. Peran Kelembagaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat Berdasarkan Pendekatan Diskursus dan Sejarah disertasi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Indriati, E. 2014. Pola dan Akar Korupsi, Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Kementerian Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta Kementerian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta Klitgaard R, Abaroa RM, Parris HL. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan daerah. Masri Maris penterjemah. Yayasan Obor Indonesia Nugroho, B. 2011. Land Rights of Community Forest Plantation Policy: Analysis from an Institutional Perspective. Jurnal Manajamen Hutan Tropika 173:111-118 Purnomo A. 2012. Menjaga Hutan Kita, Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut. PT.Gramedia. Jakarta Riyanto. 2008. Korupsi dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya Disertasi. Bogor. Institut Pertanian Bogor Sulasman. 2014. Metodologi Penelitian Sejarah, Teori, Metode, Contoh Aplikasi. Penerbit Pustaka Setia. Bandung Tuanakotta, T. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Salemba Empat. Jakarta

III. AKTOR DAN JARINGAN AKTOR DALAM PROSES