PENGUASAAN AREAL DAN KEPEMILIKAN

V. PENGUASAAN AREAL DAN KEPEMILIKAN

USAHA PEMBANGUNAN HTI Bagian ini mengkaji proses penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI oleh perusahaan HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper RAPP dan perusahaan HTI PT. Arara Abadi. Kedua perusahaan HTI tersebut terintegrasi vertikal dengan industri pulp dan kertas, yaitu perusahaan HTI PT. RAPP dengan industri pulp kertas PT. RAPP, dan perusahaan HTI PT. Arara Abadi dengan industri pulp kertas PT. Indah Kiat Pulp and Paper IKPP. Walaupun penguasaan usaha dilakukan oleh dua perusahaan besar, istilah yang digunakan dalam disertasi ini adalah monopoli. Istilah ini sesuai dengan yang digunakan dalam UU antimonopoli No. 5 tahun 1999. Penguasaan pangsa pasar oleh satu atau dua grup yang melebihi 75 dapat dikatakan telah melakukan praktek monopoli. Pengungkapan proses ya monopoli ini menggunakan teori biaya transaksi cost transaction dan teori perilaku mencari rente rent seeking behaviour. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Tanaman Industri HTI merupakan bentuk pengelolaan hutan produksi dengan memberikan izin hak pemanfaatan kepada perorangan, koperasi maupun swasta yang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Pemberian izin kepada pelaku usaha yang berbeda merupakan salah satu upaya untuk memperbanyak jumlah pelaku usaha. Sehingga pembangunan HTI diharapkan memberi kesempatan kepada banyak pihak untuk terlibat. Pemanfaatan hutan produksi juga dilakukan dalam bentuk Hak Pelaku usahaan Hutan HPH. Izin pemanfaatan ini melalui penebangan hutan alam. Pemanfaatan hutan alam merupakan salah contoh bentuk pemanfaatan hutan yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku. Pemanfaatan hutan alam melalui Hak Pelaku usahaan Hutan HPH pada awal tahun 1970-an menujukkan adanya penguasaan hak pemanfaatan pada beberapa Grup besar Barr 1999; Gunawan 2004. Pemerintah menyadari bahwa penguasaan izin pemanfaatan hutan alam menimbulkan dampak kerusakan hutan dan konglomerasi dalam bisnis kehutanan. Oleh karena itu, diberikan kesempatan bagi pelaku usaha lain untuk masuk dalam bisnis pembangunan HTI. Penambahan pelaku ini dengan memperluas status pelaku yang dapat memperoleh IUPHHK-HT. Kebijakan ini merupakan upaya untuk menekan adanya kecenderungan penguasaan usaha pemanfaatan hutan tanaman oleh Grup perusahaan tertentu. Berbagai insentif telah diberikan oleh pemerintah sejak tahun 1990 untuk merangsang minat pelaku usaha dalam pembangunan HTI. Insentif tersebut melalui pemberian pinjaman dari dana reboisasi, pelimpahan kewenangan dalam penerbitan IUPHHK-HT dan percepatan pembangunan HTI 28 . Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan izin pemanfaatan dan jumlah pelaku usaha. Sampai 28 Kebijakan pelimpahan kewewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan dan percepatan pembangunan HTI memudahkan pelaku usaha untuk memperoleh izin dan operasional lapangan. Namun realitanya, kemudahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha karena banyaknya permasalahan dalam pembangunan HTI. Permasalahan tersebut diantaranya konflik lahan dan biaya transaksi. tahun 2011, jumlah pelaku usaha yang memperoleh IUPHHK-HT mencapai 249 unit, di mana 58 unit usaha IUPHHK-HT tersebut berada di Riau Kementerian Kehutanan 2011. Walaupun pemerintah memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk masuk dalam usaha pembangunan HTI, pemerintah tetap melakukan pembatasan terhadap adanya penguasaan IUPHHK-HT melalui pembatasan luas IUPHHK-HT yang dimiliki oleh satu perusahaan dalam satu provinsi seluas 300.000 ha 29 . Kebijakan tersebut saat ini telah diatur lebih detil di mana luas maksimum izin konsesi yang diberikan kepada pelaku usaha hanya 50.000 ha 30 . Walaupun Peraturan Menteri Kehutanan tentang pembatasan luas maksimum IUPHHK-HT telah ditetapkan, telah terjadi kecenderungan penguasaan usaha pembangunan HTI oleh beberapa perusahaan. Beberapa indikasi menunjukkan adanya penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI. Fokus Penelitian Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI di Riau menunjukkan fenomena penguasaan areal dan kepemilikan usaha oleh dua grup perusahaan besar yang mencapai 1,6 juta ha Kementerian Kehutanan 2011. Penguasaan oleh kedua grup perusahaan ini berawal dari pemberian IUPHHK-HT. Proses penerbitan IUPHHK-HT ini terjadi dari tahun 1990-an sampai dengan 2005. Penguasaan ini memiliki hubungan dengan kebijakan pemerintah sebagai dasar operasional pembangunan HTI 31 . Hubungan transaksional antara pembuat kebijakan dengan pelaku usaha merupakan titik awal adanya keberpihakan kepada pelaku usaha tertentu . Kekuasaan yang dimiliki oleh pembuat kebijakan digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok . Kekuasaan besar yang dimiliki negara ini dapat memperkuat dominasi negara Shively 1991. Sebagaimana yang dikatakan dalam teori negara otonom Gaus et al 2004; Mallarangeng 2002, negara memiliki kepentingan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Artinya bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah didalamnya terdapat kepentingan pemerintah. Kepentingan tersebut berimplikasi pada adanya keberpihakan kebijakan kepada pihak tertentu Grant 2012. Keberpihakan kebijakan tersebut diberikan bila dapat memberikan manfaat bagi pembuat kebijakan. Bagi pelaku usaha, manfaat yang diterima oleh pembuat kebijakan tersebut merupakan biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini dalam proses mendapatkan pelayanan pemerintah merupakan biaya transaksi. Timbulnya biaya transaksi ini karena adanya perilaku mencari rente dari pihak yang memiliki kewenangan dalam proses permohonan pengajuan perizinan IUPHHK-HT. Perilaku mencari rente 32 rent seeking didefinisikan sebagai upaya 29 Pembatasan luas maksimum ini terdapat pada Peraturan Pemerintah No.71990 tentang Hak Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri 30 Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.14 tahun 2014, telah dilakukan pembatasan luas Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman IUPHHK-HT dan hutan alam IUPHHK-HA maksimum 50.000 ha per pelaku usaha 31 Kebijakan pemerintah yang memberi peluang terjadinya penguasaan areal dan usaha pembangunan HTI tertera pada Bab II Dinamika Kebijakan Pembangunan HTI 32 Perilaku mencari rente dalam ilmu ekonomi klasik dimaknai secara netral karena dapat menyegerakan ekonomi. Tetapi dalam ilmu ekonomi politik, perilaku mencari rente ini menjelaskan perilaku pelaku usaha, politisi dan kelompok kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dengan individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah Yustika 2008. Kelompok bisnis dan perorangan individu mencari rente ekonomi dengan menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau meningkatkan permintaan sumberdaya yang dimiliki Clark 1998. Biaya transaksi ini tidak termasuk dalam biaya riil pembangunan HTI. Tingginya biaya transaksi membuat perusahaan yang tidak memiliki modal besar tidak dapat bertahan dalam bisnis pembangunan HTI. Hal ini mengakibatkan hanya perusahaan dengan modal besar 33 yang dapat bertahan dalam bisnis pembangunan HTI. Akibatnya perusahaan yang tidak mampu membiayai pembangunan HTI melakukan pemindahtanganan izin , pengambilalihan saham dan kerjasama operasi. Penguasaan areal dan usaha pembangunan HTI yang dilakukan oleh pelaku usaha besar terjadi melalui ketiga hal tersebut. Biaya transaksi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh kelembagaan yang tidak dapat mengendalikan timbulnya prilaku mencari rente. Jika penataan kelembagaan berjalan dengan baik maka biaya transaksi menjadi kecil sehingga ekonomi berjalan dengan efisien Rahbini 2006. Tingginya biaya transaksi tidak hanya disebabkan oleh kelembagaan atau tata kelola, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Beberapa kebijakan yang tidak mencapai sasaran ini bersifat disinsentif terhadap pembangunan HTI. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kebijakan dengan biaya transaksi dan penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI oleh grup perusahaan besar. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Menganalisis proses penerbitan IUPHHK-HT yang berikan oleh Bupati Pelalawan, Riau. 2. Menganalisis titik kritis, sebaran dan besaran biaya transaksi dalam pembangunan HTI 3. Menganalisis proses penguasaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT oleh grup perusahaan besar 4. Membuktikan ada tidaknya monopoli dalam usaha pembangunan HTI Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diperolehnya informasi tentang keterkaitan kebijakan Kementerian Kehutanan dengan terjadinya penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI yang dapat dijadikan sebagai bahan dalam perubahan kebijakan Kementerian Kehutanan. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tahun 2011 sampai 2013 di Provinsi Riau. Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki luas HTI mencapai usaha yang sekecil-kecilnya dengan memanfaatkan sumberdaya ekonom politik seperti lobi dalam mempengaruhi suatu kebijakan. 33 Menurut pelaku usaha, biaya pembangunan HTI 30 jutaha. Sehingga untuk luas IUPHHK-HT 5.000 ha dibutuhkan modal minimum 1.5 Milyar 1.6 juta ha dengan dua industri pulp dan kertas yang memiliki kapasitas produksi total 4 juta tontahun Mediadata Riset 2010. Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini mengkonstruksi proses penguasaan areal dan usaha HTI oleh grup perusahaan PT.RAPP dan PT.IKPP. Proses penguasaan yang dikaji adalah kejadian selama tahun 1990 –2013. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pilihan paradigma konstruktivisme serta metode fenomenologi. Deskripsi metode penelitian telah dijelaskan dalam Bab I. Proses untuk mengkonstruksi kejadian selama tahun 1990 – 2013 dilakukan melalui pengungkapan fakta-fakta yang terjadi dan sikap serta tindakan aktor selama waktu tersebut. 1. Mengetahui proses penerbitan IUPHHK-HT Tujuan pertama penelitian adalah mengetahui proses penerbitan IUPHHK-HT yang diberikan oleh Bupati, dalam hal ini kasus penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati Pelalawan, Riau. Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri proses yang berkaitan dengan penerbitan IUPHHK-HT tersebut. Data diperoleh melalui wawancara dengan informan yang menjadi pelaku atau mengetahui proses penerbitan IUPHHK-HT. Data dokumen yang digunakan adalah dokumen yang menyajikan proses persidangan di Pengadilan Tipikor dan Mahkamah Agung dengan terdakwa Bupati Pelalawan. Hasil data dari persidangan tersebut kemudian diklarifikasi dengan melakukan wawancara secara mendalam kepada informan. Informan yang diwawancarai terdiri atas Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2 orang, Dinas Kehutanan Kabupaten 2 orang, pelaku usaha HTI 3 orang dan Konsultan Kehutanan 1 orang. Beberapa dari informan adalah pelaku yang terlibat dalam proses penerbitan IUPHHK-HT. Data yang diperoleh dari penggalian dokumen dan wawancara ini digunakan untuk mengkonstruksi proses yang terjadi dalam penerbitan IUPHHK-HT. Proses penerbitan IUPHHK-HT ini juga digunakan sebagai bahan dalam mencapai tujuan ketiga. 2. Menganalisis biaya transaksi dalam pembangunan HTI Tujuan kedua penelitian ini menganalisis biaya transaksi dalam proses penerbitan IUPHHK-HT dan pelaksanaan pembangunan HTI. Informasi yang digali dalam wawancara adalah mengetahui bagaimana proses sehingga muncul biaya transaksi dan bagaimana pemahaman informan sebagai pelaku terhadap munculnya biaya transaksi. Data biaya transaksi diperoleh dari hasil wawancara secara mendalam kepada informan. Informan ini terdiri atas pelaku usaha pemegang IUPHHK-HT,Direktur dan staf, 4 orang, Konsultan Kehutanan yang terdapat di Pekanbaru 2 orang serta Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2 orang dan Kabupaten Pelalawan 1 orang. Informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Kabupaten Pelalawan hanya untuk mengkonfirmasi data-data dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan pelaku usaha dan konsultan. 3. Menganalisis proses penguasaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT oleh grup perusahaan Tujuan ketiga ini menganalisis proses dalam pembangunan HTI yang menyebabkan penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI. Proses ini dikonstruksi melalui pengumpulan data menggunakan teknik wawancara secara mendalam. Informan yang diwawancarai adalah pelaku pembangunan HTI yang terdiri atas pelaku usaha pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki industri pulp kertas 3 orang, pelaku usaha pemegang IUPHHK-HT yang memiliki industri pulp kertas 1 orang, Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2 orang dan Kabupaten Pelalawan 1 orang dan Konsultan Kehutanan 1 orang. 4. Membuktikan ada tidaknya monopoli dalam usaha pembangunan HTI Data untuk menganalisis ada tidaknya monopoli dalam usaha pembangunan HTI ini menggunakan kriteria usaha yang dikatakan monopoli atau terjadi persaingan usaha tidak sehat. Kriteria ini didasarkan pada Undang Undang persaingan usaha. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara negara dan pelaku usaha telah banyak diteliti oleh peneliti ekonomi dan politik, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Barr 1999 yang melihat proses penguasaan pemanfaatan hutan melalui hak pelaku usahaan hutan HPH oleh pelaku usaha dengan kemudahan kebijakan yang diberikan pemerintah. Penelitian lain dilakukan Rimbawan 2012 mengungkap pola hubungan antara negara dan pelaku usaha dalam kasus bisnis pertambangan. Pola hubungan ini berkaitan dengan sistem politik dan ekonomi Saputro et al 2013. Keterkaitan tersebut dapat dilihat melalui perbandingan pola hubungan antara negara dan pelaku usaha selama masa orde baru dan orde reformasi. Pada masa orde baru kekuatan politik berada di pemerintah pusat dan bergeser ke daerah selama masa orde reformasi. Pergeseran kekuatan politik ini berimplikasi pada pergeseran aktivitas ekonomi ke daerah dengan segala kewenangan daerah untuk menentukan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan. Keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah ini tidak terlepas dari kepentingan daerah. Dalam perspektif ekonomi politik, pola hubungan negara dan pelaku usaha ini dapat dilihat pada dua kutub yaitu, kutub negara state-center dan kutub masyarakat society- center. Sejalan dengan teori tersebut, dalam teori negara otonom dikatakan bahwa negara adalah badan organis, orang pelaku di arena publik yang memiliki sifat dan pilihannya sendiri Mallarangeng 2002. Melalui hubungan antara negara dan pelaku usaha serta adanya kepentingan negara dalam setiap kebijakan menimbulkan perilaku mencari rente. Kajian ini mendeskripsikan perilaku mencari rente yang mengakibatkan penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI Proses Penerbitan IUPHHK-HT Konstruksi proses penerbitan dan penguasaan IUPHHK-HT ini menggunakan tafsir sosiologi pengetahuan Berger dan Luckman. Penggunaan teori konstruksi sosial Berger dan Luckman 1990 ini untuk dapat mengetahui fakta- fakta yang dapat menjadi pengetahuan melalui konstruksi oleh pelaku sendiri. Diharapkan dari konstruksi ini diperoleh pengetahuan baru tentang penerbitan IUPHHK-HT di Riau. Izin pemanfaatan hutan dikenal dengan istilah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT. Sebelum IUPHHK-HT, izin pemanfaatan hutan tanaman dikenal dengan nama izin konsesi hutan tanaman industri HTI. Penerbitan IUPHHK-HT ini dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan atau Gubernur BupatiWalikota. Pemberian kewenangan penerbitan IUPHHK- HT kepada Bupati didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1Kpts- II2000 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1Kpts-II2000 jo Keputusan Menteri Kehutanan No. 21Kpts-II2001. Namun izin pelimpahan kewenangan kepada kepala daerah untuk menerbitkan IUPHHK-HT ini kemudian dicabut dan dikembalikan ke Menteri Kehutanan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 342002. Walaupun kewenangan Bupati untuk menerbitkan IUPHHK-HT hanya dua tahun, Bupati Pelalawan telah menerbitkan 37 unit IUPHHK-HT. Karakteristik IUPHHK-HT dapat dibedakan menurut pejabat yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan IUPHHK-HT. Berdasarkan pihak yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin, karakteristik IUPHHK-HT dibedakan menjadi dua kategori, yaitu : 1. IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Penerbitan IUPHHK-HT oleh Menteri Kehutanan didasarkan Peraturan Pemerintah No. 71990. Penerbitan IUPHHK-HT ini terjadi selama periode waktu antara 1990 –2000. Izin UPHHK-HT pertama di Riau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan adalah IUPHHK-HT PT. Arara Abadi Srihadiono 2005 dan IUPHHK-HT PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. RAPP. Jumlah IUPHHK-HT di Riau yang diterbitkan oleh menteri kehutanan sebanyak 21 unit yang terdiri atas, perusahaan dalam grup PT. RAPP 5 unit, grup PT. IKPP sebanyak 4 unit dan perusahaan yang tidak termasuk kedua grup perusahaan tersebut 12 unit. Proses penerbitan IUPHHK-HT ini mengikuti alur proses seperti tertera pada Gambar 2-1. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan IUPHHK-HT ke menteri kehutanan adalah pemilik konsesi HPH yang telah habis masa konsesi HPH nya. Pertimbangan pelaku usaha untuk mengajukan IUPHHK-HT ini didasarkan pada realita bahwa kondisi potensi hutan alam yang semakin menurun. Selama kurun waktu antara tahun 1970- 1990 telah terjadi penurunan luas hutan alam yang sangat besar. Menurut FAO 1990, tingkat kerusakan hutan alam selama periode tersebut mencapai 1,8-2 juta ha. Sementara menurut WRIWorld Research Institute 1997, luas hutan alam yang tidak terganggu tersisa 35 juta ha. Dengan besarnya kerusakan hutan yang mengakibatkan penurunan luas hutan alam, mengakibatkan hutan alam tidak lagi dapat dimanfaatkan dalam bentuk HPH. Pengajuan IUPHHK-HT itu juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang memberikan izin IUPHHK-HT pada kawasan hutan sekunder eks HPH. Insentif lain yang menguntungkan bagi pelaku usaha adalah bantuan permodalan melalui dana reboisasi dalam bentuk skema penyertaan modal pemerintah dan pemberian pinjaman tanpa bunga. Kedua insentif tersebut menyebabkan permohonan IUPHHK-HT pada masa tahun 1990-2000 banyak diajukan oleh pelaku usaha. Namun demikian permohonan IUPHHK-HT tersebut tidak diikuti dengan kesungguhan dalam membangun HTI. Akibatnya pemegang IUPHHK-HT tidak mampu merealisasikan penanaman hutan tanaman dan tidak mampu mengembalikan pinjaman dana reboisasi. Target pembangunan HTI sampai tahun 2000 sebesar 6,25 juta ha tidak terpenuhi Iskandar et al 2003 yang disebabkan oleh Karanganyar komitmen dalam membangun hutan. Perusahaan yang diterbitkan oleh menteri kehutanan ini sebagian 6 unit mendapat pinjaman tanpa bunga 32,5 dan penyertaan modal pemerintah 32,5. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan dengan BUMN PT. Inhutani IV. Setelah dicabutnya penyertaan modal pemerintah dan pinjaman tanpa bunga ini, perusahaan tersebut mengalami kesulitan finansial. Upaya yang dilakukan oleh pemiliki perusahaan untuk menyelamatkan perusahaan adalah dengan pemindahtanganan izin dan akuisisi saham kepada salah satu grup perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan patungan tersebut tertera pada Tabel 5-1. Beberapa dari perusahaan tersebut saat ini telah diakuisisi serta melakukan kerjasama operasi KSO dengan PT.RAPP atau PT.IKPP Tabel 5-1. Karakteristik HTI Patungan di Riau No Perusahaan Luas ha Pinjaman PMP Status Grup 1. PT. Rimba Lazuardi 12.600 11,6 M 4,9 M KSO PT. RAPP 2. PT. Rimba Rokan Hulu 12.500 5,8 M 2,8 M KSO PT.RAPP 3. PT. Rimba Seraya Utama 12.600 6 M 3,6 M Akuisisi PT.RAPP 4. PT. Rimba Peranap Indah 12.620 7 M 4 M KSO PT.RAPP 5. PT. Riau Abadi Lestari 12.000 7 M 4M KSO PT.IKPP 6. PT. Nusa Wana Raya 21.870 10,4 M 5 M Akuisisi PT.RAPP Sumber : Badan Pemeriksa KeuanganBPK 2009 Sementara itu perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang tidak termasuk dalam perusahaan patungan maupun kedua grup perusahaan besar tersebut adalah perusahaan yang tergabung dalam PT. Surya Dumai Grup. Perusahaan pemegang IUPHHK-HT ini kemudian mengalami proses yang panjang 34 dan beralih menjadi bisnis perkebunan kelapa sawit 35 . Berikut adalah kondisi perusahaan yang telah beralih peruntukan 36 .  PT. Prawang Lumber Industri Perusahaan ini merupakan perusahaan HTI yang karena sesuatu hal kemudian izin perusahaan untuk HTI menjadi perkebunan kelapa sawit  PT. Prawang Sukses Perkasa Industri PT. PSPI Perusahaan PT. PSPI ini merupakan perusahaan HTI yang mendapat konsesi di Kabupaten Siak. Karena permasalahan biaya pembangunan dan kesulitan menjual kayu HTI maka perusahaan tersebut kemudian dijual ke PT. IKPP  PT. Surya Dumai Agrindo Perusahaan tersebut kemudian menjadi perkebunan kelapa sawit PT. Surya Dumai  PT. Surya Dumai Industri 34 Membutuhkan waktu yang lama bagi perusahaan grup PT. Surya Dumai untuk dapat bertahan dalam bisnis pembangunan HTI sampai memutuskan beralih ke usaha perkebunan kelapa sawit 35 PT. Surya Dumai merupakan salah satu grup perusahaan yang memiliki konsesi Hak Pelaku usahaan Hutan HPH. Setelah berakhirnya masa konsesi HPH, PT. Surya Dumai Grup berkeinginan untuk masuk dalam bisnis HTI. Tetapi karena permohonan untuk mendirikan industri pulp dan kertas di Riau tidak diizinkan maka PT. Surya Dumai Grup beralih ke bisnis perkebunan kelapa sawit. 36 Perusahaan eks HPH yang telah beralih menjadi perkebunan kepala sawit PT. Surya Dumai Grup ini telah menjadi salah satu grup perusahaan kelapa sawit yang terkemuka di Riau. Perusahaan HTI ini karena mengalami kesulitan finansial dalam pembangunan HTI dan kesulitan menjual kayu HTI kemudian menjual ke PT. RAPP yang kemudian berubah nama menjadi PT. Bukit Raya Mudisa. Perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang telah diterbitkan oleh Menteri Kehutanan tersebut saat ini telah menjadi bagian dari grup PT. RAPP atau PT. IKPP melalui pengambilalihan saham atau kerja sama operasi KSO. Sementara itu pelaku usaha yang tidak mampu bertahan dalam usaha pembangunan HTI ini kemudian beralih ke usaha perkebunan kepala sawit. Namun beberapa dari pelaku usaha tersebut tetap bertahan dalam usaha kehutanan dengan mencari areal-areal hutan yang dapat dijadikan sebagai HTI. Pelaku usaha yang tidak beralih ke usaha perkebunan kelapa sawit ini kemudian tetap bertahan berusaha dalam usaha HTI. 2. IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Gubernur atau BupatiWalikota 37 IUPHHK-HT ini diterbitkan selama periode 2001 –2003. Pelimpahan kewenangan penerbitan IUPHHK-HT ke daerah didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan yang terakhir adalah SK No. 10.1Kpts- II2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman. Selama pelimpahan kewenangan, jumlah total unit IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati sebanyak 37 unit dimana Bupati Pelalawan, Indragiri Hulu dan Bupati Siak masing-masing sebanyak 21, 4 dan 12 unit. Luas tiap IUPHHK-HT yang diterbitkan ini kurang dari 50.000 ha dengan luas total IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh ketiga Bupati mencapai 388.544 ha. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan IUPHHK-HT ini adalah pelaku usaha yang eks pemilik HPH. Beberapa diantara pelaku usaha tersebut adalah para pemain kayu dengan menggandeng pemilik modal. Pemilik modal ini diharapkan dapat mendanai proses permohonan IUPHHK-HT yang memerlukan biaya besar. Penerbitan IUPHHK-HT ini diberikan oleh Bupati dan koleganya dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki Sang Bupati. Salah satu contoh penerbitan IUPHHK-HT yang melibatkan Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten maupun Dinas Kehutanan Provinsi serta perusahaan PT.RAPP dideskripsikan pada bagian berikut. Proses penerbitan IUPHHK-HT ini melibatkan beberapa aktor yang membentuk suatu jaringan. Beberapa aktor tersebut adalah dengan menggunakan inisial sebagai berikut : 37 Bagian ini menjelaskan proses penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati Pelalawan Tabel 5-2. Aktor dalam Proses Penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati Pelalawan No Aktor Inisial Jabatan Keterangan 1. TAJ Bupati Pelalawan 2. BS Staf Dinas Kehutanan Pelalawan 3. H Staf Dinas Kehutanan Pelalawan 4. BPJ Kadishut Kab. Pelalawan periode 2000-2002 5. TZ Kadishut Kab. Pelalawan periode 2002-2003 6. ES Kadishut Kab. Pelalawan periode 2004-2009 7. ST Kadishut Provinsi Riau, periode 2003-2004 8. AR Kadishut Provinsi Riau, periode 2004-2005 9. BH Kadishut Provinsi Riau, periode 2005-2006 10 S Wakadishut Provinsi Riau, periode 2004-2007 11. R GMF PT. RAPP 12. MF Kolega Bupati 13. A Kolega Bupati 14. TLF Kolega Bupati 15. RZ Gubernur Riau Sumber : data sekunder dan hasil wawancara 2013 Aktor dalam proses perizinan IUPHHK-HT ini dapat dibedakan menjadi aktor Bupati Pelalawan, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan PT. RAPP. Ide untuk menerbitkan IUPHHK-HT ini berasal dari Bupati. Ide tersebut dilaksanakan oleh staf Dinas Kehutanan Pelalawan dan dibantu oleh kerabat Bupati dan konsultan kehutanan dalam pembuatan dokumen administrasi yang diperlukan. Sementara itu jaringan yang terbentuk dalam proses penerbitan IUPHHK-HT melibatkan Bupati sebagai tokoh sentral dan Staf Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan yang memproses permohonan IUPHHK-HT. Aktor yang terlibat dalam proses pemohonan ini membentuk suatu jaringan yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari penerbitan IUPHHK-HT. Keuntungan yang diharapkan dari penerbitan IUPHHK-HT tersebut berasal dari izin pemanfaatan kayu IPK. Jaringan aktor proses penerbitan IUPHHK- HT serta kerjasama antar aktor dalam suatu jaringan penerbitan IUPHHK-HT sajikan dalam Gambar 5-1 berikut. Gambar 5-1. Jaringan Aktor Penerbitan IUPHHK-HT Proses yang terjadi dalam jaringan penerbitan IUPHHK-HT tersebut adalah 38 : 1. Bupati memerintahkan kepada staf Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan BS dan H untuk mendirikan perusahaan atau membuat perusahaan yang dapat digunakan untuk mengajukan IUPHHK-HT ke Bupati Pelalawan. Keinginan Bupati tersebut di dorong oleh adanya pengajuan permohonan ke Bupati yang diajukan oleh 7 perusahaan untuk mendapatkan IUPHHK- HT. Keinginan tersebut setelah melihat bahwa permohonan untuk mengajukan IUPHHK-HT tidak sulit dan Bupati memiliki kewenangan untuk menerbitkan IUPHHK-HT. Ketujuh perusahaan yang mengajukan IUPHHK-HT ke Bupati Pelalawan tersebut adalah :  PT. Selaras Abadi Utama 20.000 ha  PT. Merbau Pelalawan Lestari 5.590 ha  PT. Mitra Tani Nusa Sejati 7.300 ha  PT. Uni Seraya 35.000 ha  PT. Rimba Mutiara Permai 9.000 ha  PT. Satria Perkasa Agung 12.000 ha  PT. Mitra Hutani Jaya 10.000 ha  PT. Triomas FDI 9.950 ha 2. BS dan H kemudian bersama dengan MF dan TLF mendirikan dan mencari beberapa perusahaan yang dapat dipinjam untuk diajukan memperoleh IUPHHK-HT. Akhirnya diperoleh tujuh perusahaan yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan mendapatkan IUPHHK-HT. Selanjutnya Bupati memerintahkan kepada BS dan H sebagai staf Dinas Kehutanan untuk mengajukan permohonan kepada Bupati. Tujuh perusahaan yang telah diperoleh tersebut terdiri atas perusahaan yang baru didirikan dan perusahaan yang dipinjam dari perusahaan lain. Perusahaan baru didirikan tersebut dibuat susunan pengurus dimana MF dan TLF menjadi Direktur di beberapa perusahaan. Beberapa perusahaan yang telah didirikan ataupun dipinjam oleh BS, H, MF dan TLF adalah : 38 Data dan informasi ini diperoleh dari putusan Mahkamah Agung dengan terdakwa Bupati Pelalawan serta penelusuran data kepada pelaku yang terlibat dalam proses penerbitan IUPHHK- HT tersebut. BS H TA MF, A, TLF R ST, AR, BH, S BPJ, EZ, TZ RZ  PT. Madukoro 15.200 ha  CV. Alam Lestari 3.300 ha  CV. Harapan Jaya 4.800 ha  CV. Putri Lindung Bulan 10.000  CV. Tuah Negeri 2.500 ha  CV. Bakti Pradja Mulia 5.800 ha  CV. Mutiara Lestari 4.000 ha 3. Bupati memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kab. Pelalawan BPS dan Kepala Dinas selanjutnya TZ untuk memproses permohonan dari perusahaan yang diajukan oleh BS dan H. Menanggapi permintaan Bupati tersebut, BPS atau TZ pada periode berikutnya memberikan pertimbangan teknis terhadap kawasan hutan yang dimohonkan. 4. Berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Dinas maka Bupati mengeluarkan surat keputusan pencadangan lahan untuk 15 perusahaan yang mengajukan permohonan IUPHHK-HT. 5. Selanjutnya Bupati memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan TZ untuk melakukan penilaian kelayakan feasibility Study, menyetujui pembuatan peta dasar dan menerbitkan Surat perintah membayar Iuran UPHHK-HT 6. Akhirnya bupati mengeluarkan Surat Keputusan SK penetapan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK- HT kepada 15 perusahaan. Salah satu contoh SK IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati Pelalawan adalah SK No. 522.21IUPHHK- HTXII2002004 tanggal 17 Desember 2002 untuk PT. Merbau Pelalawan Lestari seluas 5.590 ha. 7. Setelah SK IUPHHK-HT dikeluarkan, beberapa perusahaan melalui BS berkomunikasi dengan R GMF PT. RAPP untuk melakukan take over pengambilalihan. Perusahaan yang diambil alih tersebut adalah perusahaan yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk membangun HTI. Beberapa perusahaan yang di take over oleh PT. RAPP adalah :  PT. Madukoro  PT. Harapan Jaya  CV. Mutiara Lestari  CV. Putri Lindung Bulan  CV. Tuah Negeri  CV. Alam Lestari  CV. Bakti Praja Mulia Perusahaan ini diambil alih PT. Persada Karya Sejati yang merupakan perusahaan satu grup dengan PT.RAPP. Dalam perjanjian pengambilalihan tersebut, pengurusan RKT dilakukan oleh PT. Persada Karya Sejati dan biaya pengurusan RKT tersebut dibebankan kepada pemilik perusahaan dan akan dibayar setelah pembagian fee kegiatan penebangan. 8. Selanjutnya untuk operasional pembangunan HTI dimulai dengan pembuatan izin Rencana Kerja Tahunan RKT yang dimulai dengan penebangan hutan. Proses penyusunan RKT tersebut melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Riau serta Gubernur Riau. Berdasarkan proses penerbitan IUHHK-HT tersebut maka tipologi IUPHHK-HT dapat dibedakan berdasarkan kondisi finansial pemegang IUPHHK- HT. Pembuatan tipologi ini digunakan untuk menentukan tindakan yang diperlukan dalam menyehatkan perusahaan pemegang IUPHHK-HT. Tipologi pemegang IUPHHK-HT adalah sebagai berikut : a. IUPHHK-HT dipindahtangan atau diakuisisi IUPHHK-HT yang diakuisisi adalah perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembangunan HTI. Pemegang IUPHHK-HT ini merupakan pencari rente rent seeker 39 . Proses penerbitan IUPHHK-HT yang sangat kolusif 40 menyebabkan IUPHHK-HT yang diterbitkan adalah IUPHHK-HT yang dimiliki oleh pelaku non pelaku usaha kehutanan. Perusahaan yang telah diakuisisi oleh PT. RAPP ini berada dalam kelompok perusahaan Anugerah Grup yang merupakan anak perusahaan PT.RAPP. Perusahaan ini berada di Sei Duku, Pekanbaru. Beberapa perusahaan yang berada dalam Grup Anugerah tertera di bawah ini penelusuran data, 2012-2013. Tabel 5-3. Perusahaan yang termasuk dalam Grup PT. RAPP No Nama Perusahaan Luas ha 1. PT. Selaras Abadi Utama 13.600 2. PT. Nusa Prima Manunggal 4.332 3. PT. Hutani Sola Lestari 45.990 4. PT. Wana Nugraha Bina Lestari 7.465 5. CV. Putri Lindung Bulan 2.500 6. CV. Alam Lestari 3.300 7. CV. Mutiara Lestari 4.000 8. CV. Bakti Praja Mulya 5.800 9. CV. Harapan Jaya 4.800 10. PT. Madukoro 15.000 11. PT. Sumatera Silva Lestari - 12. PT. Sinar Belantara Indah - 13. PT. Bukit Raya Mudisa 18.617 14. PT. Sumatera Riang Lestari  Blok I Sei Kabaro-Sumatera Utara 25.320  Blok II Garingging – Sumatera Utara 41.910  Blok III Rupat – Bengkalis 42.340  Blok IV Rangsang – Kep.Meranti 42.340 b. IUPHHK-HT di-Kerja sama operasi KSO IUPHHK-HT yang melakukan kerjasama operasi KSO ini adalah pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan finansial membangun HTI. Kerjasama Operasi merupakan kesepakatan untuk membangun hutan tanaman industri HTI antara perusahaan yang memiliki modal besar dengan 39 Para pencari rente rent-seeking yang terlibat dalam bisnis pembangunan hutan tanaman diistlahkan sebagai pemain kayu. Mereka hanya mengajukan permohonan IUPHHK-HT, setelah mendapatkan IUPHHK-HT kemudian memanfaatkan Izin Pemanfaatan Kayu IPK yang ada selanjutnya tiba giliran menanam arealnya, IUPHHK-HT nya dipindahtangankan. 40 Penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati ini melibatkan orang-orang dekat Bupati sebagai pemilik perusahaan yang memperoleh IUPHHK-HT perusahaan yang tidak mampu membangun hutan tanaman. Perusahaan yang melaksanakan KSO ini adalah perusahaan HTI PT. IKPP dan PT. RAPP. KSO yang dikerjakan antara perusahaan PT. RAPP dan PT. IKPP dengan anak-anak perusahaannya dengan pemegang IUPHHK-HT ini dilakukan pembagian kegiatan. Pemegang IUPHHK-HT mengurus perizinan sedangkan pelaksana KSO membangun HTI. Kegiatan pelaksana KSO mulai dari persiapan lahan, penyiapan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan penebangan sampai pemasaran. Beberapa perusahaan yang melakukan KSO dengan PT. RAPP ini dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok perusahaan adalah Panca Eka Grup, Eks Barito Pasific Grup dan Siak Raya Grup. Berikut adalah perusahaan KSO dengan PT. RAPP dan anak-anak perusahaannya 41 penelusuran data tahun 2012-2013 Tabel 5-4. Perusahaan yang melakukan kerja sama operasi KSO dengan PT. RAPP No Nama Perusahaan Luas ha Grup 1. PT. Rimba Lazuardi 23.340 Panca Eka 2. PT. Rimba Peranap Indah 14.434 Panca Eka 3. PT. Rimba Mutiara Permai 8.030 Panca Eka 4. PT. Rimba Rokan Lestari 11.755 Panca Eka 5. PT. Mitra Taninusa Sejati 7.480 Panca Eka 6. PT. Bina Daya Bintara 7.550 Panca Eka 7. PT. Ekawana Lestari Dharma 9.300 Panca Eka 8. PT. Seraya Sumber Lestari 16.875 Panca Eka 9. PT. Uni Seraya 35.000 Panca Eka 10. PT. Triomas FDI 9.625 Panca Eka 11. PT. Citra Sumber Sejahtera 15.360 Eks Barito Pasific 12. PT. Mitra Kembang Selaras 14.800 Eks Barito Pasific 13. PT. Bukit Raya Pelalawan 3.200 Eks Barito Pasific 14. PT. Bukit Betabuh Sei Indah 13.420 Eks Barito Pasific 15. PT. Siak Raya Timber 42 23.030 Siak Raya 16. PT. Nusa Wana Raya 43 26.880 Siak Raya 17. PT. Nasional Timber 9.300 Siak Raya Sementara perusahaan IUPHHK-HT yang melakukan kerja sama operasi KSO dengan grup PT. IKPP PT. Arara Abadi tertera pada tabel 5-5 berikut : 41 KSO yang terjadi dengan PT. RAPP ini dilaksanakan dengan melakukan kerjasama pembangunan HTI antara pemegang IUPHHK-HT dengan anak perusahaan PT. RAPP. Untuk kepentingan KSO ini, PT.RAPP membentuk anak perusahaan yang memiliki bidang usaha yang sama untuk melakukan kerja sama pembangunan HTI. Lokasi kantor untuk segala hal yang berhubungan dengan KSO ini berada di Sei Duku. 42 Diakuisisi oleh PT RAPP 43 Diakuisisi oleh PT RAPP Tabel 5-5. Perusahaan yang melakukan kerja sama operasi KSO dengan PT. IKPP No Nama Perusahaan Luas Grup 1. PT. Balai Kahayang Mandiri 22.250 PT.IKPP 2. PT. Riau Indo Agropalma 9.570 PT.IKPP 3. PT. Mutiara Sabuk Kathuliswa 44.595 PT.IKPP 4. PT. Suntara Gajapati 34.792 PT.IKPP 5. PT. Bina Daya Bentala 19.870 PT.IKPP 6. PT. Bina Duta Laksana 28.890 PT.IKPP 7. PT. Ruas Utama Jaya 44.330 PT.IKPP 8. PT. Riau Mandau Lestari 5.630 PT.IKPP 9. PT. Bukit Batu Hutani Alam 33.605 PT.IKPP 10 PT. Sekato Pratama Makmur 44.735 PT.IKPP 11. PT. Perawang Sukses Perkasa Industri 50.725 PT.IKPP 12. PT. Mitra Hutani Jaya 9.241 PT.IKPP c. IUPHHK-HT mandiri IUPHHK-HT mandiri adalah pemegang IUPHHK-HT yang melakukan pembangunan HTI secara mandiri tanpa melakukan kerja sama operasi KSO. Saat ini perusahaan yang mengerjakan sendiri pembangunan IUPHHK-HT nya sudah tidak ada. Berdasarkan deskripsi di atas dapat diketahui bahwa kondisi pemegang IUPHHK-HT yang berada di Riau semuanya sudah berada dalam grup PT. RAPP dan grup PT.IKPP. Penguasaan areal IUPHHK-HT melalui pengambilalihan saham dan kerjasama operasi KSO. Jika dalam pengambilalihan saham kepemilikan sudah berpindah tangan, maka dalam kerjasama operasi kepemilikan tetap berada pada pemegang IUPHHK-HT. Walaupun secara hukum kondisi areal saat ini tidak dikuasai oleh kedua grup besar tersebut, tetapi realitas ekonomi menunjukkan bahwa kedua grup perusahaan besar PT. RAPP dan PT.IKPP telah menguasai areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI. Biaya Transaksi Pembangunan HTI Ekonomi biaya transaksi transaction cost economic merupakan salah satu alat analisis dalam ilmu ekonomi kelembagaan. Alat analisis ini memiliki kelebihan untuk memahami kompleksitas suatu organisasi ekonomi dengan menggabungkan penggunaan aspek hukum, ekonomi dan teori organisasi. Kajian ini menekankan pada alokasi aktivitas ekonomi diantara berbagai model organisasi pasar, perusahaan, birokrasi dll1, struktur tenaga kerja dan struktur pengelolaan perusahaan Williamson 2008. Biaya transaksi ini dapat digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu kelembagaan. Semakin besar biaya transaksi menunjukkan ketidakefisienan suatu kelembagaan Walaupun memiliki kegunaan yang penting dalam mengukur kelembagaan, analisis biaya transaksi memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Keterbatasan tersebut disebabkan karena biaya transaksi bersifat spesifik sehingga terdapat kesulitan dalam pendefinisian, penentuan variabel dan pengukuran biaya transaksi. Sifat spesifik analisis biaya transaksi yang berbeda menurut kelembagaannya memerlukan pendefinisian yang jelas mengenai unit analisis dari analisis biaya transaksi. Menurut Greit 1998, unit analisis biaya transaksi adalah transaksi. Transaksi merupakan proses pertukaran barang atau jasa dalam pasar. Sementara transaksi dalam penelitian ini merupakan suatu transaksi yang melibatkan Kementerian Kehutanan yang melimpahkan kewenangan untuk memanfaatkan hutan dengan memberikan surat izin pemanfaatan. Proses untuk mendapatkan izin pemanfaatan tersebut merupakan suatu proses transaksi yang menimbulkan biaya, baik biaya yang seharusnya yang dikenal dengan biaya produksi maupun biaya tak seharusnya yang dapat dikatakan sebagai biaya transaksi. Dalam terori biaya transaksi terdapat beberapa pengertian tentang biaya transaksi, diantaranya menurut Mburu 2002, yaitu biaya yang terdiri atas biaya pencarian informasi, biaya negosiasi atau mengeksekusi kontrak, biaya pengawasan, pemaksaan, dan pelaksanaan. Pemberian izin pemanfaatan dalam pembangunan HTI merupakan suatu transaksi yang dimulai dari daerah dengan melibatkan beberapa institusi sampai ke pusat Kementrian Kehutanan. Dengan menggunakan transaksi sebagai unit analisis, proses pemberian izin pemanfaatan HTI sampai operasional pembangunan HTI dapat dibedakan berdasarkan tahapan dalam pembangunan HTI. Berdasarkan tahapan dalam pembangunan HTI, biaya transaksi dapat dibedakan menjadi biaya transaksi untuk memperoleh IUPHHK-HT, setelah keluarnya IUPHHK-HT dan biaya transaksi pengurusan Rencana Kerja Tahunan RKT. Deskripsi biaya transaksi dalam pembangunan HTI dijelaskan di bawah ini, sedangkan jenis dan lokasi pengeluaran biaya tersebut tertera pada Tabel 5-5 dan Tabel 5-6.

1. Biaya Transaksi Pengurusan IUPHHK-HT

Permohonan untuk mendapatkan IUPHHK-HT melalui pengajuan IUPHHK- HT dari pelaku usaha ke pemberi izin Menteri Kehutanan atau Bupati merupakan suatu aktivitas ekonomi. Seharusnya permohonan ini hanya bersifat administrasi, tetapi karena adanya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha maka menjadikan proses ini menjadi suatu aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses dimana terdapat input pengajuan IUPHHK-HT dengan persyaratan-persyaratan dan output izin dalam bentuk IUPHHK-HT. Unit analisis dalam definisi biaya transaksi pengurusan IUPHHK-HT adalah transaksi untuk mendapatkan IUPHHK-HT. Transaksi ini terjadi di Kabupaten, Provinsi sampai ke Pusat Jakarta. Biaya transaksi ini melibatkan beberapa pihak, diantaranya Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi serta Kementerian Kehutanan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11Menhut-II2008, mekanisme pengajuan IUPHHK-HT melalui proses permohonan ke Menteri Kehutanan cq Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Gambar 2-1. Permohonan ini dilampiri dengan dokumen teknis dan administrasi. Dokumen administrasi secara lengkap terdiri atas pertimbangan teknis bupati, dinas kehutanan kabupatendinas kehutanan provinsi, Balai Pemantauan Kawasan Hutan BPKH dan dari seluruh pertimbangan tersebut maka gubernur memberikan rekomendasi. Selanjutnya kelengkapan data tersebut diverifikasi oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan melibatkan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sebelumnya Badan Planologi Kehutanan, dan tahap terakhir bila secara teknis dan administrasi telah lengkap diajukan ke Menteri Kehutanan untuk disetujui. Biaya transaksi dalam pengurusan IUPHHK-HT terdiri atas beberapa biaya yang disesuaikan dengan proses pengajuan untuk memperoleh IUPHHK-HT. a. Biaya rekomendasi Biaya rekomendasi ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh rekomendasi kawasan hutan yang akan diajukan sebagai HTI. Usulan untuk mengajukan HTI adalah inisiatif pelaku usaha yang kemudian ditelaah oleh BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan untuk mengetahui fungsi dan status kawasan hutan yang akan diajukan. Berdasarkan hasil telaah BPKH dan pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Kabupaten dan Dinas Kehutanan Provinsi maka diajukan kepada Gubernur untuk dapat diberikan rekomendasi sebagai syarat untuk pengajuan ke Menteri Kehutanan. Proses untuk mendapatkan rekomendasi dari Gubernur ini memerlukan waktu yang relatif lama, tergantung pada fungsi kawasan hutan yang diajukan dan negosiasi dengan pemberi pertimbangan. Negosiasi disini dimaksudkan sebagai kesepakatan mengenai biaya yang harus diberikan kepada pemberi pertimbangan teknis. Bila telah tercapai kesepakatan, maka proses untuk memperoleh pertimbangan teknis dan rekomendasi akan berjalan lancar. Proses pemberian pertimbangan dan rekomendasi dalam permohonan IUPHHK-HT ini merupakan tahapan yang memerlukan biaya besar. Biaya transaksi ini muncul karena adanya pertimbangan dan rekomendasi seperti yang dimaksud dalam mekanisme permohonan IUPHHK-HT. Pertimbangan yang memerlukan biaya ini dimulai dari pertimbangan Dinas Kehutanan Kabupaten dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH. Selanjutnya pertimbangan dikeluarkan oleh Bupati dimana lokasi IUPHHK-HT berada. Proses selanjutnya berpindah ke Provinsi, dimulai dengan pemberian pertimbangan Dinas Kehutanan Provinsi yang selanjutnya diajukan ke Gubernur untuk diberi rekomendasi. Tahapan selanjutnya adalah pengajuan ke Menteri Kehutanan di Jakarta. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi gubernur adalah biaya untuk mendapatkan pengesahan mengenai status kawasan hutan yang diajukan oleh pelaku usaha. Proses untuk mendapatkan rekomendasi juga diperlukan ketika kewenangan penerbitan IUPHHK-HT dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati. Pada periode ini, proses penerbitan IUPHHK-HT lebih sederhana. Walaupun biaya memperoleh pertimbangan ini besar, pelaku usaha masih dapat menutup biaya tersebut dari keuntungan yang diperoleh dari izin pemanfaatan kayu IPK yang diperoleh sebelum pembangunan HTI. b. Biaya pengadaan Biaya pengadaan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan data yang dipersyaratkan dalam memperoleh IUPHHK-HT. Biaya untuk mendapatkan mengadakan barang ini diantaranya adalah biaya pembelian citra satelit hasil dua tahun terakhir yang dijadikan sebagai dasar dalam penentuan penutupan kawasan. Peta citra landsat ini juga dijadikan dasar dalam menentukan peta lokasi usulan HTI. c. Biaya verifikasi Biaya verifikasi adalah biaya untuk melakukan verifikasi terhadap persyaratan dalam pengajuan izin HTI. Verifikasi ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi dulu Badan Planologi dan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan dulu Bina Produksi Kehutanan. Selanjutnya dari hasil verifikasi ini dijadikan dasar dalam proses pengajuan dokumen pengajuan untuk mendapatkan IUPHHK-HT dari Menteri Kehutanan. Proses pemberian IUPHHK-HT diterbitkan oleh BupatiWalikota, verifikasi terhadap dokumen persyaratan dilakukan oleh Dinas Kehutanan KabupatenKota. Biaya verifikasi ini bervariasi antara IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan atau Bupati Walikota. d. Biaya Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL KOTAK V-1 Potensi kayu dalam kawasan hutan yang dijadikan Hutan Tanaman Industri HTI merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HT. Dengan adanya potensi kayu yang besar maka pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan awal dari Izin Pemanfaatan Kayu IPK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Walaupun pemanfaatan kayu melalui IPK dikenai pungutan dalam bentuk Dana Reboisasi DR, pelaku usaha masih memperoleh keuntungan awal yang besar. Dorongan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari IPK, membuat pelaku usaha kemudian memiliki cara untuk menghindari pungutan melalui DR tersebut. Cara tersebut diantaranya dengan menurunkan potensi ril kayu hutan alam yang ada. Dalam Peraturan Pemerintah No. 71990 dikatakan bahwa HTI hanya dapat diberikan bila potensi hutannya kurang dari 20 m 3 ha hutan rawang, dan dalam peraturan lainnya dikatakan bahwa IPK hanya akan dikeluarkan bila potensinya tidak lebih besar dari 20 m 3 ha. Dengan aturan tersebut maka pelaku usaha berusaha untuk menurunkan potensi kayunya kurang dari 50 m 3 ha. Walaupun dalam PP 71990 telah disebutkan tentang batas potensi hutan yang dapat dijadikan sebagai HTI, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa potensi hutan yang dijadikan HTI lebih besar dari 50 m 3 ha dan hasil penelusuran serta wawancara dengan pelaku mengatakan bahwa rata-rata potensi hutan yang dijadikan sebagai HTI adalah 80 m 3 ha. Beberapa potensi hutan alam dengan potensi yang masih lebih besar dari 80m 3 ha diantaranya adalah pengajuan IUPHHK-HT atas nama perusahaan PT. Selaras Abadi Utama 20.000 ha, PT.Merbau Pelalawan Lestari 5.590 ha, PT. Uni Seraya 35.000 ha, PT. Rimba Mutiara Permai 9.000 ha, PT. Satria Perkasa Agung 12.000 ha, PT. Mitra Hutani Jaya 10.000 ha, PT. Triomas FDI 9.950 ha, PT. Madukoro 15.000 ha, CV Alam Lestari 3.300 ha, CV. Harapan Jaya 4.800 ha, CV Putri Lindung Bulan 10.000, CV Tuah Negeri 2.500 ha, CV Bakti Pradja Mulia 5.800 ha dan CV Mutiara Lestari 4000 ha Biaya penyusunan AMDAL ini dikeluarkan untuk mendapatkan dokumen mengenai dampak lingkungan kegiatan pembangunan HTI. Penyusunan AMDAL dilakukan oleh pihak ketiga dengan biaya yang disesuaikan dengan luas IUPHHK-HT. Biaya penyusunan AMDAL ini dikenakan sebesar Rp 250.000.000 yang dikerjakan oleh Konsultan AMDAL. Biaya lain yang dikeluarkan dalam penyusunan AMDAL ini adalah biaya untuk pengesahan AMDAL yang diberikan kepada Bupati sebesar Rp 50.000.000 untuk satu dokumen AMDAL, sedangkan biaya lain yang dikeluarkan adalah biaya ekspose laporan AMDAL yang menghadirkan berbagai pihak dengan besar biaya Rp 15.000.000. Sementara itu biaya untuk Kepala Badan Lingkungan Hidup diberikan secara terpisah dengan biaya penyusunan AMDAL diberikan sebesar Rp 20.000.000. Biaya pelaksanaan ekspose ini termasuk dalam biaya penyusunan AMDAL, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk Bupati dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD tidak termasuk dalam biaya penyusunan AMDAL. Jumlah keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT untuk penyusunan dokumen AMDAL adalah Rp 320.000.000. Dari total biaya tersebut sebesar Rp70.000.000 merupakan biaya transaksi yang diberikan kepada pejabat yang bersinggungan dengan pembuatan dokumen dan pengesahan dokumen Amdal. e. Biaya Penerbitan IUPHHK-HT Kategori biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha ketika seluruh persyaratan telah disetujui dan selanjutnya diperlukan pengesahan oleh Menteri Kehutanan. Biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HT sampai operasi pembangunan HTI memiliki perbedaan antara daerah satu dengan lainnya. Namun demikian pola pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha memiliki kesamaan. Dari hasil kajian yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak yang terlibat dengan proses tersebut diperoleh bahwa biaya dari pengajuan sampai mendapatkan IUPHHK-HT berkisar antara 3,6 untuk izin Bupati dan 11,5 milyar untuk izin yang terbitkan oleh Menteri Kehutanan. Biaya yang dikeluarkan tersebut terdistribusi mulai Kabupaten Dinas Kehutanan dan Bupati, Provinsi Dinas Kehutanan Provinsi dan Gubernur sampai pada Kementerian Kehutanan. Bagi pelaku usaha, memberikan dana untuk memperlancar proses perizinan adalah suatu keterpaksaan karena tanpa mengeluarkan biaya, IUPHHK-HT tidak akan diberikan.

2. Biaya Transaksi Setelah Keluarnya IUPHHK-HT

Proses selanjutnya setelah diterbitkan SK IUPHHK-HT adalah pembuatan dokumen perencanaan yang dibutuhkan untuk operasional pembangunan HTI. Proses ini merupakan suatu transaksi karena adanya persyaratan selanjutnya yang dibutuhkan. Biaya transaksi setelah keluarnya IUPHHK-HT adalah biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk penyusunan dokumen Rencana Karya Umum RKU jangka waktu 10 tahun, pelaksanaan tata batas, deliniasi makro delmak, deliniasi mikro delmik 44 dan penyusunan Inventarisasi Menyeluruh Berkala IMB 45 . a. Biaya Penyusunan Rencana Kerja Usaha RKU Rencana Kerja Usaha RKU pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.62Menhut-II2008 jo P.14Menhut-II2009. Rencana Kerja Usaha RKU ini merupakan dasar dalam pelaksanaan kegiatan selama 10 tahun yang selanjutnya diterjemahkan dalam Rencana Kerja Tahunan RKT. Pembuatan RKU ini dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK-HT dan biasanya diserahkan kepada Konsultan Kehutanan. Penyusunan RKU ini didasarkan pada peta IUPHHK-HT, peta penunjukan kawasan hutan dan perairan atau peta Tata Guna Hutan Kesepakatan bagi provinsi yang belum memiliki peta penunjukan kawasan hutan dan perairan, peta citra satelit 2 tahun sebelumnya, peta deliniasi mikro dan hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB. Penyusunan RKU ini diajukan kepada Kementerian Kehutanan untuk disetujui dengan tembusan kepada Dinas kehutanan Provinsi dan KabupatenKota. Dalam pelaksanaan penyusunan RKU ini, biaya transaksi yang dikeluarkan adalah biaya untuk penyusunan RKU sebesar Rp 75.000.000 –Rp 100.000.000 yang dilaksanakan oleh Konsultan Kehutanan. Setelah biaya dokumen RKU disusun, selanjutnya dilakukan presentasiekspose di Kementerian Kehutanan dengan kebutuhan biaya sebesar Rp 40.000.000 distribusi biaya, Rp 15.000.000 untuk Direktur HTI, Rp 7.500.000 untuk Kasubdit HTI, Rp 7.500.000 untuk Kepala Seksi dan Staf dan Rp 10.000.000 untuk biaya ekspose. Sementara itu biaya yang dikeluarkan untuk Dinas kehutanan Provinsi adalah biaya yang dkeluarkan untuk pengecekan lapangan dari konsesi IUPHHK-HT. Biaya ini adalah biaya untuk pelaksanaan pengecekan yang biasanya dilakukan oleh 4 –5 orang Dinas Kehutanan, walaupun sebenarnya biaya pengecekan tersebut sudah didanai oleh APBD Dinas Kehutanan menggunakan Surat Perintah TugasSPT Kepala Dinas Kehutanan. Biaya pengecekan lapangan ini adalah Rp 50.000.000 yang diserahkan kepada orang Dinas kehutanan. Biaya lain yang dikeluarkan adalah biaya untuk pengesahan hasil pengecekan lapangan dan besarnya biaya yang diminta adalah Rp 50.000.000. Jadi dari deskripsi di atas dapat diketahui bahwa dalam penyusunan dokumen RKU, biaya yang dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT yang diserahkan ke Konsultan Kehutanan adalah Rp 75.000.000 –Rp 100.000.000, kepada Kementerian KehutananBUK sebesar Rp 40.000.000 dan untuk Dinas Kehutanan Provinsi sebesar Rp 100.000.000, sehingga total biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp 215.000.000 –Rp 240.000.000. Besarnya biaya tersebut tergantung pada luas konsesi dari IUPHHK-HT. 44 Deliniasi makro delmak dan deliniasi mikro delmik merupakan rangkaian dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 101Menhut-II2004 tentang percepatan pembangunan hutan tanaman industri 45 Inventarisasi Menyeluruh Berkala IMB didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan. Dengan adanya Permenhut tentang IMB ini maka seluruh IUPHHK-HT yang dikeluarkan IUPHHK-HT sebelum adanya Permenhut ini juga diwajibkan untuk melaksanakan IMB b. Biaya Pelaksanaan Tata Batas Kawasan hutan yang telah diberikan SK IUPHHK-HT oleh Kementerian KehutananGubernurBupatiWalikota adalah kawasan hutan yang belum ada tata batas konsesi. Oleh karena itu sebelum pelaksanaan pembangunan HTI, pemegang IUPHHK-HT diwajibkan untuk melaksanakan tata batas sampai 2 tahun masa konsesi. Pelaksanaan tata batas ini dilakukan oleh Konsultan Kehutanan. Biaya pembuatan tata batas ini sebesar 2,5 juta per km. Untuk mendapatkan keabsahan tata batas IUPHHK-HT, dilakukan pengesahan tata batas oleh Panitia Tata Batas yang terdiri atas Bupati Kepala Daerah, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Camat dan Desa dimana lokasi IUPHHK-HT berada. Biaya untuk Panitia Tata Batas ini sebesar Rp 100.000.000. Sementara biaya pelaksanaan ekspose di Kementerian Kehutanan sebesar Rp 50.000.000 yang terdiri atas biaya pejabat Badan Planologi kehutanan Rp 30.000.000, biaya ekspose Rp 10.000.000 dan biaya pengesahan Rp 10.000.000. Biaya pelaksanaan tata batas konsesi IUPHHK-HT tergantung pada luas IUPHHK-HT. Biaya tata batas ini bersifat variabel sedangkan biaya untuk panitia tata batas dan ekspose bersifat tetap. c. Biaya Deliniasi Makro Delmak Deliniasi Makro delmak didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 101Menhut-II2001 tentang Percepatan Pembangunan HTI. Deliniasi makro adalah kegiatan membagi kawasan yang akan diajukan IUPHHK-HT menjadi kawasan berhutan dan tidak berhutan. Biaya pembuatan dokumen deliniasi makro ini disatukan dengan pembuatan dokumen deliniasi mikro dengan biaya sebesar Rp 30.000.000 yang dikerjakan oleh pihak ketigaKonsultan kehutanan. Biaya transaksi dalam deliniasi makro ini terjadi dalam proses deliniasi kawasan hutan. Penentuan kawasan hutan yang akan dikeluarkan dari areal tanaman pokok biasanya menjadi obyek negosiasi. d. Biaya Deliniasi Mikro Delmik Deliniasi Mikro delmik adalah penataan ruang Hutan Tanaman Industri yang didasarkan pada karakteristik fisik kawasan hutan. Deliniasi Mikro ini merupakan kegiatan lanjutan dari Deliniasi Makro. Hasil yang diperoleh dari deliniasi makro ini dilanjutkan dengan melakukan penapisan terhadap kawasan hutan yang dijadikan kawasan HTI. Adapun kriteia dalam melakukan penapisan kawasan hutan untuk dijadikan areal penanaman HTI adalah:  Kriteria pertama menggunakan karakteristik fisik intensitas curah hujan  Kriteria kedua karakteristik kelerengan  Kriteria ketiga karakteristik ketinggian di atas permukaan laut  Kriteria keempat karakteristik kedalaman gambut  Kriteria kelima karakteristik letak kawasan terhadap sungai, danau, jurang, tepi pantai dan rawa  Kriteria keenam karakteristik kawasan sebagai penyangga sistem kehidupan buffer zone  Kriteria ketujuh karakteristik kawasan sebagai pelestari plasma nutfah  Kriteria kedelapan karakteristik kawasan perlindungan satwa liar  Kriteria kesembilan karakteristik kawasan cagar budaya atau ilmu pengetahuan  Kriteria kesepuluh karakteristik daerah rawan bencana Berdasarkan deliniasi mikro ini dapat ditetapkan kawasan hutan yang dijadikan lokasi penanaman tanaman pokok HTI. Pembuatan dokumen deliniasi mikro ini dilaksanakan oleh Konsultan Kehutanan dengan biaya pembuatan dokumen sebesar Rp 150.000.000. Untuk pelaksanaan ekspose di Kementerian Kehutanan, biaya yang dibutuhkan seperti biaya dalam penyusunan Rencana Kerja Usaha RKU pemanfaatan hasil hutan kayu seperti di atas. e. Biaya Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB bertujuan untuk mendapatkan data potensi kayu dalam IUPHHK termasuk di dalam IUPHHK-HT. Data IHMB ini digunakan dalam penyusunan Rencana Kerja Umum RKU untuk masa 10 tahun. Untuk dapat memperoleh pelayanan dalam pengurusan maka IHMB perlu dilaksanakan oleh pemegang IUPHHK. Pelaksanaan IHMB dilakukan oleh pihak ketigakonsultan kehutanan dengan biaya pelaksanaan kegiatan sebesar Rp 300.000.000. Biaya ini termasuk untuk pelaksanaan survey potensi dan pembuatan dokumen IHMB. Biaya lain yang dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT dalam penyusunan IHMB ini adalah biaya-biaya yang tidak termasuk dalam biaya penyusunan IHMB yang terdiri atas biaya ekspose dengan total biaya sebesar Rp 102.500.000 dengan rincian biaya : biaya rencana ekspose Rp 10.000.000, ekspose hasil IHMB Rp 25.000.000, biaya pengecekan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Rp 25.000.000, biaya berita acara pelaksanaan IHMB yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Rp 25.000.000 dan biaya pengesahan IHMB Rp 17.500.000. Kebijakan IHMB tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.34 Menhut-II2007 jo P.33Menhut-II2009 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB. Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur IHMB itu sendiri didasarkan pada pasal 73 dan 75 Peraturan Pemerintah No. 62007 jo PP 32008. Sebenarnya kebijakan IHMB ini merupakan kebijakan yang datangnya terlambat, karena proses pembangunan HTI sudah dilaksanakan dan adanya kebijakan IHMB ini menyebabkan perubahan terhadap RKU. Dengan kebijakan ini menyebabkan pemegang IUPHHK-HT yang telah melaksanakan kegiatan harus membuat dokumen RKU baru. Pembuatan dokumen perubahan RKU ini memerlukan biaya besar yang harus dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT

3. Biaya Transaksi Pengajuan Rencana Kerja Tahunan RKT

Unit analisis dalam kajian ini adalah proses pengajuan ke Dinas Kehutanan untuk mendapatkan persetujuan mengenai rencana kerja tahunan RKT. RKT ini diajukan oleh pemegang IUPHHK-HT dua bulan sebelum mulaiberakhirnya RKT sbelumnya. Biaya produksi dalam pembuatan RKT ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT untuk membuat persyaratan yang dibutuhkan dalam pengajuan RKT. Selain biaya produksi tersebut merupakan biaya transaksi yang tidak berhubungan dengan pembuatan persyaratan. Biaya transaksi untuk mendapatkan pengesahan Rencana Kerja Tahunan RKT adalah biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT untuk mendapatkan persetujuan Rencana Kerja Tahunan RKT. Dokumen RKT ini berisi rencana persemaian, rencana penanaman, rencana pemeliharaan, rencana penebangan dan lain-lain rencana terkait pembangunan hutan. Pengajuan sampai pengesahan Rencana Kerja Tahunan RKT memerlukan biaya Rp 75.000.000 untuk tiap perusahaan. Besaran biaya untuk pengurusan RKT tersebut sudah termasuk biaya pengecekan lapangan yang dilakukan oleh staf Dinas Kehutanan Provinsi. Sebenarnya pengecekan lapangan merupakan tugas Dinas Kehutanan yang didanai oleh DIPA Dinas Kehutanan, tetapi realitasnya seluruh biaya untuk pelaksanaan pengecekan lapangan menjadi tanggung jawab pihak pemegang IUPHHK-HT. Biaya yang dikeluarkan oleh pemegang IUPHHK-HT adalah biaya yang sudah menjadi ketetapan tidak tertulis antara pihak yang mengurus dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Besaran biaya untuk tiap bagian dalam pengurusan RKT tersebut walaupun sudah menjadi semacam ketetapan tidak tertulis, namun demikian bila jumlah yang diminta oleh pihak Dinas dianggap tidak biasa atau terlalu besar maka dilakukan negosiasi. Negosiasi ini biasanya tidak lagi menggunakan etika dengan menggunakan bahasa- bahasa yang santun, tetapi terkadang negosiasi ini sampai terjadi debat yang tidak etis untuk didengarkan. Namun demikian, negosiasi tersebut semua tergantung pada pihak dinas karena mereka memiliki kewenangan untuk melanjutkan pengurusan atau tidak. Berdasarkan deskripsi di atas, rangkuman biaya transaksi dalam pembangunan HTI disajikan pada Tabel 5-5. Rangkuman tersebut berisi informasi mengenai transaksi-transaksi yang terdapat dalam pembangunan HTI serta pelaku yang terlibat dalam transaksi tersebut. Tabel 5-6. Komponen Biaya Transaksi dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI NO JENIS BIAYA KEM-HUT DIS-HUT PROVINSI 46 DIS-HUT KAB 47 DITJEN B U K DITJEN PLAN Biaya Transaksi Pengurusan IUPHHK-HT 1. Biaya Pertimbangan Teknis √ 48 √ √ 2. Biaya Rekomendasi √ 3. Biaya Pengadaan Citra √ √ 4. Biaya Verifikasi √ √ 5. Biaya Studi Kelayakan √ 6. Biaya Studi Amdal √ 49 Biaya Transaksi Setelah Keluarnya IUPHHK-HT 7. Biaya Tata Batas √ √ √ 8. Biaya Deliniasi Mikro √ 9. Biaya Deliniasi Makro √ 10. Biaya RKU √ √ 11. Biaya IHMB √ Biaya Transaksi Pengajuan Rencana Kerja Tahunan RKT 12. Biaya Inventarisasi √ 13. Biaya Citra Satelit √ 14. Biaya Pengecekan Lokasi √ 15. Biaya Telaah Peta IUPHHK-HT √ 16. Biaya Bukti Bayar PSDH dan DR √ Sumber : Wawancara dengan berbagai informan 2010-2013 Keterangan : √ ada biaya transaksi BUK = Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Secara umum proses pengajuan permohonan IUPHHK-HT sampai operasional pembangunan HTI dilakukan melalui 16 transaksi, dimana ke-16 transaksi tersebut membutuhkan biaya untuk mendapatkan datainformasi pertimbanganrekomendasi. ransaksi yang terjadi dalam proses pengajuan permohonan IUPHHK-HT dapat dibedakan antara IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dan Bupati. Deskripsi besarnya biaya transaksi tersebut terdapat pada Tabel 5-7. Tabel 5-7 juga menunjukkan besaran biaya produksi dan biaya transaksi dari komponen kegiatan dalam proses pembangunan HTI. Biaya transaksi yang besar terjadi pada proses pemberian IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan yang mencapai 11,557 milyar sedangkan pada proses IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Bupati hanya 3,6 milyar. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya birokrasi yang panjang yang membuat banyaknya langkah yang harus ditempuh dalam proses permohonan IUPHHK-HT. 46 Dinas kehutanan provinsi ini termasuk dengan gubernur 47 Dinas kehutanan kabupaten ini termasuk bupati 48 Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH 49 Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Bapedalda Tabel 5-7. Biaya Produksi dan Biaya Transaksi Pembangunan HTI dalam juta rupiah No Komponen Biaya Izin Menteri Kehutanan Izin Bupati Walikota B. Produksi B. Transaksi B. Produksi B. Transaksi 1. Proposal 20 ta 20 - 2. Pertimbangan teknis ta 3000 ta 1050 3. Rekomendasi ta 2000 ta tk 4. Pengadaan Citrapeta 250 tk 250 tk 5. Verifikasi Data ta tk - tk 6. Pengesahan 50 6.000 6000 - 2000 7. Studi Kelayakan 150 ta 150 tk 8. Studi Amdal 200 50 150 50 9. Tata Batas 1.000 150 1000 150 10. Deliniasi Makro 40 tk 40 - 11. Deliniasi Mikro 150 40 150 40 12. RKU 100 140 100 140 13. IHMB 300 102,5 300 102,5 14 RKT 130 75 130 75 TOTAL 8.340 11.557,5 2.290 3.607,5 Keterangan : ta = Tidak mengeluarkan biaya tk = Ada biaya, tetapi informasi tersebut tidak diketahui Disamping biaya produksi dan biaya transaksi dalam permohonan pembangunan HTI, pemegang IUPHHK-HT juga mengeluarkan biaya untuk mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu IPK. Izin ini untuk melakukan penebangan pada kawasan hutan yang dijadikan HTI sebagai aktivitas persiapan lahan. Izin pemanfaatan kayu ini dikeluarkan oleh Gubernur. IPK ini diberikan pada kawasan hutan produksi yang memiliki potensi kayu kurang dari 20m 3 ha. Tetapi secara umum IPK ini diberikan pada kawasan hutan yang memiliki potensi diatas 20m 3 ha. IPK pada kawasan hutan dengan potensi diatas 20m 3 ha ini banyak diberikan selama masa tahun 2001−2002. Potensi kayu yang besar ini bagi pemegang IUPHHK-HT merupakan keuntungan awal yang dinikmati sebelum melakukan pembangunan HTI. Keuntungan ini merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk mengajukan permohonan IUPHHK-HT. Walaupun biaya transaksi dalam permohonan pngajuan IUPHHK-HT sangat besar, bagi pemegang IUPHHK-HT tidak menjadi masalah karena besaran biaya transaksi tersebut masih dapat ditutupi oleh penjualan kayu melalui IPK. Bila dihitung jumlah biaya transaksi dalam permohonan IUPHHK-HT sampai pelaksanaan IPK maka jumlahnya mencapai 11,6 milyar untuk izin Menteri Kehutanan dan 3,6 milyar untuk izin yang dikeluarkan oleh Bupati. Biaya transaksi tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari IPK 51 . 50 Data Komisi Pemberantasan KorupsiKPK 2103 51 biaya yang dkeluarkan oleh pemegang iuphhk-ht untuk mengurus ipk terdiri atas biaya untuk memperoleh rekomendasi Gubennur sebesar 2 milyar, sementara biaya yang diberikan kepada Dinas Kehutanan bersifat variabel terhadap jumlah kayu ditebang dari lahan IPK Berdasarkan hasil kajian terhadap besaran biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha menunjukkan bahwa biaya transaksi akan semakin besar dengan semakin panjangnya birokrasi pengurusan perizinan IUPHHK-HT. Hal tersebut dapat dilihat dengan membandingkan antara biaya transaksi yang timbul dalam proses penerbitan IUPHHK-HT antara Menteri Kehutanan dan Bupati. Birokrasi panjang yang diikuti oleh adanya informasi yang tidak simetris asimetris informatif menyebabkan timbulnya kekuasaan birokrat yang semakin besar. Kekuasaan birokrat ini dalam bentuk kewenangan untuk memberikan pertimbangan teknis atau rekomendasi dan persetujuan IUPHHK-HT. Kewenangan ini menjadi kekuasaan bagi birokrat karena tanpa pemberian pertimbangan teknis dan rekomendasi maka proses permohonan IUPHHK-HT tidak akan diproses lebih lanjut. Bagi pelaku usaha, adanya biaya yang dikeluarkan untuk proses tersebut merupakan suatu keterpaksaan. Tetapi pemberian biaya untuk pengurusan tidak menjadi permasalahan karena pelaku usaha sudah dapat memprediksi keuntungan yang akan diperoleh dari pengajuan IUPHHK-HT. Keuntungan yang dimaksud tersebut adalah adanya potensi kayu pada areal IUPHHK-HT. Berdasarkan hasil kalkulasi pelaku usaha, biaya transaksi yang dikeluarkan masih tertutupi oleh hasil yang diperoleh dari penebangan pohon melalui proses pembukaan lahan land clearing yang termasuk dalam izin pemanfaatan kayu IPK. Beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam permohonan IUPHHK-HT untuk mengurangi biaya transaksi adalah : a. Pemutusan birokrasi yang panjang Pemutusan birokrasi yang panjang ini mengurangi transaksi yang dapat menimbulkan biaya. Beberapa transaksi yang tidak perlu dan menimbulkan biaya dan perlu dihilangkan adalah pertimbangan teknis Bupati dan rekomendasi Gubernur. Kedua transaksi tersebut menimbulkan biaya sampai 5 milyar. Pertimbangan Bupati dan rekomendasi Gubernur pada prinsipnya adalah persetujuan tentang pembangunan HTI di dalam wilayahnya. KOTAK V-2 Izin Pemanfaatan Kayu IPK merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan awal dalam pembangunan HTI. Menggunakan data IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati Pelalawan dengan luas 5000 ha dengan potensi yang berkayu hanya 80 dari luas areal hutan serta potensi kayu 50 m 3 ha, harga jual kayu sebesar 1 juta per m 3 , maka diperoleh hasil sebagai berikut : Pendapatan dari kayu = Rp 160.000.000.000 Biaya produksi IPK = Rp 48.000.000.000 Biaya Transaksi IPK : Izin IPK Gubernur = Rp 2.000.000.000 Kepala Dinas Provinsi = Rp 2.000.000.000 Kepala Sub Dinas Provinsi = Rp 1.000.000.000 Kepala Seksi, Dinas Provinsi = Rp 200.000.000 Total Biaya = Rp 53.000.000.000 Pendapatan Bersih = 106.800.000.000 Bila dikurangi dengan biaya pengurusan permohonan IUPHHK-HT Rp 3.607.500.000 biaya transaksi permohonan dan Rp 2.290.000.000 biaya produksi permohonan, maka keuntungan pelaku usaha dari IPK yang diperolehnya sebesar Rp 100.902.500.000 Persetujuan tersebut dapat diberikan oleh Bupati tanpa melalui rekomendasi Gubernur. Birokrasi lain yang perlu dihapuskan adalah penyusunan RKU, IHMB, deliniasi makro, deliniasi mikro serta RKT yang memerlukan persetujuan Kementerian Kehutanan maupun Dinas Kehutanan. Dengan melimpahkan kewenangan pembangunan HTI kepada pelaku usaha maka persoalan- persoalan teknis pembangunan HTI tidak perlu dilakukan pengaturan oleh pemerintah. b. Pengurangan terjadinya asimetris information Informasi yang tidak seimbang antara pemerintah dan pelaku usaha ini menyebabkan timbulnya biaya transaksi. Informasi tersebut terkait dengan proses permohonan IUPHHK-HT. Informasi mengenai proses permohonan HTI tidak diketahui secara penuh oleh pelaku usaha. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi informasi yang tidak seimbang adalah memberikan penjelasan yang jelas tentang isi peraturan yang dimaksud. Sharing Biaya Kerja sama Operasi KSO dalam Pembangunan HTI Sharing biaya dalam pembiayaan pembangunan HTI grup perusahaan PT.RAPP atau grup perusahaan PT.IKPP dengan pemegang IUPHHK-HT dapat digunakan untuk mengetahui sharing resiko antara pihak yang melakukan perjanjian. Dasar penentuan sharing pembiayaan dalam KSO ini adalah peraturan menteri kehutanan tentang pelaksanaan kerja sama operasi KSO. Ruang lingkup pelaksanaan KSO diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P. 20 Tahun 2005 jo P.39 Tahun 2009 jo P.29 Tahun 2012 tentang kerja sama operasi KSO. Sebagai ilustrasi, sharing biaya pembangunan HTI digunakan data pemegang IUPHHK-HT PT. Merbau Pelalawan Lestari 52 . Deskripsi komponen biaya yang diatur dalam perjanjian KSO dan besaran biaya terdapat dalam tabel 5-7 dan tabel 5-8 berikut. 52 PT. Merbau Pelalawan Lestari adalah perusahaan pemegang IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati Pelalawan dengan Nomor 522.21\IUPHHKHT\XII\2002\004 tanggal 17 Desember 2002. Selanjutnya karena untuk memberikan kepastian hukum maka SK Bupati Pelalawan tersebut diverifikasi oleh Menteri Kehutanan dengan SK No. 69\Menhut-II\2007 dengan luas 5.590 ha. PT. Merbau Pelalawan Lestari ini termasuk dalam kelompok perusahaan eks HPH PT. Barito Pasific Timber. Saat ini PT. Merbau Pelalawan Lestari ini melakukan kerjasama operasi dengan anak perusahaan PT. RAPP Tabel 5-8. Komponen Biaya Pembangunan HTI dalam Kerja Sama Operasi KSO 53 No Komponen Biaya Kegiatan Pelaksana KSO 54 Pemegang IUPHHK-HT 55 Keterangan 56 1. Biaya permohonan izin √ tadk 2. Biaya PerencanaanRKT √ Surat perjanjian 3. Biaya Pembangunan HTI 57 Biaya Persemaian √ Surat perjanjian Biaya Persiapan Lahan √ Surat perjanjian Biaya Penanaman √ Surat perjanjian Biaya Pemeliharaan √ Surat perjanjian Biaya Pemanenan √ Surat perjanjian Biaya Pengangkutan √ Surat perjanjian 4. Biaya CSR √ √ Sesuai besaran CSR 5. Biaya Tata Batas √ tadk 6. Biaya Amdal √ tadk 7. Biaya Pembuatan RKU √ tadk 8. Biaya Iuran IUPHHK-HT √ tadk 9. Biaya PSDHDR √ tadk 10. Biaya PBB √ tadk 11. Deliniasi Makro √ tadk 12. Deliniasi Mikro √ tadk Keterangan : √ = mengeluarkan biaya Tadk = Tidak ada dalam kesepakatan Secara umum sharing biaya antara pemegang IUPHHK-HT dengan pelaksana KSO dibedakan menjadi biaya yang bersifat internal dan eksternal. Biaya yang bersifat eksternal ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan dokumen perizinan pembangunan HTI. Biaya eksternal ini menjadi tanggung jawab bagi pemegang IUPHHK-HT 58 yang terdiri atas biaya biaya pengurusan dokumen Rencana Kerja Tahunan RKT dan dokumen lainnya yang menjadi persyaratan dalam pengajuan RKT ke Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Kerjasama Operasi KSO yang dijalankan oleh grup perusahaan PT. RAPP dengan pemegang IUPHHK-HT dilakukan dengan membagi atas kegiatan eksternal dan internal seperti tersebut di atas. Bagian internal yang dimaksud adalah pelaksanaan kegiatan yang dimulai dari persiapan lahan sampai pengangkutan hasil kayu. 53 KSO ini dilakukan setelah adanya IUPHHK-HT, sehingga biaya pengurusan memperoleh IUPHHK-HT tidak termasuk dalam sharing biaya KSO 54 Biaya yang ditanggung oleh pelaksana KSO, dalam hal ini adalah Grup perusahaan PT. RAPP dan PT. IKPP 55 Biaya yang ditanggung oleh pemegang IUPHHK-HT 56 Menunjukkan ada tidaknya kesepakatan biaya tersebut dalam perjanjian kerja sama operasi KSO 57 Menggunakan standar biaya pembangunan HTI pada lahan gambut Kab. Siak PT. IKPP. Pembangunan HTI pada lahan gambut ini dilakukan dengan membuat kanal-kanal yang berfungsi untuk sarana transportasi dan pengaturan tata air gambut 58 Perjanjian kerjasama operasi KSO antara perusahaan ini bersifat rahasia dan isi perjanjian secara spesifik tidak dapat diperlihatkan kepada pihak lain, namun secara umum isi perjanjian dapat diketahui melalui pelaksanaan pembangunan HTI. Meskipun telah dilakukan pembagian kegiataan dan sekaligus juga sharing biaya perusahaan yang melakukan KSO, dimana perusahaan pemegang IUPHHK- HT yang melakukan kerjasama tersebut telah memiliki dokumen perizinan yang lengkap. Namun demikian, beberapa perusahaan yang melakukan KSO dengan grup perusahaan PT. RAPP belum memiliki dokumen kelengkapan pelaksanaan pembangunan, sehingga pembuatan dokumen tersebut menjadi kewajiban bagi pemegang IUPHHK-HT. Dokumen yang dimaksud adalah pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL, Dokumen RKU, pembuatan delinasi makro dan mikro dan tata batas. Tabel 5-9. Sharing Biaya antara Pemegang IUPHHK-HT dengan Pelaksana KSO 59 No KOMPONEN BIAYA Biaya Per satuan Pelaksanan KSO Pemegang IUPHHK-HT 1. Biaya permohonan izin - - 3.607.500.000 2. Biaya Perencanaan RKT - - 75.000.000 3. Biaya Pembangunan HTI Persemaian Rpha 312.00 1.092.000.000 Persiapan lahan Rpha 1.000.000 3.500.000.000 Penanaman Rpha 1.137.000 3.979.500.000 Pemeliharaan Rpha 1.292.950 4.525.325.000 Pembelian pupuk Rpha 1.566.142 5.481.497.000 Pemupukan Rpha 1.756.343 6.147.200.500 Pemanenan Rp m3 81.000 62.381.340.000 Pengangkutan Rp m3 60.000 46.208.400.000 4. Biaya RKU 150.000.000 5. Biaya Deliniasi Makro 40.000.000 6. Biaya Delianiasi Mikro 150.000.000 7. Biaya Tata Batas 177.000.000 8. Biaya Amdal 120.000.000 9. Iuran IUPHHK-HT 132.024.000 10. Biaya PSDH 132.024.000 11. PBB 198.036.000 TOTAL BIAYA 7.205.435 133.315.262.500 4.781.584.000 PERSENTASE 96,54 3,46 Sumber : Wawancara dari berbagai sumber 2012 Hasil perhitungan dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder diperoleh bahwa biaya yang ditanggung oleh pemegang IUPHHK- HT adalah 4,781 milyar 3,46 sedangkan biaya yang ditanggung oleh pelaksana KSO sebesar Rp 133,31 milyar 96,54. Sharing biaya tersebut termasuk biaya dalam permohonan IUPHHK-HT. Sharing biaya dengan tanpa memasukan biaya 59 Perhitungan ini dilakukan untuk luas HTI 5501 ha pada areal gambut permohonan menunjukkan posisi biaya yang ditanggung oleh pemegang IUPHHK- HT sebesar 0,87 persen sedangkan pelaksana KSO sebesar 99,13 persen. Dengan biaya yang besar maka posisi tawar pelaksana KSO lebih besar dari pemegang IUPHHK-HT. Namun dengan perubahan peraturan menteri kehutanan yang mengatur ruang lingkup kerja sama operasi, beban biaya yang ditanggung oleh pemegang IUPHHK-HT sebesar 81,60 dan pemegang KSO sebesar 18,40. Meskipun dilakukan perubahan peraturan tentang KSO, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena biaya yang besar untuk melakukan penebangan dan pengangkutan kayu. Biaya penebangan dan pengangkutan kayu yang mencapai 78 dari total pembangunan HTI tidak dapat dibiayai oleh pemegang IUPHHK- HT. Bagi pelaku usaha, kondisi dimana seluruh kegiatan pembangunan Tabel 5- 8 dilaksanakan oleh pemegang KSO merupakan alternatif yang terbaik untuk saat ini. Proses Penguasaan Areal dan Kepemilikan IUPHHK-HT Proses penguasaan areal dan kepemilikan IUPHHK-HT oleh grup perusahaan PT.RAPP dan grup perusahaan PT.IKPP terjadi sejak tahun 2000 sampai tahun 2005. Proses penguasaan IUPHHK-HT secara sistematis adalah sebagai berikut :  Penerbitan IUPHHK-HT oleh Menteri Kehutanan selama masa awal tahun 1990 sampai tahun 2000 ditandai oleh adanya bantuan pemerintah melalui penyertaan modal pemerintah PMP dan pinjaman dengan bunga rendah. IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Menteri Kehutahanan ini kemudian mengalami kesulitan finansial ketika bantuan dari dana reboisasi DR dihentikan. Jumlah IUPHHK-HT di Riau yang memperoleh bantuan dana reboisasi tersebut berjumlah 6 unit dan selanjutnya diakuisisi oleh grup perusahaan PT.RAPP atau grup perusahaan PT.IKPP. Sebelum adanya perusahaan yang diakuisisi oleh kedua grup perusahaan tersebut, telah terdapat IUPHHK-HT yang telah disetujui oleh Menteri Kehutanan dan termasuk dalam Grup kedua perusahaan tersebut.  IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Bupati Pelalawan, Siak dan Indragiri Hulu sebanyak 37 unit. IUPHHK-HT tersebut memiliki 2 tipologi berdasarkan kemampuan finansial. Kedua tipologi tersebut adalah : 1. IUPHHK-HT yang mandiri IUPHHK-HT yang mandiri ini adalah perusahaan pemegang IUPHHK- HT yang memiliki kemampuan finansial. Setelah IUPHHK-HT diterbitkan oleh Bupati, pemegang IUPHHK-HT tersebut melakukan pembangunan HTI secara mandiri. Namun demikian karena tingginya biaya produksi dan biaya transaksi dalam pembangunan HTI serta pasar kayu HTI yang dikuasai oleh perusahaan yang memiliki industri pulp dan kertas, maka perusahaan yang mandiri ini kemudian mengalami kesulitan finansial. IUPHHK-HT ini kemudian melakukan kerja sama operasi KSO dengan grup perusahaan PT.RAPP ataupun grup perusahaan PT.IKPP. 2. IUPHHK-HT tidak mandiri IUPHHK-HT yang tidak mandiri ini adalah IUPHHK-HT yang sejak awal tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial dalam pembangunan HTI. Setelah IUPHHK-HT diterbitkan oleh Bupati, beberapa pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki komitmen untuk membangun HTI menjual IUPHHK-HT kepada grup perusahaan PT.RAPP atau grup Perusahaan PT.IKPP. Sementara itu IUPHHK-HT yang juga tidak memiliki kemampuan finansial dan teknik tetapi ada keinginan untuk membangun HTI kemudian melakukan kerja sama operasi KSO.  Perusahaan yang diterbitkan oleh Bupati Kab. Pelalawan, Siak dan Indragiri Hulu, sebanyak 37 unit, secara perlahan-lahan berada dalam penguasaan grup perusahaan RAPP dan grup perusahaan IKPP melalui proses kerja sama operasi KSO. Kerja sama operasi KSO ini dilakukan oleh grup perusahaan PT.RAPP atau anak perusahaannya dengan pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial. Hal yang sama terjadi dengan grup perusahaan IKPP. Kerja sama operasi KSO merupakan jalan terjadinya proses penguasaan areal dan usaha pembangunan HTI oleh kedua grup perusahaan di atas. KSO ini dibuat melalui suatu perjanjian antara pemegang IUPHHK-HT dengan kedua grup perusahaan. Perjanjian kerja sama tersebut melakukan pengaturan terhadap harga kayu HTI. Selama waktu perjanjian, harga yang ditetapkan tidak berubah waktu perjanjian selama masa berlakunya IUPHHK-HT.  Perjanjian kerja sama operasi KSO merupakan tindakan yang dilakukan oleh grup perusahaan PT.RAPP dan grup perusahaan PT.IKPP sebagai strategi untuk menguasai IUPHHK-HT. Penguasaan IUPHHK-HT ini berarti menguasai bahan baku untuk industri pulp dan kertas. Penguasaan bahan baku tersebut melalui isi yang mengikat dalam perjanjian kerja sama operasi. Tingginya biaya pembangunan HTI yang disertai dengan tingginya biaya transaksi menyebabkan perusahaan yang tidak memiliki kemampuan untuk mambangun HTI melakukan pinjaman ke perusahaan yang melaksanakan KSO PT.RAPP atau PT.IKPP. Pinjaman tersebut digunakan oleh pemegang IUPHHK-HT untuk membuat dokumen perencanaan yang menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HT. Sementara pelaksanaan pembangunan HTI oleh pelaksana KSO. Dana pinjaman pemegang IUPHHK-HT ini selanjutnya akan dibayar ketika kayu sudah ditebang. Pengaturan hasil pemanenan ini juga terdapat dalam perjanjian KSO dengan cara bagi hasil dengan besaran yang bervariasi. Bagi hasil ini berkisar antara 30 - 70.  Pengaturan harga kayu HTI oleh pelaksana KSO yaitu perusahaan yang terintegrasi dengan industri pulp dan kertas menyebabkan bagi hasil yang diterima oleh pemegang IUPHHK-HT akan mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut disebabkan oleh semakin besarnya utang yang harus dibayar oleh pemegang IUPHHK-HT. Utang itu sendiri berasal dari biaya pembuatan dokumen perencanaan IHMB, Delmak dan Delmik, RKU, tata batas dan RKT tabel 5-6 dan biaya lain yang tidak terduga. Biaya tak terduga tersebut diantaranya adalah biaya penyelesaian konflik dan CSR Corporate Social Responsibility. Biaya konflik dan CSR ini merupakan biaya yang menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HT.  Dalam jangka panjang, pemegang IUPHHK-HT akan mengalami kesulitan finansial yang semakin besar dan pada titik dimana pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang tersebut, maka pada saat itu akan terjadi penjualan IUPHHK-HT kepada pelaksana KSO. Kecenderungan ini akan terjadi ketika setiap pemegang IUPHHK-HT yang melakukan kerja sama operasi tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang. Menurut Mankiw et al. 2013, hambatan masuk pasar disebabkan oleh tiga hal yaitu, penguasaan sumber daya, adanya hak eksklusif yang diberikan oleh pemerintah dan biaya produksi yang besar. Bila dilihat dari kasus di atas, hambatan bagi pelaku usaha lain untuk masuk dalam sistem produksi kayu HTI atau usaha pembangunan HTI adalah adanya biaya produksi yang tinggi, termasuk biaya transaksi yang tinggi. Monopoli-kah Usaha Pembangunan HTI? Kajian ini melihat apakah dalam praktik usaha pembangunan HTI telah terjadi penguasaan oleh grup perusahaan besar yang menyebabkan adanya praktik monopoli yang menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat. Pembuktian ini menggunakan Undang-Undang No. 51999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat UU antimonopoli. Definisi monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku. Sementara itu praktik monopoli dikatakan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Menurut Anggraini 2003, pendekatan yang digunakan untuk melihat ada tidaknya praktisi monopoli dalam suatu usaha adalah pendekatan per se ilegal dan rule of reason. Pendekatan per se ilegal adalah pendekatan yang menitikberatkan pada perilaku pelaku usaha tanpa selalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial secara luas. Sedangkan pendekatan rule of reason berorientasi pada prinsip efisiensi dengan melihat akibat negatif kerugian dan positif keuntungan dari tindakan dalam persaingan. Praktik monopoli merupakan salah satu bentuk dari adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Persaingan usaha tidak sehat ini dilakukan melalui perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan menggunakan posisi dominan. Beberapa tindakan yang menciptakan adanya persaingan usaha yang tidak sehat menurut ketiga hal tersebut di atas adalah : 1. Melakukan perjanjian yang dilarang Perjanjian dilarang yang menciptakan adanya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah perjanjian yang dilakukan oleh 2 atau tiga pelaku usaha untuk menguasai produksi atau pemasaran barang atau jasa. Bentuk perjanjian menciptakan adanya oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. 2. Melakukan kegiatan yang dilarang Kegiatan yang dilarang yang dimaksud bila 2 atau 3 pelaku usaha melakukan kegiatan yang dapat menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui penciptaan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persekongkolan. 3. Menggunakan posisi dominan Menggunakan posisi dominan maksudnya menggunakan posisi untuk menciptakan adanya monopoli dan menciptakan persaingan usaha tidak sehat melalui tindakan rangkap jabatan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham Kondisi Pembangunan HTI di Riau Jumlah unit IUPHHK-HT yang beroperasi di Riau sebanyak 58 unit dimana 25 unit terintegrasi dengan Grup perusahaan PT. IKPP dan 33 unit dengan Grup perusahaan PT. RAPP. Sementara secara nasional jumlah IUPHHK-HT sebanyak 233 unit dan 58 unit berada di Riau. Hutan Tanaman Industri HTI ini dapat dibedakan menjadi HTI untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas dan industri kayu pertukangan. IUPHHK-HT yang terdapat di Riau semuanya adalah HTI untuk menyuplai kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas. Jumlah dan luas konsesi HTI grup perusahaan PT. RAPP dan grup PT. IKPP tertera pada Tabel 5-9. Tabel 5-10. Luas dan Jumlah IUPHHK-HT Grup APP dan Grup APRIL 60 No Status IUPHHK-HT Jumlah Unit IUPHHK-HT Luas Unit IUPHHK-HT ha Riau Luar Riau Nasional Riau Luar Riau Nasional 1. Grup APP 11 7 18 651.982 1.135.891 1.787.873 2. Patungan 1 2 3 12.000 483.000 495.000 3. KSO 13 2 15 219.700 75.820 295.520 Jumlah 25 11 36 883.682 1.694.711 2.578.393 1. Grup APRIL 14 1 15 627.470 269.060 869.530 2. Patungan - - - - - - 3. KSO 19 - 19 249.379 - 249.379 Jumlah 33 1 34 876.849 269.060 1.145.909 T O T A L 58 12 70 1.759.531 2.063.771 3.724.302 Sumber : kompilasi beberapa sumber Berdasarkan Tabel 5-9 menunjukkan bahwa HTI di Riau telah dikuasai oleh grup perusahaan PT. RAPP dan grup perusahaan PT. IKPP dengan perbandingan yang hampir seimbang. Luas IUPHHK-HT PT.RAPP dengan beberapa kali penambahan izin saat ini mencapai 350.165 ha, sedangkan IUPHHK-HT PT Arara Abadi divisi Forestry dari PT. IKPP mencapai 299.975 ha. Sedangkan secara nasional, grup perusahaan PT. IKPP memiliki luas konsesi yang lebih besar dari grup perusahaan PT. RAPP. Dengan menggunakan UU 51999 dapat disimpulkan bahwa usaha pembangunan HTI pulp kertas di Riau telah dikuasai oleh grup perusahaan PT.RAPP dan grup perusahaan PT.IKPP. Kedua grup telah menguasai seluruh produksi kayu HTI yang ada di Riau. Sementara itu penguasaan pangsa pasar kedua grup perusahaan tersebut tertera pada Tabel 5-11 60 Sebagian data pada tabel tersebut diperoleh dari bahan ekspose Sinar Mas Forestry SMF kepada Menteri Kehutanan pada tanggal 29 Januari 2007 serta presentasi Riau Pulp’s Plantation PT. RAPP di hadapan Menteri Kehutanan pada November 2006. Tabel 5-11. Prediksi Produksi dan Pangsa Pasar Produksi Kayu HTI No Status IUPHHK-HT Jumlah Produksi IUPHHK-HT Pangsa Pasar Riau Luar Riau Nasional Riau Luar Riau Nasional 1. Grup APP 81.497.750 141.986.375 223.484.12 0,371 0,55 0,48 2. Patungan 1.500.000 60.375.000 61.875.000 0,007 0,23 0,13 3. KSO 27.462.500 9.477.500 36.940.000 0,135 0,04 0,08 Jumlah 110.460.250 211.838.875 322.299.125 0,502 0,82 0,69 1. Grup APRIL 78.433.750 33.632.500 108.691.250 0,357 0,13 0,23 2. Patungan - - - - - - 3. KSO 31.172.375 - 31.172.375 0,142 - 0,07 Jumlah 109.606.125 33.632.500 143.238.625 0,498 0,13 0,31 T O T A L 219.941.375 257.971.375 465.537.750 Sumber : Hasil perhitungan Secara nasional menunjukkan penguasaan bahan baku dari hutan tanaman dikuasai oleh PT. IKPP dengan pangsa pasar 0,69 sedangkan PT.RAPP hanya 0,31. Menggunakan asumsi MAI Mean Annual Increment sebesar 25 m 3 hathn, dengan rotasi 5 tahun, produksi kayu per ha per tahun diperoleh 125 m3. Dengan menggunakan luas total IUPHHK-HT seperti pada tabel 5-9 serta kebutuhan kayu untuk bahan baku pulp dengan perbandingan 1 ton pulp dihasilkan dari kayu HTI sebesar 4,5 m 3 , diperoleh kebutuhan bahan baku industri pulp di Riau. Kapasitas produksi industri pulp dan kertas PT. RAPP dan PT. IKPP adalah 2 juta ton per tahun, diperoleh kebutuhan bahan baku bagi kedua industri tersebut tabel 5-11. Tabel 5-12. Kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas di Riau 61 No Grup Perusahaan Produksi Kayu HTI 62 m 3 th Kebutuhan Industri tonth 63 Produksi Nasional m 3 th 1. PT. IKPP 37.496.875 9.000.000 11.085.250 2. PT. RAPP 43.770.625 9.000.000 109.605.750 TOTAL 81.267.500 18.000.000 220.691.000 Sumber : perhitungan dan kompilasi berbagai sumber Bila dibandingkan dengan produksi kayu HTI secara nasional dan kebutuhan industri pulp dan kertas untuk kedua grup perusahaan tersebut maka dapat dikatakan bahwa diduga Grup perusahaan PT. RAPP yang tergabung dalam Raja Garuda Mas serta Grup PT. IKPP yang berada dalam Grup Sinar Mas, telah melakukan monopoli usaha pembangunan HTI dengan menguasai produksi kayu HTI melalui penguasaan produsen kayu HTI. Berdasarkan UU anti monopoli maka pembuktian adanya monopoli dalam usaha pembangunan HTI adalah sebagai berikut : 1. Integrasi Vertikal 61 Analisis ini menggunakan data PT. IKPP, PT. RAPP dan data APKI 2011 62 Produksi kayu diperoleh dari perkalian antara luas total IUPHHK-HT Grup perusahaan dengan potensi kayu per ha yang dibagi sesuai rotasi 5 tahun. Potensi kayu per ha ini merupakan rata-rata potensi kayu yang ada saat ini. Untuk rotasi-rotasi selanjutnya diperkirakan terjadi penurunan potensi kayu per ha yang disebabkan oleh penurunan kesuburan tanah. Data diasumsikan bahwa seluruh areal konsesi telah ditanami. 63 Kebutuhan kayu untuk industri pulp dan kertas ini diperoleh dari kapasitas industri pulp dan kertas sebesar 2 juta ton, dimana untuk 1 ton pulp dibutuhkan 4,5 m 3 kayu. Intergrasi vertikal ini dapat diketahui dari pemegang IUPHHK-HT dan pemilik industri pulp dan kertas dimiliki oleh perusahaan PT. RAPP. Integrasi vertikal oleh PT. RAPP ini secara jelas dapat diketahui dimana industri pulp kertas dan pemegang IUPHHK-HT memiliki nama yang sama. Sedangkan PT. IKPP yang merupakan industri pulp dan kertas memiliki perusahaan HTI dengan nama PT. Arara Abadi. Integrasi vertikal ini menyebabkan usaha produksi kayu dari hulu sampai hilir dikuasai oleh perusahaan yang sama. Hal ini menyebabkan adanya pengontrolan terhadap produksi kayu HTI dan penggunaankonsumsi kayu HTI. Disamping faktor kepemilikan saham yang sama antara pemegang IUPHHK-HT dengan industri pulp dan kertas, integrasi vertikal ini didukung oleh adanya perjanjian yang saling mengikat antara pemegang IUPHHK-HT lain dengan industri pulp dan kertas melalui perjanjian kerja sama operasi KSO Hal ini telah dibahas dalam bagian terdahulu. 2. Perjanjian Kerjasama Operasi KSO Perjanjian kerja sama operasi KSO merupakan bentuk perjanjian yang terjadi antara pemilik modal dengan pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan dalam membangun HTI. Perjanjian ini didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan tentang kerja sama operasi KSO. Walaupun perjanjian kerja sama operasi ini didasarkan pada peraturan menteri kehutanan, tetapi perjanjian ini dilakukan dalam posisi tawar yang berbeda. Perjanjian ini sangat mengikat dan membuat pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan finansial tidak memiliki kewenangan, terutama dalam memasarkan kayu HTI. Isi perjanjian yang mengatur mengenai pemasaran kayu HTI termasuk harga kayu HTI menyebabkan pelaku usaha tidak memiliki kemampuan untuk menjual ke pihak lain. 3. Pengaturan Harga Pengaturan harga kayu HTI diatur dalam perjanjian kerja sama operasi KSO antara pemegang IUPHHK-HT dengan salah grup perusahaan pemilik industri pulp dan kertas. Harga kayu yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut didasarkan pada jarak angkut dari lokasi penebangan dengan industri pulp dan kertas. Harga dasar kayu HTI yang diatur dalam perjanjian adalah Rp 200.000m3 yang dapat bervariasi sesuai jarak. Harga dalam perjanjian kerja sama operasi KSO ini nilainya tetap selama masa konsesi pemegang IUPHHK-HT dan tidak ada peluang bagi pemegang IUPHHK-HT untuk memasarkan kayu HTI ke tempat lain. 4. Pemindahtanganan dan Pengambilalihan saham IUPHHK-HT Penguasaan usaha pembangunan HTI dimungkinkan karena adanya pemindahtanganan dan pengambilalihan saham IUPHHK-HT. Dalam jangka panjang, pemegang IUPHHK-HT yang mengalami kesulitan finansial akan semakin mengalami kesulitan finansial yang semakin besar karena hutan yang semakin besar. Langkah rasional yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK-HT selanjutnya adalah melakukan pemindahtanganan izin maupun penjualan saham perusahaan. Berdasarkan kondisi usaha pembangunan HTI di Riau dapat disimpulkan bahwa usaha pembangunan HTI menciptakan penguasaan usaha monopoli yang disebabkan oleh adanya integrasi vertikal dari hulu hingga hilir. Integrasi vertikal ini menyebabkan penjualan kayu dari usaha PT. RAPP dan PT. Arara Abadi hanya ke industri pulp kertas yang berada dalam grupnya. Sementara itu kapasitas produksi industri pulp kertas yang dimiliki oleh industri pulp kertas PT. RAPP dan PT. IKPP asing-masing 2 juta ton per tahun menyebabkan kedua industri tersebut gencar mencari bahan baku untuk memenuhi industrinya. Pemegang IUPHHK-HT yang membangun HTI secara mandiri atau yang melakukan KSO dengan terpaksa juga harus memasarkan kayu HTInya ke kedua industri tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh adanya larangan ekor log dan tidak adanya alternatif pasar lain. Dengan kondisi demikian yang diikuti dengan oleh perjanjian kerja sama operasi KSO mengakibatkan pemegang IUPHHK-HT yang berada di Riau seluruhnya berada dalam kelompok kedua Grup perusahaan pemilik industri pulp tersebut. Akibatnya dalam usaha pembangunan pembangunan HTI tidak tercipta persaingan usaha yang sehat karena adanya monopoli yang dipraktikkan oleh grup perusahaan PT. RAPP dan Grup perusahaan PT. IKPP SIMPULAN Penerbitan IUPHHK-HT oleh Bupati Pelalawan dilakukan melalui suatu jaringan yang melibatkan aktor pemerintah dan pelaku usaha. Para aktor yang terlibat dalam proses penerbitan IUPHHK-HT ini merupakan para pencari rente yang berharap mendapatkan keuntungan dari penebangan kayu alam yang akan dijadikan sebagai HTI. Proses penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI disebabkan oleh adanya pencari rente yang tidak memiliki kemampuan teknik dan finansial dalam pembangunan HTI. Penyebab lain dari penguasaan tersebut disebabkan oleh adanya biaya transaksi yang tinggi. Besarnya biaya transaksi ini karena kekuasaan besar yang dimiliki oleh birokrat sehingga pengurusan permohonan IUPHHK-HT selalu diselesaikan dengan penyuapan atau pemerasan kepada pemohon. Tingginya biaya transaksi menyebabkan biaya produksi pembangunan HTI menjadi besar sehingga beberapa pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki kemampuan finansial untuk tetap bertahan dalam bisnis pembangunan HTI. Proses penguasaan areal dan kepemilikan usaha pembangunan HTI terjadi melalui proses yang dipermudah oleh adanya peraturan menteri kehutanan yang memperbolehkan kerja sama operasi KSO. Perjanjian ini sangat mengikat dan tidak dilaksanakan dalam posisi tawar yang sama. Akibat adanya kerja sama operasi KSO dan pengambilalihan saham menyebabkan terjadinya penguasaan areal HTI dan penguasaan kepemilikan IUPHHK-HT oleh grup PT. RAPP dan PT.IKPP. Penguasaan bisnis HTI oleh kedua grup perusahaan tersebut menyebabkan usaha pembangunan HTI tidak menarik bagi pelaku usaha lain. Hambatan masuk bisnis pembangunan HTI ini disebabkan oleh biaya transaksi yang besar. SARAN Saran yang merupakan rekomendasi penelitian ini adalah : 1. Pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap kerja sama operasi KSO yang terjadi dalam pembangunan HTI untuk mencegah adanya penguasaan usaha pembangunan HTI 2. Perlu dicari alternatif pengganti dalam mengatasi kesulitan finansial pemegang IUPHHK-HT selain kerjasama operasi KSO DAFTAR PUSTAKA Anggraini, AM. 2003. Pendekatan “Per se illegal” dan Rule of Reason dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disertasi. Depok. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia Barr C. 1999. Discipline and Accumulate State Practice and Elite Consolidation in Indonesia Timber Sector 1967−1998 thesis. Cornell University Badan Pemeriksa Keuangan. 2009. Laporan Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan. Jakarta Berger P and Luckmann T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Hasan Basri, penerjemah. Jakartas: LP3ES. Terjemahan dari: The Social Construction of Reality. A Treatise in The Sociology of Knowledge. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia, Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986-2002. Bogor ID. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Food and Agricultural Organization FAO. 2000. Global Resources Assesment 2000: Main Report. FAO. Genewa Grant P. 2012. Can Political Science Contribute to Agricultural Policy?. Policy and Society 312012:271-279 Gunawan K. 2004. The Politic of The Indonesian Rain Forest, A Rise of Forest Conflict in East Kalimantan During Indonesia’s Early Stage of Democratisation. Cuvillier Verlag. Gottingen. Iskandar U, Ngadiono, Nugraha N. 2003. Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan. Arivco Press. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta Mankiw G, Quah E and Wilson P. 2012. Pengantar Ekonomi Mikro. Barlev NH, penerjemah: Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari: Principles of Economics: An Asian Edition volume 1. Mallarangeng R. 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986−1992. Gramedia. Jakarta Mburu J. 2002. Collaborative Management of Wildlife in Kenya: An Empirical Analysis of Stakeholders Participation, Cost and Incentives. Socioeconomic Studies on Rural Development, Vol 130, Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG Media Data Riset. 2010. Progres Pasar Industri Pulp dan Kertas Indonesia, 2010. Media Data Riset. Jakarta Rahbini, D. 2006. Ekonomi politik dan Teori Pilihan Publik. Ghalia Indonesia. Bogor Rimbawan TD. 2012. Hubungan Negara dan Pelaku usaha di Era Reformasi, Studi Kasus Bisnis Grup Bakri 2004−2012disertasi. Depok. Universitas Indonesia. Shively P. 1991. Power and Choise: An Introduction to Political Sceience. McGraw-Hill Inc. Srihadiono U. 2005. Hutan Tanaman Industri:Skenario Masa Depan Indonesia. PT Musi Hutan Persada dan Wana Aksara. Palembang-Banten Varian H. 1992. Microeconomic Analysis Third Edition. W.W. Norton Company. New York, London Williamson, OE. 2008. Transaction Cost Economics In: Menard C, Shirley MM, editors. Handbook of New Institutional Economics. Heidenberg: Springer- Verlag Berlin Heidenberg. Pp 41-65 World Report Institute WRI. 2001. Report World Resources Institute. Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing. Malang

VI. PASAR KAYU BAHAN BAKU PULP KERTAS