37
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Asal Mula dan Kegunaan Sepu’
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai masalah yang
diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula Sepu’ dan
kegunaannya dalam masyarakat Toraja. S epu’ dalam bahasa Indonesia berarti
’kantong’ yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang berukuran kecil. Agar lebih mudah di pakai dan praktis untuk dibawa kemana saja dan kapan saja,
pada umumnya Sepu’ berukuran sekitar 30cm x 25cm. Tas tangan khas Toraja ini
terbuat dari pa’tannun kain tenun khas Toraja dengan bahan dasar serat daun nenas
dan kapas, hingga saat ini masih dibuat secara manual. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai empat warna
dasar yang menjadi filosofi hidup masyarakat Toraja, warna-warna tersebut juga diterapkan dalam penggunaan warna kain di tengah masyarakat khususnya dalam
perayaan upacara adat Rambu tuk a’ sukacita dan Rambu solo’ dukacita. Dalam
perayaan Rambu tuka’ warna yang umum digunakan ialah kuning, merah dan putih,
sedangkan dalam peryaan Rambu solo’ ialah warna hitam, merah dan putih.
Penerapan pengunaan warna tersebut tidak hanya melalui pakaian, namun juga pengunaan
Sepu’ tersebut. Dalam masyarakat Toraja,
Sepu’ kantong berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang berukuran kecil untuk kehidupan sehari-hari, namun dalam
38
perayaan upacara adat, Sepu’ berfungsi untuk menyimpan pangan seperti, sirih,
kapur, kalosi pinang, golla-golla permen, rokok, dan lain-lain. Barang-barang tersebut dibawa untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir dalam perayaan, baik itu
dalam upacara Rambu tuka’ ataupun Rambu solo’. Dibeberapa daerah bagian Sa’dan
Toraja Utara juga menggunakan Sepu’ sebagai simbol ziarah bagi keturunan yang
tidak ikut dalam perayaan Rambu Solo’ dan tidak dapat pergi ke liang atau patane
dimana jenazah di kuburkan, Sepu’ digantung di atas tongkonan sebagai wadah
untuk anak cucu meletakkan sesajian yang akan diberikan kepada nenek atau orangtua yang telah meninggal. Di daerah Tallulembangna
1
Makale, warna-warna tersebut masih terikat pada status sosial masyarakatnya.
“lino dolo makpio pa tau. Ya manna den to kain di tannun manual unpake bannang pondan di dasi’ dadi sambuk sia bayu karung
pondan, warnanya krem putih. Sa’ si sidi’ pa tu kain tonna attu , dadi ya to unpakei yamanna to kapala-kapala lan
Rambu solo’ sia Rambu tuka’.…”
Artinya : “Pada zaman dulu, orang-orang masih menggunakan pio
2
. Saat itu hanya ada kain yang ditenun secara manual menggunakan benang
pondan
3
yang dijahit menjadi sarung dan baju karung pondan, dan berwarna krem putih. Karena pada saat itu kain hanya sedikit, jadi
yang menggunakannya hanya para tetua-tetua adat dalam upacara Rambu solo’ dan Rambu tuka’… “
Dalam penjelasan di atas, Bapak Amos
4
mengungkapkan bahwa karena dulu sangat terbatas dalam memproduksi kain, dan bahan yang didapatkan hanya dari
serat daun nenas yang berfungsi sebagai benang, lalu di tenun dan di jadikan kain
1
Sekarang lebih dikenal dengan Kecamatan Makale, termasuk dalam Kabupaten Tana Toraja
2
Pio = daun kering yang digunakan untuk menutupi badan
3
Pondan = Buah nenas
4
A os A daso’ Ra teallo, tetua adat di ka pu g adat Ke’te Kesu’
39
maka dari itu kain-kain tersebut hanya boleh di gunakan oleh orang-orang dari lapisan
Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi sebagai tokoh agama dan kapala lembang kepala desa. Namun sejak datangnya kaum penjajah dari negeri luar, masyarakat
mulai mengenal jenis-jenis kain yang beragam. Umumnya penggunaan Sepu’ dipadu
padankan dengan warna sambu’ sarung yang digunakan oleh seseorang.
Dalam upacara Rambu tuka’, umumnya orang akan menggunakan sambu’ dan
Sepu’ mararang, mabusa, dan mariri ; sedangkan dalam upacara Rambu solo’ orang akan menggunakan
sambu’ dan Sepu’ malotong, mararang, dan mabusa.
Gambar 5.1 : Sepu’ kuno dari bahan pondan
Di daerah Tallulembangna, jika keluarga dari Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi
mengadakan upacara entah itu Rambu tuka’ maupun Rambu solo’ maka keluarga
akan menggunakan warna-warna tersebut dan duduk di atas alang
5
selama upacara berlangsung.
5
Tempat yang berfungsi sebagai lumbung padi di bagian langit-langitnya, dan tempat untuk beristirahat di bagian bawahnya. Alang di bangun tepat berhadapan dengan Tongkonan.
40 “Yake lan upacara aluk todolo, tek na ma’din sitammu tu mariri sia
malotong , sa’ inang senga’ sia mi ya battuananna to. Yake dolo, kenna
den tu mariri sia malotong sitammu lan rambu solo’ atau rambu tuka’
langsung mo male rokko salu raka atau tama pangala’ metamba langan puang matua agi na tek na sengkei deata dao langi’….”
Artinya : “Jika dalam upacara aluk todolo, tidak diperkenankan warna kuning
bertemu dengan warna hitam, karena pada dasarnya kedua warna tersebut memiliki makna yang berbeda. Orang-orang pada zaman dulu,
jika melihat ada warna kuning dan hitam dalam satu upacara entah itu dalam
Rambu solo’ maupun Rambu tuka’, para tetua akan pergi ke tepi sungai atau ke dalam hutan berdoa kepada puang matua agar tidak
mendapat hukuman dewa dari langit….”
Amos menjelaskan lebih lanjut, bahwa pada dasarnya dibeberapa daerah di Toraja sekarang ini mengaku bahwa tidak lagi ada pembedaan strata sosial melalui
penggunaan kain baik itu dari baju adat, sambu’ maupun Sepu’. Namun jika diteliti
lebih dalam, maka akan ditemukan bahwa tiap pemangku kekuasaan dalam satu daerah masih menerapkan penggunaan warna tersebut sebagai penanda identitas
sosial mereka. Tidak dipungkiri jika dalam lembang kampung tertentu jika pemangku kekuasaan hadir dalam perayaan adat, sekalipun dia bukan keluarga dari
tuan rumah, namun untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang memiliki kuasa di daerah itu, ia akan menggunakan baju, s
ambu’ maupun Sepu’ yang berwarna putih atau merah.
Berdasarkan bentuknya, Sepu’ dibedakan atas dua jenis, yaitu Sepu’ biasa dan
Sepu’ disusui. Hal ini dapat dilihat dari motif hiasannya, pada Sepu’ biasa tidak terdapat jahitan di kedua ujungnya, sedangkan pada jenis
Sepu’ disusui terdapat jahitan lancip pada kedua ujungnya.
Dalam perayaan adat, hanya orang-orang tertentu saja yang boleh duduk di atas alang, yaitu keluarga dari tuan rumah dan tamu undangan atau tetua-tetua adat.
41
Bagian ujung yang merujuk pada payudara wanita
Damaris Tang kelangi’, salah seorang pengrajin Sepu’ di daerah Ke’te Kesu’
yang telah menjalani profesi tersebut selama kurang lebih 40 tahun menjelaskan, perbedaan tersebut memiliki arti tersendiri, yang ditujukan kepada
penggunanya. Pada Sepu’ biasa, ditujukan untuk digunakan oleh laki-laki,
sedangkan Sepu’ disusui digunakan oleh perempuan.
Gambar 5.2 : Sepu’ disusui untuk perempuan
Sumber : www. bisnistoraja.blogspot.co.id
“Disusui itu artinya sama dalam bahasa Indonesia, kedua ujung tas tersebut melambangkan bentuk susu perempuan payudara. Untuk
membedakan Sepu’ yang digunakan wanita dan laki-laki yah dengan
model yang seperti itu.”
Sepu’ biasa yang ditujukan untuk digunakan oleh laki-laki umumnya tidak memiliki model tertentu atau polos, namun ada juga beberapa yang terdapat
tambahan jahitan kain tenun dengan posisi horizontal di bagian atas Sepu’.
Sedangkan pada Sepu’ disusui, selain bentuk di kedua ujungnya, juga terdapat
tambahan jahitan kain tenun atau manik-manik dengan posisi horizontal di bagian atas
Sepu’. Selain itu Damaris juga menjelaskan secara singkat, mengapa ada Sepu’
42
yang diberikan hiasan manik-manik namun juga ada yang di jahitkan kain tenun biasa.
Gambar 5.3 : Sepu’ untuk Laki-laki
Sumber : www.tokopedia.com
“kalau dulu itu semuanya sama saja, sama-sama pakai kain karung atau kain tenun. Sekarang ada yang pakai manik-manik itu hanya
tambahan hiasan saja. Selain itu, kan salah satu penanda perhiasan perempuan itu kan adalah kandaure yang terbuat dari manik-manik.
Yah dengan kata lain, manik-manik pada
Sepu’ itu sebagai hiasan agar cantik dilihat seperti kalau perempuan toraja yang terlihat cantik
menggunakan kandaure”
Seiring dengan berkembangnya zaman, keberadaan Sepu’ sebagai salah satu
aksesoris adat dalam masyarakat Toraja perlahan mulai semakin diminati oleh masyarakat Toraja bahkan wisatawan dalam dan luar negeri, bahkan sekarang ini
Sepu’ tidak hanya digunakan dalam perayaan adat, namun untuk kehidupan sehari- hari.
Sepu’ secara sepintas memang bukanlah benda yang memiliki nilai sakral yang menjadi patokan kepercayaan masyarakat Toraja, namun dalam penelitian ini,
peneliti menemukan bahwa dibalik ketidak-sakralan tersebut, terdapat pesan yang
43
tersembunyi dan tersirat dalam aksesoris berbentuk tas ini dan belum terkuak ke permukaan.
5.2 Analisis Makna pada Sepu’ dengan Menggunakan Teori Roland Barthes