47
jawab masing-masing. Jika melihat keberadaan manusia baik itu dari model, motif, maupun warna
Sepu’ yang membedakan gender dan status sosial, namun semua
Sepu’ memiliki model garis merah yang sama.
5.2.2 Makna dibalik Warna Sepu’
a. Makna denotasi warna Sepu’
Warna Sepu’ pada umumnya terdapat empat jenis warna, dan
warna-warna tersebut berdasarkan pada warna dasar dalam masyarakat Toraja, yaitu mabusa putih, mararang merah, mariri kuning dan
malotong hitam. b.
Makna konotasi warna Sepu’ Berdasarkan
warna di
atas, masing-masing
warna mereprentasikan status sosial penggunanya dalam masyarakat. Warna
mabusa putih yang melambangkan warna tulang sebagai simbol kehidupan manusia, yang mana warna tersebut juga dapat berarti sebagai
lambang kesucian, kemurnian dan kebijaksanaan seseorang dari tutur kata dan perilakunya yang tidak bercela. Warna mararang merah juga
melambangkan warna darah manusia sebagai simbol kehidupan. Selain itu juga dapat diartikan sebagai warna api yang membara, semangat
seorang pemberani yang berapi-api. Sedangkan pada warna mariri kuning,
warna yang
melambangkan kebahagiaan,
sukacita,
48
merepresentasikan warna matahari yang bersinar, melambangkan sebuah kebebasan.
Gambar 5.5 : sepu’ mabusa dan sepu’ malotong
Sumber : www.imgrum.nettagkangentoraja
Terakhir yaitu warna malotong hitam, warna yang melambangkan kegelapan, kematian, kedukaan, namun juga dapat dilihat
sebagai warna yang memiliki arti adanya kehidupan yang terbelenggu dan tidak merdeka atau bebas.
c. Mitos
Bagi masyarakat Toraja, terdapat empat jenis warna yang menjadi falsafah hidup masyarakat Toraja yaitu mabusa putih,
mararang merah, mariri kuning, dan malotong hitam. Masing- masing warna tersebut merepresentasikan strata sosial yang terdapat
dalam lingkungan masyarakat Toraja. Warna mabusa putih, merupakan warna yang diperuntukkan
untuk kaum Tana’ Bulaan, Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan
tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk atau dapat
49
dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, golongan ini adalah para pandita-pandita
pendeta yang dipercaya sebagai keturunan yang ditunjuk oleh Puang Matua sebagai orang-orang yang suci, bijaksana baik dari tutur kata dan
perilakunya. Untuk menandakan kesucian dan kebijaksanaan tersebut, diberilah penanda warna putih sebagai simbol jiwa yang bersih dan tidak
bercela. Warna putih juga melambangkan warna tulang manusia sebagai simbol kehidupan. Golongan
Tana’ Bulaan sebagai keturunan yang suci, haruslah bersikap dan bertutur yang baik dan dapat menjadi teladan bagi
masyarakat. Warna mararang merah merupakan warna yang diperuntukkan
untuk kaum yang berasal dari Tana’ Bassi, Tana’ Bassi adalah lapisan
bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima Maluangan Batang atau ditugaskan mengatur kepemimpinan dan melakukan
pencerdasan terhadap rakyat. Dalam hal ini golongan Tana’ Bassi dalam
masyarakat berperan sebagai pengambil keputusan dalam lingkungan adat masyarat Toraja, terutama dalam pelaksanaan upacara adat Aluk
Todolo, sebagai pemimpin keluarga atau kampung, golongan inilah yang diberi kepercayaan untuk memutuskan sesuatu. Seorang pemimpin harus
memiliki jiwa yang berani, dan dalam hal ini, warna merah merupakan simbol untuk jiwa yang berani dan berapi-api. Warna merah juga
melambangkan warna merah darah manusia, simbol kehidupan.
50
Golongan Tana’ Bassi direpresentasikan melalui warna merah,
merah yang berarti berani dan berapi-api, merah yang memiliki arti kehidupan, dimana golongan ini haruslah menjadi orang yang berada
didepan dalam peperangan, pengambil keputusan yang akan menjadi penentu nasib bagi masyarakat didaerah yang ia pimpin. Golongan
Tana’ Bassi lebih dikenal dengan sebutan Anak Patalo yang berarti anak
pemenang.
Gambar 5.6: sepu’ mararang dan sepu’ mariri
Sumber : www.tokopedia.com
Mariri kuning merupakan warna yang diperuntukkan bagi kaum
Tana’ Karurung, Tana’ Karurung adalah lapisan rakyat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung dan juga
merupakan pewaris yang dapat menerima sebagai Pande, yakni tukang- tukang dan orang terampil. Golongan ini merupakan golongan yang
bebas dan tidak memiliki tuan bahkan hamba, golongan ini terdiri dari seniman-seniman yang memiliki jiwa dan pemikiran yang bebas. Warna
51
kuning merepresentasikan hidup golongan Tana’ Karurung, dimana
warna kuning tersebut merupakan simbol dari warna matahari, warna kebebasan yang bersinar, warna yang membawa sukacita, oleh karena itu
golongan yang membawa warna ini berasal dari masyarakat yang membawa ‘hiburan’ bagi orang-orang disekitarnya melalui keterampilan
kesenian yang mereka miliki, baik itu sebagai penyanyi, penari, pemahat, dan lain-lain.
Yang terakhir ialah warna malotong hitam, warna ini diperuntukkan bagi kaum
Tana’ Kua-kua, Tana’ Kua-kua adalah lapisan rakyat yang paling bawah hamba yang dapat menerima tanggung jawab
sebagai pengabdi atau biasa disebut Matutu Inaa. Golongan ini menjadi hamba bagi golongan
Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi. Warna hitam dalam kepercayaan masyarakat Toraja, sebenarnya berasal dari arang belanga.
Sekalipun dalam pengertian umumnya warna hitam merupakan lambang kedukaan yaitu kegelapan dan kematian, namun melihat warna hitam
sebagai pengunaan dalam bentuk kain dan sebagai penanda strata sosial, warna hitam diartikan sebagai warna kegelapan, tidak mengandung
kesucian, keberanian bahkan sukacita didalamnya. Warna yang melambangkan bayangan yang selalu mengikuti tuannya. Oleh karena
itu, golongan Tana’ kua-kua yang tidak memiliki kebebasan seperti para
seniman dan keberanian seperti para Anak Patalo, bahkan tidak memiliki jiwa yang suci untuk menjadi teladan, berada pada lapisan paling bawah
52
dalam tatanan struktur sosial masyarakat Toraja. Dimana para kaum hamba ini selalu menjadi bayangan bagi para tuannya bahkan hingga
tuannya masuk kedalam liang batu.
5.2.3 Makna dibalik Motif Sepu’