Respons Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) Terhadap Jenis dan Waktu Aplikasi Elisitor

35

DAFTAR PUSTAKA
Al-Tawaha, A.R.M., Seguin, P., Smith, D. L., and Beaulieu, C. 2005. Biotic
elicitors as a means of increasing isoflavone concentration of soybean
seeds. Annals of Applied Biology 146, 303–310.
Al-Tawaha, A.R.M . 2006. Factors Affecting Isoflavone Concentration in
Soybean (Glycine max L.). Thesis. Mc Gill University, Macdonald
Campus Ste-Anne-de-Bellevue, QC, Canada.
Al-Tawaha, A.R.M dan Ababneh, F. 2012. Effects of Site and Exogenous
Application of Yeast Extract on the Growth and Chemical Composition of
Soybean. International Conference on Agricultural, Environment and
Biological Sciences (ICAEBS'2012), Phuket.
Andayani, H. 2009. Konsistensi Pengawasan. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Atun, S. 2009. Potensi Senyawa Isoflavon Dan Derivatnya Dari Kedelai
(Glycine Max. L.) Serta Manfaatnya Untuk Kesehatan. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA,
Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.
Badan Litbang Pertanian. 2014. Badan Litbang Pertanian. 2014. Kedelai. Dikutip
dari http://www.Kedelai.sumut.litbang.deptan.go.id. Diakses pada Tanggal

2 Maret 2016.
Ebook Pangan. 2006. Karakteristik Kedelai Sebagai Bahan Pangan Fungsional.
Produksi : eBookPangan.compdf. Diakses pada tanggal 18 Maret 2016.
Eliwati, S. 2014. Metabolit Pegagan. Tinjauan Pustaka. Dikutip dari
http://usurepository.ac.id. Diakses pada tanggal 18 Maret 2016.
Fehr, W.R., C.E. Caviness, D.T. Burmood and J.S. Pennington. 1971. Stages of
development descriptions for soybean. Crop Sci., 11: 929–930.
Gardner FP, Brent RP, dan Roger LM. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Herawati dan Susilo (Penerjemah). Jakarta: UI Press.
Habibah, N. A. 2009. Efektivitas Penambahan Elisitor Asam Jasmonat dalam
Peningkatan Sintesis Senyawa Bioaktif Andrografolid pada Kultur
Suspensi Sel Sambiloto. Biosaintifika Vol. 1(1):11-18.
Handayani, S. 2008. Kandungan Senyawa Isoflavon Dalam Tempe dan
Manfaatnya Bagi Kesehatan. Tim Ppm Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

36


Hardiatmi, J.M.S., 2009. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza Untuk Memacu
Pertumbuhan Tanaman Hutan. Dikutip Dari http://unsri.ac.id. Diakses
pada tanggal 5 Maret 2016.
Haryadi,
P.
2011.
Studi
Kelarutan
Kitosan.
Dikutip
http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

Dari

Hirano, S., M. Hayashi, S. Okuno. 2000. Soybean seeds surface-coated with
depolymerised chitins: chitinase activity as a predictive index for the
harvest of beans in field culture. Journal of the Science of Food and
Agriculture 81:205-209.
Hoerussalam., A. Purwantoro dan A. Khaeruni. 2013. Induksi Ketahanan

Tanaman Kedelai Terhadap Penyakit Bulai Melalui Seed Treatment Serta
Pewarisannya Pada Generasi S1. Ilmu Pertanian Vol. 16 (2):42 – 59.
Ianca, B.F. 2010. Pengaruh Perlakuan Kitosan Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Kedelai (Glycine Max) Selama Fase Vegetatif Dan Awal Fase Generatif.
Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irwan, A. W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai. Fakultas Pertanian. Universitas
Padjajaran. Jatinangor.
Kartasapoetra, A. G. 1998. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan Daerah Tropik.
Bina Aksara. Jakarata.
Kusfebriani. 2010. Makalah Fisiologi Tumbuhan : Perkecambahan dan Dormansi.
FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Jakarta.
Lee, H.I., J.H. Lee, K. H. Park, D. Sangurdekar and W. S. Chang. 2012. Effect of
soybean coumestrol on Bradyrhizobium japonicum nodulation ability,
biofilm formation, and transcriptional profile. Appl. Env. Microbiol.
78(2):2896–2903.
Namdeo A. G. 2007. Plant Cell Elicitation for Production of Secondary
Metabolites. Pharmacognosy Reviews Vol 1, Issue 1.
Nge KL, New N, Chandrkrachang S, Stevens WF. 2006. Chitosan as a growth
stimulator in orchid tissue culture. J. Plant Scie. 170: 1185-1190.

Ohta K, Morishita S, Suda K, Kobayashi N, Hosoki T. 2004. Effects of chitosan
soil mixture treatment in the seedling stage on the growth and flowering of
several ornament plants. J. Hort Scie .73: 66-68.
Prihatman. 2000. Kedelai (Glycine max L.). Dikutip dari http ://www.ristek.go.id.
Diakses pada tanggal 22 Februari 2016.

Universitas Sumatera Utara

37

Stell, R. G. D. Dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Penterjemah
Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Sulastri, S. 2014. Bab I. Dikutip dari http://unsri.ac.id. Diakses pada tanggal 24
Maret 2016.
Then, K. 2001. Komplementasi Kedelai dengan Beras Untuk Pembuatan Tempe.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Uthairatanakij A, Silva JAT, Obsuwan K. 2007. Chitosan for improving orchid
production and quality. J. Orchid Sci and Biotech. 1 : 1-5.
Widyastuti, D. 2015. Pengaruh Kolkisin Dan Asam Metil Jasmonat Terhadap
Induksi Embriogenesis Mikrospora Brugmansia Candida Pers. Serta

Analisis Golongan Senyawa Alkaloid Berdasar Metode Kromatografi
Lapis Tipis. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dikutip dari http://etd.repository.ugm.ac.id.Diakses pada tanggal 31 Maret
2016.
Yuliani, Y. 2015. Asam Salisilat. Dikutip dari http://unsri.ac.id. Diakses pada
tanggal 18 Maret 2016.
Zyrex. 2012. Aplikasi Chitosan Pada Bidang Pertanian. Dikutip dari
http://unsri.ac.id. Diakses pada tanggal 18 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara

16

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan
laut, mulai bulan April 2016 sampai dengan Juli 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Anjasmoro sebagai

objek yang akan ditanam dan diamati, top soil sebagai media tanam, polibeg
sebagai wadah media tanam, label sebagai penanda, inokulan Bradyrhizobium sp,
pupuk Urea TSP dan KCl untuk pemupukan dasar, elisitor (asam salisilat, methyl
jasmonat, kitosan) sebagai perlakuan yang akan diaplikasikan pada tanaman
kedelai, air untuk menyiram tanaman dan bahan-bahan lain yang mendukung
penelitian ini.
Alat yang digunakan yaitu cangkul untuk membersihkan gulma pada lahan
rumah kassa, meteran untuk mengukur, alat-alat laboratorium untuk membuat
larutan elisitor, handsprayer untuk mengaplikasikan elisitor, gembor untuk
menyiram, gunting untuk memotong, timbangan analitik untuk menimbang bobot
yang akan ditimbang, jangka sorong digital untuk mengukur diameter batang,
oven untuk mengeringkan, serta alat pendukung lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial
dengan 2 faktor :
Faktor I : Jenis Elisitor (E) dengan 4 jenis, yaitu :
E0 : Kontrol

Universitas Sumatera Utara


17

E1 : Asam Salisilat (0,5 mM)
E2 : Methyl Jasmonat (0,5 mM)
E3 : Kitosan (1 mg/mL)
Faktor II : Waktu Aplikasi Elisitor (T) dengan 2 fase, yaitu :
T1 : V4 (3 daun trifoliate)
T2 : R3 (pembentukan polong)
Sehingga diperoleh 8 kombinasi perlakuan, yaitu :
E0T1

E 1T 1

E 2T 1

E 1T 2

E 2T 2

E3T1

E0T2
E3T2
Jumlah ulangan

: 4 ulangan

Jumlah plot

: 32 plot

Jumlah tanaman/plot

: 3 tanaman

Jumlah sampel per plot

: 3 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya


: 96 tanaman

Jumlah tanaman seluruhnya : 96 tanaman
Jarak antar plot

: 30 cm

Jarak antar blok

: 50 cm

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan
model linear sebagai berikut :
Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk
i=1,2,3,4 j=1,2,3,4 k=1,2
dimana :

Universitas Sumatera Utara

18


Yijk : Data hasil pengamatan dari unit percobaan blok ke-i dengan perlakuan
jenis elisitor jenis ke-j dan waktu aplikasi fase ke-k
μ

: Nilai tengah

ρi

: Efek blok ke-i

αj

: Jenis elisitor pada jenis ke-j

βk

: Efek perlakuan waktu aplikasi elisitor pada fase ke-k

(αβ)jk : Efek interaksi dari jenis elisitor pada jenis ke-j dan waktu aplikasi elisitor

pada fase ke-k
εijk

: Galat dari blok ke-i jenis elisitor pada jenis ke-j dan waktu aplikasi elisitor

pada fase ke-k.
Jika dari hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka
dilanjutkan dengan Uji Beda Rataan berdasarkan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1995).

Universitas Sumatera Utara

19

PELAKSANAAN PENELITIAN
Persiapan Lahan
Areal lahan penelitian yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari
gulma dengan menggunakan alat-alat seperti cangkul.
Pengisian Polibeg
Pengisian polibeg dilakukan dengan media tanam berupa top soil sebanyak
10 kg pada setiap polibeg.
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan menanam benih kedelai varietas Anjasmoro
yang telah diinokulasikan dengan Bradyrhizobium sp selama 10 menit dengan 2
benih per lubang tanam.
Pemupukan Dasar
Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan pupuk Urea 50 kg/ha
(0,25 g/polibeg), TSP 100 kg/ha (0,50 g/polibeg) dan KCl 75 kg/ha (0,375
g/polibeg).
Penjarangan
Penjarangan dilakukan pada 2 MST dengan menyisakan satu tanaman
yang pertumbuhannya terbaik dengan cara memotong salah satu tanaman.
Pengaplikasian Elisitor
Pengaplikasian elisitor dilakukan selama tanaman berada pada fase V4
(3daun trifoliate) dan R3 (pembentukan polong) pada pukul 17.00 WIB dengan
cara

penyemprotan

menggunakan

hand

sprayer

yang

terlebih

dahulu

dikalibrasikan volume semprotnya.

Universitas Sumatera Utara

20

Pemeliharaan Tanaman
Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pada sore hari.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma untuk
mengendalikan gulma. Tumbuhan pengganggu perlu dikendalikan agar tidak
menjadi saingan bagi tanaman utama dalam hal penyerapan unsur hara serta untuk
mencegah serangan hama dan penyakit.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan cara manual
yaitu dengan ditangkap dan dibuang serta bagian tanaman yang terserang penyakit
dipotong.
Panen
Panen dilakukan pada saat kedelai berumur 90 hari setelah tanam dengan
kriteria panen dapat dilihat dengan warna daun mulai menguning dan kemudian
rontok. Panen dilakukan dengan cara memotong 5 cm di atas pangkal batang
utama dengan menggunakan sabit / gunting.
Peubah Amatan
Jumlah Cabang Produktif (cabang)
Jumlah cabang produktif adalah jumlah cabang yang memiliki polong
pada setiap tanaman dihitung dengan menghitung jumlah cabang tersebut pada
saat sebelum dilakukan pemanenan.

Universitas Sumatera Utara

21

Jumlah Polong Berisi (polong)
Jumlah polong berisi dihitung dengan cara menghitung semua polong yang
terbentuk dan berisi biji pada setiap tanaman. Pengamatan dilakukan pada saat
panen.
Jumlah Polong Hampa (polong)
Jumlah polong hampa dihitung dengan cara menghitung semua polong
yang terbentuk namun tidak berisi biji pada setiap tanaman. Pengamatan
dilakukan pada saat panen.
Jumlah Biji per Tanaman (biji)
Jumlah biji per tanaman dihitung pada setiap tanaman dengan mengupas
polong terlebih dahulu yang dilakukan pada saat panen.
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
Bobot kering biji per tanaman dihitung dengan menimbang bobot biji per
tanaman dengan timbangan analitik. Biji yang ditimbang adalah biji yang telah
dijemur di bawah sinar matahari selama 2 hari.
Bobot Kering 100 Biji (g)
Bobot kering 100 butir biji dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Bobot kering 100 biji (g) = Bobot biji per tanaman (g)
x 100%
Jumlah biji per tanaman (biji)
Bobot Brangkasan (g)
Bobot brangkasan dihitung dengan menimbang seluruh bobot kering akar,
tajuk, dan kulit polong menggunakan timbangan analitik.
Bobot Brangkasan (gr) = Bobot kering akar tajuk dan kulit polong (g)
jumlah tanaman

Universitas Sumatera Utara

22

Indeks Panen (gr)
Indeks panen dihitung dengan menggunakan rumus :
Indeks panen =

Bobot kering biji per tanaman (gr)
Bobot kering biji per tanaman (gr) + Bobot brangkasan (gr)

Universitas Sumatera Utara

23

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5-20) diketahui bahwa perlakuan
jenis elisitor berpengaruh nyata terhadap jumlah biji per tanaman. Perlakuan
waktu aplikasi elisitor berpengaruh nyata terhadap bobot brangkasan. Interaksi
antara jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor berpengaruh nyata pada bobot
brangkasan.
Jumlah Cabang Produktif (cabang)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5-6) diketahui bahwa perlakuan
jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah cabang produktif.
Jumlah cabang produktif dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah cabang produktif (cabang) dengan perlakuan jenis elisitor dan
waktu aplikasi elisitor.
Waktu Plikasi
Jenis Elisitor
Rataan
T1 (V4)
T2 (R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
4,25
4,25
4,25
E1 (Asam Salisilat)
4,52
4,46
4,49
E2 (Methyl Jasmonat)
4,06
4,33
4,19
E3 (Kitosan)
4,50
4,41
4,46
Rataan
4,33
4,36
Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor Asam
Salisilat (E1) menghasilkan jumlah cabang produktif tertinggi yaitu 4,49 cabang
dan terendah pada jenis elisitor Methyl Jasmonat (E2) yaitu 4,19 cabang. Pada
perlakuan waktu apliaksi elisitor R3 (T2) yaitu 4,36 cabang menghasilkan jumlah
cabang produktif yang lebih tinggi daripada V4 (T1) yaitu 4,33 cabang.

Universitas Sumatera Utara

24

Jumlah Polong Berisi (polong)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 7-8) diketahui bahwa perlakuan
jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah polong berisi.
Jumlah polong berisi dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah polong berisi (polong) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T1 (V4)
T2 (R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
46,83
45,92
46,38
E1 (Asam Salisilat)
41,67
49,54
45,61
E2 (Methyl Jasmonat)
34,65
44,38
39,51
E3 (Kitosan)
54,58
52,33
53,46
Rataan
44,43
48,04
Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Kitosan (E3) menghasilkan jumlah polong berisi tertinggi yaitu 53,46 polong dan
terendah pada jenis elisitor Methyl Jasmonat (E2) yaitu 39,51 polong. Pada
perlakuan waktu aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 48,04 polong menghasilkan polong
berisi lebih tinggi daripada V4 (T1) yaitu 44,43 polong.
Jumlah Polong Hampa (polong)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9-10) diketahui bahwa perlakuan
jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah polong hampa.
Jumlah polong hampa dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor dapat dilihat pada Tabel 3.

Universitas Sumatera Utara

25

Tabel 3. Jumlah polong hampa (polong) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Jenis Elisitor
Rataan
T1 (V4)
T2 (R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
13,17
7,92
10,54
E1 (Asam Salisilat)
11,79
7,96
9,87
E2 (Methyl Jasmonat)
10,28
12,90
11,59
E3 (Kitosan)
7,83
20,46
14,15
Rataan
10,77
12,31
Berdasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Kitosan (E3) menghasilkan jumlah polong hampa tertinggi yaitu 14,15 polong dan
terendah pada jenis elisitor Asam Salisilat (E1) yaitu 9,87 polong. Pada perlakuan
waktu aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 12,31 polong menghasilkan polong hampa
lebih tinggi daripada V4 (T1) yaitu 10,77 polong.
Jumlah Biji Per Tanaman (biji)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 11-12) diketahui bahwa
perlakuan jenis elisitor berpengaruh nyata terhadap jumlah biji per tanaman,
sedangkan waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya berpengaruh tidak
nyata terhadap jumlah biji per tanaman.
Jumlah biji per tanaman dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah biji per tanaman (biji) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T2 (R3)
T1 (V4)
E0 (Tanpa Elisitor)
92,00
82,50
87,25a
E1 (Asam Salisilat)
84,96
84,99
84,97a
E2 (Methyl Jasmonat)
66,90
60,85
63,87b
E3 (Kitosan)
91,08
93,06
92,07a
Rataan
83,74
80,35
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf
α=5%

Universitas Sumatera Utara

26

Berdasarkan Tabel 4. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Kitosan (E3) menghasilkan jumlah biji per tanaman tertinggi yaitu 92,07 biji dan
terendah pada jenis elisitor Methyl Jasmonat (E2) yaitu 63,87 biji. Pada perlakuan
waktu aplikasi elisitor V4 (T1) yaitu 83,74 biji menghasilkan jumlah biji per
tanaman lebih tinggi daripada R3 (T2) yaitu 80,35 biji.
Hubungan jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor terhadap jumlah biji per

Jumlah Biji Per Tanaman

tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.
105.00
90.00
75.00

92.00
84.96

91.08

66.90

82.5084.99

93.06
E0 (Tanpa Elisitor)

60.85

60.00

E1 (Asam Salisilat)

45.00

E2 (Metyl
Jasmonat)
E3 (Kitosan)

30.00
15.00
0.00
T1 (V4)
T2 (R3)
Waktu Aplikasi Elisitor

Gambar 1. Hubungan Jenis Elisitor dan Waktu Aplikasi Elisitor Terhadap
Jumlah Biji Per Tanaman (biji)
Bobot Kering Biji Per Tanaman (g)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 13-14) diketahui bahwa
perlakuan jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering biji per tanaman.
Bobot kering biji per tanaman dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor dapat dilihat pada Tabel 5.

Universitas Sumatera Utara

27

Tabel 5. Bobot kering biji per tanaman (g) dengan perlakuan jenis elisitor dan
waktu aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T2 (R3)
T1 (V4)
E0 (Tanpa Elisitor)
9,28
9,37
9,33
E1 (Asam Salisilat)
8,01
10,20
9,11
E2 (Methyl Jasmonat)
6,55
9,54
8,05
E3 (Kitosan)
11,87
9,99
10,93
Rataan
8,93
9,78
Berdasarkan Tabel 5. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Kitosan (E3) menghasilkan bobot kering biji per tanaman tertinggi yaitu 10,93 g
dan terendah pada jenis elisitor Methyl Jasmonat (E2) yaitu 8,05 g. Pada
perlakuan waktu aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 9,78 g menghasilkan bobot kering
biji per tanaman lebih tinggi daripada V4 (T1) yaitu 8,93 g.
Bobot Kering 100 Biji (g)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 15-16) diketahui bahwa
perlakuan jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering 100 biji.
Bobot kering 100 biji dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot kering 100 biji (g) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T1 (V4)
T2 (R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
10,11
10,84
10,47
E1 (Asam Salisilat)
10,69
10,98
10,84
E2 (Methyl Jasmonat)
9,59
16,79
13,19
E3 (Kitosan)
11,50
9,89
10,69
Rataan
10,47
12,13
Berdasarkan Tabel 6. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Methyl Jasmonat (E2) menghasilkan bobot kering 100 biji tertinggi yaitu 13,19 g
dan terendah pada jenis elisitor Tanpa Elisitor (E0) yaitu 10,47 g. Pada perlakuan

Universitas Sumatera Utara

28

waktu aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 12,13 g menghasilkan bobot 100 biji lebih
tinggi daripada V4 (T1) yaitu 10,47 g.
Bobot Brangkasan (g)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 17-18) diketahui bahwa
perlakuan jenis elisitor berpengaruh tidak nyata terhadap bobot brangkasan,
sedangkan waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya berpengaruh nyata
terhadap bobot brangkasan.
Bobot brangkasan dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Bobot brangkasan (g) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi
elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T1 (V4)
T2(R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
11,99ab
10,62bc
11,31
E1 (Asam Salisilat)
12,37ab
14,75ab
13,56
E2 (Methyl Jasmonat)
7,45c
14,85ab
11,15
E3 (Kitosan)
12,99ab
15,11a
14,05
Rataan
11,20b
13,83a
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf
α=5%
Berdasarkan Tabel 7. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Kitosan (E3) menghasilkan bobot brangkasan tertinggi yaitu 14,05 g dan terendah
pada jenis elisitor Methyl Jasmonat (E2) yaitu 11,15 g. Pada perlakuan waktu
aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 13,83 g menghasilkan bobot brangkasan lebih tinggi
daripada V4 (T1) yaitu 11,20 g.
Hubungan jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor terhadap bobot
brangkasan dapat dilihat pada gambar 2.

Universitas Sumatera Utara

Bobot Brangkas (gr)

29

18.00
15.00

12.00

14.7514.8515.11
12.99

11.9912.37

E0 (Tanpa Elisitor)

10.62

E1 (Asam Salisilat)

7.45

9.00
6.00

E2 (Metyl Jasmonat)

3.00

E3 (Kitosan)

0.00
T1 (V4)

T2 (R3)

Waktu Aplikasi Elisitor
Gambar 2. Hubungan Jenis Elisitor dan Waktu Aplikasi Elisitor Terhadap
Bobot Brangkasan
Indeks Panen (g)
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 19-20) diketahui bahwa
perlakuan jenis elisitor, waktu aplikasi elisitor dan interaksi antar keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap indeks panen.
Indeks panen dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan indeks panen (g) dengan perlakuan jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor.
Waktu Aplikasi
Rataan
Jenis Elisitor
T1 (V4)
T2 (R3)
E0 (Tanpa Elisitor)
0,44
0,47
0,45
E1 (Asam Salisilat)
0,38
0,41
0,40
E2 (Methyl Jasmonat)
0,46
0,40
0,43
E3 (Kitosan)
0,48
0,40
0,44
Rataan
0,44
0,42
Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
Tanpa Elisitor (E0) menghasilkan indeks panen tertinggi yaitu 0,45 g dan terendah
pada jenis elisitor Asam Salisilat (E1) yaitu 0,40 g. Pada perlakuan waktu aplikasi
elisitor V4 (T1) yaitu 0,44 g menghasilkan indeks panen lebih tinggi daripada R3
(T2) yaitu 0,42 g.

Universitas Sumatera Utara

30

Pembahasan
Produksi kedelai (Glycine max (L.) Merril) terhadap jenis elisitor
Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa perlakuan jenis elisitor
berpengaruh nyata terhadap jumlah biji per tanaman namun tidak berpengaruh
nyata pada jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa,
bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji, bobot brangkasan dan indeks
panen.
Pada jumlah biji per tanaman perlakuan jenis elisitor berpengaruh nyata,
dimana perlakuan jenis elisitor Kitosan (E3) menghasilkan jumlah biji per
tanaman tertinggi yaitu 92,07 biji dan terendah pada jenis elisitor Methyl
Jasmonat (E2) yaitu 63,87 biji. Hal ini menunjukkan bahwa elisitor mampu
meningkatkan produksi tanaman yang ditunjukkan dengan tingginya jumlah biji
per tanaman yang dihasilkan pada pengaplikasian jenis kitosan. Jumlah biji yang
tinggi ini diduga karena kitosan mengakibatkan aktifnya hormon yang memicu
terbentuknya buah dan biji. Hal ini didukung oleh Al-Tawaha dan Ababneh
(2012) menyatakan bahwa semua perlakuan elisitor meningkatkan hasil biji
kedelai dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan (kontrol). Kitosan dapat
mendorong pertumbuhan tanaman dan akar, dan mempercepat waktu berbunga,
hasil buah, dan bobot buah serta meningkatkan jumlah bunga pada buah anggur.
Proses terbentuknya polong dipengaruhi hormon auksin dan giberelin. Kitosan
mampu merangsang pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan sinyal untuk
sintesis hormon giberelin dan auksin (Ohta et al, 2004; Gardner et al, 1991; Nge
et al, 2006; Uthairatanakij et al, 2007).

Universitas Sumatera Utara

31

Jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa,
bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji, bobot brangkasan, dan
indeks panen, perlakuan jenis elisitor secara statistik menunjukkan pengaruh yang
tidak nyata. Hal ini diduga jenis elisitor yang digunakan kurang efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan generatif tanaman kedelai, sehingga berpengaruh
terhadap produksi tanaman yang dihasilkan. Selain itu kurangnya cahaya yang
diperoleh juga diduga menjadi faktor penyebab. Hal ini dikarenakan adanya
naungan paranet yang digunakan pada rumah kassa. Cahaya yang tidak terpenuhi
pada fase pertumbuhan generatif akan mengakibatkan tanaman akan terus fokus
dalam pertumbuhan vegetatif. Hal ini didukung oleh Gardner et al (1991) Cahaya
dapat merangsang pertumbuhan bunga dan setiap waktu terjadi akumulasi jumlah
cahaya yang masuk ke tanaman, sehingga semakin lama tanaman tersebut terkena
cahaya atau sinar semakin mempercepat dan meningkatkan tumbuhnya bunga.
Faktor yang menentukan keberhasilan elisitasi diantaranya adalah jenis elisitor,
konsentrasi

elisitor,

dan

waktu

kontak

antara

sel

dengan

elisitor

(Al-Tawaha (2012).
Produksi kedelai (Glycine max (L.) Merril) terhadap waktu aplikasi elisitor
Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa perlakuan waktu aplikasi elisitor
berpengaruh nyata terhadap bobot brangkasan namun tidak berpengaruh nyata
pada jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa,
jumlah biji per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji dan
indeks panen.
Pada bobot brangkasan perlakuan waktu aplikasi elisitor berpengaruh
nyata, dimana pada perlakuan waktu aplikasi elisitor R3 (T2) yaitu 13,83 g

Universitas Sumatera Utara

32

menghasilkan bobot brangkasan lebih tinggi daripada V4 (T1) yaitu 11,20 gr. Hal
ini menunjukkan bahwa pengaplikasian elisitor pada fase pertumbuhan R3
merupakan waktu yang tepat dalam peningkatan produksi tanaman kedelai. Fase
V4 merupakan salah satu fase pertumbuhan vegetatif dimana pada buku ke-4
batang utama telah terdapat 3 daun (trifoliate) yang terbuka penuh, sedangkan
fase R3 yakni fase pertumbuhan generatif saat tanaman mulai membentuk polong.
Kefektivan kerja elisitor didalam tanaman dipengaruhi beberapa faktor, salah satu
diantaranya adalah waktu kontak/aplikasi dengan sasaran. Hasil bobot brangkasan
yang tinggi ini diduga karena pada fase R3 elisitor bekerja optimal dalam
memberikan sinyal untuk mensintesis hormon yang merangsang pertumbuhan
generatif tanaman kedelai yang juga berpengaruh pada bobot brangkasan yang
dihasilkan. Hal ini didukung oleh Al-Tawaha (2006) Faktor yang menentukan
keberhasilan elisitasi diantaranya adalah konsentrasi elisitor dan waktu kontak
antara sel dengan elisitor; Al-Tawaha dan Ababneh (2012) Perlakuan elisitor
menyebabkan peningkatan hasil dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan
(kontrol). Hasil terbesar berdasarkan aplikasi daun dengan ekstrak ragi 2 mg/ml
pada fase R3 ditunujukkan dengan peningkatan 25% lebih besar dibandingkan
dengan tanaman tanpa perlakuan
Interaksi jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor terhadap produksi kedelai
(Glycine max (L.) Merril)
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa interaksi antara jenis
eilisitor dan waktu aplikasi elisitor berbeda tidak nyata terhadap bobot brangkasan
namun belum berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah cabang produktif,

Universitas Sumatera Utara

33

jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, jumlah biji per tanaman, bobot
kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji dan indeks panen.
Pada parameter bobot brangkasan interaksi antara jenis elisitor dan waktu
aplikasi elisitor berbeda nyata, dimana interaksi antara perlakuan jenis elisitor
Kitosan dan waktu aplikasi R3 (E3T2) menunjukkan interaksi dengan hasil
tertinggi yaitu 15,11g dan terendah pada interaksi antara perlakuan jenis elisitor
Methyl Jasmonat dan waktu aplikasi V4 (E2V1) yaitu 7,45 g. Pengaruh yang
nyata dengan hasil interaksi yang berbeda tidak nyata ini dapat diduga karena
telah adanya kesinergisan antara jenis elisitor dan waktu aplikasi elisitor yang
digunakan yang ditunjukkan dengan adanya respon yang diberikan kitosan
terhadap fisiologi tanaman pada fase R3 (pembentukan polong) untuk melakukan
proses asimilasi sehingga berpengaruh pada hasil bobot brangkasan. Kesinergisan
ini merupakan salah satu faktor penentu keefektivan kerja elisitor. Hal ini
didukung oleh Ianca (2010) bahwa pemberian kitosan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap biomassa kering tanaman kedelai. Hal ini diduga karena
masing-masing konsentrasi memberikan respon yang berbeda terhadap fisiologi
tanaman kedelai. Al-Tawaha (2012) Faktor yang menentukan keberhasilan elisitasi

diantaranya adalah jenis elisitor, konsentrasi elisitor, dan waktu kontak antara sel
dengan elisitor.

Universitas Sumatera Utara

34

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlakuan jenis elisitor Kitosan nyata menghasilkan jumlah biji per
tanaman tertinggi yakni 92,07 biji.
2. Perlakuan waktu aplikasi elisitor R3 nyata menghasilkan bobot
brangkasan tertinggi yakni 13,83 g.
3. Interaksi antara jenis elisitor Kitosan dan waktu aplikasi R3 nyata
menghasilkan bobot brangkasan tertinggi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jenis elisitor yang lain untuk
mendapatkan jenis elisitor yang tepat dalam meningkatkan produksi kedelai.

Universitas Sumatera Utara

4

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merril.)
Menurut Then (2001), klasifikasi kedelai adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Sub Divisi : Angiospermae, Ordo :
Polypetales,

Famili

:

Leguminoseae,

Genus

:

Glycine,

Spesies

:

Glycine max (L.) Merrill.
Akar kedelai mulai muncul disekitar mesofil. Kemudian akar muncul
kedalam tanah, sedangkan kotiledon akan terangkat ke permukaan tanah akibat
pertumbuhan dari hipokotil. Akar tanaman kedelai terdiri dari akar tunggang dan
akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang. Untuk memperluas permukaan
kontaknya dalam menyerap unsur hara, akar juga membentuk bulu-bulu akar.
Bulu akar merupakan penonjolan dari sel-sel epidermis akar. Pada akar terdapat
bintil-bintil akar yang berkoloni dari bakteri Rhizhobium japonicum yang
terbentuk di akar yang dapat mengikat N, bersimbiosa dengan tanaman
(Irwan, 2006).
Bintil akar dapat terbentuk pada tanaman kedelai muda setelah ada akar
rambut pada akar utama atau akar cabang. Bintil akar dibentuk oleh Rhizobium
japonicum. Akar mengeluarkan triptofan dan substansi lain yang menyebabkan
perkembangan pesat dari populasi bakteri yang menyebabkan akar rambut
melengkung sebelum bakteri menginfeksi ke dalamnya. Gejala ini tidak tampak
apabila infeksi terjadi pada akhir pertumbuhan akar rambut (Hardiatmi, 2009).
Batang kedelai yang masih muda setelah perkecambahan dibedakan
menjadi dua bagian yaitu hipokotil dan epikotil. Hipokotil adalah bagian batang
dibawah keping biji yang belum lepas sampai ke pangkal batang, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

5

epikotil adalah bagian batang yang berada di atas keping biji. Sistem pertumbuhan
batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe determinate adalah tipe
pertumbuhan pucuk batang yang jika tanaman telah berbunga pertumbuhan
batangnya terhenti dan tipe indeterminate adalah pertumbuhan pucuk batang dapat
terus

berlangsung

walaupun

tanaman

telah

mengeluarkan

bunga

(Prihatman, 2000).
Kedelai dapat berbunga ketika memasuki stadia reproduktif yaitu
5 - 7 minggu bergantung pada varietas. Bunga kedelai umumnya muncul pada
ketiak tangkai daun. Jumlah bunga yang ada pada setiap tangkai daun beragam,
antara 2 - 25 bunga. Penyerbukan bunga berlangsung secara sendiri dengan
tepung sari sendiri karena pembuahan terjadi sebelum bunga kedelai mekar
(Hardiatmi, 2009).
Polong pertama kali muncul sekitar 7 - 10 hari setelah munculnya bunga
pertama. Polong berwarna hijau, panjangnya polong muda sekitar 1 cm. Jumlah
polong terbentuk pada setiap ketiak daun sangat beragam, antara 1 - 10 polong
dalam setiap kelompok. Dalam satu polong berisi 1-4 biji. Bentuk biji kedelai
pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar bulat agak pipih. Polong pertama
kali muncul sekitar 7 - 10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang bulu
bisa mencapai 1 mm dan lebar 0,0025 mm (Prihatman, 2000).
Daun kedelai berwarna hijau, mempunyai dua bentuk daun, yaitu stadia
kotiledon yang tumbuh saat masih kecambah dengan dua helai daun tunggal dan
daun bertangkai tiga yang tumbuh setelah masa perkecambahan. Daun berbentuk
bulat oval, yang mempunyai bulu. Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar

Universitas Sumatera Utara

6

0,0025 mm. Kepadatan bulu berkisar 3 - 20 buah/mm. Pada varietas Anjasmoro
kepadatan bulu jarang (Hardiatmi, 2009).
Syarat Tumbuh
Iklim
Kedelai dapat tumbuh dengan curah hujan yang merata sehingga
kebutuhan air pada tanaman kedelai dapat terpenuhi. Pada fase perkecambahan air
merupakan hal terpenting. Kebutuhan air akan bertambah sesuai dengan umur
tanaman. Kebutuhan air tertinggi pada saat berbunga dan pengisian polong. Pada
umumnya kebutuhan air tanaman kedelai berkisar 350 - 450 mm selama masa
pertumbuhan kedelai, dan curah hujan dalam hitungan pertahunnya adalah sekitar
1.500 - 2.500 mm/tahun (Prihatman, 2000).
Tanaman menghendaki suhu tanah yang optimal sekitar 30 oC untuk
mendukung

proses

perkecambahannya.

Disamping

suhu

tanah

kedelai

menghendaki suhu lingkungan yang optimal untuk proses pembentukan bunga
yaitu 25 - 28°C. Kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada
ketinggian tempat berkisar 20 - 300 m dpl. Umur berbunga tanaman kedelai yang
ditanam pada dataran tinggi mundur 2 - 3 hari dibandingkan tanaman kedelai yang
ditanam di dataran rendah (Hardiatmi, 2009).
Kedelai termasuk tanaman berhari pendek, artinya kedelai tidak mampu
berbunga jika panjang hari melebihi batas kritis yaitu 15 jam per hari. Oleh sebab
itu pada daerah topik yang panjang hari 12 jam kedelai akan mengalami
penurunan

produksi

karena

masa

berbunganya

menjadi

pendek

(Irwan, 2006).

Universitas Sumatera Utara

7

Tanah
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik jika drainase dan aerase tanah baik,
untuk dapat tumbuh subur kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur, serta
kaya akan bahan organik. Bahan organik yang cukup akan memperbaiki dan
menjadi bahan makanan bagi organisme dalam tanah (Irwan, 2006).
Keasaman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sebab keasaman
tanah mempengaruhi pada jumlah unsur hara yang bisa diserap oleh tanaman,
kondisi keasaman yang baik adalah 6 - 7 pada kondisi ini semua unsur hara paling
banyak tersedia sehingga penyerapan unsur hara menjadi efektif. Jika pH 5,5 atau
pada tanah masam pertumbuhan bintil akar akan terhambat sehingga proses
pembentukan nitrifikasi akan berjalan kurang baik serta kedelai dapat keracunan
alumunium (Kusfebriani, 2010).
Tanah yang dapat ditanami kedelai memiliki air dan hara tanaman untuk
pertumbuhannya cukup. Tanah yang mengandung liat tinggi sebaiknya diadakan
perbaikan drainase dan aerase sehingga tanaman tidak kekurangan oksigen.
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada jenis tanah Alluvial, Regosol, Gumusol,
Latosol dan Andosol (Kartasapoetra, 1998).
Elisitor
Elisitor merupakan senyawa biologis maupun non biologis yang diinduksi
dan menyebabkan fitoaleksin diproduksi. Metode elisitasi dapat dilakukan dengan
menambahkan elisitor abiotik maupun biotik pada sel tumbuhan dengan tujuan
untuk menginduksi secara simultan fitoaleksin dan metabolit sekunder konstitutif
atau metabolit sekunder lain yang secara normal tidak terakumulasi. Elisitasi juga
merupakan suatu respons dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit sekunder.

Universitas Sumatera Utara

8

Dalam hal ini, adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi
pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan
senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk sebagai
respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang merupakan bagian dari
mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibodi yang terbentuk sebagai
respons imun (Al-Tawaha et al., 2005).
Elisitor terdiri atas dua kelompok yaitu elisitor abiotik dan biotik
(Al-Tawaha, 2011). Elisitor biotik dikelompokkan dalam elisitor endogen dan
eksogen. Elisitor endogen umumnya berasal dari tumbuhan itu sendiri, seperti
bagian dari dinding sel (oligogalakturonat) yang rusak oleh suatu serangan
patogen melalui aktivitas enzim hidrolisis atau membran plasma yang mengalami
kerusakan karena luka. Sedangkan elisitor eksogen berasal adalah elisitor yang
berasal dari luar tumbuhan atau luar sel, misalnya elisitor yang berasal dari
dinding sel jamur. Elisitor abiotik yang sering digunakan yaitu metil jasmonat dan
asam salisilat, sedangkan elisitor biotik misalnya kitosan (Namdeo, 2007).
Asam salisilat
Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
penyakit adalah melalui induksi ketahanan sistemik yang dipicu oleh
pengaplikasian elisitor dengan melibatkan akumulasi senyawa tertentu seperti
asam salisilat. Aplikasi asam salisitat sebagai elisitor potensial untuk
meningkatkan ketahanan tanaman (Hoerussalam et al., 2013). Peran asam salisilat
pada tanaman adalah dalam termogenesis dan sebagai pertahanan terhadap
patogen (Yuliani, 2015).

Universitas Sumatera Utara

9

Asam salisilat merupakan signal penting dalam ketahanan tanaman,
digunakan sebagai senyawa pengimbas ketahanan tanaman terhadap penyakit layu
Fusarium. Asam salisilat juga dikenal dapat mempengaruhi berbagai fisiologi dan
biokimia tanaman dan mempunyai peran penting dalam mengatur pertumbuhan
serta produktifitasnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan
asam salisilat pada media sebagai komponen seleksi berkorelasi dengan tingkat
ketahanan tanaman (Sulastri, 2014).
Asam salisilat memegang peranan penting dalam ketahanan sistemik
terinduksi. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat berupa
ketahanan secara fisik maupun kimia. Salah satu bentuk ketahanan secara kimia
adalah asam salisilat. Asam salisilat lebih dominan untuk mengatasi serangan
patogen biotrof (patogen yang aktif pada jaringan hidup) dan virus. Mekanisme
ketahanan melalui jalur asam salisilat berhubungan dengan protein-protein yang
terkait dengan patogenesis (Sulastri, 2014).
Asam salisilat memiliki rumus molekul C 6H4COOHOH berbentuk kristal
berwarna merah muda terang hingga kecokelatan yang memiliki berat molekul
sebesar 138,123 g/mol dengan titik leleh sebesar 156 0C dan densitas pada 250C
sebesar 1,443 g/mL. Asam salisilat memiliki struktur bangun seperti pada gambar
berikut ini:

(Yuliani, 2015).

Universitas Sumatera Utara

10

Methyl Jasmonat
Methyl jasmonat adalah senyawa alami yang disintesis oleh tumbuhan
sebagai respon terhadap adanya serangan patogen. Methyl jasmonat berperan
dalam menginisiasi transkripsi gen-gen yang terlibat dalam mekanisme
pertahanan pada tumbuhan. Senyawa ini merupakan senyawa pengatur penting
yang mempengaruhi respon dan signal tumbuhan yang bekerja dalam
penghambatan atau aktivasi suatu hubungan. Hasil akhir dari proses ini adalah
peningkatan produksi senyawa metabolit sekunder terutama senyawa yang terlibat
dalam mekanisme pertahanan pada tumbuhan (Habibah, 2009).
Methyl jasmonat (MeJA) merupakan salah satu contoh elisitor abiotik
yang secara umum terdapat pada tumbuhan sebagai hormon stres yang berperan
dalam sistem pertahanan ketika ada perlukaan atau serangan herbivora. MeJA
diketahui tetap dapat memberikan respon yang sama pada tumbuhan meskipun
diaplikasikan secara eksogen (Kolewe et al., 2008). Mekanisme MeJA dalam
menginduksi respon pertahanan pada tumbuhan diawali dengan adanya interaksi
antara elisitor dengan suatu reseptor yang terletak pada membran plasma atau
sitosol sel tumbuhan (Widyastuti, 2015).
Jasmonat (Metil jasmonat (MeJA) dan turunannya merupakan regulator
seluler yang terlibat pada berbagai macam proses perkembangan tanaman. Selain
itu jasmonat berperan dalam pertahanan tanaman terhadap serangga, patogen yang
berkaitan dengan biosintesis fitoaleksin dalam respon terhadap patogen dan
elisitor terhadap serangga, dan stress lingkungan seperti kekeringan, suhu rendah,
dan salinitas. Jasmonat juga dapat meningkatkan ekspresi gen yang terlibat dalam
ketahanan tanaman (Eliwati, 2014).

Universitas Sumatera Utara

11

Methyl jasmonat memiliki rumus kimia : C13H2O3 dengan berat molekul 224.2961
g/mol. Rumus bangun methyl jasmonat:

(Widyastuti, 2015).
Kitosan
Kitosan yang terjadi secara alamiah merupakan senyawa yang memiliki
potensi di bidang pertanian berkaitan dengan pengendalian penyakit tanaman.
Molekul-molekul ini ditunjukkan untuk menampilkan toksisitas dan menghambat
pertumbuhan jamur dan pembangunan. Hal tersebut ternyata aktif terhadap virus,
bakteri dan hama lainnya. Fragmen dari kitin dan kitosan diketahui telah
memunculkan kegiatan yang mengarah ke berbagai respon pertahanan tanaman
inang dalam menanggapi infeksi mikroba (Zyrex, 2012).
Kitosan yang diperoleh dengan deasetilasi kitin, mendorong pertumbuhan
tanaman dan akar, dan mempercepat waktu berbunga, hasil buah, dan bobot buah
serta meningkatkan jumlah bunga pada buah anggur (Ohta et al. 2004). Kitosan
merupakan bahan kimia, yang secara konsisten meningkatkan hasil panen. Pada
tanaman, kitosan menyebabkan akumulasi pytoelexin yang menghasilkan respon
antifungi dan meningkatkan perlindungan dari infeksi yang lebih jauh. Kitosan
dapat meningkatkan sinyal untuk sintesis hormon tanaman seperti giberelin.
Selain itu kitosan juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
dengan memberikan sinyal biosintesis auksin melalui jalur independen triptofan
(Uthairatanakij et al., 2007 dalam Ianca 2010).

Universitas Sumatera Utara

12

Kitosan terbukti menghambat penyebaran sistemik virus dan viroid
seluruh tanaman dan untuk meningkatkan respon hipersensitif host terhadap
infeksi. Kitosan menghambat pertumbuhan berbagai bakteri pada tanaman, yang
terbukti efektif dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan Escherichia
coli terutama di media asam. Secara umum kitosan diterapkan pada tingkat 1 mg
/mL, mampu mengurangi pertumbuhan vitro sejumlah jamur dan Oomycetes.
Substratum

perubahan

dengan

kitosan

diketahui

untuk

meningkatkan

pertumbuhan tanaman dan menekan beberapa patogen tular tanah terkenal
(Zyrex, 2012). Hirano et al (2000) juga meyatakan bahwa terjadi peningkatan
hasil biji kedelai sebesar 20% dengan perlakuan kitosan 1 mg mm -1.
Kitosan dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari
deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organism.

(Haryadi, 2011).
Waktu Aplikasi
Akumulasi senyawa isoflavon kedelai tergantung dari kultivarnya dan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama fase pengisian biji. Pertumbuhan dan
perkembangan kedelai umumnya dibagi kepada 6 fase vegetatif (V1-V6) dan 8
fase reproduktif (R1-R8). R1 dan R2 adalah fase pembungaan, sedangkan R3 dan

Universitas Sumatera Utara

13

R4 fase pembentukan polong dan perkembangan biji berlangsung pada fase R5R8 (Lee et al., 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akhir pembentukan komposisi
biji termasuk isoflavon sangat dipengaruhi stres lingkungan pada fase R3 - R7.
Perkembangan biji pada R5 dikarakterisasi dengan cepatnya peningkatan bobot
biji dan kelangsungan akumulasi nutrisi hingga R6. Pada fase R6 terjadi pengisian
polong tetapi masih belum matang. Pada fase R7 kulit biji mulai mengalami
perubahan warna dari hijau ke kuning tergantung dari kultivarnya. Pada poin ini,
terjadi akumulasi berat kering dan biji mengalami matang fisologis. Akumulasi
isoflavon pada biji kedelai berlangsung selama fase akhir pematangan biji, dimana
fase tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air (Fehr et al., 1971).
Semua elisitor menyebabkan peningkatan konsentrasi isoflavon dari
kedelai jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan elisitor). Perlakuan
kedelai dengan elisitor melalui aplikasi daun dilakukan pada berbagai tahap
perkembangan tanaman kedelai. Dari empat elisitor dan masing-masing
diterapkan pada dua tahap perkembangan yang berbeda vegetatif awal (ketika
tanaman memiliki 3 trifoliate daun (V4) dan podding awal (R3)). Aplikasi daun
dengan elisitor dibuat menggunakan botol semprot genggam dengan volume 4 ml
diterapkan per tanaman. Konsentrasi total isoflavon tertinggi terdapat pada tahap
R3 yang mengalami peningkatan 70% dibandingkan dengan kontrol (tanpa
perlakuan elisitor) (Al-Tawaha, 2006).
Perlakuan elisitor menyebabkan peningkatan hasil biji

dibandingkan

dengan tanaman tanpa perlakuan (kontrol). Hasil biji terbesar berdasarkan aplikasi
daun dengan ekstrak ragi 2 mg/ml pada fase R3 ditunujukkan dengan peningkatan

Universitas Sumatera Utara

14

25% lebih besar dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan (kontrol)
(Al-Tawaha dan Ababneh, 2012).
Tabel. fase pertumbuhan tanaman kedelai
Singkatan Stadia

Tingkatan stadia

VE

Stadia pemunculan

VC

Stadia kotiledon

V1

Stadia buku pertama

V2

Stadia buku kedua

V3

Stadia buku ketiga

Vn

Stadia buku ke-n

R1

Mulai Berbunga

R2

Berbunga penuh

R3

Mulai berpolong

R4

Berpolong penuh

R5

Mulai Berbiji

R6

Berbiji penuh

Keterangan
Kotiledon muncul ke
permukaan
Daun unfoliolat berkembang,
tepi daun tidak menyentuh
tanah
Daun terbuka penuh pada
buku unfoliolat.
Daun trifoliolat terbuka penuh
pada buku kedua di atas buku
unfoliolat.
Pada buku ketiga batang
utama terdapat daun yang
terbuka penuh
Pada buku ke-n batang utama
telah. terdapat daun yang
terbuka penuh.

Munculnya bunga pertama
pada buku mana pun pada
batang utama.
Bunga terbuka penuh pada
satu atau dua buku paling atas
pada batang utama dengan
daun yang telah terbuka
penuh.
Polong telah terbentuk
dengan panjang 0,5 cm pada
salah satu buku batang utama.
Polong telah mencapai
panjang 2 cm di salah satu
buku teratas pada batang
utama.
Ukuran biji dalam polong
mencapai 3 mm pada salah
satu buku batang utama.
Setiap polong pada batang
utama telah berisi biji satu
atau dua.

Universitas Sumatera Utara

15

R7

Mulai masak

R8

Masak penuh

Salah satu warna polong pada
batang utama telah berubah
menjadi cokelat kekuningan
atau warna masak.
95 % jumlah polong telah
mencapai warna polong
masak

(Adiswaranto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena
berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya (Andayani, 2009). Tidak
hanya kuantitas tuntutan akan kualitas pangan sebagai pangan fungsional juga
semakin meningkat yang berbanding lurus dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya arti kesehatan yang bersumber dari bahan pangan
alami. Pangan fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya
dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, selain manfaat yang diberikan oleh
zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Pangan fungsional tidak hanya pangan
alamiah tetapi juga pangan yang telah difortifikasi atau diperkaya dan
memberikan efek potensial yang bermanfaat untuk kesehatan jika dikonsumsi
sebagai bagian dari menu pangan (Ebook Pangan, 2006).
Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai nilai gizi cukup tinggi karena
merupakan sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat paling baik. Kedelai
mengandung beberapa fosfolipida penting dan menempati urutan pertama akan
kandungan senyawa isoflavon dan derivatnya. Isoflavon adalah salah satu
golongan dari kelompok flavonoida merupakan golongan senyawa metabolit
sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan, khususnya Leguminoceae
(Handayani, 2008) yang diketahui berfungsi sebagai antioksidan, antitumor,
antikanker dan antiosteroklerosis. Dengan berbagai manfaat dan khasiatnya itu,
sangat disayangkan sampai saat ini negara kita masih belum dapat memenuhi
sendiri kebutuhan akan kedelai (Atun, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2

Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) produksi kedelai nasional tahun 2014 sebanyak
mencapai 892,6 ribu ton biji kering, naik 14,44 persen atau 112,61 ribu ton
dibanding 2013 sebesar 779,99 ribu ton. Data dari Dewan Kedelai Nasional
menyebutkan kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri tahun 2014 sebanyak 2,4
juta ton sedangkan sasaran produksi kedelai tahun 2014 hanya 892,6 ribu ton.
Masih terdapat kekurangan pasokan sebanyak satu juta ton lebih
(Badan Litbang Pertanian, 2014).
Salah satu alternatif upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk
pertanian khususnya kedelai dapat dilakukan dengan pemanfaatan induksi
ketahanan sistemik dengan peningkatan metabolit sekunder yang dipicu oleh
pengaplikasian elisitor tertentu melalui proses elisitasi (Hoerussalam et al., 2013).
Penggunaan

elisitor

telah

diketahui

secara

meluas

dalam

peranannya

meningkatkan metabolit sekunder. Beberapa penelitian terkait dengan penggunaan
elisitor seperti metil jasmonat, asam salisilat, ekstrak yeast, dan kitosan dapat
meningkatkan metabolit sekunder (Namdeo, 2007).
Elisitasi adalah teknik pemberian materi abiotik maupun biotik kedalam
sel tumbuhan sehingga produksi metabolit sekunder tumbuhan meningkat.
Senyawa yang berperan dalam proses elisitasi disebut elisitor. Elisitor
mengaktifkan gen dalam tumbuhan yang mengkode enzim yang diperlukan untuk
sintesis fitoaleksin (Habibah, 2009). Faktor yang menentukan keberhasilan
elisitasi diantaranya adalah konsentrasi elisitor dan waktu kontak antara sel
dengan elisitor (Al-Tawaha, 2006).

Universitas Sumatera Utara

3

Berdasarkan penelitian Al-Tawaha dan Ababneh (2012) menyatakan
bahwa semua perlakuan elisitor meningkatkan hasil biji kedelai dibandingkan
dengan tanaman tanpa perlakuan (kontrol). Hal ini dikarenakan adanya interaksi
positif elisitor dengan tanaman sebagai respon ketahanan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk
meningkatkan produksi tanaman kedelai di Indonesia dengan memanfaatkan jenis
dan waktu aplikasi elisitor yang berbeda sebagai salah satu bentuk intensifikasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui respons produksi kedelai terhadap
jenis dan waktu aplikasi elisitor.
Hipotesa Penelitian
Aplikasi berbagai jenis, waktu aplikasi elisitor dan interaksi keduanya
berpengaruh nyata meningkatkan produksi kedelai.
Kegunaan Penelitian
Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh data dalam penyusunan
skripsi dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi
pihak yang membutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
MAYSYARAH BR SINAMBELA : Response Production of soybean (Glycine max
(L.) Merrill) for Types and Applications Time Elicitor. Supervised by YAYA
HASANAH and ASIL BARUS.
Nowadays soy is not o