Peningkatan Produktivitas Indigofera sp. Sebagai Pakan Berkualitas Tinggi Melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan

(1)

PENINGKATA

PAKAN HIJA

APLIKASI P

IND

IN

TAN PRODUKTIVITAS

Indigofera

sp

HIJAUAN BERKUALITAS TINGGI MELA

SI PUPUK ORGANIK CAIR DARI LI

INDUSTRI PENYEDAP MASAKAN

SUHARLINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

p. SEBAGAI

MELALUI

LIMBAH


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Produktivitas

Indigofera sp. sebagai Pakan Hijauan Berkualitas Tinggi melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2010

Suharlina


(3)

ABSTRACT

SUHARLINA. Improvement of Productivity of Indigofera sp. as High Quality Forage by using Liquid Organic Fertilizer Application originated from Food Flavor Manufacture Waste. Under direction of LUKI ABDULLAH and AHMAD DAROBIN LUBIS.

The food flavor manufacture waste (called sipramin) have a great potential to used as liquid organic fertilizer due to the nutrition contents that needed by plants. The objectives of this research were to evaluate the effect of sipramin as liquid organic fertilizer on soil fertility, re-growth, and herbage productivity of

Indigofera sp. for ruminants. This experiment used factorial completely randomized design, the first factor was fertilizer dosages (0, 10, 20 and 40%) and the second factor was fertilization times (30 and 15 days before harvested [dbh]). The observed variables were soil chemical and biological characteristic, re-growth and forage production, and nutritive value of Indigoferasp. for ruminants. An in vitro experiment was carried out to examine the dry matter digestibility (IVDMD), organic matter digestibility (IVOMD), crude protein digestibility (IVCPD), solubility of calcium and phosphorus ofIndigoferasp. in rumen liquor. The data were analyzed by analysis of variance. The results showed that the soil nitrogen, number of phosphate resolvability bacteria and Rhizobium sp. were significantly different (P<0.05) on 40% fertilizer dosage than the other treatment. The phosphate resolvability bacteria and available phosphate (P available) of 15 dbh were higher than 30 dbh. Sipramin fertilizer of 40% dosage improved C-organic content and carbon to nitrogen (C/N) ratio value of soil and significantly (P<0,01) increased forage production (leaf and stem). The number of stem and stem weight of 40% sipramin and 15 dbh were higher than the others. The leaf and stem ratio of 15 dbh were higher than 30 dbh. There were no significantly different (P>0.05) on stem diameter, chlorophyll content, neutral detergent fiber and acid detergent fiber, however dry crude protein content (CP) and root nodule were significantly different (P<0.01) on 40% fertilizer dosage than the others. There were interaction between dosage and fertilization time on crude protein and phosphorus content. Crude protein and phosphorus content of 40% sipramin at 15 dbh were higher than the others. IVDMD, IVOMD and IVCPD of 40% were significantly (P<0.05) higher than 0% fertilizer dosage. The quantity of soluble calcium and phosphorus were significantly different (P<0.01) on 40% than 0% fertilizer dosage. The addition of 40% sipramin at 15 dbh fertilization time showed the best result to chemical and biological soil characteristic, re-growth and productivity ofIndigoferasp..

Keywords: digestibility, Indigofera sp., liquid organic fertilizer, mineral solubility, sipramin


(4)

SUHARLINA. Peningkatan Produktivitas Indigofera sp. sebagai Pakan Hijauan Berkualitas Tinggi melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH dan AHMAD DAROBIN LUBIS.

Penyediaan pakan secara berkesinambungan, dalam arti jumlah yang cukup dan kualitas yang baik merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas ternak ruminansia. Kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak dalam jumlah besar terutama yang berkadar protein tinggi, mudah dibudidayakan, daya adaptasi tinggi dan produksi biomas tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama pada musim kemarau panjang. Ketesediaan hijauan pakan dapat mempengaruhi peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia.

Manajemen pemberian pupuk sangat penting karena menentukan produksi dan kualitas serta kemampuan tumbuh kembali (regrowth) tanaman untuk menyediakan hijauan pakan yang berkualitas tinggi secara berkesinambungan. Limbah industri penyedap masakan yang merupakan sisa proses asam amino (sipramin) adalah limbah industri hasil pertanian yang memiliki potensi sebagai pupuk organik cair yang murah dan mudah diterapkan pada tanaman hijauan makanan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, meningkatkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan produktivitas

Indigoferasp. untuk penyediaan pakan secara berkesinambungan melalui aplikasi pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai April 2010 di Laboratorium Agrostologi, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Labotarorium Biologi dan Kimia Tanah Institut Pertanian Bogor. Pupuk organik cair yang digunakan adalah sipramin Saritana produksi PT. Sasa Inti, Probolinggo. Derajat keasaman (pH) sipramin dinetralkan dengan penambahan larutan abu gosok (sisa pembakaran sekam) pada konsentrasi 20%.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap pelaksanaan yaitu:

1. Pengaruh pemberian pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan terhadap karakteristik kimia dan biologi tanah, pertumbuhan kembali (regrowth) dan komposisi kimia Indigofera sp. Desain percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 4x2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk organik cair sipramin Saritana yaitu 0 (kontrol), 10, 20 dan 40%. Faktor ke dua adalah waktu pemberian pupuk yaitu 30 dan 15 hari sebelum panen (hsp). Tanaman dipanen pada umur 60 hari. 2. Evaluasi kecernaan in vitro bahan kering dan protein kasar serta kelarutan

mineral Ca dan P. Sampel yang digunakan diambil dari perlakuan terbaik pada percobaan tahap I dan dibandingkan dengan kontrol. Data dianalisis menggunakan uji T.

Analisis terhadap karakteristik kimia dan biologi tanah diperoleh data pemberian pupuk dengan dosis 40% memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05%) terhadap jumlah N total tanah pada awal penelitian. Kandungan N


(5)

total tanah setelah tanaman dipanen 24,37% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian unsur N tersebut diserap oleh tanaman. Pemberian pupuk sipramin Saritana meningkatkan kandungan C-organik 20,11% (P<0,05) setelah tanaman dipanen. Bertambahnya kandungan C-organik tersebut karena ada penambahan bahan organik dari pupuk selama penelitian. Dosis dan waktu pemberian pupuk cenderung berbeda nyata (P=0,09) terhadap rasio C-N tanah. Rasio C-N tanah setelah tanaman dipanen meningkat 40,26% dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk pada awal penelitian. Kandungan P tersedia pada tanah yang diberi 40% pupuk sipramin Saritana dan 15 hari sebelum panen (hsp) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dosis lainnya. Kandungan P tersedia tanah setelah tanaman dipanen cenderung menurun 18,5% (P=0,07) dibandingkan tanah setelah diberi pupuk sipramin. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian P tersedia diserap oleh tanaman. Ketersediaan P dalam tanah erat kaitannya dengan bakteri pelarut fosfat. Jumlah bakteri pelarut fosfat pada pemupukan dengan dosis 40% nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan dosis lainnya. Jumlah bakteri pelarut fosfat pada tanah setelah tanaman dipanen lebih tinggi 29,21% (P<0,05) dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk pada awal penelitian. Tanah yang diberi pupuk 40% memiliki jumlah bakteri Rhizobium sp. lebih kecil (P<0,05) dari perlakuan lainnya. Jumlah bakteri Rhizhobium sp. yang sedikit mengindikasikan bahwa tanah banyak mengandung N bagi tanaman. Jumlah bakteriRhizobiumsp. setelah tanaman dipanen lebih rendah 87,34% (P<0,05) dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk sipramin Saritana pada awal penelitian. Pemberian pupuk sipramin pada 15 hsp memiliki pH sedikit lebih asam (P<0,05) dibandingkan pH tanah yang dipupuk pada 30 hsp. Namun demikian, pH tanah yang telah diberi pupuk sipramin Saritana berada dalam kisaran normal sehingga memungkinkan penyediaan unsur hara bagi tanaman. Nilai pH tanah setelah tanaman dipanen menurun 5,15% (P<0,05) dibandingkan pada awal penelitian. Penurunan pH karena aktivitas mikroba tanah yang menghasilkan asam-asam organik di dalam tanah.

Evaluasi pemberian pupuk sipramin terhadap pertumbuhan kembali (regrowth) memperlihatkan bahwa jumlah cabang pada periode tanam II 37,64% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan periode tanam I, sedangkan bobot cabang tanamanIndigoferasp. yang diberi pupuk sipramin Saritana pada periode tanam II lebih rendah 27,88% (P<0,05) dibandingkan periode tanam I. Pemberian pupuk sipramin Saritana dengan dosis 40% memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis lainnya terhadap pertambahan jumlah cabang dan bobot cabang pada periode tanam II. Diameter batang pada periode tanam II lebih besar (P<0,05) 48,02% dibandingkan periode tanam I. Pertambahan diameter batang dari periode tanam I ke periode tanam II memperlihatkan bahwa tanaman tumbuh dengan baik. Jumlah bintil akar pada pemupukan 30 hsp lebih tinggi (P<0,05) dengan 15 hsp. Penambahan pupuk sipramin sampai 40% menurunkan jumlah bintil akar (P<0,01) sampai 28,94% pada pemberian 30 hsp dan 32,2% pada 15 hsp dibandingkan dengan kontrol. Bobot bintil akar yang pada tanaman yang dipupuk pada 30 hsp cenderung lebih tinggi dibandingkan 15 hsp. Bobot bintil akar erat kaitannya dengan ukuran bintil akar. Semakin besar ukuran bintil akar maka bobotnya semakin besar dan dewasa.Ukuran bintil akar tanaman yang dipupuk dengan dosis 40% terlihat lebih kecil (P<0,01) dibandingkan lainnya.


(6)

Aplikasi pupuk sipramin terhadap legumIndigofera sp. cenderung (P=0,09) meningkatkan produksi daun pada periode tanam I. pada dosis pupuk. Produksi daun pada periode tanam II cenderung lebih tinggi 5,63% (P=0,07) dibandingkan dengan produksi pada periode tanam I (P<0,05). Pemberian 40% sipramin pada periode tanam II menghasilkan produksi daun lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dosis lainnya. Pemberian pupuk sampai 40% meningkatkan produksi tajuk (P<0,01) sampai 20,6%% pada pemupukan yang dilakukan 15 hsp dan 15,23% pada pemupukan yang dilakukan 30 hsp. Perbedaan dosis dan waktu pemberian pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah dan bobot klorofil tanaman

Indigoferasp. Hal tersebut dikarenakan tanaman dipelihara di dalam rumah kaca sehingga intensitas cahaya yang diterima setiap tanaman sama, dan setiap jenis tumbuhan memberi tanggapan yang tidak sama terhadap intensitas cahaya yang diterima. Interaksi dosis dan waktu pemberian pupuk memperlihatkan interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan protein kasar (PK) (P<0,01). Kandungan PK tertinggi (P<0,01) terdapat pada tanaman dengan 40% pupuk sipramin pada 30 dan 15 hsp. Pemupukan dengan dosis 10 dan 20% pada 15 hsp memberikan respon yang lebih baik terhadap kandungan PK dibandingkan 30 hsp. Pemupukan yang dilakukan pada 30 hsp dengan dosis 10-20% tidak berbeda nyata dengan kontrol (0%). Peningkatan dosis pupuk sipramin Saritana cenderung (P=0,08) menurunkan kandungan NDF, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan ADF tanaman Indigofera sp. Apliasi pupuk sipramin tidak berbeda nyata terhadap kandungan kalsium (Ca) tajuk. Interaksi dosis dan waktu pemberian pupuk berbeda nyata (P<0,05) terhadap kandungan fosfor (P) tajuk

Indigoferasp. Pemberian pupuk sipramin Saritana dengan dosis 40% pada 15 hsp memperlihatkan kandungan P yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.

Evaluasi kecernaan in vitro bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO) dan protein kasar (KCPK)Indigoferasp. yang dipupuk sipramin Saritana dengan dosis 40% berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (0%). Penggunaan pupuk sipramin Saritana dengan dosis 40% meningkatkan KCBK, KCBO dan KCPK karena pemberian pupuk sipramin Saritana meningkatkan bahan organik tanaman. Kelarutan mineral Ca Indigofera sp yang dipupuk 40% sipramin tidak berbeda nyata dengan kontrol (P>0,05) akan tetapi kelarutan mineral P cenderung berbeda (P=0,07) terhadap kontrol. Meskipun persentase kelarutan Ca dan P tidak berbeda nyata, namun proporsi Ca dan P dalam setiap tanaman juga mempengaruhi jumlah Ca dan P terlarut. Jumlah mineral Ca dan P terlarut setiap tanaman dengan dosis pupuk 40% masing-masing 23,38 dan 38,93% lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan kontrol. Semakin tinggi jumlah mineral dalam tajuk tanaman, maka semakin besar jumlah mineral terlarut dalam cairan rumen dan semakin besar kemungkinan mineral tersebut tersedia bagi ternak.

Penambahan pupuk sipramin Saritana sampai dosis 40% pada pemupukan 15 hari sebelum panen memberikan hasil terbaik terhadap karakteristik kimia dan biologi tanah, pertumbuhan kembali (regrowth) dan produktivitas legum


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR DARI LIMBAH

INDUSTRI PENYEDAP MASAKAN

SUHARLINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

(10)

Judul Tesis : Peningkatan Produktivitas Indigofera sp. sebagai Pakan Hijauan Berkualitas Tinggi melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan

Nama : Suharlina

NRP : D152080021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Ketua

Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS. M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Peningkatan Produktivitas dan KualitasIndigoferasp. sebagai Pakan Hijauan Berkualitas Tinggi melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair Limbah Industri Penyedap Masakan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2009 sampai April 2010 di daerah Dramaga Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. dan Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc. selaku pembimbing atas kesabaran dan penyediaan waktu selama proses pembimbingan. Ungkapan terima kasih penulis kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. sebagai penguji luar komisi dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS. M.Sc selaku ketua mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Kaltim Prima Coal yang telah memberikan bantuan biaya pendidikan program S2, Ibu Dian Angraeni dan Bapak Opik (teknisi laboratorium) yang telah ikut membantu kelancaran penelitian ini. Ungkapan terima kasih yang tulus kepada orang tua saya Bapak Achmat Patli dan Ibu Marsuna, adik-adikku (Mamat Effendi, Nur Ali Syaflan, Jonnaeli dan Nur Izmi) serta ponakan kecilku Nur Fadiah Aisyah Effendi dan keluarga besarku di Pamekasan atas segala doa, motivasi, dan kasih sayang yang diberikan selama ini. Kalian adalah cahaya, spirit dan inspirasi dalam hidupku. Terimakasih juga kepada teman-teman Pascasarjana program studi INP angkatan 2008, Ni Made Suci Sukmawati S.Pt., Dyahruri Sanjayasari S.Pt., Nur Afni Meta Furniati S.Pt., dan Tiurma Pasaribu S.Si., rekan-rekan Dosen STIPER Kutai Timur, sahabatku Alien Prabandari dan Imam Sanusi atas segala bantuan dan motivasinya, Keluarga Mahasiswa Madura (GASISMA) khususnya Atik dan Nununk yang selalu menjadi “dokter” pribadiku serta teman-teman seperjuangan dalam menuntut ilmu di Pascasarjana IPB atas segala kebersamaan, bantuan, dukungan dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2010


(12)

Penulis dilahirkan di Pamekasan-Madura pada tanggal 14 Juli 1982 dari Bapak Achmad Patli dan Ibu Marsuna. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Pamekasan dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor (TPB–IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Pendidikan sarjana penulis diselesaikan pada tahun 2006. Tahun 2008 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan IPB.

Selama mengikuti program S2, penulis aktif menjadi sekretaris Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) Fakultas Peternakan IPB periode 2008/2009, panitia penyelenggara pelatihan penyusunan dan formulasi ransum (Program WinFeed 2.8), Oktober 2009 dan pelatihan aplikasi perangkat lunak SAS dalam pengolahan data penelitian peternakan, November 2009. Karya ilmiah penulis yang telah dipublikasikan adalah “Kelarutan Mineral Kalsium (Ca) dan Fosfor (P) dan Fermentabilitas Beberapa Jenis Legum Pohon secarain vitro” pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner tahun 2008, dan “Herbage Yield and Quality of Two Vegetative Parts of Indigofera at Different Times of First Regrowth Defoliation” pada Media Peternakan Vol. 33 No 1. Hal 44-49. April 2010.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Hijauan sebagai Pakan Ternak ... 4

2.1.1 Produktivitas hijauan pakan... 4

2.1.2 Kualitas nutrisi pakan hijauan... 4

2.1.3 PotensiIndigoferasp. sebagai pakan hijauan ... 5

2.1.4 Pengaruh pemupukan terhadap produktivitas pakan hijauan 7 2.1.4.1 Peranan nitrogen (N) dalam tanaman... 7

2.1.4.2 Peranan fosfor (P) dalam tanaman ... 8

2.1.4.3 Peranan kalium (K) dalam tanaman... 10

2.1.5 Pupuk organik ... 10

2.1.6 Potensi limbah industri penyedap masakan sebagai pupuk organik ... 11

2.1.7 Peran klorofil dalam fotosintesis... 14

2.2 Kebutuhan Ternak Ruminansia terhadap Mineral ... 15

2.2.1 Fungsi mineral Ca dan P pada ternak ruminansia... 15

2.2.2 Legum pohon sebagai sumber mineral ... 16

2.3 Evaluasi Kualitas Hijauan Pakan... 18

2.3.1 Kecernaan pakan dan faktor yang mempengaruhinya ... 18

2.3.2 Teknik penentuan kecernaan pakan ... 19

2.3.3 Cairan rumen... 19

3 MATERI DAN METODE ... 20

3.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan terhadap Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah, Pertumbuhan Kembali (regrowth) dan Komposisi Kimia Indigoferasp. ... 20


(14)

xiii

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 29

4.1 Keadaan Umum ... 29

4.1.1 Suhu dan kelembaban... 29

4.1.2 Profil daun ... 29

4.2 Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah ... 31

4.3 Pertumbuhan kembali (regrowth) dan komposisi kimia Indigoferasp... 38

4.4 Kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik dan protein kasar serta kelarutan mineral Ca dan P... 51

4.4.1 Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar . 51 4.4.2 Kelarutan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P) ... 53

5 DISKUSI UMUM ... 54

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kandungan unsur hara sipramin kisaran terendah–tertinggi ... 12 2 Konsentrasi mineral Ca dan P beberapa daun legume pohon ... 17 3 Komposisi nutrien sipramin Saritana yang digunakan dalam penelitian

(%BK) ... 20 4 Rataan suhu dan kelembaban rumah kaca selama penelitian ... 29 5 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan N total tanah (%BK).. 31 6 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan C-organik tanah

(%BK) ... 32 7 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap rasio C-N tanah (%BK) ... 33 8 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan P tersedia tanah

(%BK) ... 34 9 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap jumlah bakteri pelarut fosfat

tanah (%BK) ... 35 10 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap jumlah bakteri Rhizobium sp.

tanah (%BK) ... 36 11 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap pH tanah ... 37 12 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap jumlah cabang tanaman

Indigoferasp. ... 38 13 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap bobot cabang tanaman Indigofera

sp. (%BK) ... 40 14 Pengaruh aplikasi sipramin Saritana terhadap diameter batang tanaman

Indigoferasp. ... 41 15 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap jumlah dan bobot bintil akar

tanamanIndigoferasp. ... 42 16 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap rasio daun-cabang tanaman

Indigoferasp. ... 44 17 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap produksi daun tanaman

Indigoferasp. ... 45 18 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap produksi tajuk tanaman


(16)

xv 20 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap komposisi protein kasar (%BK) . 49 21 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan NDF dan ADF (%BK) 50 22 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan kalsium (Ca) dan

fosfor (P) tajukIndigoferasp. (%BK) ... 50 23 Pengaruh aplikasi sipramin Saritana terhadap kecernaan bahan kering,

bahan organik dan protein kasar tanamanIndigoferasp. ... 52 24 Pengaruh aplikasi sipramin Saritana terhadap kelarutan dan jumlah


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Proses pembuatan sipramin Saritana ... 13 2 Profil daunIndigoferasp. yang diberi pupuk Sipramin Saritana dengan

dosis 0% (a), 10% (b), 20% (c), dan 40% (d) ... 30 3 Pengaruh pemberian pupuk sipramin Saritana terhadap ukuran bintil


(18)

1.1 Latar Belakang

Penyediaan pangan merupakan salah satu masalah kritis di negara Indonesia. Kepadatan penduduk yang semakin meningkat menuntut penyediaan pangan juga meningkat terutama daging yang merupakan sumber protein. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada daging 2014. Ternak ruminansia memiliki peranan penting dalam program swasembada daging tersebut. Menurut Suryana (2008) ternak sapi memberikan kontribusi terhadap pemenuhan daging nasional sebesar 26,60% kambing 6,50%, kerbau 4,40%, dan domba 3,40%. Pengembangan ternak ruminansia dapat berjalan dengan baik jika kebutuhan terhadap hijauan pakan tersedia.

Upaya penyediaan hijauan yang berkualitas dan berkesinambungan merupakan suatu masalah spesifik di Indonesia. Penyediaan pakan secara berkesinambungan, dalam arti jumlah yang cukup dan kualitas yang baik merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas ternak ruminansia. Kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak dalam jumlah besar terutama yang berkadar protein tinggi, mudah dibudidayakan, daya adaptasi tinggi, dan produksi biomas tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama pada musim kemarau panjang. Ketesediaan hijauan pakan dapat mempengaruhi peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia. Untuk menanggulangi kekurangan pakan ternak terutama hijauan, perlu dicari alternatif pakan yang tersedia secara berkesinambungan dan tidak bersaing dengan manusia. Leguminosa pohon sebagai tanaman pakan di daerah tropis memegang peranan penting dalam penyediaan pakan hijauan yang bergizi tinggi untuk kebutuhan konsumsi ternak. Salah satu contoh leguminosa pohon yang dapat menghasilkan hijauan sepanjang tahun adalah Indigofera sp.. Tanaman ini merupakan leguminosa pohon yang tersebar di daerah tropis Asia, Afrika dan Amerika Utara serta Selatan. TanamanIndigoferasp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas (Hassenet al.2007).


(19)

2

Upaya peningkatan kualitas dan produktivitas hijauan pakan memerlukan pupuk yang merupakan nutrisi bagi tanaman. Manajemen pemberian pupuk sangat penting karena menentukan produksi dan kualitas serta kemampuan tumbuh kembali (regrowth) tanaman tersebut untuk menyediakan hijau sebagai pakan yang berkualitas tinggi secara berkesinambungan. Pupuk tanaman yang banyak digunakan adalah pupuk kimia yang kaya unsur hara makro. Akan tetapi, penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas tanah dan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan air. Turunnya nilai kualitas tanah mengakibatkan kebutuhan nutrisi tanah semakin meningkat dalam arti kebutuhan terhadap pupuk meningkat. Kebutuhan yang semakin tinggi dan mahalnya harga pupuk tersebut mendorong upaya untuk mencari pupuk alternatif yang lebih ekonomis dan mudah tersedia diantaranya adalah pupuk organik.

Pupuk organik merupakan pupuk yang bahannya berasal dari bahan organik seperti tanaman, hewan ataupun limbah organik. Pupuk organik menjadi bahan untuk perbaikan struktur tanah yang terbaik dan alami. Pemberian pupuk organik pada tanah akan memperbaiki struktur tanah dan menyebabkan tanah mampu mengikat air lebih banyak. Berbagai jenis bahan yang dapat digunakan sebagai pupuk organik misalnya kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, tongkol jagung, baggase tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan hasil pertanian (limbah pembuatan gula, limbah industri minyak kelapa sawit dan limbah industri penyedap masakan) dan limbah kota.

Limbah industri penyedap masakan merupakan limbah industri hasil pertanian yang memiliki potensi sebagai pupuk organik cair yang murah dan mudah diterapkan pada tanaman termasuk hijauan makanan ternak (HMT). Limbah industri penyedap masakan merupakan sisa proses asam amino (sipramin) yang memiliki unsur-unsur makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman terutama nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), karbon organik (C-organik) dan mineral makro lainnya seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S) serta mineral mikro antara lain besi (Fe), mangan (Mn) dan zink (Zn). Limbah industri penyedap masakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dalam upaya penyediaan hijauan yang berkualitas tinggi. Penerapan pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan limbah industri penyedap masakan (sipramin) diharapkan


(20)

dapat memperbaiki karakteristik kimia dan bilogi tanah serta mampu meningkatkan pertumbuhan kembali (regrowth) setelah tanaman didefoliasi, serta dapat meningkatkan produktivitas hijauan makanan ternak sehingga dapat memenuhi penyediaan hijauan secara berkesinambungan.

Evaluasi pengaruh penggunaan pupuk sipramin dapat dilakukan analisis terhadap tanah, produksi dan kualitas HMT, sifat fisik tanaman, kandungan kimia, dan evaluasi nutrisi tanaman. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai aspek agronomi dan nilai nutrisi Indigofera sp. yang ditumbuhkan dengan pupuk organik dari limbah penyedap masakan dan mengevaluasi nilai kecernaanin vitro Indigoferasp. sebagai pakan hijauan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh pemberian pupuk organik cair dari limbah penyedap masakan terhadap produktivitas tanaman

Indigoferasp. Pengaruh tersebut bisa dilihat dari:

1. Sifat kimia dan biologi tanah meliputi pH, jumlah N total, P tersedia, C-organik tanah, bakteriRhizobiumsp.,dan bakteri pelarut fosfat.

2. Pertumbuhan kembali (regrowth) legum Indigofera sp. meliputi jumlah cabang, bobot cabang, diameter batang, rasio daun-cabang, jumlah dan bobot bintil akar.

3. Produktivitas Indigofera sp. meliputi a) produksi bahan kering daun dan tajuk; b) komposisi protein kasar (PK), neutral detergent fiber (NDF) dan

acids detergent fiber (ADF); c) kecernaan in vitro bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), protein kasar (KCPK) serta kelarutan mineral Ca dan P tajukIndigoferasp.


(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hijauan sebagai Pakan Ternak

2.1.1 Produktivitas pakan hijauan

Leguminosa pohon memiliki beberapa karakteristik yang khas antara lain kandungan proteinnya yang tinggi (12,5–20,7%) dengan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput, kandungan mineral (khususnya kalsium dan fosfor) dan vitamin yang tinggi. Selain itu leguminosa pohon mampu mensuplai protein

fermentabeldanby pass karena mengandung zat anti nurisi berupa tannin. Secara ekologis dan ekonomis leguminosa pohon dapat meningkatkan kesuburan tanah, melidungi tanah dari erosi dan merupakan penghasil kayu yang bermutu (Allen & Allen 1981).

Fleming (1973) mengatakan bahwa secara umum kandungan elemen mineral pada leguminosa lebih banyak dibandingkan pada rumput. Mineral kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) pada tanaman leguminosa lebih tinggi dari rumput (Serra et al. 1996). Di daerah tropik kandungan mineral umumnya lebih rendah dibandingkan di daerahtemperate. Konsentrasi rata–rata mineral Ca pada legum untuk daerah tropik dan temperate masing–masing 19,1 dan 14,2 g/kg berdasarkan bahan kering (BK), sedangkan untuk rumput masing–masing 3,8 dan 3,7 g/kgBK. Demikian juga konsentrasi natrium (Na) pada hijauan di daerah tropis 50% lebih rendah dari pada di daerahtemperate.

2.1.2 Kualitas nutrisi pakan hijauan

Kualitas nutrisi umumnya dapat dilihat dari komposisi kimia hijauan. Komposisi kimia dari hijauan pakan terdiri bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan abu (Crowder & Chheda 1982). Untuk melihat komposisi kimia bahan pakan tersebut dilakukan dengan analisis proksimat yaitu metode yang menggambarkan komposisi zat makanan pada suatu bahan makanan. Selain itu untuk melihat komposisi kimia berdasarkan kandungan serat adalah dengan metode Van Soest. Pakan ternak terdiri dari dua fraksi yaitu isi sel dan dinding sel. Dinding sel dibagi lagi menjadi serat kasar yang larut dalam detergen netral (NDF), bagian yang larut dalam detergen asam (ADF) dan lignin. Netral Detergen Fiber (NDF) atau serat detergen netral pada


(22)

dasarnya adalah hemiselulosa dan abu yang tidak larut, sedangkan ADF atau serat detergent asam adalah lignoselulosa dan silica (Van Soestet al.1991).

Komposisi kimia hijauan pakan ternak memegang peranan penting karena dapat menggambarkan kandungan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak. Komposisi kimia pakan sering tidak menggambarkan derajat kecernaan maupun penyerapan zat-zat makanan tersebut oleh ternak. Idealnya hasil analisis kimiawi tersebut selain mencerminkan kandungan zat makanan sekaligus dapat pula mencerminkan ketersediaannya dalam tubuh ternak. Sutardi (1980) menyatakan bahwa isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaitu protein, karbohidrat bukan serat, mineral dan lemak sedangkan dinding sel terdiri atas sebagian besar selulosa, hemiselulosa dan pectin. Jenis-jenis leguminosa mempunyai kandungan protein dan mineral (kalsium dan fosfor) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput (McDonalet al.2002).

2.1.3 PotensiIndigoferasp. sebagai pakan hijauan

Tanaman Indigofera sp. adalah salah satu genus legum pohon terbesar dengan perkiraan 700 spesies, 45 jenis tersebar diseluruh wilayah tropis (Schrire 2005). Beberapa spesies di Afrika dan Asia telah dilaporkan dapat digunakan sebagai hijauan (I. hirsuta, I. pilosa, I. schimperiSyn, I. oblongifolia, I. spicata, I. subulataSyn,danI. trita) dan tanaman penutup tanah (cover crop) (I. hirsuta dan I. trita) (Hassenet al.2007). Tanaman Indigofera sp. representatif sebagai tanaman parenial atau annual, herbal, semak atau pohon berukuran kecil, memiliki habitat di hutan, sabana dan juga di daerah terganggu. Beberapa spesies dikenal sebagai ‘‘anileiras’’ (indigo) karena memiliki genus yang sama dengan indigo yang telah diekstraksi (I. anil L.). Spesies lain, seperti I. arrecata Hochst.ex A.Rich., I. articulata Gouan, I. suffruticosa Mill. dan I. tinctoria L., juga digunakan sebagai bahan pewarna, pakan ternak, pelindung tanah, tanaman penutup humus, kontrol erosi dan tanaman hias (Schrire 2005). Beberapa spesies digunakan untuk pengobatan (antipiretik, pencahar, diuretik, tonik, dan berguna pada serangan ular, lebah dan serangga menggigit lainnya), walaupun kemungkinan menyebabkan toksik pada hewan peliharaan dan sapi (Tokarnia et al. 2000). Tanaman Indigofera sp. mengandung pikmen indigo yang sangat


(23)

6

penting untuk pertanian komersial pada daerah tropik dan sub tropik, selanjutnya dapat digunakan sebagai hijauan pakan ternak dan suplemen kualitas tinggi untuk ternak ruminansia (Haude 1997). Klasifikasi botaniIndigoferasp. adalah

divisi : Spermatophyta

sub divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae

bangsa : Rosales

suku : Leguminosae marga :Indigofera

jenis :Indigofera arrectaL.

Tanaman Indigofera sp. dapat beradaptasi tinggi pada kisaran lingkungan yang luas, dan memiliki berbagai macam morfologi dan sifat agronomi yang sangat penting terhadap penggunaannya sebagai hijauan dan tanaman penutup tanah (cover crops) (Hassen et al. 2006). Ciri–ciri legum Indigofera sp. adalah tinggi kandungan protein dan toleran terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat agronominya sangat diinginkan (Skerman 1982), saat akar terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya untuk merespon curah hujan yang kurang dan ketahanan terhadap herbivor merupakan potensi yang baik sebagai

cover crop (tanaman penutup tanah) untuk daerah semi-kering dan daerah kering (Hassenet al. 2004, 2006). Sekitar 50% jenisIndigoferasp. yang ada beracun dan hanya 30% yang palatable (Strickland et al. 1987), akan tetapi jenis yang

palatable memiliki potensi yang besar sebagai hijauan pakan, sedangkan jenis yang tidak palatable (beracun) sangat cocok sebagai cover crop terutama pada daerah kering, semi kering dan gurun (Hassenet al.2006).

Produksi bahan kering (BK) total Indigoferasp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun (Hassen et al. 2008). Tepung daun

Indigofera sp. mengandung protein kasar (PK) berkisar 22,3–31,1%, NDF 18,9-50,4%, Ca 0,97-4,52%, P 0,19-0,33%, Mg 0,21-1,07%, Cu 9,0-15,3 ppm, Zn 27,2-50,2 ppm, dan Mn 137,4-281,3 ppm dan kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,8-71,7 (Hassenet al.2007).


(24)

2.1.4 Pengaruh pemupukan terhadap produktivitas pakan hijauan

Kandungan nutrisi pada tanaman pakan ternak berkurang seiring dengan bertambahnya umur tanaman terutama pada daun dan batang yang dapat digambarkan dengan peningkatan kandungan serat pada daun dan penurunan rasio daun dan batang (Thapaet al. 1997). Tanaman membutuhkan unsur hara sebagai sumber nutrisi dalam pertumbuhannya sehingga dapat berproduksi secara terus-menerus. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman terutama nitrogen (N), Fosfor (P) dan kalium (K). Ketiga unsur tersebut memiliki peran penting pada tanaman sebagai berikut:

2.1.4.1 Peranan nitrogen (N) dalam tanaman

Nitrogen (N) adalah hara utama tanaman, merupakan komponen dari asam amino, asam nukleid, nukleotida, klorofil, enzim, dan hormon. Nitrogen mendorong per tumbuhan tanaman yang cepat dan memperbaiki tingkat hasil dan kualitas hasil panen melalui sintesis protein. Nitrogen sangat mobile di dalam tanaman dan tanah. Nitrogen diambil dan diserap oleh tanaman dalam bentuk NO3- dan NH4+. Fungsi nitrogen bagi tanaman antara lain: a) diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar; b) berperan penting dalam hal pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis; c) membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik; d) meningkatkan mutu tanaman penghasil daun-daunan; dan e) meningkatkan perkembangbiakan mikroorganisme di dalam tanah. Adapun sumber nitrogen adalah a) fiksasi N dari udara; b) sisa-sisa tanaman dan bahan-bahan organik; c) mikrobia atau bakteri-bakteri; d) pupuk buatan (Urea, ZA dan lain-lain).

Menurut Taiz dan Zeiger (1998) legum dengan bintil akar dapat memanfaatkan baik gas nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amonium dan nitrat. Nitrat mula-mula direduksi menjadi nitrit oleh nitrat reduktase sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase.


(25)

8

2.1.4.2 Peranan fosfor (P) dalam tanaman

Salah satu fungsi fosfor (P) dalam tanaman adalah transfer energi melalui ADP dan terutama ATP sangat penting. Fosfor dalam dilibatkan beberapa mekanisme metabolisme tanaman yang penting misalnya fotosintesis dan respirasi dan juga merupakan komponen penting dari beberapa biomolekul (Malusa & Tosi 2005). Energi yang tersimpan dikeluarkan untuk beberapa transportasi ion dan sintesis molekul-molekul organik. Fungsi utama yang lain dari P adalah sebagai unsur pokok asam nukleat pada DNA dan RNA, membentuk jembatan diantara unit ribonukleat. Sebagai hasil dari peranannya pada struktur asam nukleat, P merupakan unsur essensial di dalam sel, dan konsentrasinya relatif tinggi dalam jaringan meristem. Fosfor juga unsur pokok pada fosfolipid yang berkontribusi pada struktur membran sitoplasma. Biji membutuhkan P dalam jumlah yang relatif besar selama germinasi, dan kebutuhan ini dipenuhi oleh simpanan P dalam bentuk inositol heksafosfat atau Ca atau garam Mg (asam fitat atau fitat) (Whitehead 2000).

Fosfor (P) termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibandingkan nitrogen (N), kalium (K) dan kalsium (Ca). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H2PO4- dan HPO42- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4- lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam, sedangkan pada pH yang lebih tinggi bentuk HPO42- lebih dominan. Disamping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin dan fosfohumat (Havlinet al.1999).

Fosfat yang diserap tanaman tidak direduksi melainkan berada di dalam senyawa organik dan anorganik dalam bentuk teroksidasi. Fosfor organik banyak terdapat dalam bentuk cairan sel sebagai komponen sistem penyangga tanaman. Dalam bentuk organik, P terdapat sebagai: (1) fosfolipid, yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas; (2) fitin, yang merupakan simpanan fosfat dalam biji; (3) gula fosfat, yang merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolism tanaman; (4) nucleoprotein, komponen utama DNA dan RNA inti sel; (5) ATP, ADP, AMP, dan senyawa sejenis, sebagai senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme; (6) NAD dan NADP, merupakan koenzim


(26)

penting dalam proses reduksi dan oksidasi; dan (7) FAD dan berbagai senyawa lain, yang berfungsi sebagai pelengkap enzim tanaman (Salisbury & Ross 1995).

Adenosine triphosphate (ATP) terbentuk melalui proses fosforilasi oksidatif pada asimilasi fosfat oleh tumbuhan. Fosfor yang diasimilasi menjadi ATP dengan cepat segera ditransfer melalui reaksi metabolis berikutnya menjadi berbagai macam bentuk fosfat dalam tanaman, diantaranya gula fosfat, fosfolipid dan nukleotida (Elfiati 2008).

Fosfor organik di dalam tanah terdapat sekitar 50% dari P total tanah dan bervariasi sekitar 15-80% pada kebanyakan tanah, bentuk-bentuk fosfat berasal dari sisa tanaman, hewan dan mikroba. Pada fosfat tersebut terdapat sebagai senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu inositol, fosfolipid, asam nukleat, dan gula fosfat. Tiga senyawa yang disebutkan pertama amat dominan di dalam tanah. Diperkirakan proporsi senyawa ini dalam total P organik adalah inositol fosfat 10-30%, fosfolipid 1-5% dan asam nukleat 0,2-2,5% (Havlinet al.1999).

Ketersediaan P organik bagi tanaman sangat tergantung pada mikroba untuk memineralisasikannya. Namun seringkali mineralisasi ini segera bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh mikroba tanah, terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas dalam tanah meningkat dengan meningkatnya karbon-organik (C-karbon-organik), tetapi juga dipengaruhi oleh pH, kelembaban, temperatur dan faktor lainnya. Dalam kebanyakan tanah total P organik sangat berkolerasi dengan organik tanah sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya total C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik semakin meningkat immobilisasi P. Fosfat anorganik dapat diimmobolisasi menjadi P-organik oleh mikroba dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100% (Havlin et al.1999).

Kekurangan P pada tanaman dapat mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Kekurangan P dapat diamati secara visual, yaitu daun-daun yang tua akan berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen antisianin terbentuk


(27)

10

karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesis protein (Elfiati 2008). Kekurangan P pada daun yang ditandai dengan gejala kematian jaringan (nekrosis) pada daun. Gejala kekurangan P diantaranya ditandai dengan terjadinya nekrosis (kematian jaringan) pada pinggir atau helai dan tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman (Elfiati 2008).

2.1.4.3 Peranan Kalium (K) dalam tanaman

Unsur kalium (K) memegang peranan yang relatif banyak dalam kehidupan tanaman, baik pada membuka dan menutupnya stomata, transportasi unsur hara dari akar ke daun, maupun berbagai proses kerja enzim pertumbuhan dan lain-lain. Di lahan kering, K merupakan adalah unsur yang paling banyak diserap oleh tanaman. Unsur ini berada bebas di dalam plasma sel dan titik tumbuh tanaman, dapat memacu pertumbuhan pada tingkat permulaan, menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan (Tirta 2006).

Unsur kalium berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman terutama pada bagian meristem ujung (pucuk) dan terdapat juga dalam jumlah yang lebih banyak pada jaringan tersebut dibandingkan dengan bagian yang lebih tua. Kalium adalah unsur yang sangat berperan dalam proses fotosintesis maupun translokasi hasil fotosintesis (fotosintat) keluar daun (Wijaya & Wahyuni 2007). Unsur hara K salah satu unsur kimia, yang berperan dalam meningkatkan toleransi terhadap kondisi kering karena mampu mengontrol stomata daun sehingga transpirasi dapat dikendalikan (Tirta 2006). Kekurangan unsur kalium secara

langsung akan mempengaruhi berbagai kondisi internal dalam sel dan jaringan, baik jaringan akar, batang dan daun, maupun reproduktif bunga putik dan buah (Masdar 2003).

2.1.5 Pupuk organik

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa dapat


(28)

berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya. Nilai C-organik tersebut yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik.

Bahan organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik dapat berupa kompos, pupuk kandang, sisa panen, limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Sumber bahan yang beraneka ragam tersebut menyebabkan karakteristik fisik dan kandungan hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap tanah dan tanaman dapat bervariasi.

Pupuk organik atau bahan organik merupakan sumber nitrogen tanah yang utama selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.

2.1.6 Potensi limbah industri penyedap masakan sebagai pupuk organik Limbah industri merupakan bahan sisa yang dikeluarkan akibat proses industri. Industri pengolahan hasil pertanian seperti pengolahan tebu dan kelapa sawit menghasilkan bahan limbah berupa padat atau cair. Beberapa limbah industri hasil pertanian dapat digunakan sebagai pupuk organik yang bisa memperbaiki kesuburan dan produktivitas tanah. Limbah pabrik penyedap masakan dapat diolah menjadi pupuk bagi tanaman, yang disebut sebagai sipramin (sisa proses asam amino). Sipramin adalah sisa fermentasi asam amino (glutamate dan L-lysine) merupakan bahan organik cair yang berasal dari hasil samping pembuatan penyedap masakan (monosodium glutamate atau MSG), dari bahan baku tetes tebu. Ada beberapa sipramin yang biasa digunakan sebagai


(29)

12

pupuk yaitu, (1) Bagitani, produksi PT Cheil Samsung Indonesia, Pasuruan; (2) Amina, produksi PT Ajinomoto Indonesia, Mojokerto; (3) Saritana, produksi PT Sasa Inti, Probolinggo, dan (4) Orgami, produksi PT Miwon Indonesia, Gresik.

Proses kritalisasi (pemurnian) MSG pada sipramin Orgami dan Saritana menggunakan asam klorida (HCl) sedangkan sipramin Bagitani dan Amina selain menggunakan HCl juga menggunakan asam sulfat (H2SO4) dan karbon aktif. Perbedaan dalam penggunaan bahan kimia selama proses fermentasi dan kristalisasi (pemurnian) mempengaruhi kandungan kimia sipramin yang dihasilkan terutama unsur Cl dan SO4. Kandungan SO4 pada sipramin Bagitani dan Amina relatif lebih tinggi dibanding Orgami dan Saritana. Kandungan Cl pada sipramin Saritana lebih tinggi dibanding kedua sipramin lainnya (Anwar & Suganda 2002).

Tabel 1 Kandungan unsur hara sipramin kisaran terendah – tertinggi

Jenis Analisis Sipramin

Amina Bagitani Orgami Saritana

pH (H2O) 4,65-5,45 4,15-5,89 4,30-5,15 5,53-8,50 Bahan Organik % 8,13-12,02 5,72-12,83 12,34-16,10 9,82-12,83 Nitrogen (N-total) % 4,92-5,62 4,71-7,01 4,63-5,94 4,31-6,12 Phosphat (P2O5) % 0,20-0,99 0,14-0,26 0,14-0,36 0,10-0,24 Kalium (K2O) % 1,24-2,70 1,09-1,59 1,08-2,70 1,08-1,40 Natrium (Na2O) % 0,81-1,07 0,12-1,07 0,41-2,53 0,94-5,06 Sulfat (SO4) % 12,32-23,43 10,71-22,0 2,50-5,38 8,57-11,25 Khlor (Cl) % 0,37-3,72 0,62-2,48 1,55-8,07 0,62-3,23 Kalsium (CaO) % 0,16-1,52 0,18-1,57 0,58-1,87 0,19-1,41 Magnesium (MgO) % 0,16-0,23 0,16-0,24 0,19-0,27 0,14-0,21

Besi (Fe) ppm 101-196 75-148 103-184 90-129

Mangan (Mn) ppm 6-14 4-10 7-14 3-10

Tembaga (Cu) ppm 0-3 0-2 0-3 0-2

Seng (Zn) ppm 5-17 4-10 5-18 2-7

Sumber: Premonoet al.(2001).

Sipramin dapat digunakan sebagai salah satu pupuk karena mengandung unsur hara makro N, P K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro seperti Cu, dan Zn (Anwar & Suganda 2002). Selain itu sipramin mengandung bahan organik cukup tinggi (8,1–12,7%) sehingga dapat dimanfaatkan untuk menambah bahan organik tanah (Sofyanet al.1997). Kandungan unsur hara sipramin berdasarkan Premono

et al. (2001) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) syarat mutu pupuk sisa proses asam amino (sipramin) adalah berbentuk


(30)

cair; warna coklat kehi total N minimal 4,0% pembuatan sipramin S

Gam

kehitaman; pH 5,5–6,5; bobot jenis pada suhu 25 4,0% dan bahan organik minimal 8,0% (BSN

Saritana diperlihatkan pada Gambar 1.

ambar 1 Proses pembuatan sipramin saritana

suhu 25oC 1,10–1,20; SN 1999). Proses


(31)

14

2.1.7 Peran klorofil dalam fotosintesis

Klorofil merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan tanaman yang umumnya terdiri dari klorofil a dan b. Klorofil merupakan molekul organik yang kompleks. Molekul klorofil teridiri atas dua bagian yaitu kepala porfirin dan rantai hidrokarbon yang panjang atau ekor fitol. Porfirin adalah tetrapirol siklik yang terdiri dari empat nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai metana disebut porfin (Hopkins 2004). Rumus empiris klorofil a dan b adalah C55H72O5N4Mg dan C55H70O6N4Mg. Perbedaan kedua rumus tersebut terletak pada cincin ketiga, yaitu pada posisi tersebut klorofil a memiliki gugus metil (-CH3) sedangkan klorofil b memiliki gugus aldehid (-CHO).

Fotosintesis merupakan suatu proses metabolisme dalam tanaman untuk membentuk karbohidrat yang menggunakan CO2 dari udara bebas dan air dari dalam tanah dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil. Proses reaksi fotosintesis dalam tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua tahapan: (1) reaksi terang, dan (2) reaksi gelap. Peran klorofil pada tahap reaksi terang yaitu fotosistem I dan fotosistem II yang menyangkut penyerapan energi matahari oleh klorofil pada panjang gelombang 700 nm, penyerapan energi matahari di fotosistem II pada panjang gelombang sekitar 680 nm. Fotosistem II mengandung lebih banyak klorofil b dari pada fotosistem I. Pusat reaksi klorofil pada fotosistem II disebut P680. Fotosistem I merupakan suatu partikel yang disusun oleh sekitar 200 molekul klorofil a, 50 klorofil b sampai 200 pigmen karotinoid dan satu molekul matahari disebut P700(Salisbury & Ross 1995).

Proses fotosintesis yang tidak lengkap tidak akan terjadi pada kondisi yang gelap. Namun jika hal itu terjadi, disebabkan oleh enzim. Enzim ini tidak sensitif terhadap cahaya tetapi sensitif terhadap suhu. Proses reduksi karbondioksida pada karbohidrat melibatkan banyak reaksi enzim. Enzim-enzim yang berperan dalam fotosintesis yang terjadi di dalam kloroplas berhubungan dengan siklus karbon dan air terlarut pada stroma kloroplas. Salah satu enzim yang terdapat dalam daun dengan konsentrasi tinggi yaitu ribulosa bifosfat karboksilase atau disingkat


(32)

2.2 Kebutuhan Ternak Ruminansia terhadap Mineral 2.2.1 Fungsi mineral Ca dan P pada ternak ruminansia

Kekurangan nutrien secara umum merupakan salah satu faktor pembatas paling penting dalam industri peternakan. Kekurangan energi dan protein yang cukup sering dijadikan alasan utama terhadap menurunnya produksi ternak. Namun, beberapa peneliti telah mengamati bahwa ternak kondisi ruminansia kadang-kadang juga memburuk karena pemberian pakan yang berlebihan. Menurut McDowell dan Valle (2000) ketidakseimbangan mineral (kurang atau lebih) di dalam tanah dan hijauan memiliki peran penting yang lama terhadap rendahnya produksi dan masalah reproduksi diantara ternak ruminansia di daerah tropis. Serangan penyakit, bulu rontok, kehilangan pigmen bulu, penyakit kulit, keguguran (abortus), diare, anemia, hilang nafsu makan, tulang abnormal,tetany, dan fertilitas rendah merupakan gejala klinis yang disebabkan kekurangan mineral.

Secara umum mineral dipergunakan dalam memelihara, pertumbuhan, dan pergantian sel–sel dan jaringan yang rusak dalam tubuh ternak (Chase & Sniffen 1998). Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan mineral dibagi atas mineral makro, mikro dan trace element. Mineral makro antara lain kalsium (Ca), magnesium (Mg), fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), natrium (Na) dan klor (Cl). Mineral ini dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, namun seringkali terjadi defisiensi yang nantinya berakibat fatal pada ternak.

Kebutuhan mineral untuk ternak diperoleh dari kuantitas dan ketersediaannya (bioavailability). Bioavailability mineral adalah mineral yang siap diserap dan dimanfaatkan oleh ternak. Mineral tersedia yang dimaksud adalah mineral yang terlarut dalam rumen sehingga siap diserap oleh usus.

Kalsium (Ca) adalah mineral yang paling banyak dibutuhkan di dalam tubuh. Secara kuantitatif fungsi utama kalsium adalah pada pembentukan tulang. Tulang tidak saja berfungsi untuk menunjang struktur komponen tubuh tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis penting dalam jaringan dalam menyediakan kalsium untuk mempertahankan sistem homeostasis tubuh (Piliang 2001). Fungsi lain dari kalsium yaitu untuk perkembangan gigi, produksi air susu, transmisi impuls saraf, pemeliharaan eksitabilitas urat daging yang normal (bersama-sama dengan K dan


(33)

16

Na), regulasi denyut jantung, geraka-gerakan urat daging, pembekuan darah dan mengaktifkan serta menstabilkan beberapa enzim (Parakkasi 1999). Defisiensi kalsium pada ternak dapat menyebabkan riketsia, osteoporosis, osteomalasia, pertumbuhan terlambat, hipertropi kelenjar parathiroid, dan milk fever (Underwood 1981). Level kritis kebutuhan Ca bagi ternak ruminansia secara umum yaitu 0,3% dari bahan kering pakan (McDowell 1997).

Mineral P sangat penting peran biokimia dan fiologisnya. Fosfor dideposit dalam tulang dalam bentuk kalsium-hidroksi appetite [Ca10(PO4)6(OH)2)]. Fosfor merupakan komponen dari fosfolipid yang mempengaruhi permiabilitas sel; juga merupakan komponen dari meilin pembungkus urat saraf; banyak transfer energi dalam sel yang melibatkan ikatan fosfat yang kaya energi dalam ATP; fosfor memegang peran dalam sistem buffer dari darah; mengaktifkan beberapa vitamin B (tiamin, niasin, piridoksin, riboflavin, biotin, dan asam pantotenik) untuk membentuk koenzim yang dibutuhkan dalam proses fosforilasi awal, fosfor juga merupakan bagian dari matrik DNA dan RNA (Parakkasi 1999).

Fungsi fosfor antara lain untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi, sekresi normal air susu, aktivator enzim–enzim dan metabolisme asam amino (Piliang 2001). Defisien Fosfor pada ternak dapat menyebabkan riketsia, sifat memakan makanan yang aneh–aneh (pica appetite), menurunkan reproduksi dan ukuran tubuh kecil (Underwood 1981).

Durand dan Kawashima (1980) menyatakan bahwa, didalam rumen mineral dipergunakan untuk berbagai aktifitas antara lain untuk pembentukan sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan mikroba. Disamping itu, mineral juga dipergunakan dalam mengatur tekanan osmotik, buffering capacity, potensial reduksi dan kelarutan di dalam rumen.

2.2.2 Legum pohon sebagai sumber mineral

Kandungan mineral hijauan merupakan salah satu aspek kualitas yang penting peranannya dalam memberikan nilai penggunaannya sebagai pakan hijauan. Hijauan legum umumnya hanya digunakan sebagai sumber protein. Namun, demikian dengan melihat kandungan mineral makro yang cukup tinggi, pemanfaatan legum pohon dapat juga ditujukan sebagai sumber mineral makro.


(34)

Seperti yang dilaporkan oleh Underwood dan Suttle (1999) bahkan kandungan mineral legum pohon cukup tinggi dibandingkan rumput. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sutardi et al. (1994) yang melaporkan bahwa legum pohon pada umumnya kandungan mineralnya cukup tinggi terutama kalsium, sehingga dapat digunakan mengatasi kekurangan mineral.

Kandungan mineral pakan sangat bervariasi yang tergantung pada berbagai faktor diantaranya spesies, tipe tanah, iklim dan umur tanaman (Underwood 1981). Pada umumnya kandungan mineral seperti Ca dan Mg pada legum lebih tinggi dari rumput (Serra et al. 1996). Legum pohon dapat dijadikan sebagai sumber mineral terutama Ca bagi ternak ruminansia. Kandungan mineral beberapa jenis legum pohon diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsentrasi mineral Ca dan P beberapa daun legume pohon

No. Jenis Pohon Mineral (% BK) Ca : P

Ca P

1. Pterocarpus indicus1 1,02 0,31 3,3 : 1

2. Sesbania glandiflora1 1,27 0,37 3,4 : 1

3. Gliricidia sepium1 1,45 0,27 5,4 : 1

4. Leucaena leucocephala1 1,74 0,53 3,2 : 1

5. Calliandra calothyrsus1 0,95 0,25 3,8 : 1

6. Cassia siamea2 1,06 0,08 13,3 : 1

7. Tamarindus indica2 1,60 0,13 12,3 : 1

Level kritis kebutuhan ternak ruminansia3 0,30 0,12-0,30 1,2 : 1

Sumber : 1) Suharlina et al. (2008), 2)Amar dan Muliati (2007), 3) Little (1980), NRC (1984, 1996), Winks (1990) dan McDowel (1997).

Kecukupan kalsium pada ternak yang digembalakan umumnya dapat terpenuhi, khususnya untuk pastura yang mengandung legum. Dengan demikian, penambahan hujauan pohon pada pastura dianjurkan untuk meningkatkan ketersediaan mineral makro. Kandungan Ca pada bagian daun hijauan dua kali lebih tinggi dari pada bagian batang. Penyerapan Ca umumnya terjadi di usus halus, namun ada sebagian di dalam rumen (Yano et al. 1991). Penyerapan Ca (Calcium absorbability= ACa) untuk setiap sumber hijauan berbeda-beda, dengan


(35)

18

rata–rata 0,68 (AFRC 1991). Pada beberapa hijauan nilai ACa lebih rendah disebabkan oleh keberadaan kalsium oksalat yang sulit dicerna didalam rumen (Wardet al.1979).

2.3 Evaluasi Kualitas Hijauan Pakan

Kualitas merupakan hal yang paling penting dari segala karakteristik agronomi untuk hijauan karena nutrisi hijauan pakan ternak menentukan produktivitas ternak. Kualitas hijauan memungkinkan dievaluasi langsung dengan memberikan pada ternak dan di dalam laboratorium (Yamadaet al.2005). Metode tidak langsung meliputi kecernaan in vitro dengan cairan rumen (Tilley & Terry 1963; Menke et al. 1979), kecernaan enzimatis (De Boever et al. 1986) dan analisis kimia komponen sel (Van Soest 1963). Evaluasi hijauan pakan juga dapat dilakukan dengan menganalisis imbangan mineral dan jumlah mineral terlarut. Peningkatan kualitas hijauan juga diperoleh dari perubahan kandungan dan rasio mineral di dalam hijauan untuk mencegah gangguan metabolis (Yamada et al.

2005).

2.3.1 Kecernaan pakan dan faktor yang mempengaruhinya

Koefisien cerna suatu zat makanan didefinisikan sebagai selisih antara zat-zat makanan yang dikandung dalam suatu makanan yang dimakan dan zat-zat-zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi 1984), sedangkan menurut McDonald et al. (1988) kecernaan suatu bahan makanan diartikan sebagai bagian yang tidak dieksresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa seluruh bagian tersebut dapat diserap oleh tubuh. Dikatakan pula bahwa kecernaan bahan kering ransum dinyatakan sebagai suatu koefisien atau persentase dari total kadar bahan kering ransum yang dikonsumsi.

McDonald et al. (1988) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan makanan, yaitu komposisi kimia bahan makanan, komposisi kimia ransum, bentuk fisik ransum, jumlah konsumsi dan jenis ternak. Tinggi rendahnya daya cerna, dipengaruhi oleh jenis ternak, umur hewan, jenis bahan pakan dan susunan kimianya (Peterson 2005). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), kecernaan bahan makanan dipengaruhi oleh jenis hewan, jumlah ransum, cara pemberian makanan, kadar zat makanan yang dikandungnya, umur ternak,


(36)

level pemberian makanan, pengolahan makanan dan komposisi ransum. Perbedaan anatomi dan fisiologi alat pencernaan juga dapat mempengaruhi ternak untuk mencerna bahan makanan (Maynard & Loosli 1969).

2.3.2 Teknik penentuan kecernaan pakan

Untuk mempelajari pemanfaatan bahan makanan pada ruminansia, ada dua teknik yang dapat digunakan yaitu in vitro dan in vivo (Tilley & Terry 1963). Teknik in vitro tergantung dari mikroba yang diambil dari hewan. Kecernaan in vitromemiliki keuntungan antara lain pelaksanaannya mudah, mengurangi resiko kematian ternak, lebih ekonomis, mewakili penampilan ternak. Kelemahannya adalah medium kecernaan padain vitrotidak mungkin sama dengan kecernaan in vivo yang langsung menggunakan ternak. Syarat–syarat yang perlu diperhatikan dalam membuat teknik in vitro adanya larutan penyangga (buffer) dan media makanan. Temperatur optimumnya 39oC, dengan pH optimum 6,7–7,0.

2.3.3 Cairan rumen

Cairan rumen yang merupakan sumber inokula yang dapat dengan cepat menghancurkan plasmalema dan banyak struktur sitoplasma dari sel tanaman (Cheng et al. 1980). Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010–1012sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat mencapai 105–106 sel/ml, namun demikian karena ukuran tubuhnya lebih besar dari bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen mikroba rumen (Ogimoto & Imai 1985).


(37)

3 MATERI DAN METODE

Penelitian ini terdiri dari dua tahap pelaksanaan yaitu 1) pengaruh pemberian pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan terhadap karakteristik kimia dan biologi tanah, pertumbuhan kembali (regrowth) dan komposisi kimiaIndigofera sp.dan 2) evaluasi kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik, protein kasar serta kelarutan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P). 3.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri

Penyedap Masakan terhadap Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah, Pertumbuhan Kembali (regrowth) dan Komposisi KimiaIndigoferasp. 3.1.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai Maret 2010 di Laboratorium Agrostologi, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Laboratorium Biologi dan Kimia Tanah Institut Pertanian Bogor.

3.1.2 Materi Penelitian 3.1.2.1 Pupuk organik cair

Pupuk organik cair yang digunakan dalam penelitian ini adalah sipramin Saritana produksi PT. Sasa Inti, Probolinggo. Komposisi nutrisi sipramin Saritana diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi nutrien sipramin Saritana yang digunakan dalam penelitian (%BK)

Komposisi Konsentrasi

pH 5,6

C-organik % 6,11

N total % 4,28

P2O5 % 0,15

K2O % 0,40

CaO % 0,02

MgO % 0,12

Na % 0,46

S % 1,63

Cl % 3,52

Fe ppm 79

Mn ppm 11

Cu ppm

-Zn ppm 3

Pb ppm 0,5

Cd ppm

-Co ppm

-As ppm

-Mo ppm


(38)

-3.1.2.2 Tanaman percobaan

Tanaman percobaan dalam penelitian ini adalah tananam Indigofera sp. Tanaman Indigofera sp. ditanam dengan perlakuan pupuk organik cair dengan dosis dan waktu pemberian pupuk yang berbeda.

3.1.2.3 Larutan abu gosok

Penambahan larutan abu gosok (sisa pembakaran sekam) dengan konsentrasi 20% digunakan untuk menetralkan derajat keasaman (pH) sipramin. Abu gosok digunakan untuk menetralkan pH karena lebih aplikatif. Abu gosok merupakan sisa pembakaran sekam yang mengandung oksigen (O2) akibat proses pembakaran jika dilarutkan dalam air maka akan terjadi reaksi yang menghasilkan ion OH-. Konsentrasi ion OH- dalam larutan menggambarkan sifat basa dari larutan tersebut. Larutan abu gosok yang digunakan dalam penelitian memiliki pH larutan 9,13-9,56. Abu gosok yang digunakan mengandung kalsium (Ca) dan fosfor (P) berturut-turut sebesar 0,056 dan 0,0285%.

3.1.3 Metode Penelitian

Desain percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4×2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk organik cair sipramin Saritana dengan dosis 0, 10, 20 dan 40%. Faktor ke dua adalah waktu pemberian pupuk daun yaitu pada 30 dan 15 hari sebelum panen (hsp). Pupuk sipramin diberikan pada 30 dan 15 hsp dikarenakan sipramin merupakan pupuk organik yang memberikan efek relatif lama terhadap tanaman dibandingkan pupuk kimia. Pemberian pupuk pada 30 dan 15 hsp dimaksudkan agar pupuk sipramin dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman pada saat pertumbuhan kembali (regrowth) setelah tanaman mengalami defoliasi. Tanaman di panen pada umur 60 hari.

Peubah yang diamati antara lain:

1. Karakteristik kimia dan biologi tanah meliputi pH, kandungan N, P tersedia, C-oganik, jumlah bakteriRhizobiumsp.,dan jumlah bakteri pelarut fosfat. 2. Pertumbuhan kembali (regrowth) Indigofera sp. meliputi jumlah cabang,

bobot cabang, diameter batang, rasio daun-cabang, jumlah dan bobot bintil akar.


(39)

22

3. Produktivitas Indigoferasp. meliputi produksi bahan kering daun dan tajuk, jumlah klorofil, bobot klorofil, komposisi PK, NDF, ADF, mineral Ca dan P.

3.1.3.1 Prosedur Penelitian

Persiapan media tanah.Polybagdiisi tanah 12 kg tanah ditambah 60 gram

kapur dan 100 gram pupuk kandang. Penambahan kapur dan pupuk kandang pada tanah dilakukan untuk menyediakan nutrisi pada tanaman awal pertumbuhan agar tanaman memiliki kesempatan tumbuh yang sama sebelum diberikan perlakuan.

Penanaman. Tanaman Indigofera sp. ditanam dalam polybag dan

ditempatkan di rumah kaca. Sebelum diberi perlakuan, tanaman di-treeming pada ketinggian 100 cm diatas permukaan tanah. Tanaman dipelihara dalam dua periode tanam. Lama pemeliharaan tanaman dalam satu periode tanam adalah 60 hari.

1. Pengukuran karakteristik kimia dan biologi tanah sebagai berikut:

a. Derajat keasaman (pH). Pengukuran pH dilakukan sesuai prosedur Sulaeman et al. (2005). Sebanyak 10 gram contoh tanah ditimbang dua kali, masing-masing dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml air bebas ion ke dalam tabung yang satu (pH H2O) dan 50 ml KCl 1M ke dalam tabung lainnya (pH KCl). Kemudian tabung dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengn pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.

b. Kandungan N total. Pengukuran kandungan N dengan metode Kejldhal. Sebanyak 0,5 g contoh tanah ukuran <0,5 mm ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung digestion, kemudian ditambahkan satu gram campuran selen dan 20 ml asam sulfat pekat dan didestruksi hingga suhu 350oC (3-4 jam). Destruksi dinyatakan selesai bila tampak keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih (sekitar 4 jam). Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 ml, dikocok sampai homogen dan dibiarkan semalam agar partikel mengendap. Ekstrak digunakan untuk pengukuran N dengan cara destilasi atau cara kolorimetri.


(40)

c. Pengukuran P tersedia menggunakan metode Bray I (Sulaeman et al.

2005). Sebanyak 2,5 gram contoh tanah <2mm, ditambah pengekstrak Bray dan Kurts I sebanyak 25 ml, kemudian dikocok selama lima menit dan disaring. Bila larutan keruh dikembalikan ke atas saringan semula (proses penyaringan maksimum lima menit). Dipipet dua ml ekstrak jernih ke dalam tabung reaksi. Contoh dan deret standar masing-masing ditambah pereaksi pewarna fosfat sebanyak 10 ml, dikocok dan dibiarkan 30 menit. Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.

d. Jumlah bakteri Rhizobium sp. dan bakteri pelarut fosfat. Jumlah bakteri

Rhizobium sp. dan bakteri pelarut fosfat dihitung menggunakan metode Clark (1965). Sepuluh gram tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambah aquadest 90 ml. Sebanyak satu ml larutan tanah dari tabung Erlenmeyer dimasukkan ke dalam tabung pengenceran pertama (1/10 atau 10-1) secara aseptis. Pengenceran dilakukan hingga empat kali sehingga sehingga pengenceran berikutnya mengandung 10-1 sel mikroorganisme dari pengenceran sebelumnya. Kemudian masing-masing sampel dari setiap tabung pengenceran ditanam pada media dalam cawan petri. Sample untuk bakteri Rhizobium sp. ditanam pada media YEMA (Yeast Extract Mannitol Agar), sedangkan sampel untuk bakteri pelarut fosfat ditanam pada mediaPikovskaya.

2. Pertumbuhan kembali (regrowth)

a. Jumlah cabang. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan tanda dari pita yang diberi nomor pada cabang baru setiap satu minggu sekali selama penelitian untuk melihat petambahan jumlah cabang pada tanaman. b. Diameter batang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka

sorong pada bagian batang lima cm diatas permukaan tanah.

c. Rasio daun-cabang. Pengambilan data dengan menimbang terlebih dahulu sample berat tanaman yang dipanen kemudian dipisahkan antara bagian daun dan cabang, sehingga didapat rasio daun-cabang tanaman.

d. Jumlah bintil akar. Bintil akar yang sehat (hidup) dipisahkan dari akar dan dihitung jumlahnya serta ditimbang bobotnya.


(41)

24

3. Produktivitas tanamanIndigoferasp.

a. Produksi bahan kering daun dan tajuk. Pengambilan data dilakukan pada waktu pemanenan setelah tanaman berumur 60 hari. Produksi segar tanaman ditimbang setelah dipanen, kemudian diukur persentase bahan keringnya (%BK). Produksi bahan kering daun dan tajuk merupakan hasil perkalian persentase bahan kering (%BK) dengan produksi daun dan tajuk tanaman segar.

b. Jumlah klorofil. Pengukuran kadar klorofil dilakukan berdasarkan Arnon (1959) dan MacKinney (1941). Daun segar sebanyak dua gram dihaluskan dalam mortar yang diberi aceton 80% secukupnya sampai larutan homogen. Kemudian disaring menggunakan kertas filter Whatman No. 41 dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Aseton ditambahkan ke dalam labu ukur sampai mencapai volume 100 ml. Sebanyak 5 ml larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan diencerkan dengan aseton 80% sampai volume 50 ml. Pengukuran klorofil dilakukan dengan spektrofotometer, absorbansi pada panjang gelombang 663 dan 645 nm. Perhitungan konsentrasi klorofil mengikuti rumus sebagai berikut:

Kla = 0,0127 × D663- 0,00269 × D645…………. 1) Klb = 0,0229 × D645- 0,00468 × D663…………. 2) Klt = Kla+ Klb

= 0,0202 × D645+ 0,00802 × D663………… 3) Keterangan :

D663= absorban pada 663 nm D645= absorban pada 645 nm Kla = konsentrasi klorofil a (g/l) Klb = konsentrasi klorofil b (g/l) Klt = konsentrasi klorofil total (g/l)

c. Komposisi PK, NDF dan ADF. Komposisi PK dilakukan dengan menggunakan metode proksimat (AOAC 1990), sedangkan kandungan NDF dan ADF dianalisis menggunakan metode Van Soest (1991).

d. Kandungan mineral P, dan Ca. Pengukuran kadar mineral tersebut dilakukan dengan cara pengabuan basah (wet ashing) (Reitz et al.1960).


(42)

Satu gram sampel dimasukkan kedalam tabung Erlenmeyer dan ditambahkan lima ml HNO3, kemudian dibiarkan selama satu jam sampai menjadi bening atau tidak ada buih. Labu Erlenmeyer dipanaskan padahot plate selama kurang lebih empat jam. Setelah dingin ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, labu Erlenmeyer dipanaskan kembali. Pada saat terjadi perubahan warna volume akan berkurang diteteskan larutan HClO4 dan HNO3 (perbandingan 2:1). Perubahan warna dimulai dari warna coklat menjadi kuning dan bening. Setelah bening, dipanaskan kembali selama 15 menit, lalu ditambahkan dengan dua ml aquades dan 0,6 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali hingga larut. Setelah didinginkan, ditambahkan dengan aquades hingga 100 ml. Analisis mineral P menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm, sedangkan mineral Ca dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometric

(AAS).

3.1.3.2 Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL) 4×2 dengan 3 ulangan (Steel & Torrie 1981). Model matematik rancangan tersebut adalah

Yijk= µ +αi+βj+ (αβ)ij+εijk

Yijkadalah nilai pengamatan pada faktor A (dosis pupuk sipramin) taraf ke i, faktor B (waktu pemberian pupuk) taraf ke-j dan ulangan ke k. (µ, αi, βj) adalah komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B. (αβ)ijmerupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B dan (εij) adalah pengaruh acak yang menyebar normal (0,σε2). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan pada perlakuan digunakan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan bantuan


(43)

26

3.2 Evaluasi Kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik dan protein kasar serta kelarutan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P)

3.2.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2010.

3.2.2 Materi Penelitian 3.2.2.1 Sampel pakan

Sampel pakan diambil dari hasil terbaik pada penelitian tahap I dan dibandingkan dengan kontrol. Sampel pakan yang digunakan adalah bagian tajuk. Tajuk tanaman Indigofera sp. dikeringkan di bawah sinar matahari dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60oC kemudian digiling.

3.2.2.2. Cairan Rumen

Cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen sapi yang diambil melalui ternak sapi berfistula milik Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB. Cairan rumen dimasukkan kedalam termos. Lamanya cairan rumen di dalam termos selama perjalanan dari kandang ke tempat penelitian kurang lebih 10 menit.

3.2.3 Metode Penelitian

Desain percobaan in vitro membandingkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian tahap I dengan kontrol (dosis 0% sipramin). Pengujian perbedaan nilai rata-rata dari perlakuan terbaik pada penelitian tahap I dan kontrol dianalisis menggunakan uji T dengan bantuansoftware SPSS v. 13.0. Peubah yang diamati antara lain:

1. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar 2. Kelarutan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P)

3.2.3.1 Prosedur Penelitian

1. Pengukuran Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar.

Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar dilakukan dengan teknik in vitro (Tilley & Terry 1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0,5 gram sampel ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan rumen.


(44)

Tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC dan dialiri dengan CO2 selama 30 detik, cek pH (6,5-6,9) dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi, dan difermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, buka tutup karet fermentor dan ditambahkan empat ml HgCl2 dengan konsentrasi 5% untuk menghentikan aktivitas mikroba. Setelah aktivitas mikroba berhenti tabung fermentor disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Substrat (residu) akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang bening berada dibagian atas.

Residu hasil sentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0,2%. Campuran ini kemudian diinkubasikan selama 48 jam tanpa tutup karet. Setelah 48 jam tabung fermintor disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Residu disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Bahan kering didapat dengan cara dikeringkan dalam oven 105oC selama 8 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600oC untuk mengetahui bahan organik yang tercerna. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi tanpa sampel bahan pakan. Protein dalam residu dianalisis dengan motode Kejldhal. Koefisien cerna dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

KCBK(%) =BK sample−BK residu

BK sampel × 100%

KCBO(%) =BO sample−BO residu

BO sampel × 100%

KCPK(%) =PK sample−PK residu

PK sampel × 100% Keterangan: KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering

KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik KCPK = Koefisien Cerna Protein Kasar BK = Bahan Kering

BO = Bahan Organik PK = Protein Kasar


(1)

Clark FE. 1965. Rhizobia. In: Methods of soil Analysis Part 2. Black, C. A. (Editors). 1487-1497.

Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical Grassland Husbandry. London and New York. Longman Press.

De Boever JL, Cottyn BG, Buysse FX, Wainman FW, Vanacker JM. 1986. The use of an enzymatic technique to predict digestibility, metabolizable and net energy of compound feedstuff for ruminants. Anim Feed Sci Tech. 14:203-214.

Durand M, Kawashima R. 1980. Influence of mineral in rumen microbial digestion. In: Ruckebusch Y., Thivend P. (Eds.). Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants. Lancaster. MTP Ltd. p. 275–408.

Elfiati D. 2008. Peranan Mikroba Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan Tanaman.Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra utara.

Fleming GA. 1973. Mineral composition of herbage.In: Butler GW., Bailey RW. (Eds). Chemistry and Biochemistry of Herbage. London, Academic Press. p. 529-563.

Ginting RCB, Saraswati R, Husen E. 2006. Mikroorganisme pelarut fosfat. Di dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Organik Fertilizer and Biofertilizer. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hassen A, Pieterse PA, Rethman NFG. 2004. Effect of pre-planting seed treatment on dormancy breaking and germination ofIndigoferaaccessions. J Tropical Grasslands38:154–157.

Hassen A, Rethman NFG, Apostolides Z. 2006. Morphological and agronomic characterisation of Indigofera species using multivariate analysis.J Tropical Grasslands40: 45–59.

Hassen A, Rethman NFG, van Niekerk WA, Tjelele TJ. 2007. Influence of season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five indigofera accession. J Animal Feed Science and Technology.136: 312– 322.

Hassen A, Rethman NFG, Apostolides Z, Van Niekerk WA. 2008. Forage production and potential nutritive value of 24 shrubbyIndigofera accessions under field conditions in South Africa.J Tropical Grasslands42: 96–103. Haude ME. 1997. Identification and classification of colorants used during

mexicos early colonial period. Book and Paper Group Annual Vol.16. The American Institute of Conservation.

Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. 6th. Ed. New Jersey. Prentice Hall.

Hopkin WG, Huner NPA. 2004. Introduction to Plant Physiology. 3rdEd. USA. John Wiley and Sons.


(2)

Hove L. Topps JH, Sibanda S, Ndlovu LR. 2001. Nutrient intake and utilization by goats fed dried leaves of the shrub legumes Acacia angustissima, Calliandra calothyrsusandLeucaena leucocephalaas supplements to native pasture hay.Anim. Feed Sci. Technol. 91: 95–106.

Jenks AM, Hasegawa PM. 2005. Plant Abiotic Stress. USA. Blackwell Publishing Ltd.

Johnston M, Onwueme IC. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in the tropicak root crops: yam, taro, tannia, cassava and sweet potato. Experimental Agriculture. 34(3): 301-312.

Kagata H, Inoue N, Hagiwara M, Ohonishi M, Nakano JI. Yield, feeding value and chemichal composition of soil in a rotation cropping system of maize-barley as influenced by barnyard manure and chemical fertilizer. Grassland Science. 45(1):42-51.

Khandaker ZH, Tareque AMM. 1996. Studies on protein degradabilities of feedstuffs in Bangladesh.AJAS. 9(6):615-756.

Khetmalas MB, Bal AK. 2005. Microscopical studies of Arachis pintoi root nodule with special reference to bacteroids and oleosomes at different stages of plant growth and nodule development.J Plant Science. 168: 557–563. Little DA. 1980. Observations on the phosphorus requirement of cattle for growth.

Research in Veterinary Science. 28 : 258 – 260.

Lubis AD, Kumagai H. 2007. Effects of cattle barnyard compost and nitrogen fertilizer application on yield and chemical composition of maize (Zea mays L.) and Italian ryegrass (Lolium multiforum Lam.) in double cropping system.J of International Development and Cooperation13 (1): 109-117. Mac Kinney G. 1941. Absorption of light chlorophyll solution.J Biol. Chem. 140:

315-322.

Malusa E, Tosi L. 2005. Phosphorous acid residues in apples after foliar fertilization: results of field trials. J Food Additives and Contaminants 22: 541–548.

Masdar. 2003. Pengaruh lama dan beratnya defisiensi kalium terhadap pertumbuhan tanamn durian (Durio zibethinus Murr.) J. Akta Agrosia. 6 (2): 60-66.

Maynard LA, Loosli. 1969. Animal Nutrition. 4th Ed. New York. Mcgraw-Hill Book Company, Inc.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalg JFD, Morgan CA. 1988. Animal Nutrition. 4thEdition. New York. Longman Scientific and Technical.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.6thEd. London. Prentice Hall.

McDowel JK. 1997. Minerals for Grazing Ruminants in Tropical Region. 3rd ed. University of Florida. Gainesville.


(3)

McDowell L, Valle RG. 2000. Major mineral in forage. In: Given DI, Owen E, Axford RFE, Omed HM. Eds. Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. London. UK. CABI Publishing.

Mendes MM, Gazarini LC, Rodrigues ML. 2001. Acclimation of Myrtus communis to contrasting Mediteranean light environments-effects on structure and chemical composition of foliage and plant water relation. Environment Experimental. Botany45(2): 165-178.

Menke KH, Raab L, Salewski A, Steingass H, Fritz D, Schneider W. 1979. The estimation of digestibility and metabolizable energy content of ruminant feedingstuff from the gas production when they are incubated with rumen liquorin vitro.J Agric Sci (Cam).93:217-222.

Mertens DR. 2007. Digestibility and Intake.In: Bernes FR, Nelson CJ, Moore KJ, Collins MK (Eds.). Forages: The Science of Grassland Agriculture. Ames Iowa and Oxford. Blackwell Publishing. P. 487-507.

Millard P, Thomas RJ, Buckland ST. 1990. Nitrogen supply affects the remobilization of nitrogen for the regrowth of defoliated of Lolium perenneL. J.Exp. Bot. 41:941–947.

NRC. 1984. Nutrients Requirements of Beef Cattle. 2101 Constitution Ave. NW, Washington DC. 20418. National Academi Press.

NRC. 1996. Nutrients Requirements of Beef Cattle. 7threseived edition National Academi of Science. Washington DC. USA.

Ogimoto K, Imai S. 1985. Atlas of Rumen Microbiology. Tokyo. Japan Science Societies Press.

Ourry A, Boucoud J, Salette J. 1990. Partitioning and remobilization of nitrogen during regrowth in nitrogen-deficient ryegrass.Crop Sci. 30:1251–1254. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta.UI-Press. Pearson CJ, Ison RL. 1997. Agronomy of Grassland Systems. Cambridge. UK.

Cambridge University Press.

Peterson PR. 2005.Forage for Goat Production. Blacksbrug. Dept. Virginia Tech University.

Piliang WG. 2001. Nutrisi Mineral. Edisi ke-4. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor.

Premono EM. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Premono MEet al.2001. Pengaruh sipramin terhdap tebu, sifat nira, kualitas gula

dan sifat-sifat tanah. Di dalam: Prosiding seminar pengaruh sipramin terhadap tanaman pangan dan tebu serta dampaknya terhadap tanah. Pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat. Badan litbang pertanian. Departemen pertanian Indonesia.

Ranjhan SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. New Delhi. Vikas Publishing House Put Ltd.


(4)

Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1960. A Simple Wet Ashing for Biological Materials.Animal Science Department. Purdue University West Lafyee. Russel FJ. 1988. Russel’S Soil Condition and Plant Growth. New York. USA.

John Wiley and Sons Inc.

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah; Bandung: ITB; Jilid 2. Terjemahan dari:Plant Physiology. Sarief ES. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.

Bandung.

Schrire BD. 2005. Tribe Indigoferae. In: Marquiafa´vela, FS, Ferreirab MDS, Teixeiraa SP. Novel reports of glands in Neotropical species ofIndigofera L. (Leguminosae, Papilionoideae).J Flora204: 189–197.

Serra SD, Serra AB, Ichinohe T, Fujuhara T. 1996. Ruminal sulubilization of macrominerals in selected Philippine forages.AJAS9: 75 – 81.

Setyorini D, Saraswati R, Anwar EK. 2006. Kompos.Di dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Organik Fertilizer and Biofertilizer. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Shehu Y, Alhassan WS, Pal UR, Phillips CJC. 2001. Yield and chemical composition responses of Lablab purpureus to nitrogen, phosphorus and potassium fertilizers.J Tropical Grasslands.35: 180–185.

Skerman PJ. 1982. Tropical Forage Legumes. Food and Agricultural Organization: Rome.

Skinner RH, Morgan JA, Hanson JD. 1999. Carbon and Nitrogen Reserve Remobilization Following Defoliation: Nitrogen and Elevated CO2 Effects. J Crop Sci.39:1749–1756.

Sofyan A, Setyorini D, Adiningsih JS. 1997. Dampak Penggunaan Pupuk Cair Sipramin Terhadap Sifat Kimia Tanah. Di dalam: Prosiding Seminar Dampak Penggunaan Pupuk Cair Sipramin Terhadap Sifat Kimia, Fisika dan Mikroorganisme Tanah.Malang, 10 April 1997.

Steel RGD, Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistic. New York. Mc Grow Hill Book Co. Inc.

Strickland RW, Lambourne LJ, Ratcliff D. 1987. A rat bioassay for screening tropical legume forages and seeds for palatability and toxicity. Australian Journal of Experimental Agriculture27:45–53.

Suharlina, Permana IG, Abdullah L. 2008. Kelarutan mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P) dan fermentabilitas beberapa jenis legume pohon secara in vitro. Prosiding seminar nasional teknologi peternakan dan Veteriner. Bogor 11-12 November 2008. p 772-777.

Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Edisi I. Balai penelitian tanah. Badan penelitian dan pengembangan pertanian departemen pertanian Indonesia.


(5)

Suriadikarta DA, Simanungkalit RDM. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Organik Fertilizer and Biofertilizer. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suryana. 2008. Peluang dan kendala pengembangan itik serati sebagai penghasil daging.J Libang Pertanian. 27(1): 24-30.

Sutardi T, Sastradipdradja D, Toharmat T, Sardiana A, Permana IG. 1994. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi protein tahan degradasi dalam rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi Makanan dan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Taiz L, Zeiger E. 1998. Plant Physiology. 2nd ed. Massachucetts. Sinauer Associates. Inc. Publ.

Thapa B, Walker DH, Sinclair FL. 1997. Indigenous knowledge of feeding value of tree fodder. J Anim. Feed Sci. Technol.67:97 – 114.

Thornton B, Millard P, Duff EI. 1994. Effects of nitrogen supply on the source of nitrogen used for regrowth of laminae after defoliation of four grass species.New Phytol. 128:615–620.

Thornton B, Millard P. 1993. The effects of nitrogen supply and defoliation on the seasonal internal cycling of nitrogen in Molinia caerulea. J Exp. Bot. 44:531–536.

Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two stage technique for theIn vitro digestion of forage crops.J British Grassland Society18: 104–111.

Tirta IG. 2006. Pengaruh kalium dan mikoriza terhadap pertumbuhan bibit panili (Vanilla planifoliaAndrew).J Biodiversitas7(2):171-174.

Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD, Havlin JL. 1993. Soil acidity and basicity.In Soil Fertility and Fertilizers. 5thed. New York. Macmillan. pp. 364–404. Tjelele TJ. 2006. Dry matter production, intake and nutritive value of certain

Indigoferaspecies. Dissertation. University of Pretoria.

Tokarnia CH, Dobereiner J, Peixoto, PV. 2000. Plantas To´ xicas do Brasil. In : Marquiafa´vela, FS, Ferreirab MDS, Teixeiraa SP. Novel reports of glands in Neotropical species ofIndigofera L. (Leguminosae, Papilionoideae).J Flora 204: 189–197.

Underwood EJ, Suttle NF. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rdEdition. London. CABI Publishing.

Underwood EJ. 1981. The Mineral Nutrition of Livestock. Common Wealth Agricultural Bereaux. London.

Van Soest PJ, Mertens DR, Deinum B. 1978. Preharvest factors influencing quality of conserved forages.J Anim. Sci. 47:712-720.


(6)

Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods of dietary fibre, neutral detergent fibre, and non-strach polysaccharides in relation to animal nutrition.J Dairy Science. 74 : 3583-3597.

Van Soest PJ. 1963. Use of detergent in the analysis of fibrous feeds. J Assoc Offic Agric Chem. 46:825-835.

Ward G, Harbers LH, Blaha JJ. 1979. Calcium–containing crystals in alfalfa: their fate in cattle.J Dairy Sci.62 : 715-722.

Whitehead DC. 2000. Nutrient Elements in Grassland: Soil–Plant–Animal Relationships.London, UK. CABI Publishing.

Wijaya, Wahyuni S. 2007. Respon tanaman jagung manis (Zea mays Var. Saccharata Sturt) kultivar hawaian super sweet pada berbagai takaran pupuk kalium.J Agrijati. 6 (1): 42-47.

Winks L. 1990. Phosporus and beef production in Northern Australia. 2. Response to phosphorus by ruminants – a review. Tropical Grassland 24: 140 – 158. Yamada T, Forster JW, Humpreys MW, Takamizo T. 2005. Genetics and

molecular breeding in Lolium/Festuca grass species complex. Japanese Society of Grassland Science.51(2):89-106.

Yano F, Yano H, Breves G. 1991. Calcium and phosphorus metabolism in ruminant. In: Proceeding of the 7th International Symposium on Ruminant Physiology. New York. Academic Press. p. 277–295.

Zaccheo P, Genevini P, Ambrosini D. 1997. The role of manure in the management of phosphorus resources at Italian crop livestock production farm.Agricultural Ecosystem and Environment. 66:231-239.

Zhu GX, Midmore DJ, Radford BJ, Yule DF. 2004. Effect of time of defoliation on wheat (Triticum aestivum) in central Queensland 1. Crop response and yield.Field Crop Research.88: 211-226.