3 dapat
memperbaiki karakteristik
kimia dan
bilogi tanah
serta mampu
meningkatkan pertumbuhan kembali regrowth setelah tanaman didefoliasi, serta dapat meningkatkan produktivitas hijauan makanan ternak sehingga dapat
memenuhi penyediaan hijauan secara berkesinambungan. Evaluasi pengaruh penggunaan pupuk sipramin dapat dilakukan analisis
terhadap tanah, produksi dan kualitas HMT, sifat fisik tanaman, kandungan kimia, dan evaluasi nutrisi tanaman. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan
penelitian mengenai aspek agronomi dan nilai nutrisi Indigofera sp. yang ditumbuhkan dengan pupuk organik dari limbah penyedap masakan dan
mengevaluasi nilai kecernaan in vitro Indigofera sp. sebagai pakan hijauan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh pemberian pupuk organik cair dari limbah penyedap masakan terhadap produktivitas tanaman
Indigofera sp. Pengaruh tersebut bisa dilihat dari: 1. Sifat kimia dan biologi tanah meliputi pH, jumlah N total, P tersedia, C-
organik tanah, bakteri Rhizobium sp., dan bakteri pelarut fosfat. 2. Pertumbuhan kembali regrowth legum Indigofera sp. meliputi jumlah
cabang, bobot cabang, diameter batang, rasio daun-cabang, jumlah dan bobot bintil akar.
3. Produktivitas Indigofera sp. meliputi a produksi bahan kering daun dan
tajuk; b komposisi protein kasar PK, neutral detergent fiber NDF dan acids detergent fiber ADF; c kecernaan in vitro bahan kering KCBK,
bahan organik KCBO, protein kasar KCPK serta kelarutan mineral Ca dan P tajuk Indigofera sp.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hijauan sebagai Pakan Ternak 2.1.1 Produktivitas pakan hijauan
Leguminosa pohon memiliki beberapa karakteristik yang khas antara lain kandungan proteinnya yang tinggi 12,5–20,7 dengan kecernaan yang lebih
tinggi dari rumput, kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor dan vitamin yang tinggi. Selain itu leguminosa pohon mampu mensuplai protein
fermentabel dan by pass karena mengandung zat anti nurisi berupa tannin. Secara ekologis dan ekonomis leguminosa pohon dapat meningkatkan kesuburan tanah,
melidungi tanah dari erosi dan merupakan penghasil kayu yang bermutu Allen Allen 1981.
Fleming 1973 mengatakan bahwa secara umum kandungan elemen mineral pada leguminosa lebih banyak dibandingkan pada rumput. Mineral
kalsium Ca dan magnesium Mg pada tanaman leguminosa lebih tinggi dari rumput Serra et al. 1996. Di daerah tropik kandungan mineral umumnya lebih
rendah dibandingkan di daerah temperate. Konsentrasi rata–rata mineral Ca pada legum untuk daerah tropik dan temperate masing–masing 19,1 dan 14,2 gkg
berdasarkan bahan kering BK, sedangkan untuk rumput masing–masing 3,8 dan 3,7 gkgBK. Demikian juga konsentrasi natrium Na pada hijauan di daerah
tropis 50 lebih rendah dari pada di daerah temperate.
2.1.2 Kualitas nutrisi pakan hijauan
Kualitas nutrisi umumnya dapat dilihat dari komposisi kimia hijauan. Komposisi kimia dari hijauan pakan terdiri bahan kering, protein kasar, lemak
kasar, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan abu Crowder Chheda 1982. Untuk melihat komposisi kimia bahan pakan tersebut dilakukan dengan
analisis proksimat yaitu metode yang menggambarkan komposisi zat makanan pada suatu bahan makanan. Selain itu untuk melihat komposisi kimia berdasarkan
kandungan serat adalah dengan metode Van Soest. Pakan ternak terdiri dari dua fraksi yaitu isi sel dan dinding sel. Dinding sel dibagi lagi menjadi serat kasar
yang larut dalam detergen netral NDF, bagian yang larut dalam detergen asam ADF dan lignin. Netral Detergen Fiber NDF atau serat detergen netral pada
5
dasarnya adalah hemiselulosa dan abu yang tidak larut, sedangkan ADF atau serat detergent asam adalah lignoselulosa dan silica Van Soest et al. 1991.
Komposisi kimia hijauan pakan ternak memegang peranan penting karena dapat menggambarkan kandungan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak.
Komposisi kimia pakan sering tidak menggambarkan derajat kecernaan maupun penyerapan zat-zat makanan tersebut oleh ternak. Idealnya hasil analisis kimiawi
tersebut selain mencerminkan kandungan zat makanan sekaligus dapat pula mencerminkan ketersediaannya dalam tubuh ternak. Sutardi 1980 menyatakan
bahwa isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaitu protein, karbohidrat bukan serat, mineral dan lemak sedangkan dinding sel terdiri atas sebagian besar
selulosa, hemiselulosa dan pectin. Jenis-jenis leguminosa mempunyai kandungan protein dan mineral kalsium dan fosfor yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rumput McDonal et al. 2002.
2.1.3 Potensi Indigofera sp. sebagai pakan hijauan
Tanaman Indigofera sp. adalah salah satu genus legum pohon terbesar dengan perkiraan 700 spesies, 45 jenis tersebar diseluruh wilayah tropis Schrire
2005. Beberapa spesies di Afrika dan Asia telah dilaporkan dapat digunakan sebagai hijauan I. hirsuta, I. pilosa, I. schimperi Syn, I. oblongifolia, I. spicata, I.
subulata Syn, dan I. trita dan tanaman penutup tanah cover crop I. hirsuta dan I. trita Hassen et al. 2007. Tanaman
Indigofera sp.
representatif sebagai
tanaman parenial atau annual, herbal, semak atau pohon berukuran kecil, memiliki habitat di hutan, sabana dan juga di daerah terganggu. Beberapa spesies dikenal
sebagai ‘‘anileiras’’ indigo karena memiliki genus yang sama dengan indigo yang telah diekstraksi I. anil L.. Spesies lain, seperti I. arrecata Hochst.ex
A.Rich., I. articulata Gouan, I. suffruticosa Mill. dan I. tinctoria L., juga digunakan sebagai bahan pewarna, pakan ternak, pelindung tanah, tanaman
penutup humus, kontrol erosi dan tanaman hias Schrire 2005. Beberapa spesies digunakan untuk pengobatan antipiretik, pencahar, diuretik, tonik, dan berguna
pada serangan ular, lebah dan serangga menggigit lainnya, walaupun
kemungkinan menyebabkan toksik pada hewan peliharaan dan sapi Tokarnia et al. 2000. Tanaman Indigofera sp. mengandung pikmen indigo yang sangat
6
penting untuk pertanian komersial pada daerah tropik dan sub tropik, selanjutnya dapat digunakan sebagai hijauan pakan ternak dan suplemen kualitas tinggi untuk
ternak ruminansia Haude 1997. Klasifikasi botani Indigofera sp. adalah divisi : Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae
bangsa : Rosales suku : Leguminosae
marga : Indigofera jenis : Indigofera arrecta L.
Tanaman Indigofera sp. dapat beradaptasi tinggi pada kisaran lingkungan yang luas, dan memiliki berbagai macam morfologi dan sifat agronomi yang
sangat penting terhadap penggunaannya sebagai hijauan dan tanaman penutup tanah cover crops Hassen et al. 2006. Ciri–ciri legum Indigofera sp. adalah
tinggi kandungan protein dan toleran terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat agronominya sangat diinginkan Skerman 1982, saat akar
terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya untuk merespon curah hujan yang kurang dan ketahanan terhadap herbivor merupakan potensi yang baik sebagai
cover crop tanaman penutup tanah untuk daerah semi-kering dan daerah kering Hassen et al. 2004, 2006. Sekitar 50 jenis Indigofera sp. yang ada beracun dan
hanya 30 yang palatable Strickland et al. 1987, akan tetapi jenis yang palatable memiliki potensi yang besar sebagai hijauan pakan, sedangkan jenis
yang tidak palatable beracun sangat cocok sebagai cover crop terutama pada daerah kering, semi kering dan gurun Hassen et al. 2006.
Produksi bahan kering BK total Indigofera sp. adalah 21 tonhatahun dan produksi bahan kering daun 5 tonhatahun Hassen et al. 2008. Tepung daun
Indigofera sp. mengandung protein kasar PK berkisar 22,3–31,1, NDF 18,9- 50,4, Ca 0,97-4,52, P 0,19-0,33, Mg 0,21-1,07, Cu 9,0-15,3 ppm, Zn
27,2-50,2 ppm, dan Mn 137,4-281,3 ppm dan kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,8-71,7 Hassen et al. 2007.
7
2.1.4 Pengaruh pemupukan terhadap produktivitas pakan hijauan
Kandungan nutrisi pada tanaman pakan ternak berkurang seiring dengan bertambahnya umur tanaman terutama pada daun dan batang yang dapat
digambarkan dengan peningkatan kandungan serat pada daun dan penurunan rasio daun dan batang Thapa et al. 1997. Tanaman membutuhkan unsur hara sebagai
sumber nutrisi dalam pertumbuhannya sehingga dapat berproduksi secara terus- menerus. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman terutama nitrogen N, Fosfor P
dan kalium K. Ketiga unsur tersebut memiliki peran penting pada tanaman sebagai berikut:
2.1.4.1 Peranan nitrogen N dalam tanaman
Nitrogen N adalah hara utama tanaman, merupakan komponen dari asam amino, asam nukleid, nukleotida, klorofil, enzim, dan hormon. Nitrogen
mendorong per tumbuhan tanaman yang cepat dan memperbaiki tingkat hasil dan kualitas hasil panen melalui sintesis protein. Nitrogen sangat mobile di dalam
tanaman dan tanah. Nitrogen diambil dan diserap oleh tanaman dalam bentuk NO
3 -
dan NH
4 +
. Fungsi nitrogen bagi tanaman antara lain: a diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang
dan akar; b berperan penting dalam hal pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis; c membentuk protein, lemak dan berbagai
persenyawaan organik; d meningkatkan mutu tanaman penghasil daun-daunan; dan e meningkatkan perkembangbiakan mikroorganisme di dalam tanah. Adapun
sumber nitrogen adalah a fiksasi N dari udara; b sisa-sisa tanaman dan bahan- bahan organik; c mikrobia atau bakteri-bakteri; d pupuk buatan Urea, ZA dan
lain-lain. Menurut Taiz dan Zeiger 1998 legum dengan bintil akar dapat
memanfaatkan baik gas nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amonium dan nitrat. Nitrat mula-mula direduksi
menjadi nitrit oleh nitrat reduktase sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase.
8
2.1.4.2 Peranan fosfor P dalam tanaman
Salah satu fungsi fosfor P dalam tanaman adalah transfer energi melalui ADP dan terutama ATP sangat penting. Fosfor dalam dilibatkan beberapa
mekanisme metabolisme tanaman yang penting misalnya fotosintesis dan respirasi dan juga merupakan komponen penting dari beberapa biomolekul Malusa Tosi
2005. Energi yang tersimpan dikeluarkan untuk beberapa transportasi ion dan sintesis molekul-molekul organik. Fungsi utama yang lain dari P adalah sebagai
unsur pokok asam nukleat pada DNA dan RNA, membentuk jembatan diantara unit ribonukleat. Sebagai hasil dari peranannya pada struktur asam nukleat, P
merupakan unsur essensial di dalam sel, dan konsentrasinya relatif tinggi dalam jaringan meristem. Fosfor juga unsur pokok pada fosfolipid yang berkontribusi
pada struktur membran sitoplasma. Biji membutuhkan P dalam jumlah yang relatif
besar selama germinasi, dan kebutuhan ini dipenuhi oleh simpanan P dalam bentuk inositol heksafosfat atau Ca atau garam Mg asam fitat atau fitat
Whitehead 2000. Fosfor P termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibandingkan nitrogen N, kalium K dan kalsium Ca. Tanaman menyerap P
dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H
2
PO
4 -
dan HPO
4 2-
yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H
2
PO
4 -
lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam, sedangkan pada pH yang lebih tinggi bentuk HPO
4 2-
lebih dominan. Disamping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam
nukleat, fitin dan fosfohumat Havlin et al. 1999. Fosfat yang diserap tanaman tidak direduksi melainkan berada di dalam
senyawa organik dan anorganik dalam bentuk teroksidasi. Fosfor organik banyak terdapat dalam bentuk cairan sel sebagai komponen sistem penyangga tanaman.
Dalam bentuk organik, P terdapat sebagai: 1 fosfolipid, yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas; 2 fitin, yang merupakan
simpanan fosfat dalam biji; 3 gula fosfat, yang merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolism tanaman; 4 nucleoprotein, komponen utama DNA
dan RNA inti sel; 5 ATP, ADP, AMP, dan senyawa sejenis, sebagai senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme; 6 NAD dan NADP, merupakan koenzim
9
penting dalam proses reduksi dan oksidasi; dan 7 FAD dan berbagai senyawa lain, yang berfungsi sebagai pelengkap enzim tanaman Salisbury Ross 1995.
Adenosine triphosphate ATP terbentuk melalui proses fosforilasi oksidatif pada asimilasi fosfat oleh tumbuhan. Fosfor yang diasimilasi menjadi ATP
dengan cepat segera ditransfer melalui reaksi metabolis berikutnya menjadi berbagai macam bentuk fosfat dalam tanaman, diantaranya gula fosfat, fosfolipid
dan nukleotida Elfiati 2008. Fosfor organik di dalam tanah terdapat sekitar 50 dari P total tanah dan
bervariasi sekitar 15-80 pada kebanyakan tanah, bentuk-bentuk fosfat berasal dari sisa tanaman, hewan dan mikroba. Pada fosfat tersebut terdapat sebagai
senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu inositol, fosfolipid, asam nukleat, dan gula fosfat. Tiga senyawa yang disebutkan pertama amat dominan di dalam tanah.
Diperkirakan proporsi senyawa ini dalam total P organik adalah inositol fosfat 10- 30, fosfolipid 1-5 dan asam nukleat 0,2-2,5 Havlin et al. 1999.
Ketersediaan P organik bagi tanaman sangat tergantung pada mikroba untuk memineralisasikannya. Namun seringkali mineralisasi ini segera bersenyawa
dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik.
Enzim ini banyak dihasilkan oleh mikroba tanah, terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas dalam tanah meningkat dengan meningkatnya karbon-
organik C-organik, tetapi juga dipengaruhi oleh pH, kelembaban, temperatur dan faktor lainnya. Dalam kebanyakan tanah total P organik sangat berkolerasi dengan
C-organik tanah sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya total C- organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik semakin
meningkat immobilisasi P. Fosfat anorganik dapat diimmobolisasi menjadi P- organik oleh mikroba dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100 Havlin et
al. 1999. Kekurangan P pada tanaman dapat mengakibatkan berbagai hambatan
metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Kekurangan P dapat
diamati secara visual, yaitu daun-daun yang tua akan berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen antisianin terbentuk
10
karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesis protein Elfiati 2008. Kekurangan P pada daun yang ditandai dengan gejala kematian
jaringan nekrosis pada daun. Gejala kekurangan P diantaranya ditandai dengan terjadinya nekrosis kematian jaringan pada pinggir atau helai dan tangkai daun,
diikuti melemahnya batang dan akar tanaman Elfiati 2008.
2.1.4.3 Peranan Kalium K dalam tanaman
Unsur kalium K memegang peranan yang relatif banyak dalam kehidupan tanaman, baik pada membuka dan menutupnya stomata, transportasi unsur hara
dari akar ke daun, maupun berbagai proses kerja enzim pertumbuhan dan lain- lain. Di lahan kering, K merupakan adalah unsur yang paling banyak diserap oleh
tanaman. Unsur ini berada bebas di dalam plasma sel dan titik tumbuh tanaman, dapat memacu pertumbuhan pada tingkat permulaan, menambah daya tahan
tanaman terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan Tirta 2006. Unsur kalium berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman terutama
pada bagian meristem ujung pucuk dan terdapat juga dalam jumlah yang lebih banyak pada jaringan tersebut dibandingkan dengan bagian yang lebih tua.
Kalium adalah unsur yang sangat berperan dalam proses fotosintesis maupun translokasi hasil fotosintesis fotosintat keluar daun Wijaya Wahyuni 2007.
Unsur hara K salah satu unsur kimia, yang berperan dalam meningkatkan toleransi terhadap kondisi kering karena mampu mengontrol stomata daun sehingga
transpirasi dapat dikendalikan Tirta 2006
.
Kekurangan unsur kalium secara langsung akan mempengaruhi berbagai kondisi internal dalam sel dan jaringan,
baik jaringan akar, batang dan daun, maupun reproduktif bunga putik dan buah Masdar 2003.
2.1.5 Pupuk organik
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman
Suriadikarta Simanungkalit 2006. Dalam Permentan No.2PertHk.06022006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah dikemukakan bahwa pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa dapat
11
berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya. Nilai C-organik tersebut yang menjadi pembeda
dengan pupuk anorganik. Bahan organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik
kualitas maupun
kuantitas, mengurangi
pencemaran lingkungan
dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik
dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik dapat berupa
kompos, pupuk kandang, sisa panen, limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Sumber bahan yang beraneka
ragam tersebut menyebabkan karakteristik fisik dan kandungan hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap tanah dan
tanaman dapat bervariasi. Pupuk organik atau bahan organik merupakan sumber nitrogen tanah yang
utama selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah
akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.
2.1.6 Potensi limbah industri penyedap masakan sebagai pupuk organik
Limbah industri merupakan bahan sisa yang dikeluarkan akibat proses industri. Industri pengolahan hasil pertanian seperti pengolahan tebu dan kelapa
sawit menghasilkan bahan limbah berupa padat atau cair. Beberapa limbah industri hasil pertanian dapat digunakan sebagai pupuk organik yang bisa
memperbaiki kesuburan dan produktivitas tanah. Limbah pabrik penyedap masakan dapat diolah menjadi pupuk bagi tanaman, yang disebut sebagai
sipramin sisa proses asam amino. Sipramin adalah sisa fermentasi asam amino glutamate dan L-lysine merupakan bahan organik cair yang berasal dari hasil
samping pembuatan penyedap masakan monosodium glutamate atau MSG, dari bahan baku tetes tebu. Ada beberapa sipramin yang biasa digunakan sebagai
12
pupuk yaitu, 1 Bagitani, produksi PT Cheil Samsung Indonesia, Pasuruan; 2 Amina, produksi PT Ajinomoto Indonesia, Mojokerto; 3 Saritana, produksi PT
Sasa Inti, Probolinggo, dan 4 Orgami, produksi PT Miwon Indonesia, Gresik. Proses kritalisasi pemurnian MSG pada sipramin Orgami dan Saritana
menggunakan asam klorida HCl sedangkan sipramin Bagitani dan Amina selain menggunakan HCl juga menggunakan asam sulfat H
2
SO
4
dan karbon aktif. Perbedaan dalam penggunaan bahan kimia selama proses fermentasi dan
kristalisasi pemurnian
mempengaruhi kandungan
kimia sipramin
yang dihasilkan terutama unsur Cl dan SO
4
. Kandungan SO
4
pada sipramin Bagitani dan Amina relatif lebih tinggi dibanding Orgami dan Saritana. Kandungan Cl
pada sipramin Saritana lebih tinggi dibanding kedua sipramin lainnya Anwar Suganda 2002.
Tabel 1 Kandungan unsur hara sipramin kisaran terendah – tertinggi
Jenis Analisis Sipramin
Amina Bagitani
Orgami Saritana
pH H
2
O 4,65-5,45
4,15-5,89 4,30-5,15
5,53-8,50 Bahan Organik
8,13-12,02 5,72-12,83
12,34-16,10 9,82-12,83
Nitrogen N-total 4,92-5,62
4,71-7,01 4,63-5,94
4,31-6,12 Phosphat P
2
O
5
0,20-0,99 0,14-0,26
0,14-0,36 0,10-0,24
Kalium K
2
O 1,24-2,70
1,09-1,59 1,08-2,70
1,08-1,40 Natrium Na
2
O 0,81-1,07
0,12-1,07 0,41-2,53
0,94-5,06 Sulfat SO
4
12,32-23,43 10,71-22,0
2,50-5,38 8,57-11,25
Khlor Cl 0,37-3,72
0,62-2,48 1,55-8,07
0,62-3,23 Kalsium CaO
0,16-1,52 0,18-1,57
0,58-1,87 0,19-1,41
Magnesium MgO 0,16-0,23
0,16-0,24 0,19-0,27
0,14-0,21 Besi Fe
ppm 101-196
75-148 103-184
90-129 Mangan Mn
ppm 6-14
4-10 7-14
3-10 Tembaga Cu
ppm 0-3
0-2 0-3
0-2 Seng Zn
ppm 5-17
4-10 5-18
2-7
Sumber: Premono et al. 2001.
Sipramin dapat digunakan sebagai salah satu pupuk karena mengandung unsur hara makro N, P K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro seperti Cu, dan Zn
Anwar Suganda 2002. Selain itu sipramin mengandung bahan organik cukup tinggi 8,1–12,7 sehingga dapat dimanfaatkan untuk menambah bahan organik
tanah Sofyan et al. 1997. Kandungan unsur hara sipramin berdasarkan Premono et al. 2001 dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia
SNI syarat mutu pupuk sisa proses asam amino sipramin adalah berbentuk
cair; warna coklat kehi total N minimal 4,0
pembuatan sipramin S
Gam kehitaman; pH 5,5–6,5; bobot jenis pada suhu 25
4,0 dan bahan organik minimal 8,0 BSN Saritana diperlihatkan pada Gambar 1.
ambar 1 Proses pembuatan sipramin saritana 13
suhu 25
o
C 1,10–1,20; SN 1999. Proses
14
2.1.7 Peran klorofil dalam fotosintesis
Klorofil merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan tanaman yang umumnya terdiri dari klorofil a dan b. Klorofil merupakan molekul
organik yang kompleks. Molekul klorofil teridiri atas dua bagian yaitu kepala porfirin dan rantai hidrokarbon yang panjang atau ekor fitol. Porfirin adalah
tetrapirol siklik yang terdiri dari empat nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai metana disebut porfin Hopkins 2004. Rumus
empiris klorofil a dan b adalah C
55
H
72
O
5
N
4
Mg dan C
55
H
70
O
6
N
4
Mg. Perbedaan kedua rumus tersebut terletak pada cincin ketiga, yaitu pada posisi tersebut
klorofil a memiliki gugus metil -CH
3
sedangkan klorofil b memiliki gugus aldehid -CHO.
Fotosintesis merupakan suatu proses metabolisme dalam tanaman untuk membentuk karbohidrat yang menggunakan CO
2
dari udara bebas dan air dari dalam tanah dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil. Proses reaksi
fotosintesis dalam tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua tahapan: 1 reaksi terang, dan 2 reaksi gelap. Peran klorofil pada tahap reaksi terang yaitu fotosistem I dan
fotosistem II yang menyangkut penyerapan energi matahari oleh klorofil pada panjang gelombang 700 nm, penyerapan energi matahari di fotosistem II pada
panjang gelombang sekitar 680 nm. Fotosistem II mengandung lebih banyak klorofil b dari pada fotosistem I. Pusat reaksi klorofil pada fotosistem II disebut
P
680
. Fotosistem I merupakan suatu partikel yang disusun oleh sekitar 200 molekul klorofil a, 50 klorofil b sampai 200 pigmen karotinoid dan satu molekul matahari
disebut P
700
Salisbury Ross 1995. Proses fotosintesis yang tidak lengkap tidak akan terjadi pada kondisi yang
gelap. Namun jika hal itu terjadi, disebabkan oleh enzim. Enzim ini tidak sensitif terhadap cahaya tetapi sensitif terhadap suhu. Proses reduksi karbondioksida pada
karbohidrat melibatkan banyak reaksi enzim. Enzim-enzim yang berperan dalam fotosintesis yang terjadi di dalam kloroplas berhubungan dengan siklus karbon
dan air terlarut pada stroma kloroplas. Salah satu enzim yang terdapat dalam daun dengan konsentrasi tinggi yaitu ribulosa bifosfat karboksilase atau disingkat
rubisco.
15
2.2 Kebutuhan Ternak Ruminansia terhadap Mineral 2.2.1 Fungsi mineral Ca dan P pada ternak ruminansia
Kekurangan nutrien secara umum merupakan salah satu faktor pembatas paling penting dalam industri peternakan. Kekurangan energi dan protein yang
cukup sering dijadikan alasan utama terhadap menurunnya produksi ternak. Namun, beberapa peneliti telah mengamati bahwa ternak kondisi ruminansia
kadang-kadang juga memburuk karena pemberian pakan yang berlebihan. Menurut McDowell dan Valle 2000 ketidakseimbangan mineral kurang atau
lebih di dalam tanah dan hijauan memiliki peran penting yang lama terhadap rendahnya produksi dan masalah reproduksi diantara ternak ruminansia di daerah
tropis. Serangan penyakit, bulu rontok, kehilangan pigmen bulu, penyakit kulit, keguguran abortus, diare, anemia, hilang nafsu makan, tulang abnormal, tetany,
dan fertilitas rendah merupakan gejala klinis yang disebabkan kekurangan mineral.
Secara umum mineral dipergunakan dalam memelihara, pertumbuhan, dan pergantian sel–sel dan jaringan yang rusak dalam tubuh ternak Chase Sniffen
1998. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan mineral dibagi atas mineral makro, mikro dan trace element. Mineral makro antara lain kalsium Ca, magnesium
Mg, fosfor P, kalium K, sulfur S, natrium Na dan klor Cl. Mineral ini dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, namun seringkali terjadi defisiensi yang
nantinya berakibat fatal pada ternak. Kebutuhan
mineral untuk
ternak diperoleh
dari kuantitas
dan ketersediaannya bioavailability. Bioavailability mineral adalah mineral yang
siap diserap dan dimanfaatkan oleh ternak. Mineral tersedia yang dimaksud adalah mineral yang terlarut dalam rumen sehingga siap diserap oleh usus.
Kalsium Ca adalah mineral yang paling banyak dibutuhkan di dalam tubuh. Secara kuantitatif fungsi utama kalsium adalah pada pembentukan tulang.
Tulang tidak saja berfungsi untuk menunjang struktur komponen tubuh tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis penting dalam jaringan dalam menyediakan kalsium
untuk mempertahankan sistem homeostasis tubuh Piliang 2001. Fungsi lain dari kalsium yaitu untuk perkembangan gigi, produksi air susu, transmisi impuls saraf,
pemeliharaan eksitabilitas urat daging yang normal bersama-sama dengan K dan
16
Na, regulasi denyut jantung, geraka-gerakan urat daging, pembekuan darah dan mengaktifkan serta menstabilkan beberapa enzim Parakkasi 1999. Defisiensi
kalsium pada ternak dapat menyebabkan riketsia, osteoporosis, osteomalasia, pertumbuhan
terlambat, hipertropi
kelenjar parathiroid,
dan milk
fever Underwood 1981. Level kritis kebutuhan Ca bagi ternak ruminansia secara
umum yaitu 0,3 dari bahan kering pakan McDowell 1997. Mineral P sangat penting peran biokimia dan fiologisnya. Fosfor dideposit
dalam tulang dalam bentuk kalsium-hidroksi appetite [Ca
10
PO
4 6
OH
2
]. Fosfor merupakan komponen dari fosfolipid yang mempengaruhi permiabilitas sel; juga
merupakan komponen dari meilin pembungkus urat saraf; banyak transfer energi dalam sel yang melibatkan ikatan fosfat yang kaya energi dalam ATP; fosfor
memegang peran dalam sistem buffer dari darah; mengaktifkan beberapa vitamin B tiamin, niasin, piridoksin, riboflavin, biotin, dan asam pantotenik untuk
membentuk koenzim yang dibutuhkan dalam proses fosforilasi awal, fosfor juga merupakan bagian dari matrik DNA dan RNA Parakkasi 1999.
Fungsi fosfor antara lain untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi, sekresi normal air susu, aktivator enzim–enzim dan metabolisme asam amino
Piliang 2001. Defisien Fosfor pada ternak dapat menyebabkan riketsia, sifat memakan makanan yang aneh–aneh pica appetite, menurunkan reproduksi dan
ukuran tubuh kecil Underwood 1981. Durand dan Kawashima 1980 menyatakan bahwa, didalam rumen mineral
dipergunakan untuk berbagai aktifitas antara lain untuk pembentukan sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan mikroba. Disamping itu, mineral juga dipergunakan
dalam mengatur tekanan osmotik, buffering capacity, potensial reduksi dan kelarutan di dalam rumen.
2.2.2 Legum pohon sebagai sumber mineral
Kandungan mineral hijauan merupakan salah satu aspek kualitas yang penting peranannya dalam memberikan nilai penggunaannya sebagai pakan
hijauan. Hijauan legum umumnya hanya digunakan sebagai sumber protein. Namun, demikian dengan melihat kandungan mineral makro yang cukup tinggi,
pemanfaatan legum pohon dapat juga ditujukan sebagai sumber mineral makro.
17
Seperti yang dilaporkan oleh Underwood dan Suttle 1999 bahkan kandungan mineral legum pohon cukup tinggi dibandingkan rumput. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Sutardi et al. 1994 yang melaporkan bahwa legum pohon pada umumnya kandungan mineralnya cukup tinggi terutama kalsium, sehingga
dapat digunakan mengatasi kekurangan mineral. Kandungan mineral pakan sangat bervariasi yang tergantung pada berbagai
faktor diantaranya spesies, tipe tanah, iklim dan umur tanaman Underwood 1981. Pada umumnya kandungan mineral seperti Ca dan Mg pada legum lebih
tinggi dari rumput Serra et al. 1996. Legum pohon dapat dijadikan sebagai sumber mineral terutama Ca bagi ternak ruminansia. Kandungan mineral beberapa
jenis legum pohon diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2 Konsentrasi mineral Ca dan P beberapa daun legume pohon
No. Jenis Pohon
Mineral BK Ca : P
Ca P
1. Pterocarpus indicus
1
1,02 0,31
3,3 : 1 2.
Sesbania glandiflora
1
1,27 0,37
3,4 : 1 3.
Gliricidia sepium
1
1,45 0,27
5,4 : 1 4.
Leucaena leucocephala
1
1,74 0,53
3,2 : 1 5.
Calliandra calothyrsus
1
0,95 0,25
3,8 : 1 6.
Cassia siamea
2
1,06 0,08
13,3 : 1 7.
Tamarindus indica
2
1,60 0,13
12,3 : 1 Level kritis kebutuhan ternak ruminansia
3
0,30 0,12-0,30
1,2 : 1
Sumber :
1
Suharlina et al. 2008,
2
Amar dan Muliati 2007,
3
Little 1980, NRC 1984, 1996, Winks 1990 dan McDowel 1997.
Kecukupan kalsium pada ternak yang digembalakan umumnya dapat terpenuhi, khususnya untuk pastura yang mengandung legum. Dengan demikian,
penambahan hujauan pohon pada pastura dianjurkan untuk meningkatkan ketersediaan mineral makro. Kandungan Ca pada bagian daun hijauan dua kali
lebih tinggi dari pada bagian batang. Penyerapan Ca umumnya terjadi di usus halus, namun ada sebagian di dalam rumen Yano et al. 1991. Penyerapan Ca
Calcium absorbability = A
Ca
untuk setiap sumber hijauan berbeda-beda, dengan
18
rata–rata 0,68 AFRC 1991. Pada beberapa hijauan nilai ACa lebih rendah disebabkan oleh keberadaan kalsium oksalat yang sulit dicerna didalam rumen
Ward et al. 1979.
2.3 Evaluasi Kualitas Hijauan Pakan
Kualitas merupakan hal yang paling penting dari segala karakteristik agronomi untuk hijauan karena nutrisi hijauan pakan ternak menentukan
produktivitas ternak. Kualitas hijauan memungkinkan dievaluasi langsung dengan memberikan pada ternak dan di dalam laboratorium Yamada et al. 2005. Metode
tidak langsung meliputi kecernaan in vitro dengan cairan rumen Tilley Terry 1963; Menke et al. 1979, kecernaan enzimatis De Boever et al. 1986 dan
analisis kimia komponen sel Van Soest 1963. Evaluasi hijauan pakan juga dapat dilakukan dengan menganalisis imbangan mineral dan jumlah mineral terlarut.
Peningkatan kualitas hijauan juga diperoleh dari perubahan kandungan dan rasio mineral di dalam hijauan untuk mencegah gangguan metabolis Yamada et al.
2005.
2.3.1 Kecernaan pakan dan faktor yang mempengaruhinya
Koefisien cerna suatu zat makanan didefinisikan sebagai selisih antara zat- zat makanan yang dikandung dalam suatu makanan yang dimakan dan zat-zat
makanan dalam feses Anggorodi 1984, sedangkan menurut McDonald et al. 1988 kecernaan suatu bahan makanan diartikan sebagai bagian yang tidak
dieksresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa seluruh bagian tersebut dapat diserap oleh tubuh. Dikatakan pula bahwa kecernaan bahan kering ransum
dinyatakan sebagai suatu koefisien atau persentase dari total kadar bahan kering ransum yang dikonsumsi.
McDonald et al. 1988 menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan makanan, yaitu komposisi kimia bahan makanan,
komposisi kimia ransum, bentuk fisik ransum, jumlah konsumsi dan jenis ternak. Tinggi rendahnya daya cerna, dipengaruhi oleh jenis ternak, umur hewan, jenis
bahan pakan dan susunan kimianya Peterson 2005. Menurut Ranjhan dan Pathak 1979, kecernaan bahan makanan dipengaruhi oleh jenis hewan, jumlah ransum,
cara pemberian makanan, kadar zat makanan yang dikandungnya, umur ternak,
19
level pemberian makanan, pengolahan makanan dan komposisi ransum. Perbedaan anatomi dan fisiologi alat pencernaan juga dapat mempengaruhi ternak
untuk mencerna bahan makanan Maynard Loosli 1969.
2.3.2 Teknik penentuan kecernaan pakan
Untuk mempelajari pemanfaatan bahan makanan pada ruminansia, ada dua teknik yang dapat digunakan yaitu in vitro dan in vivo Tilley Terry 1963.
Teknik in vitro tergantung dari mikroba yang diambil dari hewan. Kecernaan in vitro memiliki keuntungan antara lain pelaksanaannya mudah, mengurangi resiko
kematian ternak, lebih ekonomis, mewakili penampilan ternak. Kelemahannya adalah medium kecernaan pada in vitro tidak mungkin sama dengan kecernaan in
vivo yang langsung menggunakan ternak. Syarat–syarat yang perlu diperhatikan dalam membuat teknik in vitro adanya larutan penyangga buffer dan media
makanan. Temperatur optimumnya 39
o
C, dengan pH optimum 6,7–7,0.
2.3.3 Cairan rumen
Cairan rumen yang merupakan sumber inokula yang dapat dengan cepat menghancurkan plasmalema dan banyak struktur sitoplasma dari sel tanaman
Cheng et al. 1980. Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 10
10
–10
12
selml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat mencapai 10
5
–10
6
selml, namun demikian karena ukuran tubuhnya lebih besar dari bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni
mengandung lebih kurang 40 total nitrogen mikroba rumen Ogimoto Imai 1985.
3 MATERI DAN METODE
Penelitian ini terdiri dari dua tahap pelaksanaan yaitu 1 pengaruh pemberian pupuk organik cair dari limbah industri penyedap masakan terhadap
karakteristik kimia dan biologi tanah, pertumbuhan kembali regrowth dan komposisi kimia Indigofera sp. dan 2 evaluasi kecernaan in vitro bahan kering,
bahan organik, protein kasar serta kelarutan mineral kalsium Ca dan fosfor P.
3.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri
Penyedap Masakan terhadap Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah, Pertumbuhan Kembali
regrowth dan Komposisi Kimia Indigofera sp. 3.1.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai Maret 2010 di Laboratorium
Agrostologi, Laboratorium
Ilmu dan
Teknologi Pakan,
Laboratorium Nutrisi
Ternak Perah,
Laboratorium Fisiologi
Tumbuhan, Laboratorium Biologi dan Kimia Tanah Institut Pertanian Bogor.
3.1.2 Materi Penelitian 3.1.2.1 Pupuk organik cair
Pupuk organik cair yang digunakan dalam penelitian ini adalah sipramin Saritana produksi PT. Sasa Inti, Probolinggo. Komposisi nutrisi sipramin Saritana
diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi nutrien sipramin Saritana yang digunakan dalam penelitian
BK
Komposisi Konsentrasi
pH 5,6
C-organik 6,11
N total 4,28
P
2
O
5
0,15 K
2
O 0,40
CaO 0,02
MgO 0,12
Na 0,46
S 1,63
Cl 3,52
Fe ppm
79 Mn
ppm 11
Cu ppm
- Zn
ppm 3
Pb ppm
0,5 Cd
ppm -
Co ppm
- As
ppm -
Mo ppm
- Hg
ppm -
21
3.1.2.2 Tanaman percobaan
Tanaman percobaan dalam penelitian ini adalah tananam Indigofera sp. Tanaman Indigofera sp. ditanam dengan perlakuan pupuk organik cair dengan
dosis dan waktu pemberian pupuk yang berbeda.
3.1.2.3 Larutan abu gosok
Penambahan larutan
abu gosok
sisa pembakaran
sekam dengan
konsentrasi 20 digunakan untuk menetralkan derajat keasaman pH sipramin. Abu gosok digunakan untuk menetralkan pH karena lebih aplikatif. Abu gosok
merupakan sisa pembakaran sekam yang mengandung oksigen O
2
akibat proses pembakaran jika dilarutkan dalam air maka akan terjadi reaksi yang menghasilkan
ion OH
-
. Konsentrasi ion OH
-
dalam larutan menggambarkan sifat basa dari larutan tersebut. Larutan abu gosok yang digunakan dalam penelitian memiliki pH
larutan 9,13-9,56. Abu gosok yang digunakan mengandung kalsium Ca dan fosfor P berturut-turut sebesar 0,056 dan 0,0285.
3.1.3 Metode Penelitian
Desain percobaan menggunakan rancangan acak lengkap RAL pola faktorial 4×2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk organik
cair sipramin Saritana dengan dosis 0, 10, 20 dan 40. Faktor ke dua adalah waktu pemberian pupuk daun yaitu pada 30 dan 15 hari sebelum panen hsp.
Pupuk sipramin diberikan pada 30 dan 15 hsp dikarenakan sipramin merupakan pupuk
organik yang
memberikan efek
relatif lama
terhadap tanaman
dibandingkan pupuk kimia. Pemberian pupuk pada 30 dan 15 hsp dimaksudkan agar pupuk sipramin dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman pada saat
pertumbuhan kembali regrowth setelah tanaman mengalami defoliasi. Tanaman di panen pada umur 60 hari.
Peubah yang diamati antara lain: 1.
Karakteristik kimia dan biologi tanah meliputi pH, kandungan N, P tersedia, C-oganik, jumlah bakteri Rhizobium sp., dan jumlah bakteri pelarut fosfat.
2. Pertumbuhan kembali regrowth Indigofera sp. meliputi jumlah cabang,
bobot cabang, diameter batang, rasio daun-cabang, jumlah dan bobot bintil akar.
22 3.
Produktivitas Indigofera sp. meliputi produksi bahan kering daun dan tajuk, jumlah klorofil, bobot klorofil, komposisi PK, NDF, ADF, mineral Ca dan
P.
3.1.3.1 Prosedur Penelitian Persiapan media tanah. Polybag diisi tanah 12 kg tanah ditambah 60 gram
kapur dan 100 gram pupuk kandang. Penambahan kapur dan pupuk kandang pada tanah dilakukan untuk menyediakan nutrisi pada tanaman awal pertumbuhan agar
tanaman memiliki kesempatan tumbuh yang sama sebelum diberikan perlakuan.
Penanaman. Tanaman Indigofera sp. ditanam dalam polybag dan
ditempatkan di rumah kaca. Sebelum diberi perlakuan, tanaman di-treeming pada ketinggian 100 cm diatas permukaan tanah. Tanaman dipelihara dalam dua
periode tanam. Lama pemeliharaan tanaman dalam satu periode tanam adalah 60 hari.
1. Pengukuran karakteristik kimia dan biologi tanah sebagai berikut: a. Derajat keasaman pH. Pengukuran pH dilakukan sesuai prosedur
Sulaeman et al. 2005. Sebanyak 10 gram contoh tanah ditimbang dua kali, masing-masing dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer, kemudian
ditambahkan 50 ml air bebas ion ke dalam tabung yang satu pH H
2
O dan 50 ml KCl 1M ke dalam tabung lainnya pH KCl. Kemudian tabung
dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengn pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7,0
dan pH 4,0. b. Kandungan N total. Pengukuran kandungan N dengan metode Kejldhal.
Sebanyak 0,5 g contoh tanah ukuran 0,5 mm ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung digestion, kemudian ditambahkan satu gram campuran
selen dan 20 ml asam sulfat pekat dan didestruksi hingga suhu 350
o
C 3-4 jam. Destruksi dinyatakan selesai bila tampak keluar uap putih dan
didapat ekstrak jernih sekitar 4 jam. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 ml,
dikocok sampai
homogen dan
dibiarkan semalam
agar partikel
mengendap. Ekstrak digunakan untuk pengukuran N dengan cara destilasi atau cara kolorimetri.
23 c. Pengukuran P tersedia menggunakan metode Bray I Sulaeman et al.
2005. Sebanyak 2,5 gram contoh tanah 2mm, ditambah pengekstrak Bray dan Kurts I sebanyak 25 ml, kemudian dikocok selama lima menit
dan disaring. Bila larutan keruh dikembalikan ke atas saringan semula proses penyaringan maksimum lima menit. Dipipet dua ml ekstrak jernih
ke dalam tabung reaksi. Contoh dan deret standar masing-masing ditambah pereaksi pewarna fosfat sebanyak 10 ml, dikocok dan dibiarkan
30 menit. Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.
d. Jumlah bakteri Rhizobium sp. dan bakteri pelarut fosfat. Jumlah bakteri Rhizobium sp. dan bakteri pelarut fosfat dihitung menggunakan metode
Clark 1965. Sepuluh gram tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambah aquadest 90 ml. Sebanyak satu ml larutan tanah dari tabung
Erlenmeyer dimasukkan ke dalam tabung pengenceran pertama 110 atau 10
-1
secara aseptis. Pengenceran dilakukan hingga empat kali sehingga sehingga pengenceran berikutnya mengandung 10
-1
sel mikroorganisme dari pengenceran sebelumnya. Kemudian masing-masing sampel dari
setiap tabung pengenceran ditanam pada media dalam cawan petri. Sample untuk bakteri Rhizobium sp. ditanam pada media YEMA Yeast Extract
Mannitol Agar, sedangkan sampel untuk bakteri pelarut fosfat ditanam pada media Pikovskaya.
2. Pertumbuhan kembali regrowth a. Jumlah cabang. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan tanda
dari pita yang diberi nomor pada cabang baru setiap satu minggu sekali selama penelitian untuk melihat petambahan jumlah cabang pada tanaman.
b. Diameter batang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong pada bagian batang lima cm diatas permukaan tanah.
c. Rasio daun-cabang. Pengambilan data dengan menimbang terlebih dahulu sample berat tanaman yang dipanen kemudian dipisahkan antara bagian
daun dan cabang, sehingga didapat rasio daun-cabang tanaman. d. Jumlah bintil akar. Bintil akar yang sehat hidup dipisahkan dari akar dan
dihitung jumlahnya serta ditimbang bobotnya.
24 3. Produktivitas tanaman Indigofera sp.
a. Produksi bahan kering daun dan tajuk. Pengambilan data dilakukan pada waktu pemanenan setelah tanaman berumur 60 hari. Produksi segar
tanaman ditimbang setelah dipanen, kemudian diukur persentase bahan keringnya BK. Produksi bahan kering daun dan tajuk merupakan hasil
perkalian persentase bahan kering BK dengan produksi daun dan tajuk tanaman segar.
b. Jumlah klorofil. Pengukuran kadar klorofil dilakukan berdasarkan Arnon 1959 dan MacKinney 1941. Daun segar sebanyak dua gram dihaluskan
dalam mortar yang diberi aceton 80 secukupnya sampai larutan homogen. Kemudian disaring menggunakan kertas filter Whatman No. 41
dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Aseton ditambahkan ke dalam labu ukur sampai mencapai volume 100 ml. Sebanyak 5 ml larutan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan diencerkan dengan aseton 80 sampai
volume 50
ml. Pengukuran
klorofil dilakukan
dengan spektrofotometer, absorbansi pada panjang gelombang 663 dan 645 nm.
Perhitungan konsentrasi klorofil mengikuti rumus sebagai berikut: Kl
a
= 0,0127 × D
663
- 0,00269 × D
645
…………. 1 Kl
b
= 0,0229 × D
645
- 0,00468 × D
663
…………. 2 Kl
t
= Kl
a
+ Kl
b
= 0,0202 × D
645
+ 0,00802 × D
663
………… 3 Keterangan :
D
663
= absorban pada 663 nm D
645
= absorban pada 645 nm Kl
a
= konsentrasi klorofil a gl Kl
b
= konsentrasi klorofil b gl Kl
t
= konsentrasi klorofil total gl c. Komposisi PK, NDF dan ADF. Komposisi PK dilakukan dengan
menggunakan metode proksimat AOAC 1990, sedangkan kandungan NDF dan ADF dianalisis menggunakan metode Van Soest 1991.
d. Kandungan mineral P, dan Ca. Pengukuran kadar mineral tersebut dilakukan dengan cara pengabuan basah wet ashing Reitz et al. 1960.
25 Satu
gram sampel
dimasukkan kedalam
tabung Erlenmeyer dan
ditambahkan lima ml HNO
3
, kemudian dibiarkan selama satu jam sampai menjadi bening atau tidak ada buih. Labu Erlenmeyer dipanaskan pada hot
plate selama kurang lebih empat jam. Setelah dingin ditambahkan 0,4 ml H
2
SO
4
pekat, labu Erlenmeyer dipanaskan kembali. Pada saat terjadi perubahan warna volume akan berkurang diteteskan larutan HClO
4
dan HNO
3
perbandingan 2:1. Perubahan warna dimulai dari warna coklat menjadi kuning dan bening. Setelah bening, dipanaskan kembali selama
15 menit, lalu ditambahkan dengan dua ml aquades dan 0,6 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali hingga larut. Setelah didinginkan, ditambahkan
dengan aquades hingga 100 ml. Analisis mineral P menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm, sedangkan mineral
Ca dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometric AAS.
3.1.3.2 Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial RAL 4×2 dengan 3 ulangan Steel Torrie 1981. Model matematik
rancangan tersebut adalah
Y
ijk
= µ + α
i
+ β
j
+ αβ
ij
+ ε
ijk
Y
ijk
adalah nilai pengamatan pada faktor A dosis pupuk sipramin taraf ke i, faktor B waktu pemberian pupuk taraf ke-j dan ulangan ke k. µ,
α
i
, β
j
adalah komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B.
αβ
ij
merupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B dan ε
ij
adalah pengaruh acak yang menyebar normal 0, σ
ε 2
. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA dan untuk mengetahui perbedaan
pada perlakuan digunakan uji lanjut beda nyata terkecil BNT dengan bantuan software SPSS 13.0.
26
3.2 Evaluasi Kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik dan protein
kasar serta kelarutan mineral kalsium Ca dan fosfor P 3.2.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2010.
3.2.2 Materi Penelitian 3.2.2.1 Sampel pakan
Sampel pakan diambil dari hasil terbaik pada penelitian tahap I dan dibandingkan dengan kontrol. Sampel pakan yang digunakan adalah bagian tajuk.
Tajuk tanaman Indigofera sp. dikeringkan di bawah sinar matahari dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60
o
C kemudian digiling.
3.2.2.2. Cairan Rumen
Cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen sapi yang diambil melalui ternak sapi berfistula milik Laboratorium Nutrisi Fakultas
Peternakan IPB. Cairan rumen dimasukkan kedalam termos. Lamanya cairan rumen di dalam termos selama perjalanan dari kandang ke tempat penelitian
kurang lebih 10 menit.
3.2.3 Metode Penelitian
Desain percobaan in vitro membandingkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian tahap I dengan kontrol dosis 0 sipramin. Pengujian perbedaan nilai
rata-rata dari perlakuan terbaik pada penelitian tahap I dan kontrol dianalisis menggunakan uji T dengan bantuan software SPSS v. 13.0. Peubah yang diamati
antara lain: 1. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar
2. Kelarutan mineral kalsium Ca dan fosfor P
3.2.3.1 Prosedur Penelitian
1. Pengukuran Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar. Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar dilakukan dengan
teknik in vitro Tilley Terry 1963. Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0,5 gram sampel ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan rumen.
27 Tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dengan suhu 39
o
C dan dialiri dengan CO
2
selama 30 detik, cek pH 6,5-6,9 dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi, dan difermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, buka tutup karet
fermentor dan ditambahkan empat ml HgCl
2
dengan konsentrasi 5 untuk menghentikan aktivitas mikroba. Setelah aktivitas mikroba berhenti tabung
fermentor disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Substrat residu akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang
bening berada dibagian atas. Residu hasil sentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit
ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0,2. Campuran ini kemudian diinkubasikan selama 48 jam tanpa tutup karet. Setelah 48 jam tabung fermintor
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Residu disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan
dimasukkan ke dalam cawan porselen. Bahan kering didapat dengan cara dikeringkan dalam oven 105
o
C selama 8 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600
o
C untuk mengetahui bahan organik yang tercerna. Sebagai blanko dipakai residu
asal fermentasi tanpa sampel bahan pakan. Protein dalam residu dianalisis dengan motode Kejldhal. Koefisien cerna dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
KCBK = BK sample
− BK residu BK sampel
× 100
KCBO = BO sample
− BO residu BO sampel
× 100
KCPK = PK sample
− PK residu PK sampel
× 100
Keterangan: KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering
KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik KCPK = Koefisien Cerna Protein Kasar
BK = Bahan Kering BO = Bahan Organik
PK = Protein Kasar
28 2. Pengukuran kelarutan mineral kalsium Ca dan fosfor P
Sampel yang telah diinkubasi seperti prosedur 1, setelah ketahui bahan keringnya, diabukan dengan menggunakan metode pengabuan basah wet ashing
Reitz et al. 1960. Kandungan residu mineral setiap sampel dalam tabung fermentor memperlihatkan proporsi mineral yang terlarut dalam cairan rumen.
Kelarutan mineral dihitung berdasarkan jumlah mineral dalam bahan pakan dikurangi dengan mineral yang tersisa pada bahan pakan yang telah diinkubasi.
Analisis mineral kalsium Ca dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometric AAS. Pengukuran kadar fosfor P dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV Visible dengan panjang gelombang 660 nm. Persentase kelarutan mineral dihitung berdasarkan rumus berikut:
Kelarutan Mineral = Mineral sample
− Mineral residu Mineral sampel
× 100
Jumlah mineral terlarut dalam tajuk tanaman merupakan hasil perhitungan dari perkalian persentase kelarutan mineral dengan jumlah mineral pada produksi tajuk
tanaman.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Ilmu dan Teknologi Tumbuhan Pakan dan Pastura Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
sehingga faktor lingkungan yang mempengaruhi tanaman seperti intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban, dan angin yang diterima oleh tanaman yang diuji
relatif sama. Pengamatan yang dilakukan selain pada peubah-peubah yang telah ditentukan juga dilakukan pengamatan secara umum terhadap beberapa faktor,
yaitu:
4.1.1 Suhu dan kelembaban
Keadaan suhu dan kelembaban di dalam rumah kaca tempat dilakukannya penelitian diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan suhu dan kelembaban rumah kaca selama penelitian Waktu
Suhu
o
C Kelembaban
Pagi 06.00-07.00 24
92 Siang 12.00-13.00
37 87
Kondisi tersebut
cukup baik
untuk pertumbuhan
tanaman dan
mikroorganisme tanah. Menurut Sarief 1985 kisaran maksimum pertumbuhan tanaman antara 15 dan 40
o
C merupakan suhu terbaik untuk pertumbuhan tanaman juga pertumbuhan mikroorganisme tanah.
4.1.2 Profil daun
Pemberian pupuk organik cair sipramin Saritana mempengaruhi profil daun Indigofera sp. Daun tanaman yang diberi pupuk 0-20 menunjukkan gejala
kekurangan nutrien dibandingkan dengan tanaman yang diberi pupuk sampai 40 Gambar 2. Gejala kekurangan nutrien yang ditunjukkan oleh daun tanaman yang
diberi pupuk 0-20 diantaranya adalah kekurangan nitrogen yang ditandai dengan adanya warna kuning pada daun. Gejala kekurangan nitrogen N yang
parah menyebabkan daun menjadi kuning seluruhnya lalu agak kecoklatan saat mati Salisbury Ross 1995. Daun tanaman yang diberi pupuk dengan
konsentrasi 40 menunjukkan vigoritas tanaman yang baik yaitu terlihat segar
dan hijau yang mengindikasikan bahwa daun banyak mengandung nutrien dikarenakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman terpenuhi Gambar 2d.
Menurut Salisbury dan Ross 1995 tanaman yang terlalu banyak mendapatkan nitrogen biasanya mempunyai daun hijaun tua dan lebat, dengan sistem akar yang
kerdil sehingga nisbah tajuk-akarnya tinggi.
Gambar 2 Profil daun Indigofera sp. yang diberi pupuk Sipramin Saritana dengan dosis 0 a, 10 b, 20 c, dan 40 d
Tanaman yang diberi pupuk sipramin Saritana dengan dosis 0-20 juga memperlihatkan gejala kekurangan kalium Gambar 2. Gejala kekurangan kalium
pada tanaman dikotil ditandai dengan klorosis pada daun yang kemudian menjadi bercak nekrosis berwarna gelap bercak mati yang segera meluas Salisbury
Ross 1995. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting untuk fotosintesis. Kalium mengaktifkan pula enzim yang diperlukan untuk
membentuk pati dan protein. Unsur kalium menjadi penentu utama potensial osmotik sel dan kerena itu pula menjadi penentu tekanan turgornya. Tanaman
yang diberi pupuk sipramin Saritana dengan dosis 0-20 juga memperlihatkan gejala kekurangan kalium Gambar 2. Gejala kekurangan kalium pada tanaman
dikotil ditandai dengan klorosis pada daun yang kemudian menjadi bercak nekrosis berwarna gelap bercak mati yang segera meluas Salisbury Ross
1995.
4.2 Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah
Kandungan unsur hara tanah setelah diberi pupuk sipramin Saritana diperlihatkan pada Tabel 5. Komposisi nitrogen N total tanah yang diberi pupuk
dengan dosis 0-20 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata P0,05, namun pemupukan dengan dosis 40 memperlihatkan perbedaan yang nyata
P0,05. Perbedaan waktu pemberian pupuk tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah N total tanah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pemberian pupuk sipramin Saritana dengan dosis 40 meningkatkan kandungan N tanah dan menyebabkan tanah lebih banyak mengandung unsur N bagi
tanaman. Tabel 5 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan N total tanah BK
Dosis pupuk
N total Setelah pemberian pupuk
Setelah tanaman dipanen 30 hsp
15 hsp rata-rata
30 hsp 15 hsp
rata-rata 0,17±0,02
0,15±0,01 0,16±0,01
b
0,11±0,02 0,15±0,08
0,13±0,03 10
0,17±0,03 0,17±0,02
0,17±0,00
b
0,09±0,01 0,09±0,01
0,09±0,00 20
0,17±0,04 0,15±0,00
0,16±0,01
b
0,11±0,01 0,12±0,01
0,11±0,00 40
0,24±0,01 0,29±0,01
0,26±0,04
a
0,13±0,02 0,12±0,00
0,12±0,00 Rataan
0,18±0,02 0,19±0,01
0,11±0,02 0,12±0,02
Keterangan:
a,b
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Kandungan unsur hara tanah setelah tanaman dipanen diperlihatkan pada Tabel 5. Kandungan N total tanah setelah tanaman dipanen tidak berbeda nyata
diantara perlakuan dosis dan waktu pemberian pupuk. Hal tersebut dikarenakan tanaman yang diberi pupuk sipramin Saritana dengan dosis 0-20 berusaha
mendapatkan N dari sumber selain pupuk, misalnya dengan bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. untuk menangkap N
2
dari udara. Kandungan N total tanah setelah panen rata-rata lebih rendah dibandingkan setelah pemupukan. Kandungan
N total tanah setelah tanaman dipanen 24,37 lebih rendah P0,05 dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
unsur N tersebut diserap oleh tanaman. Menurut Russel 1988 jumlah N yang mudah tersedia hanya bersifat sementara karena mudah tercuci, denitrifikasi atau
diserap oleh tanaman.
Kandungan C-organik tanah setelah diberi pupuk sipramin Saritana tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Komposisi C-organik tanah tersebut
tergolong rendah Tabel 6. Kandungan C-organik 2 tergolong rendah, padahal untuk
memperoleh produktivitas
optimal dibutuhkan
C-organik 2,5
Suriadikarta Simanungkalit 2006. Rendahnya kandungan C-organik pada tanah yang telah diberi pupuk sipramin Saritana dikarenakan kandungan C-
organik pada sipramin juga rendah. Kandungan C-organik pada sipramin Saritana yang dipakai dalam penelitian adalah 6,11.
Tabel 6 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap kandungan C-organik tanah BK
Dosis pupuk
C-Organik Setelah pemberian pupuk
Setelah tanaman dipanen 30 hsp
15 hsp rata-rata
30 hsp 15 hsp
rata-rata 0,72±0,45
1,22±0,27 0,97±0,36
1,07±0,17 1,47±0,08
1,27±0,06 10
0,52±0,16 0,79±0,34
0,65±0,19 0,95±0,00
0,80±0,01 0,88±0,01
20 0,44±0,05
0,48±0,11 0,46±0,03
0,92±0,16 1,11±0,01
1,01±0,11 40
0,64±0,33 0,86±0,70
0,75±0,16 1,14±0,15
1,03±0,01 1,08±0,11
Rataan 0,58±0,25
0,84±0,35 1,02±0,12
1,10±0,02 Keterangan: hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Kandungan C-organik tanah setelah tanaman dipanen lebih tinggi dari C- organik tanah setelah tanaman diberi pupuk Tabel 6. Dosis pupuk cenderung
berbeda nyata P=0,10 dan waktu pemberian pupuk tidak berbeda nyata setelah tanaman dipanen. Pemberian pupuk sipramin Saritana meningkatkan kandungan
C-organik 20,11 P0,05 setelah tanaman dipanen. Bertambahnya kandungan C-organik tersebut dikarenakan tanaman mendistribusi hasil fotosintesis pada akar
untuk kelangsungan hidup mikroba tanah. Aktivitas mikroba tanah membutuhkan bahan organik dari pupuk dan tanaman. Dengan demikian kandungan C-organik
tanah meningkat. Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman apabila
perbandingan kandungan C-N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan kandungan C-N tanah. Rasio C-N merupakan perbandingan antara karbohidrat C
dan nitrogen N. Kandungan C dan N tanah berperan penting pada kelangsungan hidup mikroorganisme tanah. Karbon C dibutuhkan oleh mikroba sebagai
sumber energi untuk pertumbuhannya dan N diperlukan untuk membentuk protein
Setyorini et al. 2006. Dosis dan waktu pemberian pupuk tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tetapi cenderung berbeda nyata P=0,09 terhadap rasio C-
N tanah Tabel 7. Rasio C-N tanah yang telah diberi pupuk sipramin Saritana berkisar 2,7-8,4. Rasio C-N tanah tersebut tergolong rendah karena kandungan C-
organik tanah pada pupuk sipramin Saritana juga rendah. Tabel 7 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap rasio C-N tanah BK
Dosis pupuk
Rasio C-N tanah Setelah pemberian pupuk
Setelah tanaman dipanen 30 hsp
15 hsp rata-rata
30 hsp 15 hsp
rata-rata 4,20±2,12
8,40±1,41 6,30±2,97
10,24±0,45 9,76±0,13
10,00±0,34 10
3,20±1,48 5,00±2,69
4,08±1,31 10,69±1,68
9,44±0,79 10,07±0,88
20 2,80±0,92
3,20±0,71 2,98±0,32
8,29±0,41 9,67±0,59
8,98±0,97 40
2,70±1,34 3,00±2,55
2,83±0,25 9,11±0,36
8,58±0,00 8,85±0,37
Rataan 3,20±1,47
4,90±1,84 9,58±0,73
9,37±0,38 Keterangan: hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Rasio C-N tanah setelah tanaman dipanen tidak berbeda nyata diantara perlakuan dosis dan waktu pemberian pupuk Tabel 7, tetapi rasio C-N tanah
setelah tanaman dipanen lebih tinggi dibandingkan pada awal pemupukan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada peningkatan jumlah C bahan organik.
Peningkatan jumlah C tersebut memiliki alasan yang sama dengan peningkatan jumlah C-organik tanah. Rasio C-N tanah setelah tanaman dipanen meningkat
40,26 dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk pada awal penelitian. Rasio C-N tanah pada akhir penelitian berkisar 9,37-9,58. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa bahan organik dalam tanah tersebut dapat digunakan oleh tanaman. Menurut Setyorini et al. 2006 rasio C-N tanah berkisar antara 10-12. Apabila
bahan organik mempunyai rasio C-N mendekati atau sama dengan rasio C-N tanah maka bahan tersebut dapat digunakan oleh tanaman.
Setelah nitrogen N, fosfor P sering menjadi unsur pembatas dalam tanah. Fosfor P diserap terutama sebagai anion fosfat valensi satu H
2
PO
4 -
dan diserap lebih lambat dalam bentuk anion valensi dua HPO
4 2-
. Banyak fosfat diubah menjadi bentuk organik ketika masuk ke dalam akar atau sesudah diangkut
melalui xilem menuju tajuk. Banyaknya kandungan P total tanah belum tentu dapat memenuhi kebutuhan P tanaman. Jumlah P yang dibutuhkan tanaman
bergantung pada P tersedia dalam tanah. Kandungan P tersedia pada tanah yang diberi pupuk sipramin Saritana dengan dosis 0-20 tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata, namun kandungan P tersedia pada tanah yang diberi 40 pupuk sipramin Saritana nyata P0,05 lebih tinggi dibandingkan dosis lainnya
Tabel 8. Waktu pemberian pupuk sipramin Saritana juga menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 terhadap kandungan P tersedia dalam tanah.
Pemupukan pada 15 hari sebelum panen hsp memiliki kandungan P tersedia yang nyata P0,05 lebih tinggi dibandingkan 30 hsp. Hal tersebut menjelaskan
bahwa pemberian pupuk sipramin Saritana dengan dosis 40 pada 15 hsp dapat menyediakan unsur P tersedia yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.
Tabel 8 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap P tersedia tanah BK
Dosis Pupuk
P tersedia ppm Setelah pemberian pupuk
Setelah tanaman dipanen 30 hsp
15 hsp rata-rata
30 hsp 15 hsp
rata-rata 1,35±0,21
1,60±0,14 1,48±0,18
b
1,50±0,57 1,45±0,21
1,48±0,04
b
10 1,70±0,28
1,95±0,07 1,83±0,18
b
2,35±0,21 1,90±0,00
2,13±0,32
a
20 1,70±0,42
2,35±0,64 2,03±0,46
b
2,00±0,14 2,05±0,21
2,03±0,04
a
40 5,50±0,71
5,95±0,07 5,73±0,32
a
1,65±0,07 2,30±0,28
1,98±0,46
a
Rataan 2,56±0,41
q
2,96±0,23
p
1,88±0,25 1,93±0,18
Keterangan:
a,b
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05
p,q
pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Perlakuan dosis pupuk berpengaruh nyata P0,05 terhadap kandungan P tersedia pada tanah setelah tanaman dipanen, akan tetapi perbedaan waktu
pemberian pupuk tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata Tabel 8. Tanah yang dipupuk dengan dosis 10-40 memiliki kandungan P tersedia lebih tinggi
P0,05 dibandingkan dosis 0. Kandungan P tersedia pada tanah setelah tanaman dipanen lebih kecil dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk Tabel
8. Kandungan P tersedia tanah setelah tanaman dipanen cenderung menurun 18,5 P=0,07 dibandingkan tanah setelah diberi pupuk sipramin. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian P tersedia diserap oleh tanaman. P tersedia digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhannya Zaccheo et al. 1997, disamping
itu beberapa mikroorganisme dapat menggunakan P dalam bentuk P-inorganik untuk diubah di dalam sel-selnya menjadi senyawa organik Kagata et al. 1999.
Dengan demikian P tersedia di dalam tanah akan menurun setelah pemanenan Lubis Kumagai 2007.
Ketersediaan P dalam tanah erat kaitannya dengan bakteri pelarut fosfat. Sebagian besar fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Fosfat tersebut tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh tanaman karena fosfat dalam bentuk P-terikat di dalam tanah. Bakteri pelarut
fosfat berperan dalam menguraikan ikatan P dari mineral tanah lainnya sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Semakin banyak jumlah bakteri pelarut fosfat
maka semakin besar tanaman mendapatkan P tersedia. Jumlah bakteri pelarut fosfat pada pemupukan dengan dosis 40 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
dosis 0, 10 dan 20 P0,01 Tabel 9. Hal tersebut dikarenakan dosis pupuk 40 lebih banyak mengandung P dibandingkan dosis pupuk lainnya. Menurut
Premono 1994 penggunaan bakteri pelarut P dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP sebanyak 60-135 .
Tabel 9 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap bakteri pelarut fosfat BK
Dosis Pupuk
Bakteri Pelarut Fosfat SPKg 10
2
Setelah pemberian pupuk Setelah tanaman dipanen
30 hsp 15 hsp
rata-rata 30 hsp
15 hsp rata-rata
6,68±1,90 10,65±0,07
8,66±2,81
b
32,65±15,77 42,40±6,93
37,53±6,89 10
9,36±1,90 9,36±1,90
9,36±0,00
b
15,90±6,22 13,88±8,66
14,89±1,43 20
9,31±5,65 7,95±3,75
8,63±0,96
b
25,40±7,21 57,40±54,59
41,40±22,63 40
63,55±8,27 29,20±22,49
46,38±24,29
a
43,30±26,87 35,65±1,63
39,48±5,41 Rataan
22,22±4,43 14,29±7,05
29,31±14,02 37,33±17,95
Keterangan: hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Jumlah bakteri pelarut fosfat pada tanah setelah tanaman dipanen tidak berbeda nyata diantara perlakuan dosis dan waktu pemupukan Tabel 9. Jumlah
bakteri pelarut fosfat pada tanah setelah tanaman dipanen lebih tinggi 29,21 P0,05 dibandingkan setelah tanaman diberi pupuk pada awal penelitian.
Jumlah bakteri
pelarut fosfat
meningkat karena tanaman
membutuhkan mikroorganisme tersebut untuk melarutkan fosfat sehingga menjadi tersedia bagi
tanaman. Selain itu, mikroorganisme pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya Ginting et al. 2006.
Dengan demikian semakin tinggi kebutuhan tanaman terhadap fosfat terlarut semakin banyak baktri pelarut fosfat yang aktif menguraikan P-terikat.
Jumlah bakteri Rhizobium sp. berhubungan dengan jumlah N pada tanah. Jika N dalam tanah semakin tinggi maka jumlah bakteri Rhizobium sp. semakin
sedikit Tabel 10. Hal ini dikarenakan tanaman hanya memerlukan bakteri Rhizobium sp. untuk fiksasi N ketika kandungan N dalam tanah tidak memenuhi
kebutuhan tanaman. Tanah yang diberi pupuk 40 memiliki jumlah bakteri Rhizobium sp. yang berbeda nyata P0,05 dengan dosis pupuk lainnya. Jumlah
bakteri Rhizhobium sp. yang sedikit mengindikasikan bahwa tanah banyak mengandung N bagi tanaman.
Tabel 10 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap jumlah bakteri Rhizobium sp. tanah BK
Dosis Pupuk
Bakteri Rhizobium sp. SPKg 10
3
Setelah pemberian pupuk Setelah tanaman dipanen
30 hsp 15 hsp
rata-rata 30 hsp
15 hsp rata-rata
68,40±1,84 64,60±1,70
66,50±2,69
a
8,13±0,18 7,25±0,35
7,69±0,62
A
10 52,35±0,35
54,20±4,38 53,28±1,31
b
1,50±0,71 1,25±0,35
1,38±0,18
B
20 29,00±2,55
29,90±3,82 29,45±0,64
c
1,25±0,35 1,00±0,00
1,13±0,18
B
40 1,30±0,33
1,70±0,15 1,50±0,28
d
0,00±0,00 0,00±0,00
0,00±0,00
C
Rataan 37,76±1,27
37,60±2,51 2,72±0,31
2,38±0,18 Keterangan:
a,b,c
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05
A,B,C
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0,01 hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Jumlah bakteri Rhizobium sp. setelah tanaman di panen diperlihatkan pada Tabel 10. Perlakuan dosis berpengaruh sangat nyata P0,01 terhadap jumlah
bakteri Rhizobium sp., tetapi perbedaan waktu pemberian pupuk cenderung berbeda nyata P=0,08. Tanah yang diberi pupuk dengan dosis 0 memiliki
jumlah bakteri Rhizobium sp. lebih tinggi P0,01 diantara perlakuan dosis lainnya, sedangkan perlakuan dosis 10 memiki jumlah bakteri Rhizobium sp.
tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 20. Pemupukan dengan dosis 40 tidak ditemukan adanya bakteri Rhizobium sp.. Hal ini mengindikasikan bahwa
pupuk sipramin Saritana menyumbangkan unsur N yang mencukupi kebutuhan tanaman. Semakin tinggi dosis pupuk, semakin tinggi pula sumbangan N pupuk
terhadap tanah dan tanaman. Jumlah bakteri Rhizobium sp. setelah tanaman dipanen lebih rendah 87,34 P0,05 dibandingkan setelah tanaman diberi
pupuk sipramin Saritana pada awal penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa
pupuk sipramin Saritana memberikan pengaruh dalam waktu relatif lama. Tanaman bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. pada awal penelitian untuk
mencukupi kebutuhan
nitrogen sementara
pupuk yang diberikan
belum memberikan pengaruh optimal.
Derajat keasaman pH merupakan faktor penting yang mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan menentukan kesuburan tanah. Asam merupakan
bahan kimia yang menyumbangkan ion hirogen H
+
terhadap molekul lain di dalam larutan cair Tisdale et al. 1993. Nilai pH tanah merupakan takaran jumlah
proton di dalam larutan tanah. Jika jumlah H
+
meningkat maka pH menurun. Dosis dan waktu pemberian pupuk sipramin Saritana mempengaruhi pH tanah.
Pemupukan sipramin Saritana dengan dosis 40 memiliki pH yang nyata P0,05 lebih kecil dibandingkan dengan dosis lainnya Tabel 11. Waktu
pemberian pupuk sipramin juga mempengaruhi pH tanah. Pemberian pupuk sipramin pada 15 hsp memiliki pH yang nyata P0,05 sedikit lebih asam
dibandingkan pH tanah yang dipupuk pada 30 hsp. Namun demikian, pH tanah yang telah diberi pupuk sipramin Saritana berada dalam kisaran normal sehingga
memungkinkan penyediaan unsur hara bagi tanah. Nilai pH tanah yang tergolong normal adalah 6,6-7,3; pH 5,6-6,0 tergolong sedikit asam dan pH 5,1-6,0
tergolong moderat asam Jenks Hasegawa 2005. Tabel 11 Pengaruh aplikasi sipramin terhadap pH tanah
Dosis Pupuk
pH Setelah pemberian pupuk
Setelah tanaman dipanen 30 hsp
15 hsp rata-rata
30 hsp 15 hsp
rata-rata 6,95±0,07
7,20±0,21 7,05±0,14
a
6,35±0,07 6,35±0,07
6,35±0,00
a
10 6,85±0,07
6,65±0,07 6,75±0,14
ab
6,5±0,00 6,1±0,00
6,30±0,28
a
20 6,90±0,14
6,25±0,21 6,53±0,53
bc
6,05±0,35 5,9±0,14
5,98±0,11
b
40 6,45±0,35
5,95±0,49 6,20±0,35
c
5,15±0,07 5,45±0,21
5,30±0,21
c
Rataan 6,79±0,16
p
6,48±0,25
q
6,01±0,12 5,95±0,11
Keterangan:
a,b
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05
p,q
pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 hsp = hari sebelum panen waktu pemberian pupuk
Tanah setelah tanaman di panen memiliki pH rata-rata lebih rendah dibandingkan pH setelah pemupukan Tabel 11. Dosis pupuk memperlihatkan
perbedaan yang nyata P0,05 terhadap pH tanah setelah tanaman di panen, namun perbedaan waktu pemberian pupuk tidak memperlihatkan perbedaan yang
nyata. Penurunan pH tanah seiring dengan bertambahnya dosis pupuk yang diberikan. Nilai pH tanah setelah tanaman dipanen menurun 5,15 P0,05
dibandingkan pH tanah setelah tanaman diberi pupuk pada awal penelitian. Penurunan pH tersebut dikarenakan adanya aktivitas mikroba tanah. Aktivitas
mikroba tanah menghasilkan asam-asam organik di dalam tanah. Meningkatnya jumlah asam-asam organik di dalam tanah biasanya diikuti oleh penurunan pH
Elfiati 2008. Penurunan pH dapat mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat oleh Ca dan menyebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi
kemoautrotrof sulfur dan ammonium berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus sp. dan Nitrosomonas sp. Alexander 1978. Ion fosfat valensi satu lebih segera
terserap dari larutan hara dengan nilai pH 5,5 sampai 6,5 Salisbury Ross 1995.
4.3 Pertumbuhan kembali regrowth dan komposisi kimia Indigofera sp.