BAB III SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA
3.1.Dalihan Na Tolu
3.1.1.Pengertian Dalihan Na Tolu Dalihan Na Tolu
1
merupakan nilai budaya
2
1
Dalihan Na Tolu : Ide,suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber sikap perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat itu
sendiri dalam wujud karya budaya.
2
Nilai Budaya : Konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai dasar dari suatu hal yang penting dan bernilai dalam kehidupan manusia.
yang menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat Batak Toba dalam bertingkah laku dan dalam menjalin
hubungan kekeluargaan.Dalam Dalihan Na Tolu ini dapat diketahui dan dicari kemungkinan adanya hubungan persaudaraan dengan orang lain apabila
menempatkan diri di dalam sistem Dalihan Na Tolu ini.Dalihan Na Tolu menciptakan aturan serta hubungan dalam keluarga Batak Toba walaupun mereka
bukan dari satu ibu dan satu ayah.Nilai budaya masyarakat Batak ini mengajarkan bagaimana memposisikan diri kita di dalam adat istiadat Batak Toba.
Dalihan Na Tolu disebut juga Dalihan Nan Tungku Tiga yang selanjutnya
biasa disingkat dengan DNT yang menyatakan suatu ungkapan tentang kesatuan suatu hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba.Kata Dalihan berasal dari
pokok kata “dalik” yang artinya “dais” bertemu atau bersentuhan dan kata “mandalikkon “ yang artinya mempertemukan sesuatu dengan yang lain.Dalihan
artinya tempat atau yang berarti tungku,maka Dalihan itu mempertemukan dua buah benda yaitu api dan periuk.Jadi Dalihan Na Tolu ini mempertemukan orang-
orang Batak dalam satu hubungan kekerabatan.
Universitas Sumatera Utara
Di masyarakat Batak hubungan kekeluargaan disebut Dalihan Na Tolu. Melihat dari pengertian katanya,Dalihan Na Tolu itu merupakan sebuah tungku
yang terdiri dari tiga buah tungku batu yang membentuk suatu kesatuan tritunggal.Sebenarnya tritunggal dalam masyarakat Batak Toba tidak hanya
Dalihan Na Tolu ,seperti yang lebih tinggi derajatnya dalam kepercayaan Batak
disebut Banua Na Tolu yang artinya benua yang terdiri atas tiga lapisan dan Bonang Manalu
yaitu benang yang terdiri dari tiga macam warna yakni merah,putih dan hitam.Sebagai simbol hubungan kekeluargaan masyarakat Batak
memilih ketiga batu tungku yaitu Dalihan Na Tolu karena dalam Dalihan Na Tolu terdapat pengertian yang tidak dijumpai pada tritunggal yang lain,seperti dalam
sebuah ungkapan Batak tentang Dalihan yang berbunyi : “Si dua uli songon na mangkaol dalihan
, “ Memeluk tungku memberi dua
Masak sipanganon huhut malum na ngalian” keuntungan yaitu makanan menjadi masak dan hilang
perasaan dingin”
Dalihan memegang peranan penting yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sehari-hari.Orang tidak dapat hidup baik dan wajar tanpa Dalihan tungku.Hubungan kekeluargaan pun yang disebut Dalihan Na Tolu tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari orang Batak sejak lahir sampai akhir hayatnya.Dalihan Na Tolu lah dasar filsafat hidupnya dan fondasi dasar yang
kukuh bagi hubungan sosialnya dan dalam soal interrelasi hubungan biasa dan hubungan kekeluargaan orang Batak.Berdasarkan Dalihan Na Tolu lah orang
Batak dapat dengan segera menetukan status,fungsi dan sikap sosialnya Sihombing,2000
Universitas Sumatera Utara
Dalihan Na Tolu menggambarkan kebijaksanaan para leluhur Batak dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan.Hubungan kekeluargaan walaupun jauh dapat dijelaskan di dalam Dalihan Na Tolu sehingga keluarga-keluarga jauh akan tetap
merasa saling memilki keterkaitan kekerabatan.Dalihan Na Tolu juga mengandung arti dalam kehidupan bahwa solidaritas harus tetap timbul dalam
pekerjaan-pekerjaan adat
3
Nilai budaya Batak yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu,telah mengatur kehidupan sosial masyarakat Batak sehingga diharapkan dapat
berlangsung dengan damai.Seperti Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak,beberapa daerah ternyata memiliki sejumlah mekanisme kepemimpinan dan
kearifan tradisional sebagai bagian dari nilai adat budaya.Dalam konsep adat budaya daerah terdapat beberapa kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan lokal
yang kesemuanya potensial dalam menata masyarakat damai dengan identitas dan integrasi bangsa yang kuat
dan usaha-usaha lain sehingga pekerjaan yang berat dapat diselesaikan dengan baik karena dikerjakan secara bersama.
http:marbun.blogspot.com200611dalihan-na-tolu- penjelasan.html
3.1.2.Unsur-unsur Dalam Dalihan Na Tolu Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu masing-masing membawa sifat-sifat
khusus yang pada hakekatnya dapat menyatukan hubungan berfamili di dalam suku Batak.Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu tersebut antara lain
Sihombing,2000:74 :
3
Adat : Kebiasaan yang bersifat magis dan religius dari kehidupan suatu penduduk asli,yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya,norma-norma hukum dan aturan-aturan yang
saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional
Universitas Sumatera Utara
1.Dongan Sabutuha teman semarga Di dalam masyarakat Batak terdapat ungkapan tentang Dongan Sabutuha
yang berbunyi : “Tampulon aek do na mardongan
“Sifat ber-Dongan Sabutuha sama sabutuha”
dengan sifat air,biar berkali-kali
dipotong tetap bertemu dan bersatu”
Diketahui bahwa masyarakat Batak sangat kental dengan urusan persaudaraannya,apalagi berada dalam satu tempat yang baru pertama kali
dikunjunginya maka bila diketahui disitu ada juga orang Batak walaupun tidak mengenal maka orang Batak yang ditemuinya itu adalah Dongan Sabutuhanya
meskipun dari sudut silsilah keluarga sudah sangat jauh jaraknya.Dengan mengetahui Dongan Sabutuhanya maka ia dapat kembali menjalin hubungan
kekeluargaan yang selama ini tidak diketahui. Pada Dongan Sabutuhanya itulah dapat diharapkan bantuan yang
pasti,karena orang Batak sangat menyayangi Dongan Sabutuhanya jadi sebisa mungkin akan saling membatu dalam menghadapi persoalan.Sekalipun di
rantau,suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya,seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk
menghidupkan ide-ide adat budayanya.Mereka mengadakan pertemuan
secara berkala dalam bentuk adat ataupun silahturahmi http:marbun.blogspot.com200611dalihan-na-tolu-penjelasan.html
2.Hula-hula keluarga dari pihak istri Dari ketiga unsur yang terdapat di dalam Dalihan Na Tolu,Hula-hula
sangat dihormati posisinya dalam adat oleh masyarakat Batak Toba.Perlakuan pada Hula-hula dalam adat harus lebih khusus karena sifatnya sangat sensitif.Jika
Universitas Sumatera Utara
tidak hati-hati dalam tindakan atau perlakuan tehadap Hula-hula maka akan mudah hubungan yang telah ada menjadi putus dan biasanya tidak dapat
diperbaiki dan akhirnya terhapus sama sekali. Penghormatan yang tinggi pada Hula-hula di masyarakat Batak
ditunjukkan dalam ungkapan yang berbunyi : “Hula-hula I do Debata
“Hula-hula adalah Dewata yang Na Tarida
tampak”
Ungkapan diatas merupakan ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Hula-hula,karena dianggap memberi kehidupan di masyarakat
Batak.Hula-hula yang memiliki perempuan yang kelak akan diambil oleh marga
4
Boru itu dalam masyarakat Batak adalah hubungan yang dimaksudkan
adalah hubungan rumah.Boru disini berkewajiban bila ada pertentangan di antara Hula-hula
maka Boru lah yang harus menghilangkan pertentangan itu sehingga antara Hula-hula dapat bersatu kembali.Boru itu harus menganggap dirinya
lain untuk dijadikan istri.Dari perempuan inilah diharapkan kelak akan memberi keturunan bagi marga tersebut sehinngga silsilah marga itu dapat
berlanjut.Hal inilah yang menjadikan Hula-hula sangat dihormati di masyarakat Batak,doa restu dari Hula-hula ini dianggap akan membawa kehidupan yang baik.
3.Boru Boru
dalam masyarakat Batak terbagi 2 yaitu : 1.Hela yaitu suami anak perempuan
2.Bere yaitu anak saudara perempuan kita yang memang dipandang orang Batak masuk unsur “boru” mengikuti ibunya.
4
Marga : Suatu kesatuan sosial genealogis dalam yang terdapat dalam pola masyarakat Batak.
Universitas Sumatera Utara
berkewajiban secara nyata untuk membantu Hula-hulanya dalam segala persoalan terutama dalam persolan adat dan sebagai Hula-hula akan merasa berhak
menerima bantuan dari Borunya. Segala pengabdian yang diberikan untuk Hula-hula didasarkan atas
kepercayaan yaitu : -
Doa restu Hula-hula dapat menjauhkan mara bahaya selama tujuh generasi. -
Doa restu daru Hula-hula dapat membuat orang iskin menjadi kaya -
Hula-hula lah yang menjadikan dapat memiliki istri dan doa restunyalah
membuat kita berketurunan.
3.1.3.Penghargaan yang diterima perempuan di dalam Dalihan Na Tolu Perempuan sebenarnya dalam masyarakat Batak sangat dihargai
keberadaannya karena perempuan dianggap sebagai penerus keturunan dalam marga,sedangkan memilki keturunan sangatlah penting dalam masyarakat
Batak.Orang Batak juga dikenal sangat menyayangi anak perempuannya,seperti yang ditunjukkan dalam ungkapan berikut :
“Tinallik Landorung,bontar gotana; “Anak laki-laki dan anak perempuan
Dos do anak dohot boru,nang pe sama saja,walaupun berlainan
Pulik-pulik margana” marga”
Para anak-anak perempuan dianggap banyak membatu orang tuanya dan selalu mengusahakan kebahagiaan orang tuanya.Karena itu bermacam-macam
penghargaan atau imbalan yang diberikan Hula-hula kepada Borunya yaitu : -
Berupa sebidang sawah yang mengungkapkan kasih sayangnya -
Berupa sebidang sawah yang diberi agar Borunya tersebut dapat mandiri.
Universitas Sumatera Utara
- Berupa sebidang sawah yang dapat diminta dan diperoleh Boru dari hula-
hula nya untuk anak sulung dari Boru tersebut.
- Berupa hewan seperti lembu dan kerbau juga diberikan untuk anak sulung
dari Boru tersebut
Disamping segala bentuk penghargaan berupa benda-benda,terdapat juga hal-hal yang menunjukkan bahwa perempuan juga mendapatkan perhatian dan
kasih sayang dari Hula-hula seperti membantu Borunya bila memerlukan bantuan.
3.1.4.Posisi Janda Dalam Dalihan Na Tolu Seorang perempuan Batak akan menikah dengan laki-laki di luar
kelompok kekerabatannya
5
5
Kelompok Kekerabatan : Suatu kelompok yang cirri-ciri bentuk,sifat dan ketentuan warganya berdasarkan atas hubungan darah dan adanya ikatan perkawinan.
,artinya laki-laki dari marga lain akan memperistrikan dan perempuan itu akan menjadi bagian dari marga suaminya.Perempuan itulah
yang akan menjadi penghubung tali persaudaraan antara dua keluarga,yaitu pertama keluarga asal perempuan itu dan keluarga dari pihak suaminya.
Ketika telah menikah,perempuan akan menjadi hak dari keluarga suaminya karena keluaraga suaminya telah membayar mas kawin dalam bahasa
batak disebut sinamot kepada keluarga perempuan sebagai simbol untuk “membeli” perempuan yanga akan dijadikan istri.Posisi perempuan itu dalam
Dalihan Na Tolu juga telah berkembang setelah ia menikah,kalau dulu sewaktu
belum menikah ia hanya menjadi Boru dalam Dalihan Na Tolu tetapi sekarang ia bisa menjadi Hula-hula lebih dipandang karena adanya peran suaminya sebagai
laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Apabila perempuan tersebut telah ditinggal oleh suaminya dan menjadi janda,posisinya dalam Dalihan Na Tolu sebenarnya masih tetap seperti ketika
suaminya masih hidup.Apabila dalam suatu kelompok,suaminya dulu menjadi Hula-hula dalam Dalihan Na Tolu maka ketika suaminya meninggal janda itu
akan tetap sebagai Hula-hula bagi kelompok tertentu mengikuti posisi suaminya dulu dalam Dalihan Na Tolu,kecuali perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki
di luar marga suami pertamanya maka hubungannya di Dalihan Na Tolu suami pertamanya sudah tidak ada karena ia akan mengikuti posisi suami barunya di
dalam Dalihan Na Tolu keluarga suaminya itu.Adapaun hal yang menjadi penghubung antara janda yang telah menikah lagi dan dengan Dalihan Na Tolu
suami pertamanya adalah apabila janda tersebut memilki anak laki-laki dari suami yang pertama karena bagaimanapun anak laki-laki itua akan mewarisi marga
ayahnya dan melanjutkan keturunan. Pada kenyataanya apabila seorang perempuan telah menjadi janda,sering
kali dirinya tidak begitu terlihat lagi posisinya di dalam Dalihan Na Tolu keluarga suaminya.Karena posisi tersebut ia dapatkan dengan mengikuti posisi
suaminya.Apabila janda tersebut tidak mempunyai anak atau tiadak mempunyai anak laki-laki,biasanya janda tersebut lebih cenderung dekat atau kembali ke
keluarga asalnya walaupun juga tidak sedikit janda yang tetap berada di keluarga suaminya.
Perlakuan yang diterima seorang perempuan yang menjadi janda juga langsung berubah dibandingkan ketika suaminya masih hidup.Walaupun
sebenarnya para kerabat
6
6
Kerabat : Orang,sedarah,yang dipanggil dan atau disebut dengan satu istilah kekerabatan
suami masih mempunyai kewajiban untuk membatu para janda ini,tetapi pada kenyataannya di lapangan para janda jarang sekali
Universitas Sumatera Utara
mendapat bantuan dari keluarga suaminya bahkan ada yang sama sekali dilupakan walaupun ia memiliki anak laki-laki.Dari hasil wawancara di lapangan,para
kerabat mengatakan selalu bersikap baik dan bersedia membantu janda-janda ini tetapi dari pengakuan janda di desa ini,mereka sering merasa dikucilkan dalam
keluarga misalnya dalam pesta-pesta adat
7
7
Adat : Kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya,norma-norma hukum dan aturan-aturan yang saling
berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional.
.Dalam hal bantuan,janda di Desa Parbubu II ini merasa kerabatnya tidak mau membantu mereka walaupun keadaan
ekonomi kerabat janda itu berkecukupan. Posisi janda dalam Dalihan Na Tolu menunjukkan betapa besarnya peran
laki-laki dalam adat di masyarakat Batak Toba.Perbedaan peran dalam adat antara laki-laki dan perempuan,mengkondisikan seorang laki-laki sebagai pihak yang
selalu diutamakan dalam adat.Megawangi 1999:103 mengatakan dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat
Indonesia yang patriarkhat,seperti terdapat dalam budaya patriarkhat di suku Batak Toba.
3.1.5.Pendapat Para Kerabat Tentang Perempuan Yang Telah Menjadi Janda Pendapat dari para kerabat dan tetangga tentang seorang janda sering
mempengaruhi kehidupan janda itu mulai dari tindakan serta perkataan dari janda itu terkadang sering mendapat kritikan dari para kerabat atau tetangga.Selain
kritikan juga tidak sedikit yang memuji kegigihan dari seorang perempuan yang mampu membesarkan anaknya seorang diri.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat positif penulis dapatkan dari Bapak Dedi Sipahutar yang merupakan keluarga dari seorang janda di desa Parbubu II dan berikut merupakan
catatan yang didapat dari wawancara bersama Bapak Dedi : “Seorang janda itu adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya.Ibu saya
sewaktu saya sudah menjadi janda, sejak saya dan saudara-saudara saya masih kecil.Ibu saya semenjak ditinggal mati oleh Bapak,terpaksa harus mengurus saya
dan saudara-saudara saya sendiri.Ibu saya itu selalu saja berusaha mencukupi kebutuhan kami anak-anaknya jadi saya sangat tahu persis kalau ia sudah banyak
berusaha untuk kami.Terkadang walaupun sebenarnya ia lelah tetapi Ibu saya tidak mau mengeluh pada kami.Ibu saya adalah janda yang hebat.Kami semua
dapat dibesarkannya seorang diri dan belum tentu kalau Bapak kami masih hidup dapat mengurus kami seperti Ibu mengurus kami seorang diri”
Selain Bapak Dedi Sipahutar,juga ada di dapat informasi dari seorang informan lain di Desa Parbubu II tentang pendapatnya terhadap seorang janda
yaitu Bapak Pukka Tobing,dan berikut informasi yang diberikannya pada penulis : “Kerena seorang perempuan sudah menjadi janda,ia harus dapat menjaga sikap
dan kelakuannya karena ia tidak memiliki suami lagi.Seorang janda harus benar- benar dapat mengurus anaknya dengan baik,tidak boleh mementingkan diri
sendiri.Kalaupun seorang janda mau menikah lagi haruslah disetujui oleh pihak keluarga suaminya bila suami yang akan menikahinya berasal dari luar marga
suaminya.Janda harus tetap bertanggung jawab pada keluarga suaminya seperti mengurus mertuanya.Dalam acara adat,janda tersebut harus tetap hadir bila
pihak keluarga suaminya mengadakan pesta.Seorang janda memang dapat memenuhi kebutuhannya,tetapi akan sangat jauh berbeda bila ada suaminya”
Pendapat tentang perempuan yang menjadi janda juga penulis dapatkan dari seorang Ibu yang masih memiliki suami dan berikut merupakan informasi
yang didapat dari Ibu Sipahutar: “Sangat susah jadi perempuan janda di suku Batak.Mau keluar rumah atau
berbicara dengan orang lain saja kalau tidak hati-hati bisa jadi masalah.Kalau di keluarga suaminya janda ini juga harus bersikap baik dengan mertuanya,
walaupun suaminya sudah meninggal ia masih bagian dari keluarga suaminya itu dan di keluarga suaminya ia tetap wajib menjaga sikapnya misalnya harus
hormat pada mertuanya dan juga kepada saudara-saudara suaminya.Memang ada janda yang diperlakukan tidak adil oleh keluarga suaminya,karena suaminya
sudah meninggal maka janda itu tidak dianggap keluarga lagi apalagi kalau tidak punya anak”
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas,perempuan yang menjadi janda seperti telah diatur kehidupan dan tingkah lakunya oleh lingkungan tempat
tinggalnya.Pendapat-pendapat itu bisa menjadi dorongan atau bisa menjatuhkan semangat dari seorang janda.
Bagaimanapun pendapat itu akan terus berkembang di dalam kehidupan seorang janda,ini menegaskan tentang sulitnya posisi seorang janda dalam masyarakat
Batak Toba. Pendapat-pendapat negatif dari masyarakat terhadap status seorang
janda,menghadirkan sebuah stereotipe negatif yang terbentuk dalam masyarakat terhadap seorang janda sehingga membuat status seorang perempuan sebagai
janda akan terkesan tidak baik,seperti dalam Fakih 1996:16,mengatakan bahwa stereotipe merupakan salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender untuk
perempuan.
3.2.Perempuan Dalam Garis keturunan Patrilineal
Kebudayaan Batak Toba Berakar pada garis keturunan Patrilineal
8
8
Patrilineal : Cara menarik garis keturunan ke atas melalui ayah,selanjutnya ke artas lagi melalui ayah dari ayah dan seterusnya sampai kepada kakek moyang tetentu.
.Garis keturunan Patrilineal ini menjadikan anak laki-laki sebagai penerus garis
keturunan dalam marganya.Irianti 2005:9,dalam sistem patrilineal itu anak laki- laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda dalam clan
mereka.Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba,dan mereka
bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya.Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya,maka perempuan mengenal dua clan
yaitu clan ayahnya dan clan suaminya.Kendati demikian dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
hubungannya dengan clan tersebut,posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas karena meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi
tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. Perempuan dalam garis keturunan patrilineal ini sejak awal sudah
dibedakan perannya dengan laki-laki dalam keluarga walaupun dalam hal pemberian kasih sayang,orang Batak berusaha seadil-adilnya pada anak laki-laki
dan anak perempuan.Perempuan dalam keluarga dianggap sewaktu-waktu akan “dibeli” oleh marga lain,dan ia akan melanjutkan keturunan marga lain bukan
marga orang tuanya sedangkan laki-laki harus dipersiapkan untuk meneruskan
garis keturunan ayahnya.Laki-laki dianggap sebagai pemimpin dalam keluarga,untuk itu sebagai persiapan dan modal bagi laki-laki untuk menjadi
pemimpin adalah harta warisan orang tuanya yang diberikan kepadanya sebagai tanda bahwa dialah penerus marga ayahnya serta kelak apabila orang tuanya
sudah tua maka anak laki-laki akan mengurus orang tuanya.karena perempuan akan menikah dan tanggung jawabnya akan berpindah kepada orang tua suaminya
mertua. Perempuan dalam keluarga Batak dipersiapkan untuk menjadi
penghubung kedua marga.Jadi perempuan akan “dibeli” dari keluarganya dengan mas kawin sinamot yang telah disepakati oleh kedua keluarga.Keluarga
perempuan dalam hal ini juga tidak akan dengan sembarangan melepas anak perempuannya,harus dengan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan
sebelumnya.Kondisi seperti inilah yang membuat para perempuan yang ada dalam garis keturunan patrilineal berada di posisi kedua setelah laki-laki.Perempuan
dianggap sewaktu-waktu akan pergi dari keluarganya sedangkan laki-laki lah yang akan mempertahankan garis keturunan keluarganya.Maka segala fasilitas yang ada
Universitas Sumatera Utara
akan lebih diutamakan untuk laki-laki dari pada perempuan seperti harta waris yang telah diungkapkan sebelumnya.Perempuan juga dapat memperoleh harta
waris tetapi semuanya itu diperoleh bukan berdasarkan ketentuan adat seperti pada laki-laki tetapi lebih karena perempuan itu meminta pada orang tuanya dan
akan diberi hanya atas dasar kasih sayang orang tuanya. Vergouwen dalam Irianti 2005:121 mengatakan namun apa yang dapat
diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti hak,melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan
oleh ayahnya.Jika tidak ada anak laki-laki,imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh.Biasanya anak perempuan harus mengajukan
permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya menjelang ajal atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada melaui upacara manulangi.Namun
permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah atau jika masih ada ibu yang
ongkos hidupnya harus diambil dari harta peninggalan. Budaya Patriakhat mengontrol kehidupan para perempuan Batak.Kontrol
patriarkhi yang dilakukan secara kolektif dan teru menerus menyebabkan perempuan sangat terpuruk secara ekonomi terutama dan sosial
Irianti,2005:185.Seperti dalam pembagian harta waris,perempuan di dalam adat sebenarnya tidak memiliki bagian disana,karena itu perempuan tidak dibekali
modal materi untuk dapat mandiri dan memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik daripada laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
3.3.Aturan Berumah Tangga Pada Suku Batak Toba
Prinsip perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah conubium asymentris
,dengan ciri-ciri eksogam,tidak boleh saling tukar menukar perempuan.Orang tidak akan mengambil istri dari kalangan sendiri,perempuan
meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami Irianti,2005:109 Pernikahan dalam masyarakat Batak Toba merupakan hal yang
sakral.Karena kesakralan tersebutlah maka perceraian sama sekali tidak diperbolehkan dalam adat Batak.Masyarakat Batak menganggap bahwa
pernikahan yang terjadi itu hanya boleh sekali dan tidak boleh bercerai kecuali salah satu dari suami atau istri itu meninggal.Selain aturan adat,aturan agama yang
banyak dianut oleh masyarakat di Desa Parbubu II tidak merestui adanya perceraian.
Pernikahan yang dilakukan dalam masyarakat melalui tata cara adat yang panjang dan pernikahan ini merupakan tanda bersatunya dua keluarga dari marga
yang berbeda.Terjadinya pernikahan berarti menambah jumlah anggota keluarga baru dalam Dalihan Na Tolu.Banyak orang yang semula tidak saling
mengenal,tetapi karena adanya sebuah pernikahan akhirnya akan menjadi satu keluarga.
Apabila terjadi perceraian,ini akan sangat merugikan bagi keluarga kedua belah pihak,hubungan kekeluargaan yang dulunya sempat terjalin dengan baik
akhirnya harus putus atau dapat menyebabkan permusuhan antara dua keluarga ini.Bagi orang Batak memiliki kerabat yang banyak meruapakan kebanggaan
tersendiri,masyarakat Batak juga sangat suka menjalin hubungan kekeluargaan dan bila terjadi sebuah perceraian maka akan membuat anggota keluarga menjadi
Universitas Sumatera Utara
berkurang dan biasanya akan menimbulkan rasa malu pada keluarga pasangan yang bercerai.
Bila perceraian harus terjadi,maka seorang laki-laki atau perempuan yang hendak bercerai tidaklah menyampaikan surat permohonan ke majelis adat karena
sama sekali tidak akan diperbolehkan.Pihak yang akan bercerai itu harus mengurusnya sendiri dengan melanggar aturan adat.Bila laki-laki yang ingin
bercerai dengan istrinya,maka laki-laki itu harus membawa istrinya ke rumah mertuanya orang tua istinya untuk mengembalikan sendiri anak perempuan
mereka.Bila perempuan yang ingin bercerai,maka ia harus meninggalkan suaminya dan pergi ke tempat orang tuanya serta tinggal disana.
Karena adat telah dilanggar oleh pasangan suami istri yang ingin bercerai maka pelaku perceraian akan dihukum berdasarkan adat.Hukuman untuk laki-laki
yang menceraikan istrinya adalah segala sinamot nya semua pemberian kepada pihak istri akan hilang sedangkan hukuman untuk perempuan yang meninggalkan
suaminya adalah harus membayar kembali dua kali lipat jumlah sinamot yang telah diberikan oleh suaminya Koentjaraninggrat,1982:106
Hal inilah yang juga berpengaruh pada kehidupan Janda di Desa Parbubu II.Penulis menemukan bahwa para janda yang ada di desa ini tidak menjadi janda
karena bercerai hidup dengan suaminya melainkan menjadi janda karena suaminya telah meninggal.
Dari segi hukuman adat diatas yang diberikan kepada pasangan suami istri yang ingin bercerai,terkesan hukuman untuk perempuan yang ingin bercerai lebih
berat daripada hukuman yang diberikan untuk laki-laki yang ingin bercerai.Disini dapat dilihat bahwa posisi laki-laki yang lebih diutamakan dari pada perempuan
dalam adat Batak juga berpengaruh dalam aturan-aturan perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
3.4.Posisi Janda Dalam Masyarakat Batak Toba
3.4.1.Posisi Janda Dalam Hak Waris Harta warisan dalam bahasa Batak Toba disebut Teanteanan yang
merupakan segala macam harta benda,misalnya tanah sawah.ladang,dan kebun,ternak,kain,emas,pakaian,rumah dan lain sebagainya.Perempuan jelas
sangat lemah dibanding laki-laki di dalam adat bila menyangkut hak waris.Perempuan dalam adat bukanlah pewaris harata melainkan laki-laki.Tetapi
walaupun perempuan tidak mendapatkan hak waris dalam adat,perempuan dapat memperolehnya dengan meminta pada orangtua nya Sihombing,2000:118
Hal yang sama juga terjadi ketika perempuan tersebut menjadi janda.Seorang janda dalam adat sebenarnya tidak memiliki hak waris atas harta
suaminya walaupun janda tersebut selama hidup ikut juga mengumpulkan harta.Menurut adat,janda hanya diperbolehkan mengelola atau menyimpan harta
warisan suaminya sampai anak laki-lakinya cukup dewasa untuk menerima harta warisan ayahnya,jadi harta tersebut sebenarnya bukan hak dari janda itu tetapi
hanya titipan dan merupakan hak dari anak laki-lakinya.Irianti 2005:11,pada masa lampau janda yang tidak mempunyai anak laki-laki atau keturunan,bersama
harta peninggalannya suaminya akan diambil oleh anggota kerabat saudara laki- laki yang menjadi ahli waris suaminya
Melihat posisi janda dalam hak waris,pada kenyataan di lokasi penelitian sulit sekali mendapatkan informasi tentang hak waris yang diterima oleh janda-
janda di Desa Parbubu II,alasannya kebanyakan karena suami mereka semasa hidup juga berkekurangan ekonominya jadi bagi mereka tidak ada yang pantas
disebut harta warisan.Walaupun begitu,penulis berhasil memperoleh informasi dari beberapa janda di Desa Parbubu II mengenai hak waris mereka.Salah satunya
Universitas Sumatera Utara
dari seorang janda yang bernama Ibu Sapini Sinaga dan berikut hasil wawancara penulis dengan Ibu Sapini :
“Saya memiliki tiga orang anak laki-laki.Sewaktu suami saya meninggal,suami saya mewarisi rumah dan beberapa petak sawah untuk anak-anak saya.Anak
laki-laki saya masih kecil saat suami saya meninggal.Jadi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,saya bekerja mengolah sawah peninggalan suami
saya sebelum diberikan pada ketiga anak saya kalau mereka sudah besar.Sekarang ini saya tinggal di rumah peninggalan suaminya saya bersama
anak-anak”
Selain Ibu Sapini Sinaga,ada kenyataan berbeda yang penulis dapatkan dari Ibu hilderia.Walaupun ia memiliki seorang anak laki-laki,ia sama sekali tidak
pernah mendapatkan apapun dari harta suaminya.Memang dulunya suami Ibu Hilderia sangat miskin sehingga tidak ada yang bisa diwariskan tetapi semenjak
suaminya meninggal,mertua Ibu Hilderia juga tidak memberi apapun padanya serta pada anak laki-lakinya sehingga sampai sekarang ia tetap tinggal
menumpang di rumah saudaranya.Keluarga suaminya seolah-olah mengahapus nama Ibu Hideria dan anaknya dari pewaris keluarga.
Terkadang aturan adat yang telah ditetapkan sering berlaku berbeda pada janda apalagi yang bersangkutan dengan harta warisan yang secara aturan adat
dimiliki laki-laki.Hal inilah yang terkadang menjadi persoalan-persoalan yang harus dihadapi perempuan ketika menjadi janda.
3.4.2.Posisi Janda Dalam Keluarga Suaminya Janda sewaktu dulu ia menikah telah mendapatkan mas kawin yang
diberikan oleh suaminya,itu berarti setelah pernikahan tersebut janda menjadi bagian dari keluarga suaminya dan akan bertanggung jawab untuk merawat orang
tua suaminya mertuanya.Seorang janda akan tetap berada di lingkungan keluarga suaminya secara adat apabila ia memiliki keturunan anak laki-laki,karena
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki yang dimilikinya akan menjadi penerus keluarga suaminya.Hadirnya anak laki-laki membuktikan bahwa seorang janda dapat
melanjutkan garis keturunan suaminya,apabila seorang janda tidak mempunyai anak laki-laki biasanya ia akan kembali ke rumah orang tuanya dan bila seorang
janda yang telah ditinggal mati oleh suaminya ingin menikah lagi,ia harus meminta izin dari keluarga suaminya karena dahulu bila seorang perempuan
menjadi janda maka ia akan dinikahkan dengan saudara laki-laki suaminya levirate.Hal ini bertujuan agar tidak terputus hubungan keluarga dari kedua
keluarga serta apabila janda tersebut memiliki anak maka anaknya itu akan tetap berada dalam lingkaran keluarga ayah kandungnya,sedangkan bila seorang janda
menikah lagi dengan laki-laki lain di luar marga suaminya selain janda itu telah kehilangan posisinya dalam dalam keluarga suaminya dan apabila janda itu
memiliki anak laki-laki maka anak laki-lakinya itu akan diasuh oleh keluarga suami lamanya,karena bila ia menikah dengan marga lain maka ia akan memiliki
anak lagi dari marga lain tersebut dan ia bukan lagi tanggung jawab dari keluarga suaminya yang telah meninggal.
Karena itu dari penelitian yang dilakukan terungkap bahwa janda-janda di Desa Parbubu II enggan untuk menikah lagi walaupun mereka masih
muda.Alasannya mereka karena sama sekali tidak ingi dipisahkan dari anak- anaknya.Hal ini menyebabkan mereka tetap menjalin hubungan kekeluargaan
dengan orang tua suaminya dan tetap mengurus orang tua suamniya walaupun suaminya telah meninggal.
Pernyataan ini dapat dilihat dari kehidupan Ibu Aliran Simorangkir yang tetap mengurus orang tua suaminya.Berdasarkan keterangannya,Ibu Aliran
Simorangkir sejak menikah tinggal bersama mertuanya karena suaminya adalah
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki tertua dalam keluarganya,jadi mereka menempati rumah orangtua suaminya.Setelah suaminya meninggal,ia tetap tinggal bersama anak-anaknya di
rumah mertuanya.Ibu Aliran terus menjaga mertuanya sebagai bentuk pengabdiannya bagi suaminya sampai anak-anaknya dewasa.Ketika anak-anaknya
dewasa Ibu Aliran Simorangkir masih tetap setia tinggal di rumah itu bersama mertuanya.
Fenomena tentang pengabdian seorang janda diatas kepada keluarga asal suaminya,menunjukkan bahwa seorang perempuan Batak tidak dapat lepas dari
aturan-aturan adat walaupun perempuan itu sudah ditinggal mati suaminya,tetapi ia tidak dapat begitu saja lepas dari kewajibannya terhadap keluarga suaminya.Hal
ini juga dapat dilihat dalam Irianti 2005:95 yang mengatakan bahwa pada umumnya para perempuan Batak tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai
mengenai perempuan,yang menempatkan mereka dalam arena domestik dan kungkungan adat,kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya
menjalani pendidikan tinggi,menjalani berbagai bidang profesi-profesi terhormat dalam masyarakat dan hidup sebagai “orang modern”,mereka tetap tidak bisa
melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya.
3.5.Status Anak Janda Dalam Adat Keturunan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat
Batak.Apalagi bila keturunan itu adalah anak laki-laki berarti akan memperpanjang garis keturunan suatu marga.Anak ibarat harta yang tak ternilai
harganya bagi masyarakat Batak Toba,pernikahan tanpa kehadiran seorang anak bisa saja akan bermasalah karena anak sangat penting.Dalam pepatah “banyak
anak banyak rejeki” mereka merasa telah menjadi kaya karena anak dianggap
Universitas Sumatera Utara
membawa rejeki bagi orang tuanya.Tak jarang orang tua rela mengusahakan apa saja untuk kesejahteraan anak-anaknya.
Hal itu juga berlaku pada anak janda,sebernarnya anak dari janda tersebut secara adat juga menjadi tanggung jawab dari keluarga suami janda itu.Keluarga
suami janda itu berhak dan berkewajiban untuk membantu keperluan anak janda tersebut apalagi bila anaknya adalah anak laki-laki.Walaupun ayah dari anak itu
telah meninggal tetapi ia akan tetap mewarisi marga ayahnya jadi ia tetap masuk dalam keluarga ayahnya.
Aturan tersebut pada kenyataanya tidak berlaku demikian untuk anak-anak janda di Desa Parbubu II.dari hasil penelitian di lapangan,kebanyakan anak-anak
janda sejak ayahnya meninggal ditanggung sepenuhnya oleh ibunya.Walaupun keluarga suaminya berkecukupan tetapi pada kenyataannya janda tersebut yang
bertanggung jawab untuk membesarkan anaknya.Seperti dalam urusan sekolah,ibu lah yang bekerja keras untuk mendapatkan uang agar dapat membiayai sekolah
anaknya.Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan seorang informan bernama Ibu Esli :
“Saya memiliki tujuh orang anak saat suami saya meninggal.Hal terberat yang saya rasakan ketika suami saya meninggal adalah saya ingin menikahkan anak
saya tetapi tidak ada keluarga yang mau membantu pesta anak saya,padahal saudara-saudara suami saya itu tahu kalau saya tidak punya uang yang cukup
untuk pesta anak saya.Kalau saja suami saya masih hidup,saudara-saudara pasti akan mau membatu anak saya”
Pernyataan di atas membuktikan bahwa hanya ketika ayah masih hidup,keluarganya masih mau membantu anak-anak dari janda tersebut.Tetapi
ketika suaminya meninggal bantuan pun terhenti dan janda lah yang menanggung kebutuhan anak-anaknya dan membesarkannya sampai anak itu mandiri.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA PEREMPUAN BATAK TOBA MENUJU