Upaya Perempuan Batak Toba Menuju Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak (Suatu kajian berperspektif perempuan Batak Toba di Desa Parbubu II,Kecamatan Tarutung)

(1)

UPAYA PEREMPUAN BATAK TOBA

MENUJU KEMANDIRIAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PROSES MEMBESARKAN ANAK

(Suatu kajian berperspektif perempuan di Desa Parbubu II, Kecamatan Tarutung)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi

Oleh:

YUDITA THERESIA L.TOBING 040905031

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

I thank my God upon every remembrance of you,and always in every prayer

of mine making request for you all with joy (Philippians 1:3-4)

Skripsi Ini Saya Persembahkan Untuk :

O.L.Tobing & K.Laoli (Orangtua)

Hosnida Erlina.Tobing (Kakak) Richard Buala Parulian.Tobing (Abang) Untuk Semua Orang Yang Menyayangi ku

Saya harapkan yang terbaik dan dengan pertolongan Allah akan meraih yang terbaik

(Norman Vincent Peale)


(3)

(4)

ABSTAK

Yudita Theresia.L.Tobing,2008.Judul Skripsi Upaya Perempuan Batak Toba Menuju Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak (Suatu kajian berperspektif perempuan Batak Toba di Desa Parbubu II,Kecamatan Tarutung).Skripsi ini terdiri dari 5 Bab,110 halaman, 14 daftar tabel, 1 peta.

Perempuan dalam pandangan tradisional masyarakat masih berada di posisi kedua setelah laki-laki.Perempuan dianggap lemah baik dari segi pemikiran dan fisik dibandingkan laki-laki.Perempuan yang hidup dalam lingkungan masyarakat seperti itu akan menjadikannya merasa selalu tergantung pada laki-laki.Pikiran seperti ini akan merugikan bagi seorang perempuan,karena itu akan menjauhkannya dari kemandirian.Ketergantungan perempuan tersebut akan sangat merugikan ketika ia berada dalam kondisi telah berumah tangga dan memiliki anak tetapi ia telah ditinggal mati oleh suaminya atau dengan kata laun menjadi janda.

Menjadi janda berarti seorang perempuan akan menjadi orang tua tunggal bagi anaknya.Setelah ayah sebagai seorang pemimpin keluarga telah tiada maka anak-anak akan kehilangan figur seorang ayah,disinilah peran perempuan sebagai ibu berusaha menstabilkan keadaan dengan berperan ganda yaitu sebagai ibu dan sebagai ayah bagi anak-anaknya.Kemandirian perempuan sangatlah penting dalam keadaan seperti ini,karena sebagai orangtua tunggal perempuan harus selalu tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan

keluarganya.Kemandirian bagi perempuan juga diperlukan karena ia sebagai pemimpin keluarga harus dapat mengambil keputusan yang baik untuk keluarganya,dengan kemandirian diharapkan seorang perempuan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik walaupun tanpa kehadiran seorang suami.

Dalam suku Batak Toba,kemandirian perempuan untuk menjadi orang tua tunggal masih terhalang oleh budaya.Pengaruh budaya Batak yang menempatkan seorang perempuan di posisi kedua setelah laki-laki menjadikan perempuan sulit untuk mandiri.Untuk mencapai kemandirian bagi seorang janda Batak dalam membesarkan anak-anaknya tidak lah mudah,banyak melewati berbagai masalah baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya.Perjuangan janda ini untuk dapat melalui berbagai persoalan dalam hidupnya semata-mata hanya untuk dapat membesarkan anaknya dengan baik.Bagi seorang perempuan yang telah memiliki anak-,anaknya lah yang menjadi tumpuan harapannya kelak dan anak adalah kekayaan terbesar baginya.Para perempuan yang menjadi ibu memiliki hubungan yang sangat erat dengan anak-anaknya,hubungan tersebut terjadi secara alami karena itu segala perjuangan yang dilakukan oleh seorang perempuan janda agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya bukan lah menjadi sebuah beban untuknya ketika dapat melihat anak-anak-anaknya tumbuh dewasa dan hidup mandiri.


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Nama : Yudita Theresia L.Tobing

Nim : 040905031

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : UPAYA PEREMPUAN BATAK TOBA MENUJU

KEMANDIRIAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PROSES MEMBESARKAN ANAK

(Suatu kajian berperspektif perempuan di Desa Parbubu II, Kecamatan Tarutung)

Medan, Maret 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dra.Sri Emiyanti,MSi) (Drs.Zulkifli Lubis,MA)

NIP. 131 790 658 NIP.131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof.Dr.M.Arif.Nasution, MA) NIP.131 757 010


(6)

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN………...i

HALAMAN PERSEMBAHAN………ii

ABSTRAK...iii

KATA PENGANTAR...iv

DARTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL……….xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang...1

1.2.Rumusan Masalah………... 11

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian………12

1.4.Tijauan Pustaka………....12

1.5.Ruang Lingkup Lokasi Penelitian………19

1.6.Metode Penelitian……….19

1.7.Teknik Analisis Data………24

BAB II GAMBARAN UMUM 2.1.Lokasi dan Letak Desa……….26

2.2.Sejarah Desa……….26

2.3.Kondisi Geografis………27

2.4.Pola Pemukiman………..28

2.5.Keadaan Penduduk………...29

2.5.1.Bahasa………...29

2.5.2.Jumlah Penduduk, Usia dan Jenis Kelamin………....30

2.5.3.Pendidikan………....31

2.5.4.Mata Pencaharian……….33

2.5.5.Agama………..34


(8)

2.6.1.Sarana Agama………..36

2.6.2.Sarana Kesehatan……….36

2.6.3.Sarana Perekonomian Desa………...38

2.6.4.Sarana Pemerintahan Desa………39

2.7.Organisasi Kemasyarakatan……….39

BAB III SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA 3.1.Dalihan Na Tolu………...41

3.1.1.Pengertian Dalihan Na Tolu………..41

3.1.2.Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu………43

3.1.3.Penghargaan yang diterima perempuan dalam Dalihan Na Tolu………..46

3.1.4.Posisi janda dalam Dalihan Na Tolu……….47

3.1.5.Pendapat masyarakat terhadap perempuan yang menjadi janda……….49

3.2.Perempuan Dalam Garis Keturunan Patrilineal……….51

3.3.Aturan Berumah Tangga Pada Suku Batak Toba……….54

3.4.Posisi Janda Dalam Masyarakat Batak Toba………...56

3.4.1.Posisi janda dalam hak waris………...56

3.4.2.Posisi janda dalam keluarga suaminya………..57

3.5.Status Anak Janda Dalam Adat…………...……….…....59

BAB IV UPAYA PEREMPUAN MENUJU KEMANDIRIAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL DALAM PROSES MEMBESARKAN ANAK 4.1.Persoalan-persoalan Yang Muncul Ketika Perempuan Menjadi Orang Tua Tunggal………61


(9)

4.1.1.Persoalan Ekonomi………...61

4.1.2.Pesoalan Sosial………54

4.1.3.Persoalan Budaya………....66

4.1.4.Persoalan Membesarkan Anak………68

4.1.5.Persoalan Internal Janda………..69

4.2.Strategi Para Perempuan Sebagai Orang Tua Tunggal Menghadapi Persoalan Yang Muncul………..71

4.2.1.Strategi Ekonomi……….71

4.2.2.Strategi Sosial………..72

4.2.3.Strategi Menghadapi Budaya………..75

4.2.4.Strategi Membesarkan Anak………77

4.2.5.Strategi Menghadapi Persoalan Internal………..78

4.3.Pandangan Para Perempuan Yang Menjadi Orang Tua Tunggal Terhadap Perjuangan Yang Dilakukannya Untuk Membesarkan Anak………....79

4.4.Analisis Gender………...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.KESIMPULAN………..86

5.2.SARAN………...89

DAFTAR PUSTAKA………...90

DAFTAR INFORMAN………....93

PEDOMAN WAWANCARA………..96 PETA LOKASI

FOTO LAPANGAN


(10)

DAFTAR TABEL

TABEL I Komposisi Jenis Pemanfaatan Lingkungan Oleh Penduduk Desa

Parbubu II

TABEL II Komposisi Jenis Rumah Penduduk di Desa Parbubu II

TABEL III Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Golongan Usia di Desa

Parbubu II

TABEL IV Komposisi Penduduk Usia Produktif (18 s/d 55 tahun) di Desa

Parbubu II

TABEL V Komposisi Penduduk Usia Non Produktif (usia 56 tahun keatas)

TABEL VI Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikannya di Desa

Parbubu II

TABEL VII Komposisi Jumlah Penduduk di Desa Parbubu II

TABEL VIII Komposisi Penduduk Menurut Agama di Desa Parbubu II

TABEL IX Komposisi Sarana Agama di Desa Parbubu II

TABEL X Komposisi Sarana Kesehatan di Desa Parbubu II

TABEL XI Komposisi Pelayan Kesehatan di Desa Parbubu II

TABEL XII Komposisi Sarana Perekonomian di Desa Parbubu II TABEL XIII Komposisi Sarana Pemerintahan Desa Parbubu II

TABEL XIV Komposisi Kegiatan Kemasyarakatan Yang Ada di Desa Parbubu II


(11)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaannya,penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Adapun judul skripsi ini adalah Upaya Perempuan Batak Toba Menuju Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak.

Selama penulisan skripsi ini,penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : Prof.Dr.M.Arif.Nasution,MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ; Drs.Zulkifli Lubis,MA selaku ketua Departemen Antropologi ; Drs.Irfan Simatupang,Msi selaku sekretaris Departemen Antropologi ; Dra.Nita Safitri,MHum selaku dosen penguji dan juga kepada seluruh dosen Antropologi dan FISIP yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan di Departemen Antropologi.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dra.Sri Emiyanti,MSi selaku penasehat akademik sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis dalam skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk penulis,memberikan masukan-masukan yang baik untuk penulisan skripsi ini serta memberikan banyak pengetahuan baru yang berguna untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak lain yang membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,yaitu kepada : Pemerintah Kebupaten Tarutung ; Kepala Desa Parbubu II ; juga kepada janda-janda di Desa Parbubu II yang telah membantu penulis dengan memberikan informasi yang diperlukan untuk


(12)

menyelesaikan skripsi ini.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Parbubu II atas segala bantuannya selama penulis berada di Desa Parbubu II.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih untuk : Rukun Sana Rima.Hia dan Susy Ernawati.Pasaribu (ncuz) atas segala bantuan,dukungan,dan persahabatan selama ini,juga untuk sahabat ku Duma Natalia.Saragih dan juga kepada Galuh Adi Wibowo atas setiap dukungan doa, dan semangat selama ini.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa di Antropologi stambuk 2004 : Nurcahaya,Putri,Siwa,dan juga kepada teman-teman mahasiswa Antropologi lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua ku,khususnya kepada mama yang telah banyak memberikan kasih sayangnya selama ini,juga kepada kedua saudara ku Kak Ida dan Bang Icad.Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk keluarga besar ku yang telah banyak membantu penulis selama ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.Untuk itu,kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini dimasa akan datang sangat penulis harapkan.

Medan,Maret 2008 Penulis


(13)

ABSTAK

Yudita Theresia.L.Tobing,2008.Judul Skripsi Upaya Perempuan Batak Toba Menuju Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak (Suatu kajian berperspektif perempuan Batak Toba di Desa Parbubu II,Kecamatan Tarutung).Skripsi ini terdiri dari 5 Bab,110 halaman, 14 daftar tabel, 1 peta.

Perempuan dalam pandangan tradisional masyarakat masih berada di posisi kedua setelah laki-laki.Perempuan dianggap lemah baik dari segi pemikiran dan fisik dibandingkan laki-laki.Perempuan yang hidup dalam lingkungan masyarakat seperti itu akan menjadikannya merasa selalu tergantung pada laki-laki.Pikiran seperti ini akan merugikan bagi seorang perempuan,karena itu akan menjauhkannya dari kemandirian.Ketergantungan perempuan tersebut akan sangat merugikan ketika ia berada dalam kondisi telah berumah tangga dan memiliki anak tetapi ia telah ditinggal mati oleh suaminya atau dengan kata laun menjadi janda.

Menjadi janda berarti seorang perempuan akan menjadi orang tua tunggal bagi anaknya.Setelah ayah sebagai seorang pemimpin keluarga telah tiada maka anak-anak akan kehilangan figur seorang ayah,disinilah peran perempuan sebagai ibu berusaha menstabilkan keadaan dengan berperan ganda yaitu sebagai ibu dan sebagai ayah bagi anak-anaknya.Kemandirian perempuan sangatlah penting dalam keadaan seperti ini,karena sebagai orangtua tunggal perempuan harus selalu tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan

keluarganya.Kemandirian bagi perempuan juga diperlukan karena ia sebagai pemimpin keluarga harus dapat mengambil keputusan yang baik untuk keluarganya,dengan kemandirian diharapkan seorang perempuan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik walaupun tanpa kehadiran seorang suami.

Dalam suku Batak Toba,kemandirian perempuan untuk menjadi orang tua tunggal masih terhalang oleh budaya.Pengaruh budaya Batak yang menempatkan seorang perempuan di posisi kedua setelah laki-laki menjadikan perempuan sulit untuk mandiri.Untuk mencapai kemandirian bagi seorang janda Batak dalam membesarkan anak-anaknya tidak lah mudah,banyak melewati berbagai masalah baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya.Perjuangan janda ini untuk dapat melalui berbagai persoalan dalam hidupnya semata-mata hanya untuk dapat membesarkan anaknya dengan baik.Bagi seorang perempuan yang telah memiliki anak-,anaknya lah yang menjadi tumpuan harapannya kelak dan anak adalah kekayaan terbesar baginya.Para perempuan yang menjadi ibu memiliki hubungan yang sangat erat dengan anak-anaknya,hubungan tersebut terjadi secara alami karena itu segala perjuangan yang dilakukan oleh seorang perempuan janda agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya bukan lah menjadi sebuah beban untuknya ketika dapat melihat anak-anak-anaknya tumbuh dewasa dan hidup mandiri.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dalam keluarga khususnya di Indonesia,perempuan dan laki-laki memiliki fungsi tersendiri dalam mengurus rumah tangga.Kaum perempuan sebagai istri lebih berperan dalam proses membesarkan anak dan laki-laki sebagai pencari nafkah.Perempuan selalu memiliki ketergantungan pada laki-laki dalam kehidupan rumah tangga.

Berbeda halnya bila dalam sebuah keluarga seorang perempuan berperan sebagai orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya.Sebagai orangtua tunggal ia harus berperan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya.Semua ini dapat dilakukan dengan adanya kemandirian dari seorang perempuan,karena tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak anggapan masyarakat tentang kaum perempuan yang dinilai lemah dan jauh dari kemandirian.

Proses membesarkan anak yang dilakukan oleh perempuan sebagai orang tua tunggal,adalah bagaimana dapat membesarkan anaknya dari anaknya masih kecil sampai anaknya dewasa dan dapat mandiri.Proses membesarkan anak tersebut termasuk dalam sosialisasi anak dan pengasuhan anak seperti memberi makan anak,menjaga anak,memberi pendidikan agama,pendidikan formal dan lain sebagainya.

Menurut Sayogyo dalam Pratini (2001:11),masalah penting dalam kehidupan rumah tangga yang dikepalai perempuan pada dasarnya meliputi proses


(15)

perubahan dari peranan perempuan pada status sosialnya yang baru,yaitu peranannya sebagai ayah dan ibu anak-anaknya dalam proses sosialisasi.

Soejono Soekanto (1982:140),mengatakan proses sosialisasi anak adalah proses pendewasaan individu dari mahluk sosial.Masa perubahan seorang anak dari keadaan psikologis menjadi mahluk sosial pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya di dunia,merupakan proses yang sangat penting dan menarik untuk dipelajari melalui proses yang disebut proses sosialisasi.

Proses sosialisasi anak tersebut memerlukan peranan,yang dalam penelitian ini perempuan sebagai orang tua tunggal yang dituntut kemandiriannya dalam membesarkan anak-anaknya tanpa figur seorang suami dan keluarga yang utuh.

Menurut Muniarti (2004:111),pribadi yang mandiri merupakan pribadi yang yang berani menyatakan kehendaknya,berani memutuskan dan bertanggung jawab secara sadar.Pribadi mandiri menyadari bahwa dirinya adalah seorang pribadi.

Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai bagi anaknya agar dikemudian hari dapat menanggapi lingkungan secara aktif.Dengan perkataan lain,kualitas sumber daya manusia tidak lepas dari bagaimana keluarga mendidik anak-anaknya dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan baik dimasa lalu maupun masa yang akan datang.Membesarkan anak di dalamnya mencakup pengasuhan anak,pengasuhan anak adalah bagian dari sosialisasi yang berfungsi menyiapkan seorang anak menjadi warga masyarakat kelak.Pengasuhan anak sudah dimulai sejak anak masih kecil.

Ketergantungan perempuan kepada laki-laki jelas mempengaruhi perempuan dalam tindakan dan kegiatan yang dipilihnya.Disadari atau


(16)

tidak,anggapan yang berkembang dalam masyarakat ini sering membatasi ruang gerak perempuan.Ketergantungan merupakan hal yang begitu akrab dengan perempuan,sementara kemandirian merupakan hal yang asing.

Muniarti (2004:111-112),pola ketergantungan yang tercipta dari konstruksi sosial yang bias gender ini,sangat mengganggu perkembangan pribadi seorang perempuan untuk mandiri.Ia sendiri,perempuan,merasa tidak pantas untuk mandiri dan suaminya akan merasa bersalah apabila istrinya tidak tergantung kepadanya.

Upaya menuju kemandirian bagi perempuan sebagai orang tua tunggal merupakan tuntutan yang tidak dapat ditunda lagi dan karena sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya terlebih dalam membesarkan anak-anaknya,mengingat bila seorang perempuan sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya yang harus memainkan peran ganda dalam keluarga.

Perempuan sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya dituntut untuk melakukan berbagai perubahan dalam cara bepikir,bersikap dan bertindak yang lain dari cara-cara yang lama.Karena anak-anak berkembang dengan meniru keadaan di lingkungannya.Sebagai orang tua tunggal perempuan harus bisa menciptakan suasana yang seimbang bagi anak-anaknya.Sehingga anak-anaknya tidak merasa kekurangan kasih sayang karena tidak hadirnya figur ayah dalam keluarga.

Perempuan sebagai orang tua tunggal harus mandiri.”Pada dasarnya kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukan” (Pratini,2001:12).Kemandirian bagi perempuan dipandang penting karena dengan kemandirian seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.Berkembangnya anggapan yang


(17)

menyatakan bahwa perempuan adalah kaum yang tergantung atau tidak mandiri,merupakan anggapan yang mengacu pada norma-norma ketimuran yang cenderung menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Kemandirian bagi perempuan Timur termasuk Indonesia agak berbeda dengan kemandirian perempuan Barat.Hemas dalam Pratini (2001:24), menyatakan bahwa ada beberapa hal yang unik dalam kemandirian perempuan Indonesia yaitu adanya keterkaitan yang kuat dengan prinsip-prisip agama,budaya atau tradisi dan filsafat serta norma-norma kehidupan yang ada di negara Indonesia.Disisi lain konsep kemandirian datang dari Barat lebih menekankan pada individualisme,independensi diri,yang melepaskan diri dari ikatan kerja sama antara satu dengan yang lain,kebebasan sepenuhnya dari ikatan norma sosial,agama dan budaya.Dengan demikian konsep kemandirian perempuan Indonesia mempunyai karakter sendiri dibandingkan konsep kemandirian yang datang dari Barat.Kemandirian perempuan di Indonesia tetap masih memperhatikan atau masih tergantung pada norma-norma yang berlaku di masyarakat,di tempat tinggal perempuan itu berada.

Perempuan sebagai orang tua tunggal memiliki peran dalam membesarkan anak yaitu memberikan pendidikan,peran mendidik anak dapat diberikan meliputi orientasi terhadap nilai moral,pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya.Ketika mengadakan perubahan perempuan akan merasa terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.Biasanya seorang perempuan dalam keluarga selalu di dampingi oleh seorang suami tetapi dia harus menyesuaikan keadaan ketika ia menjadi orang tua tunggal dan mengasuh anak-anaknya dengan baik.Anak bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai pewaris keturunan,karena itu setiap keluarga akan menjaga anak-anaknya dengan baik yaitu dengan


(18)

membesarkannya dari ia kecil sampai dewasa,mengajarkan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan berusaha memenuhi segala kebutuhannya.

Perempuan dalam pandangan tradisional masyarakat masih berada di bawah laki-laki.Dalam masyarakat yang masih bersifat tradisional mengaganggap bahwa laki-laki selalu lebih hebat dari perempuan,perempuan dianggap bodoh,selalu dinomor duakan dan jauh dari kemadirian.Pendapat-pendapat masyarakat seperti inilah yang menghadirkan ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut.Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,diantaranya dibentuk,disosialisasikan,diperkuat,bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.Melalui proses panjang,sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih,1996:7-12).

Menurut Fakih (1996:13-23) ketidakadilan gender tersebut dapat berbentuk :

* Gender dan Marginalisasi Perempuan,proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan baik di tempat kerja bahkan dalam keluarga.Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapat waris sama sekali.


(19)

* Gender dan Subordinasi,pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin,berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

* Gender dan Stereotipe,secara umum stereotipe adalah penandaan terhadap suatu kelompok tertentu.Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender.Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu,umumnya perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka,misalnya penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya,maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini.

* Gender dan Kekerasan,kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber,namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender.Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence.Pada dasarnya,kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

* Gender dan Beban Kerja,adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga,berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga manjadi tanggung jawab kaum perempuan.Konsekuensinya,banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama.Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau


(20)

kenyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan” seperti semua pekerjaan domestik dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan laki-laki” serta dikategorikan “bukan produktif “ sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.

Terkait dengan masalah tersebut perempuan dapat mulai memahami diri mereka sendiri lebih baik dan menumbuhkan penilaian yang lebih tinggi terhadap sifat hakiki dalam diri mereka (Wolfman,1989:40).Setelah memahami sifat-sifat hakiki dalam diri mereka sendiri,para perempuan yang telah memiliki keluarga akan lebih memahami perananya dalam keluarga.

Sifat dasar seorang perempuan adalah menjadi ibu,bagi sebagian orang menjadi ibu adalah proses yang alami dari perempuan.Perempuan dalam kodratnya menjadi ibu yang harus mengurus anak-anaknya jauh lebih besar dari laki-laki.Faktanya,laki-laki hanya mencari nafkah di luar rumah dan perempuanlah yang sebenarnya mengurus kebutuhan keluarganya dari hal kecil sampai hal yang besar.”Dapat dilihat dalam kenyataannya di negara-negara Selatan kerja yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan miskinlah yang memungkinkan keluarga mereka tetap bertahan hidup : semakin miskin suatu keluaga,keluarga itu semakin bergantung kepada produktivitas ekonomi seorang perempuan” (Mosse,1946:46).Dari hal diatas dapat dilihat kemandirian perempuan sebagai orangtua tunggal bagi anak-anaknya dan memberikan teladan tentang hal-hal apa saja yang baik dan yang buruk di lingkungannya

. Penelitian ini melihat tentang upaya perempuan menuju kemandirian

sebagai orangtua tunggal bagi anak-anaknya yang lokasinya bertempat di wilayah pedesaan yang banyak dihuni oleh masyarakat Batak Toba dan masih kental


(21)

dengan kehidupan yang sederhana dan dengan kebudayaan yang masih dipegang teguh masyarakat setempat.Berdasarkan data sementara di lapangan,perempuan yang menjadi orang tua tunggal semuanya dikarenakan ditinggal mati oleh suaminya.Hal ini disebabkan oleh faktor agama yang banyak dianut masyarakat setempat yaitu Kristen yang tidak mengijinkan seseorang yang telah menikah bercerai kecuali karena kematian,selain itu masyarakat Batak yang ada disana masih kental dengan norma-norma dan adat istiadat yang melarang seorang perempuan untuk berceri atau memiliki anak diluar pernikahan atau hidup terpisah dari suaminya,karena menurut masyarakat disana perempuan harus mengabdi dan mengikuti suaminya.

Adapun data sementara jumlah perempuan orangtua tunggal di Desa Parbubu II sampai dengan September 2007 yang didapat dari kantor kepala desa setempat adalah sebagai berikut :

N o

Nama U

m u r

Pekerjaan Jumlah Tanggungan

Agama Status

Perni-kahan (Cerai Hidup) Thn Status Pernik ahan (Cerai Mati) Thn

1 Tiurlan

Sihombing

81 Bertani 3 Protestan - Ya

1981

2 Aliran

Simorangkir

81 Bertani 3 Protestan - Ya

1989

3 Esli

Lumbantobing

58 Bertani 2 Protestan - Ya


(22)

4 Risma Sirait 33 Bertani 5 Protestan - Ya 2005

5 Hilderia

Sihombing

62 Bertani - Protestan - Ya

1982

6 Rana Sibuea 80 Bertani - Protestan - Ya

1972

7 Pastiaman

Sitompul

41 Bertani 3 Protestan - Ya

1999

8 Moria

Panjaitan

77 Bertani 1 Protestan - Ya

1971

9 Hetoria

Hutagalung

70 Bertani - Protestan - Ya

1973 10 Hilderia

Silalahi

76 Bertani - Protestan - Ya

1975

11 Mauli Hutapea 74 Bertani 2 Protestan - Ya

2000

12 Hetna Hutauruk 70 Bertani - Protestan - Ya

2003

13 Kardi Pardede 79 Bertani - Protestan - Ya

2000 14 Hicca

Simatupang

61 Bertani 2 Protestan - Ya

2002

15 Sapini Sinaga 64 Bertani 1 Protestan - Ya


(23)

16 Shinta Sibuea 65 Bertani - Protestan - Ya 2007 17 Albine

Lumbantobing

70 Bertani 1 Protestan - Ya

1982 18 Emmas

Lumbantobing

75 Bertani 1 Protestan - Ya

1967

19 Rotua Hutapea 72 Bertani 1 Protestan - Ya

1986

Dari data diatas dapat dilihat bahwa perempuan yang menjadi orang tua tunggal di Desa Parbubu II,dalam upayanya untuk mandiri setelah ditinggal mati oleh suaminya yaitu dengan bertani dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti bertenun kain ulos,dan berternak walaupun terkadang mereka harus mengerjakan sawah atau ladang orang lain karena tidak memiliki sawah atau ladang sendiri.Berdasarkan pengamatan sementara perempuan Batak di Desa Parbubu II dari kecil sudah dibiasakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju,memasak,mengangkat air,membantu di sawah,mengurus saudaranya yang lebih muda darinya,dll.Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan para perempuan untuk dapat mengurus keluarganya kelak.

Perempuan yang menjadi orangtua tunggal harus dapat keluar dari ketergantungan yang selama ini disadari atau tidak telah menghambat kemandiriannya walaupun dalam banyak masyarakat yang masih memegang sifat tradisional seperti dalam masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal yaitu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah),selalu memberi nilai yang lebih tinggi pada laki-laki dalam keluarga dan sebaliknya menomorduakan perempuan dalam


(24)

keluarga mulai dari hak waris,hak untuk berbicara dalam acara adat,hak untuk memperoleh pendidikan,hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga sehingga perempuan sebagai orangtua tunggal bagi anak-anaknya sering diragukan kemampuannya dalam mengurus keluarganya tanpa kehadiran suami,perempuan dianggap lemah untuk menanggung persoalan-persoalan berat dan juga dalam masyarakat terkadang masih memandang sebelah mata pada status perempuan yang menjadi orangtua tunggal,oleh karena itu kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya.Kemandirian mendorong orang untuk berprestasi dan berkreasi.Dengan demikian kemandirian diharapkan dapat mengatur orang menjadi mahluk yang produktif dan efisien,mampu memecahkan berbagai persoalan serta membawa dirinya kearah kemajuan.

1.2.Perumusan Masalah

Mengacu dari keadaan yang telah dijelaskan pada latar belakang diatas,maka masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana seorang perempuan sebagai orangtua tunggal dalam menciptakan kemandiriannya untuk dapat terus mengasuh dan membimbing anak-anaknya agar dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dalam keluarga yang tidak lengkap.

Dari masalah tersebut hal-hal yang ingin dikaji oleh peneliti antara lain : 1.Persoalan-persoalan apa saja yang muncul ketika para perempuan Batak Toba ini menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya?

2.Bagaimana faktor budaya setempat dapat mempengaruhi upaya kemandirian bagi seorang perempuan?


(25)

3.Bagaimana strategi-strategi yang dilakukan oleh perempuan Batak Toba yang menjadi orangtua tunggal dalam menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan internal sehinggal ia dapat mandiri dan dapat membesarkan anak-anaknya?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang upaya perempuan Batak Toba menuju kemandirian sebagai orangtua tunggal dalam proses membesarkan anaknya,dimana kemandirian perempuan sebagai orangtua tunggal masih sulit diterima oleh masyarakat kita.

Manfaatnya diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Biro Pemberdayaan Perempuan dalam penyusunan program tentang pemberdayaan perempuan yang khusus menyandang status orangtua tunggal..Dan juga sebagai tambahan referensi bagi studi antropologi gender.

1.4.Tinjauan Pustaka

Khairruddin dalam Su’adah (2003:22),mengatakan pada hakikatnya keluarga merupakan hubungan keturunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan.Dalam hubungannya dengan proses sosialisasi anak,keluarga dijadikan wadah bagi proses pendewasaan dan pembelajaran bagi anak.

Sumbangan keluarga pada perkembangan anak berupa (Hurlock,1992:201)

- Perasaan aman karena menjadi anggota kelompok yang stabil

- Orang-orang yang dapat diandalkannya dalam memenuhi

kebutuhannya-fisik dan psikologis

- Sumber kasih sayang dan penerimaan,yang tidak terpengaruh oleh apa


(26)

- Model pola perilaku yang disetujui guna belajar menjadi sosial.

- Bimbingan dalam pengembangan pola perilaku yang disetujui secara

sosial.

- Orang-orang yang dapat diharapkan bantuannya dalam memecahkan

masalah yang dihadapi tiap anak dalam penyesuaian pada kehidupan

- Bimbingan dan bantuan dalam mempelajari kecakapan-motorik,verbal dan

sosial-yang diperlukan untuk penyesuaian

- Perangsang kemampuan untuk mencapai keberhasilan di sekolah dan

kehidupan sosial.

- Bantuan dalam menetapkan aspirasi yang sesuai dengan minat dan

kemampuan

- Sumber persahabatan sampai mereka cukup besar untuk mendapatkan

teman di luar rumah atau bila teman di luar tidak ada.

Sejalan dengan itu Suratman (1995:36),mengatakan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya baik dari sudut agama,psikologis,psikis,tempat tinggal dan juga kebutuhan akan rasa sayang,dimengerti dan rasa aman melalui asuhan dan ucapan.

Wauran (1977:20) mengatakan keluarga menjadi penting karena selain sebagai tempat proses sosialisasi pertama,keluarga juga membawa pengaruh yang luas baik dalam keluarga itu sendiri maupun kepada masyarakat dan bangsa.

Keluarga inti terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak.Menurut Levine dalam Sjarkawi (2006:20) menjadi orangtua sesungguhnya merupakan proses yang dinamis.Situasi keluarga acap kali berubah,tidak ada yang bersifat mekanis dalam


(27)

proses tersebut.Akan tetapi dengan memahami bahwa kepribadian mengaktifkan energi,mengembangkan langkah demi langkah,serta menyadari implikasi setiap langkah terhadap diri anak,para orangtua secara perlahan akan mampu memupuk rasa percaya diri pada diri anak.

Selanjunya Levine juga menegaskan bahwa kepribadian orangtua akan berpengaruh terhadap cara orangtua tersebut dalam mendidik dan membesarkan anaknya yang pada gilirannya juga akan berpengaruh kepada kepribadian si anak tersebut.

Dalam proses tumbuh kembang anak,pengaruh lingkungan besar sekali,termasuk lingkungan keluarga yang jelas ikut memberi bentuk dan warna pada kepribadian anak.Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan sosial pada tahap-tahap awal perkembangan kepribadian anak.Hubungan antara pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara anak dengan tokoh yang dekat dalam dalam kehidupannya (significant others),acapkali berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian anak yang dalam hal-hal tertentu bisa menjadi sumber permasalahan perilaku anak (Gunarsah,1993:44-45).

Proses membesarkan anak merupakan rangkaian dari usaha-usaha yang di dalamnya terdapat pengasuhan anak dan sosialisasi anak.Pengasuhan anak adalah salah satu bagian yang penting dalam proses sosialisasi yang dialami oleh seorang anak di rumahnya Secara khusus sosialisasi mencakup proses dimana warga masyarakat mempelajari kebudayaan,belajar mengendalikan diri serta mempelajari peran-peran di dalam masyarakat” (Danandjaja,1980:246).

Koentjaraninggrat (1990:229),proses sosialisasi bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial,dalam proses itu


(28)

seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar dari pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.

Danandjaja (1988:71),mengatakan pengasuhan anak adalah media untuk mentransmisikan suatu konfigurasi kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain dan alat komunikasi orangtua dan anak-anak mereka.

Penelitian ini membahas tentang kemandirian perempuan sebagai orang tua tunggal dalam proses membesarkan anak.Dimana keluarga inti tersebut hanya terdiri dari ibu dan anak-anaknya.Lebih lanjut Biro Pusat Statistik menunjukkan yang dimaksud dengan perempuan sebagai orang tuatunggal dan mengepalai rumah tangga adalah perempuan yang dianggap bertanggung jawab terhadap rumah tangga (BPS,1986 dalam Pratini,2001:49) dan dibedakan atas :

- Perempuan yang tidak kawin yaitu perempuan yang tidak terikat di dalam

perkawinan dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.

- Perempuan yang kawin yaitu perempuan yang terikat di dalam perkawinan

tetapi tempat tinggalnya berpisah dengan suami sehingga perempuan yang mengepalai rumah tangga.

- Perempuan yang cerai hidup maupun cerai mati (janda) adalah perempuan

yang telah bercerai maupun suaminya meninggal dunia dan belum menikah lagi.

Jadi perempuan sebagai orangtua tunggal menjadi kepala rumah tangga

baik secara de jure yaitu perempuan hidup berumah tangga sendiri,dalam arti


(29)

karena perempuan itu merantau tanpa suami atau ditinggal merantau suaminya dan berumah tangga sendiri.

Kemadirian perempuan Batak Toba sebagai orangtua tunggal bagi proses membesarkan anak-anaknya merupakan hal yang sangat penting,berhubung ketiadaan orang lain untuk menggantungkan dirinya.Keadaan ini juga menjadi semakin sulit karena anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan tergantung pada laki-laki.Menurut Mosse (1996:42),anak-anak merupakan kekayaan seorang perempuan sekaligus beban yang mungkin harus diatasinya sendiri.

Simanjuntak (1983:90),mengemukakan wanita sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keluarganya,pendidikan anak-anaknya,kelangsungan generasi manusia,pelaksaan upacara keagamaan,di dalam rumah akan menduduki posisi tinggi di dalam strutur masyarakat.

Bagi suku Batak Toba orangtua terutama ibu merupakan tokoh yang sangat penting dalam pendidikan dan perkembangan anak.Penelitian sementara di Desa Parbubu II menunjukkan bahwa tokoh utama membesarkan anak bayi terletak di tangan ibu.”Dalam perkembangan anak selanjutnya ibu dibantu saudara kandung si anak karena ibu ikut serta bersama ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya” (Nadeak,1992:76-80)

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan menurut garis laki-laki dan dalam literatur Antropologi dikenal sebagai masyarakat dengan sistem patrilineal yang terkuat di Indonesia (Koentjaraninggrat,1985:130).Pada sistem kekerabatan patrilineal,bahwa kewajiban,wewenang dan kontrol atas wanita dan anak-anak dalam masyarakat Batak Toba dipegang oleh seorang laki-laki.


(30)

Dalam Muniarti (2004:89),pada masyarakat Batak,laki-laki lebih dihargai daripada perempuan.Istri yang tidak bisa menurunkan anak laki-laki,membuat laki-laki (suaminya) boleh mengawini perempuan lain lagi untuk mendapatkan anak laki-laki.Perempuan bekerja keras,laki-laki berkumpul di lapo tuak (kedai minum) sambil main catur atau kartu.Dalam suatu pesta Batak kepala babi diberikan kepada laki-laki sebagai manifestasi falsafah Batak yang berarti kehormatan,kekayaan,dan keturunan yang merupakan hak laki-laki.Hubungan darah yang berdasarkan marga menunjukkan hubungan yang paternalistik.Namun sebenarnya masyarakat masyarakat Batak mempunyai konsep tiga tungku yaitu boru,hula-hula,dan dongan sabu toha.Konsep ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki.

Bangun dalam Yusnita (1997:11),menggambarkan bahwa masyarakat Batak Toba seolah-olah sangat menitik beratkan pengaruh laki-laki.Ini dapat dilihat bila suami meninggal,janda harus kawin dengan salah satu kerabat bekas suaminya (levirate) tetapi kalau ia tidak mau,ia bisa minta diceraikan kepada keluarga besar asal dari suaminya.Jadi hal ini mejadikan perempuan Batak yang telah ditinggal mati oleh suaminya tidak begitu saja dapat menikah dengan laki-laki lain di luar keluarga suaminya.Dengan tidak menikah lagi atau menikah dengan laki-laki dari keluarga bekas suaminya maka perempuan akan tetap menjadi tanggung jawab keluarga asal suaminya itu dan ia serta anak-anaknya akan tetap diakui sebagai bagian keluarga suaminya dan tidak akan kehilangan hak waris yang diperoleh dari suaminya.

Pandangan masyarakat Batak Toba seperti ini tanpa disadari sering menghadirkan ketidakadilan gender.Muniarti (2004:199-200),ideologi gender hasil konstruksi masyarakat menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga


(31)

karena tidak adanya kesetaraan dalam relasi antar manusia.Pemahaman bahwa setelah menikah istri adalah milik suami,mengundang perilaku suami untuk menguasai istri.Dianggapnya bahwa istri adalah hak milik suami.Istri akan menjadi tergantung karena ia dimiliki dan harus dilindungi.Padahal dalam kenyataannya belum tentu laki-laki sebagai seorang pribadi memilki kemampuan untuk itu.

Dalam hal kemandirian perempuan,menurut teori fungsional ketidakhadiran kepala rumah tangga laki-laki dipandang sebagai berkurangnya fungsi salah satu bagian dalam keseluruhan sistem.Budiman dalam Pratini (2001:39),menyatakan bahwa ketergantungan perempuan merupakan sesuatu yang alamiah (atau paling sedikit sesuatu yang diperlukan untuk menjamin keharmonisan masyarakat).

Pratini (2001:39) menyatakan bahwa teori ini didasarkan oleh pendapat Emile Durkheim yang menyatakan bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat organis dan menunjukkan terjadinya pembagian kerja yang saling melengkapi.Dalam hal peran perempuan sebagai ibu rumah tangga,teori fungsional menyatakan bahwa bentuk keluarga yang seperti sekarang menggejala yaitu kaum perempuan bekerja di sektor domestik,merupakan sesuatu yang sudah “alamiah” sesuai dengan pembagian kerja di masyarakat yakni bahwa perempuan mengurus rumah tangga,laki-laki bekerja mencari penghasilan.

Pratini (2001:41),bila rumah tangga dikepalai oleh seorang perempuan yaitu sebagai orangtua tunggal,dipandang sebagai ketidakseimbangan sosial (social inequlity),maka jika dilihat dari sudut pandang teori fungsional hal ini akan menempatkan individu (perempuan) pada peran sosial yang penting.


(32)

Megawangi (1999:68-69),arti fungsi disini dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan sosial.Fungsi sebuah sistem mengacu pada kegunaan sebuah sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-subsistem lain dari sistem tersebut.

Karena itu apabila rumah tangga dipandang sebagai sistem maka bagian-bagian dalam sistem tersebut harus saling mendukung.

Oleh sebab itu ketidakhadiran figur seorang laki-laki dalam kelurga dapat memacu potensi dari anggota keluarga lain khususnya seorang ibu untuk dapat mandiri dan dapat berperan ganda sebagai ibu yang mengasuh anak-anaknya serta sebagai ayah yang mencari nafkah keluarga.

1.5.Ruang Lingkup Lokasi Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di Desa Parbubu II,Kecamatan Tarutung,Kabupaten Tapanuli Utara,Propinsi Sumatera Utara.

Adapun alasan dalam memilih daerah ini sebagai lokasi penelitian,karena di desa ini penulis dapat menemukan perempuan yang berperan sebagi orangtua tunggal bagi anak-anaknya.Daerah yang tergolong desa ini,masih kental dengan budaya bahwa perempuan posisinya masih di bawah laki-laki dalam rumah tangga dan anggapan yang menyatakan perempuan jauh dari kemandirian.

1.6.Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif,yaitu memberikan gambaran yang tepat terhadap suatu gejala dalam masyarakat yaitu bagaimana upaya perempuan menuju kemandirian sebagai orangtua tunggal dalam proses membesarkan


(33)

anaknya.”Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu,peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengukuran hipotesis”(Masri Singarimbun,1995:4).

Selain menggunakan tipe penelitian deskriptif,penulis juga menggunakan metode kualitatif. Kirl dan Miller dalam Moleong (2002:3),mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.

Melalui metode kualitatif ini dapat dilihat bagaimana perempuan Batak Toba di tengah berbagai anggapan masyarakat dan keterbatasan kemampuannya dapat mandiri sebagai orangtua tunggal dalam keluarganya dan dalam membesarkan anak-anaknya.

Teknik penelitian yang digunakan dalam pencarian data di lapangan antara lain:

* Data Primer 1.Teknik Observasi.

Teknik observasi ini dilakukan peneliti untuk mengamati kegiatan perempuan-perempuan yang mejadi orangtua tunggal dalam membesarkan anaknya.Peneliti juga akan melihat bagaimana upaya kemandirian perempuan dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut.Serta reaksi masyarakat yang masih kuat akan tradisi tentang kemandirian perempuan sebagai orangtua tunggal dalam keluarganya.


(34)

2.Teknik Wawancara

Dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara mendalam (depth interview) untuk dapat memperoleh gambaran bagaimana keseharian para perempuan yang menjadi orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya dan bagaimana perempuan ini menghadapi masyarakat serta perubahan dalam keluarganya.Sewaktu melakukan wawancara,jika diijinkan oleh informan maka peneliti akan menggunakan catatan lapangan.Dalam wawancara ini juga akan

dibantu dengan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disusun lebih

dahulu.

3.Penentuan Informan

Penentuan informan untuk diwawancarai sesuai dengan kriteria informan :

a. Informan Pangkal,yaitu orang yang pertama ditemui untuk mengetahui

informasi dilapangan.Informan pangkal ini memilki pengetahuan tentang kondisi di lapangan dan mengenai data-data yang dibutuhkan oleh peneliti Informan pangkal di sini yaitu Kepala Desa Parbubu II.

b. Informan Pokok (kunci),yaitu orang yang terlibat atau menjadi pelaku

langsung dalam masalah penelitian ini.Informan kunci ini adalah orang yang diharapkan peneliti dapat memberikan keterangan tentang masalah yang diteliti.Informan kunci di sini yaitu para perempuan (ibu) di Desa Parbubu II yang menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya.Informasi ini didapat dari para ibu yang menjadi orangtua tunggal,yang jumlah sementaranya telah diperoleh lebih dulu yaitu dengan kategori :


(35)

- Ibu yang menjadi orangtua tunggal dan pada saat penelitian dilakukan ia masih masih memliki tanggungan anak.Dari sini diharapkan dapat diperoleh informasi bagaimana upaya perempuan itu untuk mandiri dan membesarkan anak-anaknya seorang diri mulai dari saat anaknya tersebut ditinggal oleh ayahnya.

- Ibu yang menjadi orangtua tunggal dan pada saat penelitian berlangsung ia sudah tidak memiliki tanggungan anak,tetapi ia tetap pernah merasakan membesarkan anaknya sendiri ketika suaminya sudah meninggal.Dari sini diharapkan dapat diperoleh informasi bagaimana upaya yang dilakukan oleh seorang perempuan yang telah berhasil membesarkan anaknya seorang diri sampai anak itu bisa mandiri.

c. Informan Biasa,informan ini memberikan informasi sesuai dengan

pengetahuannya tentang masalah dalam penelitian ini,walaupun informan ini tidak terlibat langsung dalam masalah.Informan biasa ini diambil dari masyarakat Batak di Desa Parbubu II dan juga dapat diambil dari keluarga para ibu yang menjadi orangtua tunggal di desa ini.Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat tentang perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya.

Untuk lebih memperjelas dekripsi ini maka peneliti akan membuat life

history dari sebagian perempuan di desa Parbubu II yang menjadi orangtua tunggal dalam keluarganya yang merupakan informan kunci dalam penelitian ini. Berdasarkan data sementara di lapangan,bahwa perempuan yang menjadi orang tua tunggal di desa ini semuanya adalah karena cerai mati (janda).Salah satunya


(36)

yang mewakili adalah Ibu Hilderia Sihombing yaitu seorang ibu yang telah berhasil membesarkan anaknya sampai anaknya itu sekarang dapat mandiri.Ibu Hilderia sudah lama menjadi orang tua tunggal bagi anaknya.Pada pernikahannya Ibu Hilderia hanya dikaruniai satu orang anak laki-laki.Ia ditinggal mati oleh suaminya sejak anaknya baru berumur 8 tahun dan sedang duduk di bangku SD kelas II.Saat ditinggal oleh suaminya,Ibu Hilderia belum memiliki rumah sendiri sehingga ia harus tinggal di rumah saudara jauhnya yang berada di desa Parbubu II juga karena keluarganya sendiri dan keluarga suaminya juga mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak dapat membantu banyak.Selama menumpang di rumah saudara jauhnya itu,Ibu Hilderia berusaha keras untuk dapat membesarkan anaknya tanpa kehadiran seorang suami.Dari cerita Ibu ini awalnya terasa sulit karena harus membesarkan anaknya sendiri dan harus siap menghadapi setiap masalah dalam keluarganya sendiri termasuk anggapan masyarakat tentang statusnya sebagai orangtua tunggal dan perempuan yang dianggap tidak bisa mandiri dan dari tanggungan laki-laki,tetapi karena kehidupan di desa yang membiasakan para wanita juga ikut bekerja,maka Ibu ini dapat menghidupi anaknya dari bekerja di sawah orang lain dan bertenun kain ulos yang kemudian dijualnya walupun kehidupannya sulit,Ibu Hilderia tidak berpikir untuk menikah lagi karena adat Batak bila seorang wanita menikah lagi dengan laki-laki di luar keluarga suaminya maka ia dan anaknya akan lepas dari tanggung jawab keluarga mantan suaminya,selain itu Ibu Hilderia merasa ia cukup memiliki satu suami dalam hidupnya.Melalui usahanya itu,Ibu Hilderia dapat menyekolahkan anaknya sampai lulus SMU hingga anaknya sekarang sudah berkeluarga.

Selain Ibu Hilderia,cerita lain dari kehidupan perempuan yang menjadi orangtua tunggal adalah dari Ibu Risma Sirait yaitu seorang ibu yang menjadi


(37)

orangtua tunggal dan saat ini sedang dalam proses menuju mandiri untuk dapat membesarkan anak-anaknya sampai anak-anaknya dapat mandiri.Ibu Risma ini baru 2 tahun ditinggal mati suaminya.Dari pernikahannya ia dan suaminya dikaruniai 5 orang anak,anak yang paling besar baru berumur 14 tahun duduk di kelas II SMP dan yang paling kecil berumur 3 tahun.Ibu Risma ini masih tergolong muda,ia masih berusia 33 tahun dan telah ditinggalkan suaminya.Tanggungannya cukup berat yaitu kelima orang anak-anaknya yang masih kecil dan harus bersekolah.

Sejak dulu suami Ibu Risma bekerja sebagai petani dan sempat menjadi Kepala Desa Parbubu II.Untuk menghidupi dan melanjutkan sekolah anak-anaknya,Ibu Risma kemudian melanjutkan usaha suaminya yaitu bertani.

* Data Sekunder

Data sekunder yaitu dengan mengumpulkan data melalui kepustakaan yang berupa buku-buku,majalah,dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.7.Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis ini,peneliti akan memeriksa ulang data untuk melihat kelengkapan data.Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis secara kualitatif.Hal ini dilakukan agar data yang telah diperoleh lebih mudah untuk dibaca dan dipahami.Data yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan kategori-kategori tertentu.Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian yang telah disusun untuk kemudahan mendeskripsikan.


(38)

Penelitian ini menggunakan analisis gender yaitu melihat laki-laki dan perempuan dalam hal akses,peran,kontrol dan manfaat yang mereka dapat di dalam kehidupan bermasyarakat.Hal ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi bias gender di dalamnya.

Dari hasil pengamatan sementara di lapangan,kehidupan perempuan yang menjadi orangtua tunggal dalam keluarganya telah menghadirkan pendapat tersendiri dari masyarakat.Masyarakat yang kebanyakan adalah dari suku Batak yang menganut patrilineal terlanjur menganggap bahwa laki-lakilah yang menjadi pemimpin dalam keluarga dan perempuan seharusnya didampingi oleh seorang laki-laki sebagai suaminya dalam keluarga.Adanya pendapat-pendapat masyarakat yang cenderung melemahkan posisi perempuan melahirkan ketidakadilan gender (bias gender) yaitu munculnya stereotipe yang selalu merugikan kaum perempuan.Perempuan dianggap lemah dan tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga sementara laki-laki dianggap sebagai pemimpin,pencari nafkah,dan dapat berpikir lebih rasional daripada perempuan.Bila dilihat dalam suatu keluarga sebenarnya perempuan juga memegang peranan tak kalah penting dari laki-laki,selain membesarkan anak-anaknya,bila diperlukan ia dapat membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya dengan bekerja di luar rumah.

Ihromi,1990:79 dalam beberapa penelitian tentang keluarga inti yang pernah dilakukan,diungkapkan bahwa dalam keluarga dan rumah tangga,perempuan pada dasarnya sering kali berperan ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan sebagai pencari nafkah (pokok atau tambahan).Jadi disini dapat dilihat kemampuan dari wanita yang sebenarnya tidak terbatas pada urusan rumah tangga saja.


(39)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1.Lokasi dan Letak Desa

Desa Parbubu II terletak di Sumatera Utara tepatnya di Kecamatan Tarutung.Untuk mencapai desa Parbubu II ini dibutuhkan waktu ± 7 jam pejalanan dari kota Medan.Desa Parbubu II ini bejarak ½ jam dari kota Tarutung.Untuk mecapai Desa Parbubu II ini dapat ditempuh melalui jalur darat.

Wilayah Desa Parbubu II ini dibagi dalam 11 lingkungan dan 4 dusun. Adapun batas-batas wilayah Desa Parbubu II adalah :

- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Parbubu Pea

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Parbubu Dolok

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Parbubu I

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Hutapea Banuarea

2.2.Sejarah Desa

Lokasi penelitian berada di desa Parbubu II yang memiliki asal-usul daerah yang terjadi kira-kira 300 tahun yang lalu.Berdasarkan cerita orang-orang tua di desa ini,ada seorang yang bermarga Tobing memberikan lahan tempat tinggal bagi keturunannya di Tarutung.Salah satu keturunannya sampai sekarang masih bermukim di salah satu dusun di Parbubu II.

Desa Parbubu II menurut orang-orang sebelum ditempati merupakan hutan belukar di lereng Gunung Martimbang.Secara berangsur-angsur maka hutan belukar itu berubah menjadi sebuah desa yang bernama Parbubu II.Sampai sekarang Desa Parbubu II ini masih dikelilingi oleh Gunung Martimbang.


(40)

Suku Bangsa yang ada di desa ini adalah suku Batak,mengingat akan sejarah desa ini yang dibuka oleh seorang yang berasal dari suku Batak maka keturunannya lah yang bermukim di desa ini.Penduduk Desa Parbubu II ini masih terikat dengan urusan adat istiadat Batak.Dapat dilihat dari mulai upacara perkawinan kematian dan upacara adat lainnya masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat.Norma-norma dan kebiasaan yang berlaku di daerah ini juga disesuiakan dengan aturan-aturan dalam suku Batak jadi aturan yang mengatur kehidupan masyarakat disini masih aturan adat walaupun secara administratf ada campur tangan dari pemerintah.

2.3.Kondisi Geografis

Luas wilayah desa Parbubu II keseluruhan adalah 450 Ha.Desa Parbubu II memilki tanah yang subur,di sekitarnya banyak dijumpai sawah dan ladang kopi milik penduduk.Desa Parbubu II ini tergolong daratan tinggi karena wilayah ini merupakan kawasan lereng gunung.

TABEL I

Komposisi Jenis Pemanfaatan Lingkungan Oleh Penduduk Desa Parbubu II yaitu :

No Jenis Pemanfaatan Lingkungan Jumlah

1. Sawah 37

2. Kebun / Ladang 45

3. Tambak / Kolam 23

4. Rawa 7


(41)

Dari jenis pemanfaatan lingkungan di Desa Parbubu II,para perempuan yang telah menjadi orang tua tunggal (janda) sebagian besar memanfaatkan sawah dan ladang sebagai tempat mencari penghasilan.Sepeninggal suami mereka,biasanya para janda ini meneruskan pekerjaan suami mereka yaitu bersawah.Lagipula dulu sewaktu suami mereka masih hidup,mereka sudah terbiasa membantu suami mereka di sawah atau ladang jadi bukan hal yang baru lagi bagi mereka untuk mengolah sawah dan ladang.Pemanfaatan lingkungan melalui sawah dan ladang ini dikerjakan sendiri oleh perempuan yang telah menjadi janda,mulai dari mencangkul,mengairi sawah,menanam bibit,memotong rumput dan sampai saat memanen.Mereka berusaha mandiri dengan mengolah sawah atau ladang yang dapat menghasilkan uang untuk mereka.

2.4.Pola Pemukiman

Wilayah pemukiman penduduk Parbubu II ini luasnya 17 Ha.Di Desa Parbubu II pola pemukiman penduduk tidak terpusat pada satu wilayah.Dalam satu wilayah,rumah satu dengan rumah lain tidak begitu berjauhan jaraknya.Antara rumah satu dengan rumah yang lain tidak dibatasi oleh pagar atau tembok.

TABEL II

Komposisi Jenis Rumah Penduduk di Desa Parbubu II adalah :

No. Jenis Rumah Jumlah

1. Menurut Sifat dan Bahannya

a. Rumah Panggung / Kayu

b. Rumah Semi Permanen

67 118


(42)

c. Rumah Permanen 6

2. Menurut Fasilitasnya

a. Pelanggan PLN

b. Pelanggan PAM

c. Pelanggan Telepon

d. Rumah yang memiliki WC

e. Rumah yang tidak memilki

jamban / WC

163 23 -- 28 93

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007

2.5.Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk merupakan apa-apa saja yang terdapat di masyarakat tersebut yang berhubungan dengan kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari di daerah itu.Dapat diketahui kondisi suatu daerah apabila kita telah mengetahui keadaan penduduknya,dengan itu dapat diperoleh data atau hasil yang diinginkan dari satu daerah.

2.5.1.Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang paling mudah dilakukan.Dengan bahasa kita dapat menyampaikan maksud dan tujuan kita kepada orang lain.Bahasa yang biasa digunakan penduduk Desa Parbubu II ini adalah bahasa Batak,mengingat sebagian besar penduduknya adalah suku Batak.


(43)

2.5.2.Jumlah penduduk,usia dan jenis kelamin

Bedasarkan data monografi Desa Parbubu II Tahun 2006-2007,jumlah penduduk di desa Parbubu II sebanyak 737 jiwa yang terdiri dari 278 orang laki-laki dan 459 orang perempuan.Di desa ini terdapat 174 kepala keluarga.Jumlah janda di Desa Parbubu II tercatat 19 orang sampai tahun 2007.Di desa ini lebih banyak jumlah perempuan dibandingkan laki-laki.Laki-laki di desa ini sebagian besar jika sudah beranjak dewasa akan merantau ke kota lain untuk tujuan bekerja atau bersekolah,sedangkan perempuan kebanyakan menetap di desa dan menilkah dengan penduduk setempat.Para perempuan jarang diijinkan merantau karena perempuan biasanya diharapkan mengurus urusan rumah sedangkan laki-laki yang bekerja mencari nafkah.Jadi keinginan merantau lebih diprioritaskan untuk laki-laki.

TABEL III

Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Golongan Usia di Desa Parbubu II adalah :

No. Golongan Usia Jumlah Penduduk

1. 0-5 tahun 6 1 orang

2. 6-12 tahun 83 orang

3. 13-18 tahun 90 orang

4. 19-25 tahun 76 orang

5. 26-35 tahun 89 orang

6. 36-45 tahun 82 orang

7. 46-55 tahun 70 orang


(44)

9. 66-75 tahun 56 orang

10. 76 tahun keatas 54 orang

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

TABEL IV

Komposisi Penduduk Usia Produktif (18 s/d 55 tahun) di Desa Parbubu II :

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 150

2. Perempuan 157

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

TABEL V

Komposisi Penduduk Usia Non Produktif (Usia 56 tahun keatas) di Desa Parbubu II :

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 36

2 Perempuan 46

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.5.3.Pendidikan

Di Desa Parbubu II walaupun rata-rata masyarakatnya sudah mengecap pendidikan minimal SD,tetapi pendidikan di Desa ini lebih diutamakan untuk anak laki-laki karena dianggap anak laki-lakilah yang kelak menjadi pemimpin dan mencari nafkah keluarga jadi memerlukan pendidikan sebagai modal baginya.


(45)

Pendidikan bagi masyarakat di desa ini ternyata merupakan hal yang paling penting.Para janda-janda di desa ini walaupun berada dalam di tengah ekonomi yang sulit dan tanpa bantuan dari suaminya ternyata untuk urusan pendidikan anak-anaknya para perempuan ini akan berusaha dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya tetap dapat bersekolah.

Pemberian pendidikan sejak dulu lebih diutamakan pada anak laki-laki ,anak lai-laki-laki diberkan ijin untuk bersekolah bahkan bila diperlukan mereka dapat merantau untuk mencari ilmu.Hal ini mungkin salah satu penyebab para perempuan janda di desa ini memliki keahlian terbatas,hanya pada keahlian bersawah dan bertenun saja.Latarbelakang pendidikan yang hanya rata-rata SD membatasi ruang gerak perempuan untuk bekerja di sektor lain,ini juga pembatasan kemandirian perempuan akibat budaya yang telah terbangun sejak dahulu di masyarakat Batak Toba.

TABEL VI

Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikannya di Desa Parbubu II :

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

1. SD

a. Tamat b. Tidak tamat

80 orang 20 orang

2. SLTP / Sederajat

a. Tamat b. Tidak Tamat

47 orang 3 orang

3. SMU / Sederajat


(46)

b. Tidak Tamat 5 orang

4. Sarjana : S1/S2/S3 4 orang

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.5.4.Mata Pencaharian

Penduduk Desa Parbubu II sebagian besar bekerja sebagai petani dan selebihnya bekerja sebagai peternak,pegawai negeri sipil,karyawan swasta,pedagang,supir,pekerja bangunan,dan lain sebagainya.Dari semua jenis pekerjaan yang ada di desa ini,para perempuan janda yang ada di desa ini sebagian besar bekerja sebagai petani.Pekerjaan ini sebenarnya merupakan pekerjaan berat dan biasanya dilakukan oleh para laki-laki tetapi perempuan di desa ini dapat mengerjakan sawah seorang diri.Hal ini membuktikan bahwa perempuan yang selama ini dipandang sebagai mahluk yang lemah dibandingkan laki ternyata dapat mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh laki-laki.Dalam hal pekerjaan lain yang disediakan di desa ini,para perempuan ini sulit mendapatkan akses untuk memilih pekerjaan lain dikarenakan adanya keterbatasan pendidikan,keahlian serta modal yang dimiliki oleh para perempuan ini.

Melalui mata pencaharian ini membuktikan bahwa perempuan yang menjadi janda dapat mandiri dengan menggantikan fungsi suaminya sebagai pencari nafkah,ini juga membuktikan bahwa perempuan dapat berperan ganda yaitu membesarkan anak-anaknya sekaligus mencari nafkah.


(47)

TABEL VII

Komposisi Jumlah Penduduk di Desa Parbubu II Menurut Profesinya :

No. Profesi Jumlah

1. Petani 82 orang

2. Peternak 3 orang

3. Pegawai Negeri Sipil 19 orang

4. Karyawan Swasta 39 orang

5. Pedagang 35 orang

6. Supir / Kenek 8 orang

7. Pekerja Bangunan 18 orang

8. Lain-lain 39 orang

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.5.5.Agama

Masyarakat Desa Parbubu II sebagian besar menganut agama Kristen Protestan.Agama yang dianut masyarakat di desa ini secara otomatomatis mempengaruhi kehidupan mereka.Seperti yang ditemukan dalam kehidupan pernikahan para janda yang ada di desa ini.Di Desa Parbubu II ini hanya ditemukan janda yang bercerai karena suaminya telah meninggal.Tidak ada ditemukan janda yang cerai hidup atau janda yang memiliki anak tanpa suami.Hal ini disebabkan karena agama yang dianut oleh masyarakat di desa ini tidak memperbolehkan adanya perceraian.

Perempuan yang telah menjadi janda di desa ini,memiliki perkumpulan ibadah yang dilaksanakan satu kali dalam seminggu.Di dalam perkumpulan ini selain melakukan doa bersama juga mereka dapat saling bercerita tentang


(48)

kesusahan yang mereka alami di dalam kehidupan mereka.Karena setelah ditinggal oleh suami mereka,secara otomatis beban mereka akan bertambah banyak.Dalam perkumpulan ini mereka dapat memperoleh hiburan dari masalah-masalah mereka sehari-hari.

TABEL VIII

Komposisi Penduduk Menurut Agama di Desa Parbubu II :

No. Agama Jumlah Penduduk

1. Islam 1 orang

2. Protestan 737 orang

3. Katolik -

4. Hindu -

5. Budha -

6. Aliran Kepercayaan 4 orang

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.6.Sarana dan Prasarana

Sarana dan Prasarana yang tersedia di suatu desa akan sangat membantu perkembangan masyarakat di desa itu. Adanya sarana dan prasarana yang memadai dari pemerintah masyarakat akan lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.


(49)

2.6.1.Sarana Agama

Penduduk di Desa Parbubu II mayoritas bergama Kristen karena itulah di desa ini hanya terdapat sarana ibadah Gereja untuk tempat ibadah umat Kristen disini.Gereja di desa ini dimanfaatkan para janda di desa ini sebagai tempat perkumpulan ibadah mereka.

TABEL IX

Komposisi Sarana Agama di Desa Parbubu II :

No. Sarana Keagamaan Jumlah

1. Mesjid -

2. Surau / Musholah -

3. Gereja 1

4. Kuil / Pura -

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.6.2.Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan di desa Parbubu II tidak begitu banyak jumlahnya,hanya terdiri dari Puskesmas,Poliklinik da Posyandu.Para Janda yang ada di Desa Parbubu II sesekali menggunakan sarana kesehatan di desa ini seperti Posyandu.Mereka membawa anak mereka yang masih balita untuk diimunisasi,sedangkan sarana kesehatan lainnya seperti Puskesmas dan Poliklinik digunakan bila sangat membutuhkan saja,artinya bila sakit ringan mereka memilih meminum obat saja dibandingkan harus langsung ke Poliklinik atau Puskesmas.Waktu dulu mereka melahirkan,mereka jarang melahirkan di Puskesmas,biasanya bidan desa yang dipanggil ke rumah-rumah. Lagipula untuk


(50)

berobat ke Puskesmas atau ke Poliklinik mereka tidak punya waktu karena biasanya mereka seharian menghabiskan waktu untuk bekerja di sawah.

TABEL X

Komposisi Sarana Kesehatan di Desa Parbubu II :

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. Rumah Sakit -

2. Puskesmas / Pustu 1

3. Poliklinik 1

4. Pos Yandu 1

5. Praktek Dokter -

6. Apotik -

7. Toko Obat -

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

TABEL XI

Komposisi Pelayan Kesehatan di Desa Parbubu II :

No. Petugas Pelayan Kesehatan Jumlah

1. Dokter 1

2. Perawat 2

3. Bidan 2


(51)

2.6.3.Sarana Perekonomian Desa

Sarana perekonomian di desa Parbubu II membatu masyarakat memenuhi kebutuhannya,seperti warung-warung yang ada di desa ini menjual keperluan dapur serta bahan makanan sehingga masyarakat tidak perlu pergi ke kota untuk sekedar membeli keperluan-keperluan kecil.

Adanya warung-warung di desa ini juga menunjukkan bahwa masyarakat di desa sudah sedikit memahami mengenai tentang kebutuhan ekonomi yang dibutuhkan masyarakat di desa ini.Selain bermanfaat bagi masyarakat,adanya warung-warung ini juga sedikit membatu usaha para janda yang ada di desa ini. Adanya warung-warung di desa ini akan semakin memudahkan para janda ini untuk menjual hasil sawah mereka yaitu beras.Hal ini akan lebih menghemat uang daripada harus membawa ke kota dengan angkutan umum.

TABEL XII

Komposisi Sarana Perekonomian Desa di Desa Parbubu II :

No. Sarana Perekonomian Desa Jumlah

1. Pasar -

2. Koperasi

• KUD

• Simpan Pinjam

1 -

3. Toko / Kios / Warung 10

4. Lumbung Desa -

5. Bank BPR -


(52)

2.6.4.Sarana pemerintahan desa

Sarana pemerintahan desa di Desa Parbubu II seperti Balai Desa digunakan masyarakat untuk berkumpul dan membicarakan masalah yang ada di desa ini.Biasanya undangan dari Kepala Desa ini berlaku untuk setiap warga masyarakat di desa ini termasuk janda-janda yang ada di desa ini.Gedung Pertemuan yang ada di desa ini juga sering disewa oleh masyarakat desa ini bila mengadakan satu acara misalnya pernikahan.

TABEL XIII

Komposisi Sarana Pemerintahan Desa Parbubu II adalah :

No. Sarana Pemerintahan Desa Jumlah Status Kepemilikan

1. Kantor Kepala Desa 1 Pribadi

2. Balai Desa 1 Numpang

3. Gedung Pertemuan Lain 1 Sewa

* Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun2006/2007

2.7.Organisasi Kemasyarakatan

Orgnisasi Kemasyarakatan yang ada di Desa Parbubu II ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk bersosialisasi dengan orang lain.Organisasi kemasyarakatan ini juga dimanfaatkan oleh para janda-janda ini untuk tetap membina hubungan baik dengan masyarakat lain.Seperti dalam persatuan marga-marga yang ada di desa ini,para janda masuk ke dalam organisasi marga-marga-marga-marga ini untuk tetap mempererat hubungan dengan keluarganya atau dengan keluarga suaminya.Mengikuti perkumpulan marga ini,ia akan tetap dianggap ada oleh


(53)

keluarga suaminya walaupun keberadaannya sekarang tidak begitu diperhatikan dibandingkan sewaktu suaminya masih hidup.

TABEL XIV

Komposisi Kegiatan Kemasyarakatan Yang Ada di Desa Parbubu II :

No. Organisasi Kemasyarakatan Jumlah

1. Kelompok Tani 4

2. LKMD 1

3. Lembaga Partungkoan 1

4. Karang Taruna 2

5. Lembaga-lembaga Adat

a. L.A.D.N

b. Persatuan marga-marga

- 4

6. Klub-klub Olahraga -

7. Kelompok-kelompok Seni -


(54)

BAB III

SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA

3.1.Dalihan Na Tolu

3.1.1.Pengertian Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu1 merupakan nilai budaya2

1

Dalihan Na Tolu : Ide,suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber sikap perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat itu sendiri dalam wujud karya budaya.

2

Nilai Budaya : Konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai dasar dari suatu hal yang penting dan bernilai dalam kehidupan manusia.

yang menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat Batak Toba dalam bertingkah laku dan dalam menjalin

hubungan kekeluargaan.Dalam Dalihan Na Tolu ini dapat diketahui dan dicari

kemungkinan adanya hubungan persaudaraan dengan orang lain apabila

menempatkan diri di dalam sistem Dalihan Na Tolu ini.Dalihan Na Tolu

menciptakan aturan serta hubungan dalam keluarga Batak Toba walaupun mereka bukan dari satu ibu dan satu ayah.Nilai budaya masyarakat Batak ini mengajarkan bagaimana memposisikan diri kita di dalam adat istiadat Batak Toba.

Dalihan Na Tolu disebut juga Dalihan Nan Tungku Tiga yang selanjutnya biasa disingkat dengan DNT yang menyatakan suatu ungkapan tentang kesatuan

suatu hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba.Kata Dalihan berasal dari

pokok kata “dalik” yang artinya “dais” (bertemu atau bersentuhan) dan kata

“mandalikkon “ yang artinya mempertemukan sesuatu dengan yang lain.Dalihan

artinya tempat atau yang berarti tungku,maka Dalihan itu mempertemukan dua

buah benda yaitu api dan periuk.Jadi Dalihan Na Tolu ini mempertemukan


(55)

Di masyarakat Batak hubungan kekeluargaan disebut Dalihan Na Tolu.

Melihat dari pengertian katanya,Dalihan Na Tolu itu merupakan sebuah tungku

yang terdiri dari tiga buah tungku batu yang membentuk suatu kesatuan tritunggal.Sebenarnya tritunggal dalam masyarakat Batak Toba tidak hanya

Dalihan Na Tolu,seperti yang lebih tinggi derajatnya dalam kepercayaan Batak

disebut Banua Na Tolu yang artinya benua yang terdiri atas tiga lapisan dan

Bonang Manalu yaitu benang yang terdiri dari tiga macam warna yakni merah,putih dan hitam.Sebagai simbol hubungan kekeluargaan masyarakat Batak memilih ketiga batu tungku yaitu Dalihan Na Tolu karena dalam Dalihan Na Tolu

terdapat pengertian yang tidak dijumpai pada tritunggal yang lain,seperti dalam sebuah ungkapan Batak tentang Dalihan yang berbunyi :

“Si dua uli songon na mangkaol dalihan, “ Memeluk tungku memberi dua Masak sipanganon huhut malum na ngalian” keuntungan yaitu makanan

menjadi masak dan hilang perasaan dingin”

Dalihan memegang peranan penting yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sehari-hari.Orang tidak dapat hidup baik dan wajar tanpa Dalihan

(tungku).Hubungan kekeluargaan pun yang disebut Dalihan Na Tolu tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan sehari-hari orang Batak sejak lahir sampai akhir hayatnya.Dalihan Na Tolu lah dasar filsafat hidupnya dan fondasi (dasar) yang kukuh bagi hubungan sosialnya dan dalam soal interrelasi (hubungan biasa dan

hubungan kekeluargaan) orang Batak.Berdasarkan Dalihan Na Tolu lah orang

Batak dapat dengan segera menetukan status,fungsi dan sikap sosialnya (Sihombing,2000)


(56)

Dalihan Na Tolu menggambarkan kebijaksanaan para leluhur Batak dalam mengatasi kesulitan-kesulitan.Hubungan kekeluargaan walaupun jauh dapat dijelaskan di dalam Dalihan Na Tolu sehingga keluarga-keluarga jauh akan tetap

merasa saling memilki keterkaitan kekerabatan.Dalihan Na Tolu juga

mengandung arti dalam kehidupan bahwa solidaritas harus tetap timbul dalam pekerjaan-pekerjaan adat3

Nilai budaya Batak yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu,telah

mengatur kehidupan sosial masyarakat Batak sehingga diharapkan dapat berlangsung dengan damai.Seperti Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak,beberapa daerah ternyata memiliki sejumlah mekanisme kepemimpinan dan kearifan tradisional sebagai bagian dari nilai adat budaya.Dalam konsep adat budaya daerah terdapat beberapa kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan lokal yang kesemuanya potensial dalam menata masyarakat damai dengan identitas dan integrasi bangsa yang kuat

dan usaha-usaha lain sehingga pekerjaan yang berat dapat diselesaikan dengan baik karena dikerjakan secara bersama.

3.1.2.Unsur-unsur Dalam Dalihan Na Tolu

Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu masing-masing membawa sifat-sifat

khusus yang pada hakekatnya dapat menyatukan hubungan berfamili di dalam

suku Batak.Unsur-unsur dalam Dalihan Na Tolu tersebut antara lain

(Sihombing,2000:74) :

3

Adat : Kebiasaan yang bersifat magis dan religius dari kehidupan suatu penduduk asli,yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya,norma-norma hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional


(57)

1.Dongan Sabutuha (teman semarga)

Di dalam masyarakat Batak terdapat ungkapan tentang Dongan Sabutuha

yang berbunyi :

“Tampulon aek do na mardongan “Sifat ber-Dongan Sabutuha sama

sabutuha” dengan sifat air,biar berkali-kali

dipotong tetap bertemu dan bersatu”

Diketahui bahwa masyarakat Batak sangat kental dengan urusan persaudaraannya,apalagi berada dalam satu tempat yang baru pertama kali dikunjunginya maka bila diketahui disitu ada juga orang Batak walaupun tidak

mengenal maka orang Batak yang ditemuinya itu adalah Dongan Sabutuhanya

meskipun dari sudut silsilah keluarga sudah sangat jauh jaraknya.Dengan

mengetahui Dongan Sabutuhanya maka ia dapat kembali menjalin hubungan

kekeluargaan yang selama ini tidak diketahui.

Pada Dongan Sabutuhanya itulah dapat diharapkan bantuan yang

pasti,karena orang Batak sangat menyayangi Dongan Sabutuhanya jadi sebisa

mungkin akan saling membatu dalam menghadapi persoalan.Sekalipun di rantau,suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya,seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk

menghidupkan ide-ide adat budayanya.Mereka mengadakan pertemuan

secara berkala dalam bentuk adat ataupun silahturahmi

2.Hula-hula (keluarga dari pihak istri)

Dari ketiga unsur yang terdapat di dalam Dalihan Na Tolu,Hula-hula

sangat dihormati posisinya dalam adat oleh masyarakat Batak Toba.Perlakuan pada Hula-hula dalam adat harus lebih khusus karena sifatnya sangat sensitif.Jika


(58)

tidak hati-hati dalam tindakan atau perlakuan tehadap Hula-hula maka akan mudah hubungan yang telah ada menjadi putus dan biasanya tidak dapat diperbaiki dan akhirnya terhapus sama sekali.

Penghormatan yang tinggi pada Hula-hula di masyarakat Batak

ditunjukkan dalam ungkapan yang berbunyi :

“Hula-hula I do Debata “Hula-hula adalah Dewata yang

Na Tarida tampak”

Ungkapan diatas merupakan ungkapan rasa hormat dan terima kasih

kepada Hula-hula,karena dianggap memberi kehidupan di masyarakat

Batak.Hula-hula yang memiliki perempuan yang kelak akan diambil oleh

marga 4

Boru itu dalam masyarakat Batak adalah hubungan yang dimaksudkan adalah hubungan rumah.Boru disini berkewajiban bila ada pertentangan di antara

Hula-hula maka Boru lah yang harus menghilangkan pertentangan itu sehingga

antara Hula-hula dapat bersatu kembali.Boru itu harus menganggap dirinya

lain untuk dijadikan istri.Dari perempuan inilah diharapkan kelak akan memberi keturunan bagi marga tersebut sehinngga silsilah marga itu dapat berlanjut.Hal inilah yang menjadikan Hula-hula sangat dihormati di masyarakat Batak,doa restu dari Hula-hula ini dianggap akan membawa kehidupan yang baik. 3.Boru

Boru dalam masyarakat Batak terbagi 2 yaitu : 1).Hela yaitu suami anak perempuan

2).Bere yaitu anak saudara perempuan kita yang memang dipandang orang Batak

masuk unsur “boru” mengikuti ibunya.

4


(59)

berkewajiban secara nyata untuk membantu Hula-hulanya dalam segala persoalan

terutama dalam persolan adat dan sebagai Hula-hula akan merasa berhak

menerima bantuan dari Borunya.

Segala pengabdian yang diberikan untuk Hula-hula didasarkan atas

kepercayaan yaitu :

- Doa restu Hula-hula dapat menjauhkan mara bahaya selama tujuh generasi.

- Doa restu daru Hula-hula dapat membuat orang iskin menjadi kaya

- Hula-hula lah yang menjadikan dapat memiliki istri dan doa restunyalah membuat kita berketurunan.

3.1.3.Penghargaan yang diterima perempuan di dalam Dalihan Na Tolu

Perempuan sebenarnya dalam masyarakat Batak sangat dihargai keberadaannya karena perempuan dianggap sebagai penerus keturunan dalam marga,sedangkan memilki keturunan sangatlah penting dalam masyarakat Batak.Orang Batak juga dikenal sangat menyayangi anak perempuannya,seperti yang ditunjukkan dalam ungkapan berikut :

“Tinallik Landorung,bontar gotana; “Anak laki-laki dan anak perempuan Dos do anak dohot boru,nang pe sama saja,walaupun berlainan

Pulik-pulik margana” marga”

Para anak-anak perempuan dianggap banyak membatu orang tuanya dan selalu mengusahakan kebahagiaan orang tuanya.Karena itu bermacam-macam penghargaan atau imbalan yang diberikan Hula-hula kepada Borunya yaitu :

- Berupa sebidang sawah yang mengungkapkan kasih sayangnya


(60)

- Berupa sebidang sawah yang dapat diminta dan diperoleh Boru dari hula-hulanya untuk anak sulung dari Boru tersebut.

- Berupa hewan seperti lembu dan kerbau juga diberikan untuk anak sulung

dari Boru tersebut

Disamping segala bentuk penghargaan berupa benda-benda,terdapat juga hal-hal yang menunjukkan bahwa perempuan juga mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Hula-hula seperti membantu Borunya bila memerlukan bantuan.

3.1.4.Posisi Janda Dalam Dalihan Na Tolu

Seorang perempuan Batak akan menikah dengan laki-laki di luar

kelompok kekerabatannya5

5

Kelompok Kekerabatan : Suatu kelompok yang cirri-ciri bentuk,sifat dan ketentuan warganya berdasarkan atas hubungan darah dan adanya ikatan perkawinan.

,artinya laki-laki dari marga lain akan memperistrikan

dan perempuan itu akan menjadi bagian dari marga suaminya.Perempuan itulah

yang akan menjadi penghubung tali persaudaraan antara dua keluarga,yaitu pertama keluarga asal perempuan itu dan keluarga dari pihak suaminya.

Ketika telah menikah,perempuan akan menjadi hak dari keluarga suaminya karena keluaraga suaminya telah membayar mas kawin dalam bahasa

batak disebut sinamot kepada keluarga perempuan sebagai simbol untuk

“membeli” perempuan yanga akan dijadikan istri.Posisi perempuan itu dalam

Dalihan Na Tolu juga telah berkembang setelah ia menikah,kalau dulu sewaktu belum menikah ia hanya menjadi Boru dalam Dalihan Na Tolu tetapi sekarang ia

bisa menjadi Hula-hula lebih dipandang karena adanya peran suaminya sebagai


(61)

Apabila perempuan tersebut telah ditinggal oleh suaminya dan menjadi

janda,posisinya dalam Dalihan Na Tolu sebenarnya masih tetap seperti ketika

suaminya masih hidup.Apabila dalam suatu kelompok,suaminya dulu menjadi

Hula-hula dalam Dalihan Na Tolu maka ketika suaminya meninggal janda itu

akan tetap sebagai Hula-hula bagi kelompok tertentu mengikuti posisi suaminya dulu dalam Dalihan Na Tolu,kecuali perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki

di luar marga suami pertamanya maka hubungannya di Dalihan Na Tolu suami

pertamanya sudah tidak ada karena ia akan mengikuti posisi suami barunya di

dalam Dalihan Na Tolu keluarga suaminya itu.Adapaun hal yang menjadi

penghubung antara janda yang telah menikah lagi dan dengan Dalihan Na Tolu

suami pertamanya adalah apabila janda tersebut memilki anak laki-laki dari suami

yang pertama karena bagaimanapun anak laki-laki itua akan mewarisi marga

ayahnya dan melanjutkan keturunan.

Pada kenyataanya apabila seorang perempuan telah menjadi janda,sering kali dirinya tidak begitu terlihat lagi posisinya di dalam Dalihan Na Tolu keluarga suaminya.Karena posisi tersebut ia dapatkan dengan mengikuti posisi suaminya.Apabila janda tersebut tidak mempunyai anak atau tiadak mempunyai anak laki-laki,biasanya janda tersebut lebih cenderung dekat atau kembali ke keluarga asalnya walaupun juga tidak sedikit janda yang tetap berada di keluarga suaminya.

Perlakuan yang diterima seorang perempuan yang menjadi janda juga langsung berubah dibandingkan ketika suaminya masih hidup.Walaupun

sebenarnya para kerabat6

6

Kerabat : Orang,sedarah,yang dipanggil dan atau disebut dengan satu istilah kekerabatan

suami masih mempunyai kewajiban untuk membatu para janda ini,tetapi pada kenyataannya di lapangan para janda jarang sekali


(62)

mendapat bantuan dari keluarga suaminya bahkan ada yang sama sekali dilupakan walaupun ia memiliki anak laki-laki.Dari hasil wawancara di lapangan,para kerabat mengatakan selalu bersikap baik dan bersedia membantu janda-janda ini tetapi dari pengakuan janda di desa ini,mereka sering merasa dikucilkan dalam

keluarga misalnya dalam pesta-pesta adat7

7

Adat : Kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya,norma-norma hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional.

.Dalam hal bantuan,janda di Desa Parbubu II ini merasa kerabatnya tidak mau membantu mereka walaupun keadaan ekonomi kerabat janda itu berkecukupan.

Posisi janda dalam Dalihan Na Tolu menunjukkan betapa besarnya peran laki-laki dalam adat di masyarakat Batak Toba.Perbedaan peran dalam adat antara laki-laki dan perempuan,mengkondisikan seorang laki-laki sebagai pihak yang selalu diutamakan dalam adat.Megawangi (1999:103) mengatakan dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia yang patriarkhat,seperti terdapat dalam budaya patriarkhat di suku Batak Toba.

3.1.5.Pendapat Para Kerabat Tentang Perempuan Yang Telah Menjadi Janda Pendapat dari para kerabat dan tetangga tentang seorang janda sering mempengaruhi kehidupan janda itu mulai dari tindakan serta perkataan dari janda itu terkadang sering mendapat kritikan dari para kerabat atau tetangga.Selain kritikan juga tidak sedikit yang memuji kegigihan dari seorang perempuan yang mampu membesarkan anaknya seorang diri.


(1)

(2)

Nilai anak perempuan

Nilai ekonomi anak

- Mengapa anak perempuan dan anak laki-laki disebut sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan keluarga,

- Apa kontribusi anak perempuan dan anak laki-laki dalam kegiatan produksi dan reproduksi,

- Anak perempuan dan anak laki-laki

Wawancara dan observasi

Informan kunci dan informan biasa


(3)

sebagai investasi.

Nilai sosial anak - Mengapa anak perempuan dianggap sebagai pengembang hubungan keluarga,

- Mengapa anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan dan pewaris.

Wawancara dan observasi

Tokoh adat dan Informan kunci

Nilai psikologis anak

- apakah anak membawa kebahagiaan bagi orangtua

- apakah anak menjadi tumpuan harapan dan tempat bernaung di hari tua.

Wawancara dan observasi

Tokoh adat dan Informan kunci


(4)

FOTO LAPANGAN

Gambar 1.Foto rumah penduduk di Desa Parbubu II


(5)

Gambar 3.Foto salah satu ladang milik penduduk setempat

Gambar 4.Salah seorang informan janda di Desa Parbubu II bersama menantu


(6)

Gambar 5.Foto salah seorang informan janda yang masih muda tetapi telah memiliki 5 orang anak.

Gambar 6.Foto salah satu informan janda yang telah berhasil membesarkan anaknya sampai mandiri.


Dokumen yang terkait

Masyarakat Batak Toba Di Desa Serdang Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang (1954-1990)

1 145 88

Pemertahanan Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

22 172 81

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

3 109 153

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

2 5 7

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 1

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 7

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 2 30

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 2

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

0 0 55