Tindak Pidana Illegal Logging

4. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

C. Tindak Pidana Illegal Logging

Konsep manajemen hutan menyatakan penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin reduced impact logging. Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari sustainable forest management, tetapi kegiatan penebangan liar illegal logging bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan. 67 Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal Logging secara eksplisit tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan selama ini illegal logging diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat 2 UU. No. 41 Th. 1999. Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat 2, yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.” Beberapa peraturan ada yang menyinggung tentang illegal logging sebelum undang-undang terbaru dirumuskan yaitu Inpres No.5 Tahun 2001 tentang 67 Wahyu Catur Adinugoho, Penebangan Liar Illegal Logging Sebuah Bencana Bagi Dunia Hutan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan, Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 2009, Hal. 3 Universitas Sumatera Utara Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal dan Peredaran Hasil Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting dan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia yang mana mengartikannya sebagai penebangan kayu illegal. Dan begitu juga dalam beberapa organisasi internasional juga memberikan pengertian tentang hal ini, sehingga dari situlah dapat diambil sebuah gambaran tentang pengertian dari illegal logging. Illegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia FWI dan Global Forest Watch GFW yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu tidak sesuai dengan hukum Indonesia. 68 Lebih lanjut FWI membagi illegal logging menjadi dua yaitu : Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak milik dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan 68 Syafaruddin, Kekuatan Sistem Hukum Dalam Menanggulangi Kegiatan Illegal Logging, http:jurnal.uma.ac.idsitesdefaultfilesmateriJURNAL20MORAL.pdf, diakses 13 Juni 2013 Pukul 14.17 WIB Universitas Sumatera Utara dalam perizinan. 69 Menurut aspek simplikasi semantik diartikan sebagai praktek penebangan liar, sedangkan dari aspek integratif diartikan sebagai praktek pemanenan kayu beserta proses-prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. 70 Kata illegal logging sebenarnya lahir dari isu sosial yang resah akan pengurangan drastis jumlah wilayah hutan di dunia sebahagian besar akibat penebangan kayu secara liar. Termasuk di dalamnya wilayah Republik Indonesia, yang memiliki hutan yang potensial dengan luas 99,6 juta hektar atau 52,3 dari luas wilayah Indonesia dan kian menyusut karena laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Hatahun, dan tercatat sebagai penyusutan hutan ketiga terbesar di dunia. data Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012 71 . Alasan Pemerintah membuat kebijakan terhadap tindak pidana illegal logging disebabkan kegiatan illegal logging merupakan serangkaian tindakan penyimpangan perilaku yang berdampak kepada ekosistem secara berkelanjutan, yang pada akhirnya berakibat dan membahayakan keberlangsungan hidup manusia. Oleh karenanya diperlukan kebijakan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai suatu patokan standar untuk menilai suatu perilaku dikategorikan sebagai kejahatan yang merupakan sub-sistem dari lingkungan hidup dan dikenakan sanksi pidana, Untuk itu memerlukan penanggulangan baik secara prepentif maupun 69 Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scienttific Evidence dan Legal Evidence dalam Kasus Illegal Logging, Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003 70 Riza, Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktik Premanisme Global, Tanggerang: Wana Aksara, 2005. Hal. 9 71 World Wildlife Fund, http:www.wwf.or.id diunduh 13 Juni 2013 pukul 15.02 WIB Universitas Sumatera Utara represif. Dan karena itu pemberantasan illegal logging menjadi prioritas utama dari 5 lima target pembangunan Departemen Kehutanan. Penegakan hukum yang kontiniu dan konsekuen dilakukan melalui konsolidasi dan koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Pemerintah daerah dan Instansi terkait. Negara berdasarkan kewenangan yang dipunyainya telah membuat beberapa produk hukum untuk melindungi hutan dari perbuatan dan tindakan manusia yang dapat menumbulkan kerusakan hutan. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut dikemas beberapa larangan bagi siapa saja untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum atau tindak pidana di bidang kehutanan, yang mana dikualifikasikan sebagai kejahatan kehutanan. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah merumuskan berbagai bentuk tindak pidana di bidang kehutanan, yang dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Dari segi kualitatif kejahatan merupakan delik hukum rechts delict yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang wet delict yaitu bahwa suatu perbuatan baru disadari dapat dipidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman atau ancaman pidanananya. Berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan, kuantitas Universitas Sumatera Utara pidananya dapat dilihat dari jenis pidananya yaitu pidana penjara yang dikenakan untuk kejahatan, sedangkan pidana kurungan untuk pelanggaran. 72 Penjelasan sebelumnya menyatakan bahwa tindak pidana berisikan tentang perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan dan ada hukuman yang melekat padanya. Adapun tindak pidana illegal logging yang telah diatur dalam Undang- undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terdapat pada Pasal 50 ayat 3, yaitu: 1. huruf c : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. 2. Huruf e : menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; 3. Huruf f : menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima tititpan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut 72 Siti Sutami, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1987, Hal. 11-12 Universitas Sumatera Utara diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; 4. Huruf h : mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; 5. Huruf j : membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; 6. Huruf k : membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Menurut Prasetyo 73 ada 7 tujuh dimensi kegiatan illegal logging yaitu: 1. Perizinan, apabila ada kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izinnya telah kadaluarsa; 2. Praktik, apabila pada prakriknya tidak menerapkan apa yang sesuai dengan peraturan yang berlaku; 3. Lokasi, apabila dilakukan di luar lokasi izin, menebang di kawasan konservasilindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan; 4. Produk kayu, apabila kayunya jenis sembaran dilindungi, tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengelan perusahaan; 5. Dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, 6. Melakukan perbuatan melanggar hukum bidang kehutanan; 7. Penjualan, apabila saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diselundupkan. Menurut Riza Suarga, maraknya illegal logging di hutan tropis Indonesia ternyata telah melekat dengan sistem sosial budaya masyarakat, karena dalam 73 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hal. 299 Universitas Sumatera Utara praktiknya telah terbukti munculnya istilah-istilah lokal untuk kegiatan illegal logging tersebut. Ada 4 empat istilah atau simbol yang sering digunakan para pelaku illegal logging 74 yaitu: 1. Ekspedisi, yaitu pihak-pihak yang bertanggungjawab mengantarkan rakit atau kapal dari tambatan asal ke tujuan akhir. Ekspedisi mendapat bayaran mahal atas jasa tersebut, namun segenap biaya oprasional, taktis, serta resiko hilang kayunselama perjalanan menjadi tanggung jawab ekspedisi; 2. Peti kemas, yaitu cara baru yang dirasa efektif dan aman untuk menyelundupkan kayu; 3. Dokumen terbang, yaitu dokumen yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan di kabupaten yang digunakan untuk pengangkutan kayu di kabupaten lainnya. Dokumen ini dapat digunakan berulang-ulang, sehingga sering sekali disebut juga sebagai dokumen isi ulang yang dapat digunakan berkali-kali. Sementara dokumen aspal adalah dokumen yang tidak sesuai dengan isi muatan atau tujuan pengiriman; 4. Bendera putih, yaitu sebagai penanda rakit yang dilengkapi dengan dokumen. Misalnya apabila ada sepuluh rakit pembawa kayu dan ternyata hanya 8 delapan yang terpasang bendera putih, maka ada 2 dua rakit yang tidak dilengkapi dengan dokumen, pemberian tanda bendera putih ini untuk tujuan menunjang kelancaran urusan dann tawar-menawar yang dilakukan di darat. Riza Suarga mengatakan bahwa, illegal logging berdasarkan bentuk produksinya dibedakan menjadi 3 tiga 75 , yaitu: 1. Produksi logs pendek Produksi logs pendek ini mendorong semakin punahnya hutan dataran rendah Indonesia dimana memiliki beberapa ciri diantaranya: a. tebang liar menggunakan chainsaw dalam bentuk pendek dengan ukuran 4 empat meter, b. dilakukan oleh sekelompok orangmasyarakat, c. dirakit, dimilirkan dan dijual kepada industri terdekat sawmill atau plywood, 74 Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktik Premanisme Global, Tanggerang: Wana Aksara, 2005, Hal. 13 75 Ibid. Hal. 44-45 Universitas Sumatera Utara d. lokasi tebangan di areal rawa atau hutan dataran rendah low land forest, e. dilakukan di kanan kiri sungai atau anak sungai dengan membuat galang untuk menghancurkan logs dekat dengan daratan di sekitar 1-1,5 km, dan f. mata rantai illegal logging cukup rapi dan berkesinambungan dengan didukung oleh penampung kayu yang memiliki cukup modal. 2. Produksi kayu persegi Bentuk produksi kayu persegi memiliki ukuran 20cm x 20cm x 4m menjadi pilihan utama masyarakat pemilik atau penyewa chainsaw, dimana dalam satu wilayah terdapat ratusan chainsaw yang beroperasi. Parahnya masyarakat tersebut tinggal di dalam HPH aktif, sehingga dengan mudahnya mereka melakukan kegiatan illegal logging dengan menggunakan infrastruktur, yaitu main road dan jalan cabang terawatt milik HPH aktif. Kegiatan illegal logging ini terstruktur rapi, mulai dari kelompok penebang, kelompok pengusaha truk diesel pengangkut kayu, kelompok penampung di logpond dan penjual yang mendistribusikan ke sawmill, atau kapal penyelundup ke luar negeri. 3. Produksi logs pendek atau panjang dari HPHIPKHPHH 76 Praktik illegal logging yang dilakukan oleh pengusaha HPHIPKHPHH dapat terjadi rutin maupun insidentil dalam bentuk pelanggaran eksploitasi maupun pelanggaran tata usaha kayu, antara lain: a. menebang di luar blok atau di luar HPHIPHHPHH, b. menebang kawasan lindung, c. menampung tebangan liar kemudian diberi dokumen, d. mengangkut dan memilir kayu hasil tebangan tanpa dokumen, 76 HPH : Hak Pengusahaan Hutan merupakan hak untuk mengusahakan hutan didalam kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Lihat PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1 ayat 9 HPHH : Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah hak untuk memungut hasil hutan baik kayu maupun non kayu pada hutan produksi dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan dalam surat ijin. Lihat PP No. 6 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 11 IPK : Izin Pemanfaatan Kayu merupakan izin untuk memanfaatkan kayu danatau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan. Lihat Peraturan Menteri RI No. P.20MenHut-II2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14MenHut-II2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu Pasal 1 ayat 1 Universitas Sumatera Utara e. mengangkut kayu hasil tebangan dengan fisik kayu jauh lebih besar dengan dokumen yang menyertai, dan f. menyelundupkan kayu hasil tebangan keluar negeri. Melihat dari hasil penelitian diatas, modus atau tata cara munculnya illegal logging pada saat ini telah mengalami pergeseran makna, karena kosakata illegal logging pada prinsipnya tertuju pada pembalakan atau penebangan liar semata, tetapi illegal logging juga terjadi pada semua segmen pengolahan kayu yang tidak sesuai dengan izin yang termuat pada dokumen resmi serta pemalsuan izin yang telah dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, baik Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas Kehutanan KabupatenKota. Karena itulah pengawasan terhadap pejabat-pejabat yang berwenang harus lebih ketat lagi. Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ada 3 tiga jenis pembalakan liar yang merusak hutan Indonesia, yaitu: 1. Pembalakan yang dilakukan oleh operator yang legal secara teknis administratif sebagai contoh oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan atau Hutan Tanaman Industri atau perkebunan namun dalam prakteknya telah melanggar persyaratan ketentuan dalam HPH karena kelebihan menebang di hutan industri atau mengambil kayu pada areal konservasi yang dilindungi. Operator-operator ini diberikan ijin untuk menebang pohon secara selektif ; 77 77 Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar pada Tahun 2008, Hal. 3 yang mengutip dari Analisis manajemen kehutanan baca Sist, Plinio, Timothy Nolan, Jean-Guy Bertault, and Dennis Dykstra. 1998. “Harvesting Intensity versus Sustainability in Indonesia.” In Forest Ecology and Management 108 3: 251–60 dan Sist, Plinio, Robert Fimbel, Douglas Sheil, Robert Nasi, and Marie-Hélène Chevallier. 2003. “Towards Sustainable Management of Mixed Dipterocarp Forests of South-east Asia: Moving beyond Minimum Diameter Cutting Universitas Sumatera Utara 2. Pembalakan liar yang dilakukan berdasarkan ijin HPH yang diperoleh secara tidak sah yang diterbitkan oleh pejabat pemerintahan daerah dan biasanya berlaku selama 1 satu tahun. Praktek ini telah disahkan pada tahun 1999, namun dicabut kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002; 78 3. Pencurian kayu atau sering disebut sebagai penebangan liar. Jenis pembalakan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang setempat yang dikoordinir oleh cukong kayu dan pedagang perantara untuk secara selektif menebang pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi di hutan produksi, hutan lindung, maupun di kawasan yang dilindungi. Orang-orang ini tidak memiliki hak ijin yang sah dari pemerintah untuk menebang pohon. Implikasi dari perkembangan pembalakan liar dalam bentuk modus operandi maupun pelaku, bukan hanya penegakan hukum dalam upaya preventif saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan tetapi upaya represif dalam bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. 79 Ketentuan pidana kehutanan sebagai lex specialis kekhususanpengecualian dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penebangan pohon di dalam hutan secara tidak sah yaitu Undang- Limits.” Environmental Conservation 30 4: 364–74 telah memberikan catatan bahwa Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia secara efektif telah mengurangi pengelolaan hutan lestari karena mengijinkan pohon-pohon dengan diameter 50 – 60 meter untuk ditebang dalam jangka waktu penebangan 35 tahun dan mensyaratkan pembersihan tumbuhan labisan bawah, Penelitian ilmiah baru, mengindikasikan bahwa jangka waktu penebangan seharusnya minimal 40-60 tahun dan tidak lebih dari 8 pohon per hektar boleh ditebang dari areal hutan untuk memungkinkan regenerasi hutan lestari. 78 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 pada tahun 2007 dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang juga melarang pejabat pemerintah kabupaten mengeluarkan IUPHHK dari hutan produksi walau tetap mengijinkan bupati atau walikota mengeluarkan IUPK kepada perseorangan dan koperasi yang ingin memanfaatkan kayu bagi keperluan pribadi. Kayu yang diambil dengan izin itu tidak boleh diperdagangkan secara komersial 79 Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar pada Tahun 2008 Hal. 39 Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP Nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, maupun peraturan perundang- undangan sebagai lex generalis umum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, tidak dapat mengakomodasi perkembangan kejahatan pembalakan liar illegal logging, sehingga diperlukan politik hukum pidana untuk memenuhi kebutuhan perkembangan kejahatan tersebut. Kejahatan illegal logging ini menjadi menjadi penting dan kejahatan ini memiliki dampak yang luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih. Serta peraturan perundang-undangan yang telah ada dianggap tidak mampu mengatasinya, maka karena itu pemerintah telah merumuskan dan menetapkan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang memiliki ruang lingkup 80 : 1. Pencegahan perusakan hutan, 2. Pemberantasan perusakan hutan, 3. Kelembagaan, 4. Peran serta masyarakat, 5. Kerjasama internasional, 6. Perlindungan saksi, pelapor dan informan, 7. Pembiayaan, dan 8. Sanksi. Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar danatau 80 Penjelasan Umum Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Hal. 3 Universitas Sumatera Utara penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi 81 , sedangkan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan danatau pertambangan tanpa izin Menteri. 82 Maksud dari terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional danatau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. 83 Kejahatan illegal logging mengakibatkan pengrusakan hutan yang semakin luas dan kompleks, yang berdampak luar biasa serta melibatkan banyak pihak di dalamnya. Kerusakan yang ditimbulkannya telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. 84 Hal ini menjadi latar belakang pemerintah memandang permasalahan ini sebagai permasalahan yang serius, dan keseriusan itu telah dibuktikan dengan memperbaharui peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan illegal logging. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam Pasal 112 menerangkan hanya mencabut: 81 Pasal 1 ayat 4 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan 82 Ibid. Pasal 1 ayat 5 83 Ibid. Pasal 1 ayat 6 84 Penjelasan Umum Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Hal. 2 Universitas Sumatera Utara 1. Pasal 50 ayat 1 dan ayat 3 huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; 2. Ketentuan Pasal 78 ayat 1 mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat 1 serta ayat 2 mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat 3 huruf a dan huruf b, ayat 6, ayat 7, ayat 9 dan ayat 10. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan hutan dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. 85 Adapun tindak pidana illegal logging yang telah dirumuskan dalam Undang- undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah: 1. Pasal 12 Setiap orang dilarang : a. Huruf a : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan; b. Huruf b : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; c. Huruf c : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; d. Huruf d : memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, danatau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; e. Huruf e : mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; f. Huruf f : membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; 85 Pasal 113 No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Universitas Sumatera Utara g. Huruf g : membawa alat-alat berat danatau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; 2. Pasal 19 Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Indonesia dilarang : a. Huruf a : menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar danatau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; b. Huruf b : ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar danatau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; c. Huruf c : melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; d. Huruf d : mendanai pembalakan liar danatau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung; e. Huruf f : mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri; Adapun unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 12 huruf a adalah: 1. dengan sengaja, 2. menebang pohon, 3. dalam kawasan hutan, 4. tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan. Pasal 12 huruf a dalam Penjelasannya diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “izin pemanfaatan hutan” adalah izin untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Universitas Sumatera Utara Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, atau Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pasal 14 ayat 2 PP tentang Perlindungan Hutan 86 merumuskan yang termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah : a. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan di luar areal yang diberikan izin; b. pemegang izin melakukan penangkapanpengumpulan flora fauna melebihi targetquota yang telah ditetapkan; c. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang. Jadi apabila izin dalam pemanfaatan hutan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, dapat dinyatakan bahwa telah melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal ini. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 12 huruf b adalah : 1. dengan sengaja, 2. menebang pohon, 3. dalam kawasan hutan, 4. tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 12 huruf b dalam penjelasannya diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin” adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang 86 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan jo. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Universitas Sumatera Utara diperoleh secara tidak sah, yaitu izin yang diperoleh dari pejabat yang tidak berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan hutan. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 12 huruf c adalah : 1. dengan sengaja, 2. menebang pohon, 3. dalam kawasan hutan, 4. secara tidak sah. Adapun penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sah itu dirumuskan kembali pada Pasal 13, yaitu penebangan pohon yang dlakukan di dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 lima puluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang; danatau 6. 130 seratus tiga puluh kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Jarak tersebut diatas sama dengan jarak yang telah dirumuskan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf c Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Penjelasannya diterangkan bahwa secara umum jarak yang telah ditentukan sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian Universitas Sumatera Utara dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Pasal 13 ayat 2 juga menerangkan tentang pengecualian untuk Pasal 13 ayat 1, yaitu penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dikecualikan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dihindari dengan mendapat izin khusus dari Menteri. Dalam Penjelasan dijelaskan bahwa “kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dihindari” adalah kegiatan yang diprioritaskan dan harus dilakukan pada masa itu karena tidak ada pilihan lain dan kegiatan itu mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, danatau lingkungan. Contohnya antara lain pembangunan dermaga atau jembatan di sempadan sungai yang membelah kawasan hutan. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 12 huruf d adalah : 1. dengan sengaja atau karena kelalaian, 2. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, danatau memiliki hasil penebangan, 3. di kawasan hutan, 4. tanpa izin. Pasal ini memang tidak menentukan apakah tindak pidana yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian. Tetapi dalam ketentuan pidananya telah dirumuskannya sanksi yang berbeda kepada seseorang yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan tindak pidana seperti yang dirumuskan dalam pasal 12 huruf d. Universitas Sumatera Utara Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 12 huruf e adalah: 1. dengan sengaja atau karena kelalaian, 2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu, 3. tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan. Pasal ini memiliki bunyi yang sama dengan Pasal 50 ayat 3 huruf h Undang- undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Penjelasannya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi dengan surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti. Dan dalam Undang- undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 1 ayat 11 menyebutkan bahwa : “Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.” Pasal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 16 dimana dalam Penjelasan dikatakan bahwa alat angkut dinyatakan telah mengangkut hasil hutan apabila sebagian atau seluruh hasil hutan telah berada di dalam alat angkut untuk dikirim atau dipindahkan ke tempat lain. Yang termasuk dalam pengertian “melakukan pengangkutan” adalah proses yang dimulai dari memuat hasil hutan memasukkan, atau membawa hasil hutan ke dalam alat angkut dan alat angkut yang membawa hasil hutan bergerak ke Universitas Sumatera Utara tempat tujuan dan membongkar, menurunkan, atau mengeluarkan hasil hutan dari alat angkut. Di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut. Aturan ini juga dikuatkan oleh PP tentang Perlindungan Hutan Pasal 12 ayat 1 87 . Pada ayat 2 dinyatakan yang termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan adalah : a. asal usul hasil hutan dan tempat tujuan pengangkutan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan; b. apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan; c. pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti; d. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya telah habis; e. hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 12 huruf f adalah: 1. dengan sengaja atau karena kelalaian; 2. membawa, 3. alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon; 87 “ Setiap orang yang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan wajib dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.” Universitas Sumatera Utara 4. di dalam kawasan hutan; 5. tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasal ini memiliki rumusan yang sama dengan Pasal 50 ayat 3 huruf k yang menunjuk kepada alat-alat yang dapat digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon. Tetapi tidak termasuk didalamnya alat seperti parang, golok, mandau dan sejenisnya untuk menebang kayu kepada masyarakat sekitar yang membawa alat-alat tersebut sesuai dengan tradisi budaya serta karateristik daerah setempat. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 12 huruf g adalah: 1. dengan sengaja; 2. membawa; 3. alat-alat berat danatau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan 4. di dalam kawasan hutan; 5. tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasal ini memiliki kesamaan dengan pasal 50 ayat 3 huruf j yang merumuskan tentang alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, bulldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helicopter, jepp, tugboat, dan kapal. Tindak pidana dalam Pasal 12 huruf f dan g, dimaksudkan untuk menghukum orang-orang yang dalam ilmu hukum pidana telah melakukan “perbuatan persiapan”. Universitas Sumatera Utara Hal ini dapat dilihat karena luasnya hutan atau kondisi hutan sehingga sulit memantau seseorang yang berada di hutan, dan dengan alat-alat tersebut digunakan dalam kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu dari dalam kawasan hutan. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 19 huruf a adalah: 1. dengan sengaja; 2. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan; 3. pembalakan liar; danatau 4. penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Menurut MvT Memorie van Toelichting pelaku tindakan menyuruh melakukan doen plegen digambarkan sebagai berikut 88 : “Pelaku bukan saja ia melakukan tindak pidana, melainkan juga ia yang melakukannya tidak in persona tetapi melalui orang lain yang seolah-olah sekedar alat bagi kehendaknya.” Kesengajaan orang yang menyuruh melakukan setidak-tidaknya harus diarahkan pada dilaksanakannya apa yang disuruh oleh si pelaku. Bila berkenaan dengan delik yang harus dilakukan dengan sengaja opzetdelict, akibat dari tindakan tersebut dan situasi-kondisi lainnya yang terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan juga harus secara nyata dikehendaki oleh pihak yang menyuruh melakukan. 89 Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 19 huruf b adalah: 1. dengan sengaja atau karena kelalaian; 2. turut serta melakukan atau membantu; 88 Jan Remmelink, Op.Cit. Hal. 309 89 Ibid. Hal. 312 Universitas Sumatera Utara 3. pembalakan liar; 4. penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Turut serta atau turut melakukan madeplegen dipandang selain sebagai pelaku ‘penuh’, juga semua pelaku tindak pidana yang perbuatantindakannya hanya memenuhi sebahagian unsur-unsur delik, termasuk para pelaku tindak pidana bila pelaku lebih dari satu orang yang salah satu dari mereka memunculkan fakta hukum sementara yang lainnya hanya mewujudkan sebahagian dari fakta hukum tersebut. 90 Hal ini juga dikuatkan dengan Pasal 56 KUHP juga telah menentukan bahwa dapat dipidana seseorang yang membantu atau pembantu medeplichtige suatu kejahatan, yaitu: 1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2 mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 19 huruf c adalah: 1. dengan sengaja; 2. melakukan pemufakatan jahat; 3. untuk melakukan pembalakan liar; danatau 4. penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Pemufakatan jahat samenspanning dalam KUHP diatur dalam pasal 110 yang merumuskan tentang pemufakatan jahat terhadap kejahatan-kejahatan tertentu 90 Ibid. Hal. 314 Universitas Sumatera Utara yang berkaitan dengan kejahatan terhadap negara. Pengertian pemufakatan jahat dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 88 KUHP yaitu apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Merujuk kepada pengertian permufakatan jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu permufakatan jahat dianggap telah terjadi yakni segera setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut. 91 Permufakatan jahat merupakan tindak pidana sendiri, artinya orang telah dapat dinyatakan melakukan tindak pidana permufakatan jahat dengan adanya kesepakatan untuk melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP. Meskipun tindak pidana belum terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan melakukan percobaan kejahatan poging sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam percobaan pada kejahatan harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut 92 : a. niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; b. orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan c. perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, karena terhalang oleh sebab- sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Hal ini dikarenakan pembuat undang- 91 P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Bandung: Sinar Baru, 1986, Hal. 90 92 R. Soesilo, Op.Cit. Hal. 59 Universitas Sumatera Utara undang memandang kejahatan-kejahatan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara. Oleh karena itu kejahatan yang disebut staatsgevaarlijke misdrijven kejahatan terhadap keselamatan negara, sudah harus dicegah atau diberantas pada waktu kejahatan itu masih pada tingkat persiapan atau masih berada pada voorbereidingsstadium. 93 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga merumuskan tentang pemufakatan jahat. Hal ini dikarenakan kejahatan ini telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa. 94 Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 19 huruf d adalah: 1. dengan sengaja; 2. mendanai; 93 Hendrie Sipahutar, Perrmufakatan Jahat, http:hendriesipahutar.blogspot.com 201104permufakatan-jahat.html?m=1 yang dikutip dari Van Bemmelen-Van Hattum Hand en Leerboek II, Hal.71 diunduh tanggal 11 Desember 2013 pukul 11:26 WIB 94 Penjelasan Umum Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Universitas Sumatera Utara 3. pembalakan liar danatau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 4. secara langsung atau tidak langsung. Unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 19 huruf f adalah: 1. dengan sengaja; 2. mengubah status kayu; 3. hasil pembalakan liar danatau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 4. menjadi kayu sah; Kayu bulat yang sah adalah kayu bulat yang telah melalui proses verifikasi, meliputi : izin sah, RKT sah, penebangan, pengukuran dan LHP sah serta telah melunasi PSDHDR. Apabila ketentuan tersebut terpenuhi, maka kayu bulat tersebut sah dan dapat diterbitkan surat keterangan sah hasil hutan dokumen legalitas. Peraturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55Menhut- II2006 jo Nomor P.63Menhut-II2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara. 95 Apabila kayu bulat telah diolah menjadi kayu olahan, tetap surat keterangan asal usul SKAU kayu harus terlampir. Apabila tidak terdapat ketidaksesuaian dalam proses verifikasi maka dianggap status kayu berasal dari hasil secara tidak sah. Ditinjau dari sudut politik hukum, kebijakan penal berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Di samping itu, kebijakan penal dapat 95 Dinas Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, Bidang Bina Produksi Kehutanan, Pembinaan dan Pengendalian Peredaran Hasil Hutan, http:dinhut.babelprov.go.id?q=node639 diakses 11 Desember 2013, pukul 11:45 Universitas Sumatera Utara pula berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 96 Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat membedakan sekaligus mengukur sejauh mana jenis sanksi, baik yang berupa “pidana” maupun “tindakan” yang telah ditetapkan pada tahap kebijakan legislasi itu dapat mencapai tujuan secara efektif. Meskipun jenis sanksi untuk setiap bentuk kejahatan berbeda-beda, namun yang jelas, semua penetapan sanksi dalam hukum pidana harus tetap berorientasi pada tujuan pemidanaan itu sendiri. Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. 97 Penentuan berat ringannya sanksi pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana bukan hanya didasarkan pada pertimbangan ketercelaan nilai moral perbuatan, tetapi juga didasarkan pada penilaian besarnya kerugian yang menimpa kepentingan individu dan masyarakat. 98 Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah yang sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan bagian tidak 96 M. Sholehuddin, Op.Cit. Hal. 93 dan 109 97 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit. Hal. 91 98 Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar pada Tahun 2008 Hal. 49 Universitas Sumatera Utara terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya, masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi atau materi perundang- undangan pada tahap kebijakan legislasi. Secara teoritis, sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia sudah menganut sistem dua jalur double track system. Artinya, sistem sanksi dalam perundang-undangan pidananya tidak hanya memuat jenis sanksi pidana, tetapi juga sanksi tindakan. Hanya saja dalam KUHP, bentuk sanksi tindakan masih diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab dan anak di bawah umur. 99 Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 100 Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat. 101 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara nyata dan jelas menganut sistem dua jalur double track system, hal ini terlihat dari penegasan Pasal 80 ayat 1 yaitu: “Setiap perbuatan melawan hukum yang diatur dalam undang- undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan para penanggungjawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi 99 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Hal. 188, Lihat juga Pasal 44 dan 45 KUHP 100 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, Hal. 5 101 Op.Cit. Hal. 33, Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, Hal. 53 Universitas Sumatera Utara sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.” Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam Pasal 108 merumuskan : “Selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94 Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105 atau Pasal 106 dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.” Dengan demikian maka Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga menganut sistem dua jalur double track system karena selain menerapkan sanksi pidana, terhadap pelaku kejahatan juga dapat dikenakan sanksi tindakan. Perumusan pada Bab X tentang Ketentuan Pidana menggunakan kata “serta”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “serta” berarti dan, ikut, turut, bersama-sama, mengiringi, membarengi. Karena itu sanksi pidana dalam undang-undang ini dirumuskan secara kumulatif, dimana pidana penjara diakumulasikan dengan pidana denda. Berdasarkan penjelasan umum paragraf ke-6 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat sebagaimana rumusan Ketentuan Pidana terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar Universitas Sumatera Utara dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan itu. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat. Ketentuan pidana dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ini masih memiliki kelemahan yaitu dalam hal pengakumulasian pidana penjara dan denda menimbulkan kekhawatiran tidak efektif dan menimbulkan masalah ketika pelaku tidak dapat membayarkan pidana denda yang dijatuhkan kepadanya. Undang-undang ini tidak merumuskan tentang hal itu, karena itu ketentuan umum dalam KUHP akan berlaku sebagai lex generalis dimana apabila denda tidak dibayar dikenakan pidana kurungan pengganti. Pasal 30 KUHP merumuskan bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 enam bulan atau dapat menjadi maksimum 8 delapan bulan apabila ada pemberatan recidiveconcursus. Karena itu ancaman pidana denda menjadi kurang efektif. Karena itu sangat direkomendasikan kepada Pemerintah untuk merumuskan dan menambahkan hal-hal yang tersebut dalam ketentuan pidana agar penjatuhan hukuman tepat sasaran dan tercapai seperti yang dicita-citakan. Adapun beberapa perbedaan dari segi perumusan tindak pidana yang berkaitan dengan illegal logging dilihat dari Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2013, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 telah merumuskan pengertian dari pembalakan liar atau illegal logging; 2. Undang-undang No. 14 Tahun 1999 hanya merumuskan tindakan yang disengaja, sedangkan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013 telah dirumuskan tindak pidana dengan sengaja atau dengan kelalaian; 3. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 telah merumuskan tentang tindakan pembantuan dan keikutsertaan dalam melakukan tindak pidana illegal logging; 4. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tidak mencantumkan tentang tindakan yang dilarang bagi pejabat yang terkait, tetapi dalam Pasal 28 Undang- undang No. 18 Tahun 2013 telah secara rinci dirumuskan tentang tindakan yang dilarang bagi pejabat yang terkait. Dapat disimpulkan bahwa pada Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang telah disempurnakan untuk menindaklanjuti kejahatan illegal logging yang belum dapat diselesaikan dengan menggunakan peraturan perundang-undang sebelumnya. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PELAKU ILLEGAL LOGGING

A. Pertanggungjawaban Pidana

Membicarakan pertanggungjawaban pidana tidak bisa terlepas dari perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban tanpa terlebih dahulu ia melakukan tindak pidana. 102 Dalam hukum pidana harus ada syarat untuk menimbulkan pertanggungjawaban pidanya, yaitu harus ada kesalahan dan ada subjek yang dapat dipertanggungjawabkan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain di luar kategori tersebut. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, harus terbuka kemungkinan bagi pembuat untuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian. Pertanggungjawaban pidana haruslah dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya tentang konsekuensi hukum dari perbuatannya dan hal ini berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat tidaknya si pembuat dipidana. 102 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cetakan IV Jakarta: Alumni Ahaem-Peteheam, 1996, Hal. 245 Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Upaya Hukum dalam Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

13 221 146

Implementasi Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Pembalakan Liar (Illegal Logging) Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlin

0 18 106

KEBIJAKAN PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING KEBIJAKAN PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Studi tentang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

1 1 11

PENDAHULUAN KEBIJAKAN PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Studi tentang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

0 1 15

PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DI PENGADILAN NEGERI REMBANG.

0 1 64

PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN | AFANDI | Legal Opinion 6225 20586 1 PB

0 0 15

APBI-ICMA Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan uu no 41 th 1999

0 0 27

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

0 0 5

EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA PENEBANGAN LIAR DI KABUPATEN BANGKA SKRIPSI

0 0 15

PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DI PENGADILAN NEGERI REMBANG

0 0 41