2. Korporasi Badan Hukum Recht Persoon
Selain manusiaindividu sebagai pembawa hak, terdapat pula kumpulan manusia badan-badan yang oleh hukum diberi status persoon yang mempunyai hak
dan kewajiban seperti manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia,
misalnya dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggota yang berada didalamnya.
Tujuan perlindungan yang dituju oleh asas legalitas bukan saja terhadap orang-perseorangan tetapi juga korporasi. Van Sterien mengatakan, “tidak hanya
manusia sebagai subjek hukum yang harus mendapatkan perlindungan dari pelaksana kekuasaan negara yang tak terbatas. Perlindungan yang sama juga harus
diberikan kepada badan hukum.”
124
Perkembangan hukum pidana sejak diberlakukannya KUHP Belanda 1818 dan melalui asas konkordansi diberlakukan di seluruh Indonesia dengan Undang-
undang RI Nomor 73 Tahun 1958, belum mengakui secara komprehensif, perusahaan atau korporasi sebagai subjek tindak pidana dan karenanya dapat
diancamlan pidana. Pengertian “barang siapa” atau “hij die” atau “any person” tidak mencerminkan secara tersirat bahwa di dalam pengertian itu, suatu perusahaan atau
korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat
124
A.L.J. Van Strien, “Badan Hukum sebagai Pelaku TIndak Pidana”, dalam M.G. Faure, J.C. Oudijk dan D. Schaffmeiter, Kekhawatiran Masa Kini; Pemikiran Mengenai Hukum Pidana
Lingkungan dalam Teori dan Praktik, terj. Trisam P. Moeliono, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, Hal. 249
Universitas Sumatera Utara
diancam pidana.
125
Tetapi dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa para stakeholders maupun suatu badan hukum sebagai suatu subjek hukum mandiri;
persona standi in judicio dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan doelmaigheid dan keadilan bilijkheid.
126
Salah satu contoh dapat dilihat dalam sejarah perumusan ketentuan Pasal 51 Sr. lihat Pasal 59 KUHP
127
. Fakta menujukan bahwa tidak ada pengaturan peluang menuntut korporasi ke hadapan pengadilan pidana. Meskipun demikian, pembuat
undang-undang dalam merumuskan delik terpaksa turut memperhitungkan kenyataan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam
hukum keperdataan maupun diluarnya misalnya dalam hukum administrasi, muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan
hukumkorporasi.
128
Bandingkan dengan Rancangan KUHP 1999-2000, dalam Penjelasan Umum dituliskan:
“Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah natural person
tetapi mencakup pula manusia hukum juridical person yang lazim disebut korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek hukum, berarti
korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul
bersama oleh korporasi dan pengurus aau hanya pengurusnya.”
125
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana, Buku I, Jakarta: Fikahati Aneska, 2013, Hal. 176
126
T. Suhaimi, Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Bandung: Book Terrace Library, 2010, Hal. x
127
Pasal 59 KUHP : “Dalam hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota dan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan
pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
128
Jan Remmelink,Op. Cit., Hal. 97
Universitas Sumatera Utara
Terutama dari cara bagaimana delik dirumuskan yang dalam KUHP selalu dimulai dengan frasa ‘barangsiapa’ huj die tetapi dalam Rancangan KUHP diganti dengan
frasa ‘setiap orang yang’. Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak hanya sebatas
pengakuan yuridis. Pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana dan yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, pengaturan
korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang akan digunakan. Dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia, ada tiga sistem pertangungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu
129
: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;
2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab; 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.
Menurut Rolling, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya
dibebankan kepada badan hukum atau korporasi dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut, kriteria ini didasarkan pada delik
fungsional.
130
Sehubungan dengan hal itu yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi
129
Hattrik Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, Hal. 30
130
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Medan: PT. Sofmedia, 2010, Hal. 46
Universitas Sumatera Utara
dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris
tertentu.
131
Korporasi dibentuk dengan suatu tujuan tertentu dan untuk mencapai tujuan itu selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah, dengan demikian
kemampuan bertanggungjawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai
subjek tindak pidana.
132
Korporasi yang berupa Perseroan memiliki RUPS, direksi dan komisaris sebagai organ-organnya. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan
Anggaran Dasar.
133
Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat pada Direksi
dalam menjalankan perseroan.
134
Dapat dikatakan direksi lah yang menjadi pengurus dalam perusahaan karena terpusatnya manajemen dibawah struktur Dewan Direksi.
Jika direksi dalam menjalankan tugasnya berada di luar batas-batas kewenangannya melanggar ketentuan Anggaran Dasar, maka semua anggota direksi bertanggung
jawab secara pribadi.
135
131
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Hal. 260
132
Op. Cit. Hal. 47
133
Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
134
Ibid. Pasal 1angka 6
135
Ibid. Pasal 85 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
Tanggung jawab direksi secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudu- kannya sebagai direksi, tetapi untuk dibebankan tanggung jawab tersebut, direksi
tersebut harus telah melakukan hal-hal terhadap tindakan perusahaan. Pertama, direksi mengizinkan perbuatan tersebut. Kedua, direksi meratifikasi perbuatan
tersebut. Ketiga, direksi ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.
136
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-
undangan dapat dijatuhkan. Pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan
tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di
atas bersama-sama secara tanggung renteng.
137
Dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang bukan badan hukum dibebankan kepada pimpinan atau yang
melakukan perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan pengurusnya untuk dan atas nama
korporasi.
138
Perkembangan pemikiran bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran abstraksi-
136
Bismar Nasution,
Pertanggungjawaban Direksi dalam Pengelolaan Perseroan, http:bismar.wordpress.com diunduh tanggal 16 Januari 2013 Pukul 15:25
137
Ibid.
138
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, Hal. 45
Universitas Sumatera Utara
logis yang merujuk pada sarana untuk melaksanakan suatu tindak pidana atau digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil dari suatu tindak pidana dan
korporasi dianggap telah mendapat keuntungan dari tindak pidana tersebut. Perkembangan pemikiran tersebut sekaligus mengeyampuingkan doktrin klasik,
“universitas delinquere non potest” dan memperkuat teori identifikasi atau teori pelaku fungsional functionele dader. Di dalam era perkembangan ekonomi global
abad 21, tampaknya kedua teori tersebut memperoleh kepercayaan masyarakat internasional terutama terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan sumber daya
alam, ekspor dan impor, perbankan, serta sumber pendapatan negara terutama pajak.
139
Bertolak dari pemikiran di atas maka konsep hukum yang relevan dan dapat menjangkau tindak pidana korporasi dan pertanggungjawabannya adalah vicarious
liability. RUU KUHP ketentuan mengenai vicarious liability telah dicantumkan pada
Pasal 38 ayat 2 : “Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, setiap orang, dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan orang lain.”
Penjelasan Pasal tersebut mengatakan: “ Bahwa ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas ‘tindak pidana tanpa kesalahan’ dan merupakan pendalaman
asas regulative dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang
melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya dalam batas-batas perintahnya.”
139
Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 177
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 38 ayat 2 dan penjelasannya tidak memberikan kepastian hukum mengenai batas-batas pertanggungjawaban atasan terhadap perbuatan
bawahannya sehingga seharusnya memasukkan konsep hukum kedalam ketentuan tersebut sebagai ‘rambu-rambu pembatas’ pertanggungjawaban seorang atasan.
Formulasi hukum yang dibangun berdasarkan doktrin vicarious liability telah dicantumkan dakam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia baik
yang bersifat khusus lex spesialis maupun dalan undang-undang pidana administrative lex specialis systematische.
140
Dalam peraturan perundang-undangan pidana tersebut diatas telah dicantumkan bahwa pengertian “setiap orang” adalah
orang perorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,
141
sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia, korporasi eksplisit diakui sebagai subjek tindak pidana dan tidak ada lagi keragu-raguan mengenai hal tersebut.
Merujuk kepada tanggung jawab korporasi di dalam Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam praktiknya sering dipertanyakan
bukanlah masalah pertanggungjawaban keperdataan-nya melainkan tanggung jawab pidana, yang sering tumpang tindih sehingga menimbulkan wilayah abu-abu tentang
kapan tempus delicti tindakan atau keputusan dieksi dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum pidana dan juga secara perdata dan siapa serta bagaimana
korporasi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
140
Ibid. Hal. 179
141
Pengertian “setiap orang” juga dicantumkan dalam Pasal 205 RUU KUHP
Universitas Sumatera Utara
Parameter tanggung jawab pidana suatu korporasi sesuai dengan doktrin dan yurisprudensi sesungguhnya tidak terletak kepada siapa yang bertanggungjawab
melainkan bagaimana meletakkan beban tanggung jawab pidana tersebut pada suatu korporasi yang diduga keras telah melakukan tindak pidana. Sejalan dengan asas
legalitas maka proses pertanggungjawaban pidana tetap harus mengikuti alur simetris yang telah diakui dalam sistem hukum pidana Indonesia selama ini yaitu perbuatan,
tindak pidanakesalahan, pertanggungjawaban pidana, hingga pemidanaan. Tanggung jawab pidana korporasi di Indonesia telah diakui sejak Tahun 1955,
melalui Undang-Undang RI No. 7Drt1955
142
jo. Undang-undang No.1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan tindak Pidana Ekonomi sampai saat
ini. Penempatan tanggungjawab pidana korporasi di dalam Undang-undang pidana di luar KUHP merupakan penghalusan hukum terhadap ketentuan Pasal 59 KUHP yang
masih mengandung keragu-raguan
143
dan pembatasan sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Sejak penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana
dalam undang-undang tersebut, di dalam beberapa undang-undang pidana khusus lainnya ditetapkan kemudian korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga telah merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana.
142
Pasal 15 UU No. 7Drt1955 berbunyi : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.”
143
Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 184
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 ayat 22 menyebutkan : “Korporasi adalah kumpulan orang danatau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan
hukum.” Penjelasan Pasal 7 menerangkan badan hukum yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Badan Usaha Milik Negara BUMN, Badan Usaha Milik
Daerah BUMD, badan usaha milik swasta dan koperasi. Peraturan Pelaksana yang mengatur tindak pidana perusakan hutan salah
satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1975. Perusahaan Swasta Nasional yang berbentuk PT adalah subjek hukum HPH Hak Pengusahaan Hutan
melalui PP No. 18 Tahun 1975 yang diberikan oleh Menteri Kehutanan dengan memperhatikan rekomendasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, untuk jangka waktu
2 tahun dan dapat diperpanjang.
144
Sedangkan subjek hukum HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah warga negara Indonesia dan badan usaha di
Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh WNI Warga Negara Indonesia. HPHH diberikan oleh Kepala Daerah Tingkat I Gubernur sesuai dengan petunjuk
Menteri Kehutanan.
145
HPH pada dasarnya hanya diberikan hak untuk menebang kayu dengan cara tebang pilih atas dasar kelestarian hutan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan
dengan dibebani kewajiban untuk mengadakan permudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutannya.
146
Izin pemanfaatan kayu IPK yaitu izin penebangan, pengangkutan, dan penggunaan kayu dari areal hutan yang telah ditetapkan untuk
144
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Hal. 124 Melihat Pasal 8 PP No. 21 Tahun 1970
145
Pasal 12 ayat 2 PP No. 21 Tahun 1970
146
Op. Cit. Hal. 124
Universitas Sumatera Utara
keperluan non kehutanan dan hutan tanaman industri.
147
Izin pemanfaatan kayu merupakan kelanjutan dari proses pelepasan kawasan hutan dan atau pencadangan
lahan pada areal penggunaan lain. Permohonan IPK diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi setempat, dengan tembusan Dirjen Pengusahaan
Hutan cq. Direktur Bina Pemungutan Hasil Hutan, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Tingkat I.
Pasal 119 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dinyatakan bahwa
setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari hutan negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan surat
keterangan sahnya hasil hutan, yang berlaku dan digunakan untuk mrngangkut hasil hutan di wilayah Republik Indonesia. Dan dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 119
dinyatakan bahwa, ‘dilengkapi bersama’ adalah setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan secara fisik, harus disertai dan dilengkapi dengan surat-
surat yang sah pada waktu dan tempat yang sama, sebagai tanda bukti dan tidak boleh disusulkan pada waktu dan tempat yang berbeda, surat yang sah dan fisik hasil
hutan harus selalu melekat dalam proses pengangkutan, penguasaan, dan pemilikan. Pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan dilakukan melalui penatausahaan
hasil hutan yang diatur dalam sebuah dokumen berupa surat keterangan sahnya hasil hutan SKSHH.
147
Ibid. Hal. 144 melihat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 945Kpts-II89 jo. 667Kpts- II93
Universitas Sumatera Utara
Selajan dengan itu Pasal 117 dan 118 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan menyatakan setiap kegiatan yang berkaitan dengan peredaran dan pemanfaatan hasil hutan wajib dilengkapi dengan sebuah dokumen yang sesuai dengan fisik hasil
hutan. Begitu pula Pasal 15 Undnag-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dirumuskan bahwa setiap orang dilarang
melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Salah satu kasusnya terjadi di Banjarmasin
148
dimana ketentuan yang tersebut diatas yang tidak diindahkan atau malah dimanipulasi.
Persyaratan Permohonan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH ditinjau dari persfektif hukum admistrasi negara merupakan suatu hal yang wajib
dipenuhi, karena apabila salah satu tidak terpenuhi, maka akan berdampak pada permohonan tersebut tidak akan disetujui. Dalam Pasal 1 ayat 1 Permenhut Nomor:
P.18Menhut-II2005 dinyatakan bahwa setiap badan usaha, perorangan, dan pemegang izin industri hasil hutan yang akan mengangkut hasil hutan, wajib
148
Perdaganan kayu ilegal dari Kalimantan Selatan dengan angkutan kapal ke Sulawesi dan Jawa kini makin marak. Kejahatan ini bisa lolos karena begitu mudahnya penyalahgunaan SKSHH.
Direktorat Polisi Air Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan KalSel, Senin 20 Februari 2005, membongkar SKSHH yang diterbitkan Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala, KalSel, yang
digunakan Kapal Layar Motor Hatiga. Kapal tersebut mengangkut 250 meter kubik atau 14.831 kayu campuran dari Kotabaru. Dierktur Polisi Air Dirpolair Kepolisian Daerah Polda Kalsel Ajun
Komisaris Besar Thomas Alfred Ombeng mengatakan, selain menggunakan SKSHH terbang jaringan pelaku kejahatan perdagangan kayu ilegal menggunakan surat izin berlayat SIB dari administrasi
Pelabuhan Banjarmasin. “SIB yang digunakan nomor registrasinya tidak terdaftar sehingga diduga SIB itu asli tapi palsu.” Terbongkarnya kasus penggunaan SKSHH dan SIB terbang ini, setelah salah satu
pelaku, Yohanes 27 alias Anes bin Samudin, tertangkap di sebuah hotel di Banjarmasin. Penangkapan Yohanes atas permintaan Dipolair Plda SulSel setelah menangkap KLM Hatiga. Dari
penangkapan ini terbongkat pengangkutan kayu ilegal dari Kotabaru menggunakan SKSHH terbang. Yohanes mengakui pihaknya mngirim kayu sebanyak 250 meter kubik dengan KLM Hatiga tujian
H.Syaiful di Makasar, SulSel. Ratusan kubik kayu dibeli dengan harga Rp. 200juta lalu dijual Rp.250 juta atau Rp.1juta permeter kubik. Koran Kompas, 21 Februari 2006, Hal. 15
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH kepada persyaratan permohonan surat keterangan sahnya hasil hutan P2SKSHH
dengan tembusan kepada Dinas Kehutanan KabupatenKota. Permohonan penerbitan surat keterangan sahnya hasil hutan dilampiri :
1. Identitas permohonan; 2. Dana Hasil Hutan DHH;
3. Laporan muatan hasil hutan disesuaikan dengan muatan yang dilaporkan seperti Laporan Muatan Kayu Bulat LMKB, Laporan Muatan Kayu Bakau
LMKB, Laporan Muatan Hasil Hutan Olahan Kayu LMHHOK, Laporan Muatan Hasil Hutan Bukan Kayu LMHHBK, dan Laporan Muatan Hasil
Hutan Olahan Bukan Kayu LMHHOBK; 4. Surat pernyataan untuk setiap permohonan yang dibuat pemohon untuk
setiap tujuan pengangkutan bahwa tujuan pengangkatan tersebut adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum lihat Pasal 1 ayat 2.
Bagi permohonan pengangkutan lanjutan, selain diwajibkan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, wajib menunjukan surat keterangan sahnya
hasil hutan SKSHH asal yang asli dan menyerahkan copy-nya lihat ayat 3. Berkaitan dengan ekspor yang dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan
yang telah memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH atas pemanfaatan hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu, Pemerintah telah
Universitas Sumatera Utara
mengantisipasi hal ini dengan mengaturnya dalam Pasal 36 Permenhut Nomor: P.18Menhut-II2005 dinyatakan bahwa :
1. Dalam pelaksanaan ekspor hasil hutan melalui pelabuhan umum, pengangkutan menuju pelabuhan wajib dilengkapi dengan dokumen SKSHH
atau notafaktur perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; 2. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan atau notafaktur perusahaan
sebagaimana dimaksud ayat 1 digunakan sebagai dasar pengisian Pemberitahuan Ekspor Barang PEB;
3. Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH, maka SKSHH lembar ke-1 dan lembag ke-2 oleh
perusahaan eksportir, wajib diserahakan kepada petugas Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat untuk dimatikan dan selanjutnya perusahaan
eksportir bersangkutan wajib menyerahkan lembar ke-1 SKSHH kepada Dinas Provinsi atau Dinaas KabupatenKota dimana Kantor Pelayanan Bea
dan Cukai berada pada akhir bulan, dan lembar ke-2 SKSHH diserahakan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai sebagai bukti hasil hutan yang
diekspor secara sah;
4. Untuk pelaksanaan ekspor yang menggunakan notafaktur perusahaan, maka pelaksanaannya dapat menyesuaikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud
dalam ayat 3; 5. Semua badan usaha atau perorangan yang melaksanakan ekspor hutan, setiap
bulan wajib melaporkan realisasi ekspor hasil hutan kepada Dinas KabupatenKota dengan tembusan Direktur Jendral dan Kepala Dinas
Provinsi selambat-lambatnya tanggal 5 lima bulan berikutnya.
Permasalahan terjadi ketika ada perbedaan antara jumlah, jenis dan atau volume hasil yang diangkut, dan ini memunculkan penafsiran hukum apakah itu
pelanggaran hukum atau bukan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 58 Permenhut Nomor: P.18Menhut-II2005 dinyataan bahwa, jika tedapat perbedaan fisik berupa
jumlah, jenis atau volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki dengan dokumen angkutan yang sah yang menyertainya, maka terhadap seluruh partai hasil
hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
Universitas Sumatera Utara
Ada juga kasus lain yang berhubungan dengan ini, yaitu perusahaan yang melakukan penebangan diluar RKT Rancangan Karya Tahunan oleh pemilik izin
HPH yang dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi bukan pidana, tetapi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung perbuatan tersebut dikategorikan sebagai
tindak pidana.
149
Memang dalam beberapa peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menetapakan bahwa setiap pemegang izin pemanfaatan hutan
atau usaha industri primer hasil hutan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, dikenakan sanksi administrasi, seperti berikut: 1. Pasal 127 PP No. 6 Tahun 2007
150
merumuskan : “Untuk menjamin status, kelestarian hutan dan kelestarian fungsi hutan, maka setiap pemegang izin
pemanfaatan hutan atau usaha industri primer hasil hutan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78
149
Mashudi, Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon di Luar Rencana Kerja Tahunan Bagi Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, Tesis, Medan: Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009. Telah meneliti bahwa penebangan pohon di luar rencana kerja tahunan RKT merupakan sebuah tindak pidana bukan pelanggaran administrasi. Yang mengambil
kasus PT. KNDI sebagai contoh. PT. KNDI telah memperoleh izin penebangan kayu bulat di Kab. Mandailing Natal Sumut, tetapi mulai dari tahun 200-2005 PT.KNDI juga melakukan penebangan di
luar areal blok tebagan RKT. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa penebangan pohon di luar rencana kerja adalah pelanggaran administrasi dan terdakwa bebas dari tuntutan. Tetapi
dengan Putusan Mahkamah Agung, No. 68KPid.Sus2008 penebangan pohon di luar rencana kerja merupakan sebuah tindak pidana. Pelanggaran kewajiban perusahaan pemegang izin dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena apabila yang disahkan dalam LHP Laporan Hasil Penebangan palsu maka besar nilai PSDH Provinsi Sumber Daya Hutan dan DR Dana Reboisasi
yang tercatat didalamnya tidak pernah dibayarkan oleh yang bersangkutan, dimana PSDH dan DR merupakan PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak. Perbuatan ini dikategorikan sebagai tindak
pidana dan dapat dikenakan Pasal 163 dan Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan, pidana penggelapan hak negara berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001dan mengangkut kayu bulat tanpa dilengkapi dengan
dokumen yang sah menurut UU No. 41 Tahun 1999.
150
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dikenakan sanksi administrasi.”
2. Pasal 86 PP No. 36 Tahun 2002
151
merumuskan : “Untuk menjamin status, kelestarian kawasan hutan dan kelestarian fungsi hutan maka setiap pemegang
izin pemanfaatan hutan, dan usaha industri primer hasil hutan, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikenakan sanksi administratif.”
Tetapi dengan Putusan Mahkamah Agung maka perusahaan yang melakukan penebangan diluar RKT Rancangan Karya Tahunan oleh pemilik izin HPH
dikategorikan sebagai tindak pidana. Menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Pasal 12 huruf a merumuskan tentang perbuatan menebang pohon dalam kawasan
hutan tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan termasuk di dalamnya penebangan di luar RKT oleh pemilik izin HPH merupakan sebuah kejahatan.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah menentukan jenis dan hirarki peraturan perundang-
undangan
152
. Pada hakikatnya hirarki peraturan perundang-undangan adalah
151
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
152
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 : “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Universitas Sumatera Utara
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
153
Apabila peraturan yang lebih rendah bertentangan, dinyatakan tidak berlaku. Karena itu dapat disimpulkan bahwa peraturan pelaksana tentang kehutanan
yang bertentangan dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tidak berlaku. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
ada tiga sistem pertangungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu
154
: 1. Pengurus
korporasi sebagai
pembuat, maka
penguruslah yang
bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela adalah adanya
suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan sanksi terhadapnya.
155
KUHP menganut sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, tetapi perkembangan menunjukan terhadap ketentuan-
ketentuan pidana di luar KUHP telah pula menganut sistem pertanggungjawaban mutlak. Menurut LB. Curzon penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak ini
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut
156
:
g. Peraturan Daerah KabupatenKota.”
153
Ibid. Penjelasan Pasal 7 ayat 2
154
Hattrik Hamzah, Op.Cit.
155
Rabiatul Syahriah, Tanggung Jawab Korporasi dalam Melestarikan Hutan Kayu, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009, Hal 111 dikutip dari Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Pencemarandan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan, 2003.
156
Ibid. Hal. 112
Universitas Sumatera Utara
1. Adalah suatu essensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati;
2. Pembuktian mens rea sikap batin pembuat terhadap delik-delik serupa sangat sulit;
3. Suatu tingkat tinggi bahaya sosial dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut strict liability.
Ketentuan perundang-undangan telah dengan tegas mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan pidana, sehingga setiap perbuatan pidana yang
berkenaan dengan perusakan hutan khususnya illegal logging yang termasuk dalam kategori kejahatan harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku. Undang-undang No. 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam Pasal 109 merumuskan :
1. Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi, tuntutan danatau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi danatau pengurusnya;
2. Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama;
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
4. Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan agar pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan; 5. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103;
Universitas Sumatera Utara
6. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan
;
Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam tindak pidana illegal logging adalah:
1 tuntutan danatau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi danatau pengurusnya;
2 hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
3 pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda; 4 selain pidana pokok, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi yang berkaitan dengan
Pasal 109 ayat 3 dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bersangkutan.
Terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana illegal logging seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 12 huruf a, b, dan c akan dikenakan sanksi
administratif berupa: 1 Paksaan pemerintah adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
agar perusahaanbadan hukum melakukan pemulihan hutan akibat
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya melakukan perusakan hutan karena tidak mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
157
; 2 Uang paksa adalah uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu oleh
badan hukum atau korporasi yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagai pengganti dari pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintah
158
; danatau 3 Pencabutan izin.
Dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran tanpa izin dan terhadap pemegang izin. Terhadap pelanggaran
tanpa izin, sanksi administratif yang dikenakan berupa ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan kepada negara yang berupa biaya rehabilitasi,
pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. Terhadap pemegang izin, sanksi administratif yang dikenakan berupa denda, penghentian kegiatan,
pengurangan areal, atau pencabutan izin.
159
Perbedaan yang tampak jelas dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 adalah:
1 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 memang telah merumuskan korporasi sebagai subjek hukumnya, tetapi dalam ketentuan pidananya hanya
menjatuhkan pidana kepada pengurusnya baik sendiri-sendiri atau bersama-
157
Penjelasan Pasal 18 ayat 1 huruf a
158
Penjelasan Pasal 18 ayat 1 huruf b
159
Penjelasan Pasal 18 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
sama.
160
Tetapi dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013 telah merumuskan penjatuhan pidana terhadap korporasi danatau pengurusnya
161
. 2 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 telah merumuskan bahwa pidana pokok
untuk korporasi adalah pidana denda,
162
sedangkan dalam peraturan sebelumnya tidak ada.
3 Adanya pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebahagian perusahaan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2013, sedangkan peraturan
sebelumnya tidak ada.
160
Pasal 78 ayat 14 : “ Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1, 2, dan ayat 3 apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan kepada pengurusnya, baik sendiri-sindiri atau bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 13 sepertiga dari pidana
yang dijatuhkan”
161
Pasal 109
162
Pasal 109 ayat 5
Universitas Sumatera Utara
BAB IV ALASAN PENGHAPUS KESALAHAN DALAM
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS
ILLEGAL LOGGING
A. Alasan Penghapus Kesalahan