1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan munculnya pubertas Papalia, Olds, Feldman, 2009.
Pubertas merupakan suatu tahap dalam perkembangan dimana terjadi kematangan alat
–alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi Hurlock, 2004. Ciri khas yang menjadi pertanda bahwa telah terjadi pematangan organ reproduksi adalah
terjadinya menarche pada wanita. Menarche adalah haid yang pertama kali terjadi pada wanita Yusuf, 2010. Namun menarche sering kali dianggap oleh beberapa
remaja sebagai suatu hal yang tidak normal.
Remaja menganggap menarche sebagai sesuatu yang menakutkan, traumatik, bahkan menjijikan. Anak perempuan yang tidak mengenal tubuhnya dan
bagaimana proses reproduksi berlangsung dapat mengira bahwa menstruasi merupakan bukti adanya penyakit atau bahkan hukuman akan tingkah laku yang
buruk. Hal ini seringkali menyebabkan anak takut dan gelisah Marhamatunnisa, 2012.
1 Respon negatif ini membawa dampak buruk pada perilaku remaja saat
menghadapi menstruasi khususnya perilaku menstural hygiene. Hal ini terungkap dalam acara Kampanye Shine With Charm yang menemukan hasil bahwa wanita
Indonesia kurang memperhatikan kebersihan di area genital saat sedang menstruasi karena mereka jarang mengganti pembalut atau pantyliner.
Berdasarkan penelitian dilakukan beberapa sekolah di Indonesia sedikitnya ada lima alasan yang menyebabkan wanita malas mengganti pembalutnya, seperti;
faktor malu, khawatir tidak bersih, malas, hemat, dan lupa. Survei yang dilakukan di kalangan pelajar, menemukan hasil bahwa mereka jarang mengganti pembalut
karena faktor malu, bingung harus dimana membuang pembalut bekas pakai, dan takut ketahuan teman lelaki Wahyu, 2013.
Menstrual hygiene sering dianggap sebagai sesuatu yang sepele padahal buruknya menstrual hygiene dapat menyebabkan Infeksi Saluran kemih ISK dan mungkin
juga kanker servik oleh karena virus dan bakteri berkembangbiak pada kondisi yang lembab Proverawati, 2009. Berdasarkan survei kesehatan 62 perempuan
di Indonesia mengalami infeksi vagina seperti flour albus, vaginitis, endometritis, dan servisitis penyakit vulvovaginitis pada masa kanak-kanak Puspitaningrum,
Suryaputro, dan Widagdo, 2012.
Banyak anak menghadapi menarche dengan respon negatif, tetapi tetap terdapat kelompok anak yang justru menilai menarche sebagai peristiwa normal.
Menurut Penelitian Lee 2008 dalam Marhamatunnisa, 48 responden
1 menganggap menstruasi merupakan periode normal yang akan dialami setiap
wanita untuk menuju kedewasaan dan kewanitaan feminitas. Kelompok tersebut merupakan kelompok yang sudah memiliki pengetahuan dan
persiapan yang cukup terkait menarche.
Pengetahuan dan persiapan yang cukup saat menghadapi menarche merupakan hal yang sangat penting, namun tidak semua remaja mendapatkan informasi yang
benar terkait menstrual hygiene karena di Indonesia penjelasan tentang kesehatan reproduksi masih dianggap tabu. Bahkan setelah terjadi menarche mereka
menerima beberapa informasi tentang proses fisiologis tubuh mereka tersebut dari rekan teman sekelas yang belum tentu memberikan informasi yang benar
Unicef, 2010.
Menurut penelitian Tirtawati 2005, remaja memperoleh informasi kesehatan reproduksi dari TV 98, guru 96, teman 91, orang tua 40,
petugas kesehatan 24, petugas KB 16, dan dari radio 66. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa teman memiliki persentase besar dalam
memberikan informasi kesehatan reproduksi bahkan lebih besar dari orangtua, petugas kesehatan, dan petugas KB yang notabene sudah pasti memberikan
informasi yang benar terkait kesehatan reproduksi.
Teman sebaya memberikan pengaruh paling kuat di saat masa remaja awal usia 12- 13 tahun. Teman sebaya menjadi sumber informasi, kasih sayang, simpati,
1 pengertian, dan tuntunan moral, tempat untuk melakukan eksperimen, serta sarana
untuk mencapai otonomi, dan kemandiriam dari orangtua karena remaja awal memiliki sifat ingin mandiri dan bebas dari orangtua Papalia, Old, Feldman,
2009, padahal informasi yang didapatkan dari teman sebaya belum tentu informasi yang benar Afifah, 2013. Untuk mengatasi hal tersebut maka
diperlukan kelompok remaja terlatih yang diharapkan mampu memberikan informasi yang benar kepada teman- temannya.
Kementerian Kesehatan RI mengembangkan strategi baru untuk meningkatkan pengetahuan remaja dengan menggunakan strategi pelatihan teman sebaya
dengan pola pembelajaran yang menitik beratkan informasi dari dan untuk siswa itu sendiri, dengan pola ini siswa menjadi lebih aktif DepKes RI, 2006.
Dibandingkan dengan metode ceramah langsung yang dinilai kurang tepat, karena cenderung menyebabkan remaja pasif dan hanya memperhatikan, mendengarkan,
dan mencatat saja sehingga pengetahuan yang didapat juga relatif sedikit Surantoro, 2010. Metode pelatihan dengan dengan strategi teman sebaya dikenal
dengan metode peer education.
Peer Education adalah suatu proses komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh dan untuk kalangan yang sebaya yaitu kalangan satu kelompok, ini
dapat berarti kelompok sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan profesi dan jenis kelamin Harahap dan Andayani, 2004. Peer education
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan
1 sehat pada remaja. Peer education merupakan metode pendidikan kesehatan yang
dapat diterapkan oleh UKS Usaha kesehatan Sekolah, namun pada kenyataannya metode ini masih jarang diterapkan oleh UKS.
Berdasarkan hasil survei di Indonesia pengembangan UKS tidak mengalami kemajuan, belum semua sekolah menganggap penting peranan UKS. UKS hanya
aktif saat diadakan penilaian Lomba Sekolah Sehat LSS yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, namun setelah perlombaan selesai tidak ada
pembinaan lebih lanjut sehingga UKS kembali tidak aktif dan tidak menjalankan program-programnya Hukormas,2012.
Menurut Direktur Eksekutif Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI Bali
peran UKS di provinsi Balipun perlu dioptimalkan
kembali karena UKS selama ini hanya aktif ketika akan diadakan lomba saja padahal keberadaan UKS seharusnya juga dilengkapi
dengan info-info yang terkait dengan kesehatan reproduksi Balipost, 2013.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMP Negeri 3 Abiansemal menunjukkan bahwa 539 siswi dari 842 siswi telah mengalami menstruasi.
Sekolah ini pernah mengikuti lomba UKS tingkat nasional tahun 2008, sekolah ini juga pernah melakukan pelatihan Kader Kesehatan Remaja KKR untuk
memberikan pendidikan kesehatan dengan metode peer education namun metode tersebut sudah tidak diterapkan lagi sejak tahun 2013 sehingga peneliti ingin
menerapkan lagi metode peer education di sekolah ini.
1 Berdasarkan latarbelakang di atas maka peneliti tertarik mengangkat penelitian
“Efektifitas Metode Peer Education terhadap Peningkatan Pengetahuan Menstrual Hygiene
pada Siswi di SMP Negeri 3 Abiansemal”.
1.2 Rumusan Masalah