Pengaruh Peer Education Kesehatan Tulang Terhadap Tingkat Pengetahuan Pada Siswa SMP 17 Ciputat

(1)

TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN PADA SISWA SMP

MUHAMMADIYAH 17 CIPUTAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

NUR QOMARIAH

109104000007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1434 H/2013M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

Nama : Nur Qomariah

Tempat, TanggalLahir : Tangerang, 30 November 1990 Status Pernikahan : Belummenikah

Alamat : Jalan Kuningan Rt.03 Rw.001 No.16 Cempaka Putih, Ciputat-Tangerang Selatan 15412

Telepon : 0856-195-44-74

Email : nurzeshe@yahoo.com

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Gintung 1 [1997-2003] 2. SMP Negeri 2 Ciputat [2003-2006] 3. SMA Negeri 1Ciputat [2006-2009]

Riwayat Organisasi

1. PRAMUKA [2001-2003]

2. PASKIBRA SMPN 2 Ciputat [2003-2004] 3. Taekwondo SMAN 1 Ciputat [2007] 4. Mading SMAN 1 Ciputat [2007]


(7)

vii

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan maka apabilatelah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sesungguh-sungguh (urusan)

yang lain dan hanya kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap

(Q.S. Al-Insyirah 7,9)

Skripsi ini penulis persembahkan untuk...

Kedua orang tua ku...

Ibu Liah dan Bpk.Aslih Rosi

Alhamdulillahirrabilalamin...anakmu telah menyelesaikan pendidikan hingga jejang sarjana. Terima kasih atas do’a dan kasih sayang mu yang selalu menyertaiku dalam menggapai cita-cita dan harapan.

Kakak-kakakku...

Bang Jaus, Kak Emi, Bang Baim, Ka Rika, Bang Kamal, Ka Liah, Ka Lia, dan Bang Yana

Terima kasih atas do’a dan kasih sayangnya sehingga adikmu mampu menyelesaikan pendidikan jenjang sarjananya.

Sahabatku...

Yang telah memberikan dukungan dan semangat serta membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini....Terima kasih untuk Novia, Sandra, Nurul, Eryn, Fifo, Tami, dan Nining.


(8)

viii

Skripsi, Juli 2013 Nur Qomariah, NIM: 109104000007

Pengaruh Peer Education Kesehatan Tulang terhadap Tingkat Pengetahuan pada Siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

xvi+ 80 halaman + 13 lampiran

ABSTRAK

Kematangan fisik pada remaja salah satunya ditandai dengan peningkatan massa tulang secara cepat dan jika proses ini tidak berlangsung dengan optimal maka dapat menjadi faktor risiko osteoporosis di kemudian hari. Para remaja membutuhkan pengetahuan sebagai dasar untuk membentuk gaya hidup yang dapat memaksimalkan kemampuan mereka dalam rangka meningkatkan kesehatan tulang. Peningkatan pengetahuan dapat terjadi jika metode dan media pembelajaran yang baik maka dalam penelitian ini peneliti lebih menekankan pada metode peer education. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat. Desain penelitian ini adalah pra eksperimental yang menggunakan pendekatan one group pre test – post test design. Sampel penelitian ini adalah 29 orang siswa kelas VIII yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang berisi 27 pertanyaan kesehatan tulang. Analisa data meliputi analisa univariat dan analisa bivariat dengan menggunakan uji statistik T-test. Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan tingkat pengetahuan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi peer education kesehatan tulang (P value=0.000). Nilai eta squared yang diperoleh sebesar 0.79 maka dapat disimpulkan bahwa intervensi peer education kesehatan tulang mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan pengetahuan. Untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian serupa untuk mengukur sikap dan perilaku serta adanya kelompok kontrol.

Kata Kunci: Peer education, Kesehatan tulang, Pengetahuan Daftar Bacaan: 61 (2002-2013)


(9)

ix

Undergraduate Thesis, July 2013 Nur Qomariah, NIM: 109104000007

Effect of Bone Health Peer Education on the Level of Knowledge in SMP Muhammadiyah 17 Ciputat Students.

xvi+ 80 pages + 13 appendix

ABSTRACT

Phsysical maturation in adolescents is marked by an increase bone mass rapidly and if this process does not take place optimally, it can be a risk factor of osteoporosis in later life. The young people need knowledge as a basis for forming lifestyle that can maximize their capabilities in order to improve bone health. Increased knowledge may occur if the methods and media of learning are well, in this study the researchers put more emphasis on peer education method. The purpose of this study was to determine the effect of bone health peer education on the level of knowledge in SMP Muhammadiyah 17 Ciputat students. The design of this study was pra-experimental with approach of one group pre test – post test design. The sample was 29 students in grade 8 who were selected using simple random sampling technique. The research instrument used was a questionnaire of knowledge about bone health. Data analysis includes univariate analysis and bivariate analysis using statistical T-test. The results showed there was significant difference between the level of knowledge before and after bone health peer education intervention (P value = 0.000). Eta squared value is of 0.79 it can be concluded that bone health peer education intervention had a significant influence on the increase of knowledge. For further similiar studies suggested to measure up to the attitude and behaviour and there is control group. Keywords: Peer education, Bone Health, Knowledge


(10)

x

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua manusia dalam

setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Atas nikmat-Nya dan karunia-Nya Yang Maha Besar sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Peer Education Kesehatan Tulang terhadap Tingkat Pengetahuan pada Siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat”.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang peneliti jumpai namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(11)

xi

Ibu Eni Nur’aini Agustini, S.Kep.,M.Sc selaku sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ns. Uswatun Khasanah, S.Kep, MNS selaku pembimbing pertama dan

Ibu Ernawati, Skp, M.Kep, Sp. KMB selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran selama membimbing peneliti dan banyak sekali memberikan masukan dan bimbingan pada peneliti.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah .

5. Kepala sekolah, guru serta segenap staf SMP Muhammadiyah 17 Ciputat yang memberikan informasi serta data dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.

6. Siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Orang Tua peneliti yang selalu memberikan kasih sayang tak terhingga kepada anaknya, mendoakan serta memberikan dorongan dan masukan baik materiil maupun non materiil.

8. Keluarga besar peneliti, terutama kakak-kakak ku yang selalu memberikan dukungan baik mateiil maupun non materiil.


(12)

xii tugas.

Penulis sangat menyadari bahwa pada penyusunan skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna karena keterbatasan yang peneliti miliki, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga peneliti dapat memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan pendidikan selanjutnya.

Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, September 2013


(13)

xiii

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR TABEL ...xvii

DAFTAR BAGAN...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9


(14)

xiv

3. Manfaat Bagi SMP Muhammadiyah 17 Ciputat ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Peer Education ... 12

1. Definisi Peer Education ... 12

2. Teori yang Mendasari Peer Education ... 13

3. Tahapan Kegiatan Peer Education... 15

4. Strategi Pelaksanaan Peer Education... 15

5. Hal-Hal yang Dipertimbangkan saat Merencanakan Peer Education ... 17

6. Kelebihan dan Kekurangan Peer Education ... 18

7. Alat Bantu/Media Pendidikan Kesehatan ... 18

B. Remaja... 19

1. Definisi Remaja ... 19

2. Ciri-Ciri Umum Masa Remaja ... 20

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 21

4. Tahap Perkembangan Kognitif Remaja ... 22

C. Kesehatan Tulang pada Remaja 1. Pertumbuhan Tulang pada Remaja ... 23

2. Cara Meningkatkan Kesehatan Tulang ... 24


(15)

xv

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 30

E. Health Promotion Model ... 32

F. Penelitian Terkait ... 36

G. Kerangka Teori ... 39

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISIOPERASIONAL ... 40

A. Kerangka Konsep ... 40

B. Hipotesis ... 41

C. Definisi Operasional... 41

BAB IV METODE PENELITIAN ... 43

A. Rancangan Penelitian ... 43

B. Lokasi Penelitian ... 44

C. Waktu Penelitian ... 45

D. Populasi dan Sampel ... 45

E. Instrumen Pengumpul Data ... 48

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 48

G. Prosedur Pengumpulan Data ... 50

H. Pengolahan Data... 53

I. Analisis Data ... 54


(16)

xvi

B. Analisis Univariat... 59

C. Analisis Bivariat ... 66

BAB VI PEMBAHASAN ... 67

A. Analisis Univariat ... 67

B. Analisis Bivariat ... 73

C. Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

xvii

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... ...41

Tabel 5.1 Distribusi Statistik Deskriptif Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... ...59

Tabel 5.2 Distribusi Statistik Deskriptif Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... ...60 Tabel 5.3 Distribusi Statistik Deskriptif Karakteristik Responden Berdasarkan

Pengalaman Mengikuti Pendidikan Kesehatan tentang Kesehatan Tulang atau dengan Metode Peer Education dan tentang Kesehatan Tulang...60

Tabel 5.4 Distribusi Statistik Deskriptif Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Intervensi Peer Education Kesehatan Tulang ... ...61 Tabel 5.5 Distribusi Statistik Deskriptif Pengetahuan Responden (Item Pertanyaan)

pada Saat Pre Test dan Post Test ... ...62 Tabel 5.6 Distribusi Perbedaan Pengetahuan Siswa antara Sebelum dan Sesudah


(18)

xviii

Bagan 2.1 Kerangka Teori ...39

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ...41 Bagan 4.1 Rancangan Penelitian ...44


(19)

xix

Lampiran 2 Pemberian Izin Penelitian dari SMP Muhammadiyah 17 Ciputat

Lampiran 3 Permohonan Izin Uji Validitas dan Realiabilitas

Lampiran 4 Pemberian Izin Uji Validitas dan Reliabilitas dari SMP YMJ Ciputat

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Responden Lampiran 6 Kuesioner Penelitian

Lampiran 7 Booklet Kesehatan Tulang

Lampiran 8 Tugas (PR) tentang Kesehatan Tulang

Lampiran 9 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Lampiran 10 Hasil Uji Normalitas Pengetahuan Siswa Sebelum Intervensi Peer Education Kesehatan Tulang (Pre Test)

Lampiran 11 Hasil Uji Normalitas Pengetahuan Siswa Setelah Intervensi Peer Education Kesehatan Tulang (Post Test)

Lampiran 12 Hasil Uji Univariat Pre Test dan Post Test Lampiran 13 Hasil Uji Bivariat (T-Test Berpasangan)


(20)

1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa. Dimana pada masa remaja merupakan waktu terbentuknya kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional (Wong, 2008). Kematangan secara fisik terjadi ketika organ dan fungsi tubuh berkembang secara cepat, termasuk proses pembentukan massa tulang. Massa tulang meningkat secara cepat pada masa kanak-kanak, namun utamanya adalah pada masa remaja dimana pada masa ini sekitar 40% dari total massa tulang terbentuk (Baroncelli, dkk, 2005). Selain itu, 90% dari kepadatan mineral tulang saat dewasa diperoleh pada akhir masa remaja (Bailey, dkk, 1996 dalam Ruth, dkk, 2008).

Kepadatan massa tulang selama masa kanak-kanak dan remaja merupakan penentu utama dari kesehatan tulang pada saat dewasa nanti (Rizzoli, dkk, 2010). Puncak massa tulang dicapai pada masa remaja akhir, dan jika proses ini tidak berlangsung dengan optimal maka dapat menjadi faktor risiko osteoporosis di kemudian hari (Baroncelli, dkk, 2005). Dimana massa mineral tulang yang rendah adalah faktor utama yang mendasari terjadinya fraktur pada osteoporosis (Prentice, 1997 dalam Cashman, 2013).Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai dengan penurunan massa tulang yang berakibat pada kerapuhan tulang dan peningkatan risiko patah tulang (Brotzman, 2007). Perkembangan massa tulang yang maksimal selama pertumbuhan dan pengurangan kehilangan tulang di kemudian hari adalah dua strategi utama untuk mencegah osteoporosis (Weaver, 2000 dalam Cashman, 2013).


(21)

Saat ini pengeroposan tulang bisa terjadi pada usia anak atau remaja (Tandra, 2009). Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa patah tulang pada masa kanak-kanak dan remaja berhubungan dengan massa tulang rendah atau kerapuhan tulang, yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan aktivitas fisik (Clark, dkk, 2006; Goulding, dkk, 2005; Black, dkk, 2002 dalam National Dairy Council, 2012). Sebuah meta analisis terbaru dari delapan penelitian case-control menemukan hubungan positif antara kepadatan tulang yang rendah dan patah tulang pada anak-anak (Clark, dkk, 2006 dalam National Dairy Council, 2012). Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja Selandia Baru yang berusia 5 sampai 19 tahun yang mengalami patah tulang lengan bawah berulang ternyata memiliki kandungan mineral tulang yang rendah (Goulding, dkk, 2005 dalam National Dairy Council, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan insiden patah tulang pada anak-anak yang menghindari susu (Goulding, 2004 dalam National Dairy Council, 2012).

Di Indonesia sebagian besar penduduknya memiliki kebiasaan berhenti minum susu setelah bayi sehingga menyebabkan berkurangnya asupan kalsium (Nadesul, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Fikawati, dkk (2005) menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalsium remaja di Kota Bandung kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yaitu hanya 55,9% AKG atau sebesar 559,05 mg/hr. Sebelumnya terdapat penelitian yang dilakukan oleh Fikawati dan Syafiq (2003) menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalsium remaja di kota Bogor hanya 52,7% AKG atau sebesar 526,9 mg/hari (Fikawati, dkk, 2005).


(22)

Menurut Marten, et al (2004) para remaja membutuhkan pengetahuan sebagai dasar untuk membentuk gaya hidup yang dapat memaksimalkan kemampuan mereka dalam rangka meningkatkan kesehatan tulang dan meminimalkan risiko untuk mengalami osteoporosis di masa yang akan datang. Bukti bahwa remaja memiliki pengetahuan yang terbatas terkait asupan kalsium dan olah raga yang dapat meningkatkan kesehatan tulang, membuat penyediaan pendidikan dibeberapa tempat untuk meningkatkan pengetahuan pada remaja menjadi hal yang penting (Marten, et al, 2004). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Harel, et al (1998) dalam Martin, et al (2004), dimana hasil penelitiannya menyatakan bahwa remaja yang memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang pentingnya asupan kalsium dan kesehatan tulang cenderung lebih banyak mengkonsumsi asupan kalsium dari pada remaja yang tidak memiliki pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wietor (2008) di Amerika menunjukan adanya hubungan positif yang signifikan antara skor pada Osteoporosis Knowledge Test (OKT) dengan kepadatan mineral tulang (BMD) (p<0.05).

Pendidikan kesehatan tentang kesehatan tulang akan meningkatkan tingkat pengetahuan yang berpengaruh pada health beliefs dan perubahan perilaku promosi kesehatan yang mengarah pada upaya untuk meningkatkan kesehatan tulang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bohaty, dkk (2007) di Nebraska, Amerika menunjukan adanya peningkatan pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi kalsium dan vitamin D untuk mencegah osteoporosis pada wanita muda (19-30 tahun) setelah diberikan intervensi pendidikan kesehatan.


(23)

Menurut Blum (1990) dalam Nursalam (2008) terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi status kesehatan, yaitu keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Perubahan perilaku sehat merupakan perubahan menuju ke arah yang kondusif untuk kesehatan yang dilakukan melalui pendidikan kesehatan (Blum, 1990 dalam Nursalam, 2008) Perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai pendidik. Menurut Bastable (2002) perawat sebagai pendidik memegang posisi yang bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup sehat. Selain itu, peran perawat sebagai pendidik secara bersamaan berfungsi sebagai fasilitator perubahan, dimana dengan pembelajaran yang diberikan akan mempengaruhi perubahan. Perubahan yang diharapkan yaitu meningkatnya tingkat pengetahuan dan terdapatnya perilaku pencegahan penyakit.

Usaha untuk meningkatkan massa tulang pada masa kanak-kanak dan remaja tidak menjadi hal yang terlalu awal karena peningkatan massa tulang diperlukan sejak dini (International Osteoporosis Foundation, 2012). Tulang merupakan jaringan hidup, dan kerangka tubuh yang tumbuh terus-menerus dari lahir sampai akhir usia remaja dan mencapai kekuatan serta ukuran maksimum (puncak massa tulang) di awal masa dewasa yaitu sekitar pertengahan usia 20-an dan setelah pertengahan usia 20-an, penipisan tulang merupakan proses yang alami dan tidak dapat dihentikan secara total (International Osteoporosis Foundation, 2012). Dengan demikian, maka pengetahuan mengenai kesehatan tulang penting untuk didapatkan saat masa remaja.


(24)

Menurut Piaget tahap perkembangan kognitif pada remaja dinamai sebagai periode formal operation. Dimana pada tahap ini remaja telah mampu memahami konsep kesehatan dan penyakit, berbagai penyebab penyakit, pengaruh variabel atas status kesehatan, serta gagasan yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit (Bastable, 2002). Sehingga promosi kesehatan yang diberikan melalui pendidikan kesehatan dapat dilakukan pada masa remaja. Menurut American Association of Colleges Nursing (1994) dalam Bastable (2002) remaja merupakan pengguna layanan medis dengan frekuensi yang paling sedikit dari pada kelompok usia lain. Fakta ini menunjukkan bahwa kesehatan remaja bukan menjadi prioritas nasional dan masalah kesehatan mereka sebagian besar diabaikan oleh sistem perawatan-kesehatan. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan kesehatan yang sangat banyak dan beragam untuk anak remaja (American Association of Colleges Nursing, 1994 dalam Bastable , 2002). Maka dalam hal ini sangat dibutuhkan peranan perawat sebagai pendidik bagi masyarakat, termasuk remaja.

Untuk memperoleh hasil yang efektif dalam memberikan pendidikan kesehatan maka metode edukasi yang dipilih harus sesuai dengan karakteristik subjek belajar (remaja). Metode diartikan sebagai cara atau pendekatan tertentu yang mempengaruhi efektifitas dan efisiensi dari proses belajar mengajar yang dilaksanakan (Maulana, 2009). Metode ceramah merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pendidikan kesehatan (Gilbert, dkk, 2011) namun metode ini merupakan metode secara satu arah dimana hanya pendidik yang aktif sedangkan peserta didik bersifat pasif (Maulana, 2009). Maka


(25)

peneliti ingin mencari metode alternatif lain yang diharapkan bisa melibatkan peserta didik secara lebih aktif.

Menurut Bastable (2002) metode yang dapat digunakan saat memberikan pendidikan kesehatan pada remaja antara lain diskusi kelompok teman sebaya (peer education). Secara umum, peer education didefinisikan sebagai suatu pendekatan di mana seseorang yang terlatih dan memiliki motivasi melakukan kegiatan pendidikan informal dan terorganisir dengan rekan-rekan mereka yang memiliki kesamaan dengan diri mereka sendiri dalam hal usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis dan latar belakang lainnya (Youth Peer Education Network, 2005 dalam Qiao, 2012). Fey dan Deyes (1989) dalam Bastable (2002) menjabarkan bahwa membuat kelompok-kelompok yang terdiri dari anak berusia sebaya merupakan cara yang efektif untuk membantu remaja menghadapi tantangan kesehatan dan untuk mempelajari cara yang signifikan untuk mengubah perilaku.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengkaji tentang metode peer education. Hayati (2013) meneliti pengaruh metode diskusi kelompok tutor sebaya terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa SMA di Kota Palembang. Hasilnya menunjukkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada kelompok yang mendapatkan perlakuan metode diskusi kelompok tutor sebaya lebih tinggi dibanding dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan metode diskusi kelompok tutor sebaya. Selain itu, Sheyab, dkk (2013) meneliti pengaruh pendidikan dengan tutor sebaya terhadap self-efficacy untuk tidak merokok dan pengetahuan tentang self-management penyakit asma pada remaja dengan penyakit asma di Jordan. Hasilnya menunjukkan self-efficacy dan pengetahuan


(26)

remaja pada kelompok intervensi meningkat secara signifikan dibanding dengan remaja pada kelompok kontrol (tidak mendapatkan pendidikan dengan turor sebaya).

Saat peneliti melakukan studi pendahuluan di SMP Muhammadiyah 17 Ciputat, peneliti mengajukan pertanyaan terkait dengan kesehatan tulang kepada 6 orang siswa kelas VIII. Berdasarkan hasil wawancara tersebut para siswa hanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang umum tentang kesehatan tulang. Hasil ini menunjukan bahwa pengetahuan tentang kesehatan tulang yang dimiliki oleh para siswa masih rendah. Pada saat studi pendahuluan peneliti juga mendapatkan data bahwa disekolah ini belum pernah dilakukan penyuluhan kesehatan terkait kesehatan tulang dan tidak terdapat program pendidikan kesehatan bagi para siswa. Selain itu, disekolah ini metode pengajaran yang biasa digunakan adalah metode ceramah sehingga para siswa belum pernah melakukan kegiatan belajar mengajar dengan metode lain termasuk metode peer education.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul penelitian yaitu pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

B.Rumusan Masalah

Massa tulang meningkat secara cepat pada masa kanak-kanak, namun utamanya adalah pada masa remaja (Baroncelli, dkk, 2005). Puncak massa tulang dicapai pada masa remaja akhir, dan jika proses ini tidak berlangsung


(27)

dengan optimal maka dapat menjadi faktor risiko osteoporosis di kemudian hari (Baroncelli, dkk, 2005).

Pemberian edukasi mengenai kesehatan tulang pada remaja merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dalam upaya membentuk perilaku hidup positif yang bertujuan untuk mengoptimalkan kepadatan massa tulang pada masa remaja.

Ketepatan penggunaan metode edukasi yang sesuai dengan karakteristik subjek belajar merupakan hal yang turut mempengaruhi keefektivitasan kegiatan edukasi yang dilaksanakan. Menurut Bastable (2002) metode yang dapat digunakan saat memberikan pendidikan kesehatan pada remaja antara lain diskusi kelompok teman sebaya (peer education).

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

C.Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang sebelum dilakukan peer education pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat 2. Bagaimana tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang setelah dilakukan

peer education pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

3. Apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang antara sebelum (pre test) dan sesudah (post test) peer education pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.


(28)

D.Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang pada saat sebelum dilakukan peer education (pre test) pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

b. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang pada saat setelah dilakukan peer education (post test) pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

c. Mengetahui apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan tulang antara sebelum (pre test) dan sesudah (post test) peer education pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

E.Manfaat Penelitian

1. Bagi perkembangan ilmu keperawatan.

Penelitian ini merupakan pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada remaja. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut terkait dengan pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada remaja.


(29)

2. Bagi pelayanan kesehatan

Manfaat penelitian bagi pelayanan kesehatan adalah sebagai masukan agar memperhatikan aspek preventif kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kejadian pengeroposan tulang, terutama pada remaja . Hasil penelitian juga dapat menjadi pedoman dalam menentukkan dan melaksanakan program dalam rangka upaya pencegahan yang akan dilakukan.

3. Bagi SMP Muhammadiyah 17 Ciputat

Manfaat penelitian bagi SMP Muhammadiyah 17 Ciputat adalah sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan siswa terkait kesehatan tulang dan sebagai masukan bagi sekolah untuk melaksanakan metode peer education sebagai metode alternatif dalam proses belajar mengajar.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk menilai pengaruh peer education kesehatan tulang terhadap tingkat pengetahuan pada siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat dengan pendekatan pra eksperimental. Rancangan penelitian ini menggunakan one group pre test-post test design. Sampel penelitian adalah siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan probability sampling dengan teknik yaitu simple random sampling . Penelitian dilakukan di SMP Muhammadiyah 17 Ciputat pada bulan Juni 2013.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai landasan teoritik dalam penelitian diperlukan adanya uraian, analisis kritik, dan evaluasi terhadap teks-teks yang relevan dengan topik penelitian yaitu uraian tentang peer education, remaja, kesehatan tulang pada remaja, pengetahuan, dan kerangka teori.

A.Peer Education

1. Definisi Peer Education

Secara umum, peer education didefinisikan sebagai suatu pendekatan di mana seseorang yang terlatih dan memiliki motivasi melakukan kegiatan pendidikan informal dan terorganisir dengan rekan-rekan mereka yang memiliki kesamaan dengan diri mereka dalam hal usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis dan latar belakang lainnya (Youth Peer Education Network, 2005 dalam Qiao, 2012). Pembelajaran dengan teman sebaya pada dasarnya mengacu kepada kegiatan belajar siswa dimana antara satu siswa dengan lain bertindak sebagai sesama peserta didik (Boud, 2001dalam Gwee, 2012).

Diskusi kelompok teman sebaya (peer education) merupakan metode edukasi yang terdiri dari individu atau kelompok yang menyajikan informasi untuk teman sebaya (Gilbert, et al, 2011). Langiano (2012) menjabarkan peer education telah menjadi salah satu metode yang paling sering digunakan untuk pelaksanaan intervensi promosi kesehatan pada remaja. Hal ini didasarkan pada program yang inovatif dalam penyebaran informasi yang ditujukan pada kelompok remaja.


(31)

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa peer education yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi pembelajaran dengan teman sebaya atau diskusi kelompok teman sebaya merupakan salah satu metode edukasi yang terdiri dari individu atau kelompok yang saling berbagi informasi dengan rekannya yang memiliki kesamaan dalam hal usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis dan latar belakang lainnya, dimana antara satu siswa dengan yang lain bertindak sebagai sesama peserta didik.

Fee dan Youssef (1993) dalam Qiao (2012) mengidentifikasi tiga pendekatan utama dalam peer education, yaitu:

a. Peer information, meliputi kegiatan promosional yang diatur oleh sebuah kelompok sebaya untuk khalayak luas.

b. Peer education, pendekatan yang lebih terstruktur dalam rangka membantu kelompok kecil dari masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka melalui kegiatan pendidikan yang terorganisir dengan peer educator yang terlatih.

c. Peer counseling, kegiatan ini lebih fokus dan intensif. Kegiatan ini meliputi pelatihan remaja yang mampu menjadi konselor dalam diskusi masalah pribadi, dan menerapkan strategi penyelesaian masalah dengan teman sebayanya secara individual atau perorangan.

2. Teori yang Mendasari Peer Education

Peer education sebagai sebuah strategi perubahan perilaku mengacu kepada beberapa teori perilaku yang telah ada, yaitu:


(32)

a. Social Cognitive Theory (Bandura, 1986 dalam Qiao, 2012).

Social Cognitive Theory menyatakan bahwa seseorang dapat mengubah perilakunya dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain yang mereka identifikasi (Bandura, 1986 dalam Qiao, 2012). Dalam konteks peer education, pernyataan ini berarti bahwa peer educator dapat menjadi guru dan contoh yang mempengaruhi (Qiao, 2012).

b. Theory of Reasoned Action (Fishbein and Ajzen, 1975 dalam Qiao, 2012).

Theory of Reasoned Action menyatakan bahwa apakah seseorang mengadopsi sebuah perilaku atau tidak tergantung pada persepsi individu terhadap norma sosial atau keyakinan tentang seberapa penting orang yang melakukan perilaku tersebut bagi dirinya atau berpikir tentang perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975; Fishbein & Middlestadt, 1989). Dalam konteks peer education, peer educator mungkin dapat mengubah norma-norma yang terdapat pada kelompok sebaya karena sasaran/peserta peer education termotivasi oleh harapan dari peer educator mereka.

c. Diffusion Inovation Theory (Rogers, 1983)

Diffusion Theory berfokus pada proses dimana informasi atau praktik dapat menyebar melalui jalur komunikasi tertentu (Rogers, 1983 dalam Qiao, 2012). Ini berpendapat bahwa opinion leaders dapat bertindak sebagai agen perubahan perilaku dengan menyebarkan informasi dan mempengaruhi norma-norma yang terdapat di kelompok (Qiao, 2012).


(33)

3. Tahapan Kegiatan Peer Education

Menurut ETR (Education and Training Resources) Associates (2007) terdapat beberapa tahapan untuk membuat program peer education yang baik, yaitu:

a. Persiapan, terdiri dari membuat tujuan program yang spesifik.

b. Pelatihan, yaitu dengan menggunakan metode partisipatif seperti diskusi kelompok kecil dan bermain peran (role play). Pelatihan awal secara mendalam mungkin membutuhkan waktu 30-40 jam ditambah dengan pelatihan atau dukungan tambahan yang diberikan saat program peer education dilaksanakan, seperti membantu dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik.

c. Implementasi, tergantung pada tujuan dan cakupan program yang dijalankan.

d. Pemantauan dan evaluasi, untuk memahami bagaimana pendidik sebaya bereaksi terhadap program dan mendeteksi perubahan dalam pengetahuan, sikap, atau perilaku antara pendidik sebaya dan rekan-rekan mereka (peserta didik).

4. Strategi Pelaksanaan Peer Education

Dalam praktiknya, peer education telah dilakukan dengan berbagai macam interpretasi mengenai metode pendidikan yang digunakan, seperti advokasi, konseling, diskusi dengan fasilitator, drama, ceramah, membagikan materi, dan memberikan dukungan (Flanagen, dkk, 1996; UNAIDS, 1999 dalam Qiao, 2012). Untuk mempermudah kelancaran


(34)

pelaksanaan peer education, kita dapat memilih berbagai strategi yang akan digunakan, yaitu (Gwee, 2012):

a. Buzz Goups: Sebuah kelompok besar siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil yang terdiri dari 4-5 siswa untuk menanggapi hal-hal yang terkait dengan suatu masalah. Setelah diskusi pada kelompok kecil, satu anggota kelompok dari setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi pada kelompok kecil kepada kelompok besar.

b. Affinity Groups: Sebuah kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa ditugaskan untuk mengerjakan sebuah tugas pada saat jam di luar sekolah. Pada pertemuan formal selanjutnya dengan guru, kelompok kecil tersebut mempresentasikan tugas yang telah dikerjakan kepada kelompok besar. c. Solution and Critic Groups: Sebuah kelompok kecil ditugaskan untuk

mendiskusikan sebuah topik permasalahan dan kelompok lainnya memberikan kritik , komentar, dan mengevaluasi presentasi dari kelompok tersebut.

d. Teach-Write-Discuss: Pada akhir sesi pengajaran, siswa diminta untuk menjawab pertanyaan pendek dan memberikan alasan atas jawabannya. Setelah menjawab pertanyaan secara individu, siswa membandingkan jawaban mereka dengan yang lain. Setelah itu, dilakukan diskusi seluruh kelas atas jawaban yang mereka berikan.

Selain strategi diatas, sesi kritik, bermain peran, debat, dan studi kasus merupakan strategi pengajaran lain yang menarik dan efektif yang dapat


(35)

membangkitkan antusiasme siswa dan meningkatkan hasil pembelajaran dengan teman sebaya.

Dalam penelitian ini stretegi pelaksanaan peer education yang digunakan peneliti berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yang biasanya menggunakan peer educator (rekan sebaya peserta penyuluhan). Pada penelitian ini peneliti menggunakan dasar strategi pelaskanaan affinity group yang dimodofikasi oleh peneliti. Dalam pelaksanaan affinity group ini tidak terdapat peer educator , tetapi semua siswa bertindak sebagai sesama peserta didik.

5. Hal-Hal yang Dipertimbangkan saat Merencanakan Peer Education Menurut UNICEF (2004) terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan program peer education, antara lain: a. Menentukan situasi dan mengkaji kebutuhan, yaitu dengan melakukan sebuah analisa situasi untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kehidupan para anak dan remaja. Pengkajian ini dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu komunitas, lingkungan, dan organisasi.

b. Menentukan secara jelas populasi target peer education, yaitu dengan mempertimbangkan kerentanan dan risiko dari populasi target. Peer groups dapat ditentukan dengan kesamaan dalam hal umur, jenis kelamin, etnis, pekerjaan, faktor sosial-ekonomi, dan lain-lain.

c. Melibatkan populasi target dan pemangku kepentingan lainnya dari awal proses perencanaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa intervensi sesuai dengan latar belakang budaya dan tingkat pendidikan dari kelompok target.


(36)

6. Kelebihan dan Kekurangan Peer Education

Kelebihan dari metode ini antara lain meningkatkan motivasi belajar siswa, mengembangkan keterampilan belajar secara mandiri, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meningkatkan keterampilan dalam pemecahan masalah, melatih keterampilan berkomunikasi, meningkatkan interaktif sosial siswa dalam pembelajaran, dan melatih keterampilan bekerja dalam kelompok (Gwee, 2003).

Kekurangan dari metode ini antara lain pendidik (siswa) dianggap kurang kredibilitas karena pendidik dari teman sebaya tidak dirasakan sebagai pakar (ahli), pendidik memberikan informasi yang tidak akurat atau penampilan yang buruk sehingga mengakibatkan hilangnya kredibilitas dari program pendidikan kesehatan yang dilaksanakan, dan tidak dapat dilakukan pada kegiatan pembelajaran yang membutuhkan tingkat informasi yang tinggi (Gilbert, dkk, 2011). Selain itu, menurut Christudason (2003) salah satu kelemahan yang dapat ditemukan dari pelaksanaan peer education adalah adanya kehadiran anggota kelompok yang hanya mengandalkan temannya (freeloaders).

7. Alat Bantu/Media Pendidikan Kesehatan

Maulana (2009) menjabarkan media adalah alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pengajaran. Sedangkan media pendidikan kesehatan disebut juga sebagai alat peraga karena berfungsi membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses pengajaran. Media pendidikan kesehatan adalah saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan (Nursalam,2008). Pemilihan media


(37)

pendidikan kesehatan ditentukan oleh banyaknya sasaran, keadaan karakteristik partisipan, dan sumber daya pendukung (Nursalam, 2008).

Media (alat instruksional tambahan) yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan pada remaja antara lain media yang berisi materi tertulis yang spesifik dan rinci (Bastable, 2002) seperti booklet. Booklet merupakan media publikasi yang berbentuk buku kecil yang terdiri dari beberapa lembar dan halaman (Rustan, 2008). Booklet berisi tidak lebih dari 30 halaman bolak-balik, yang berisi tulisan dan gambar. Struktur isinya seperti buku (terdapat pendahuluan, isi, dan penutup) hanya saja cara penyajian isinya jauh lebih singkat dari pada sebuah buku (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2012).

B.Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut Mappiare (1982) masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria (Ali dan Asrori, 2010). WHO menyatakan seorang anak dikatakan remaja bila telah mencapai umur 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2004). Menurut Undang-Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah (Soetjiningsih, 2004).

Hurlock (1991) menjabarkan istilah adolescence (remaja) memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Ali dan Asrori, 2010). Istilah adolesen, dahulu merupakan sinonim dari


(38)

pubertas, sekarang lebih ditekankan untuk menyatakan perubahan psikososial yang menyertai pubertas (Soetjiningsih, 2004).

2. Ciri-Ciri Umum Masa Remaja

Menurut Agustiani (2006) masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik perubahan dari dalam diri, yaitu perubahan fisik dan psikis maupun perubahan dari lingkungan (sikap orang tua, anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, dan masyarakat).

Menurut Konopka (1973) dalam Pikunas (1976); Ingersoll (1989) masa remaja dibagi menjadi masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir (Agustiani, 2006).

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan tidak bergantung pada orang tua. Penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya merupakan fokus pada masa ini.

b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu peran teman sebaya dan penerimaan dari lawan jenis menjadi hal yang penting pada tahap ini.


(39)

c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir memasuki peran-peran orang dewasa. Pada masa ini remaja memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok orang dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan masa remaja berfokus pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa (Ali dan Asrori, 2010).

Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) dalam Ali dan Asrori (2010) adalah:

a. Mampu menerima keadaan fisiknya.

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

c. Mampu menerima hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

d. Mencapai kemandirian sosial. e. Mencapai kemandirian ekonomi.

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.


(40)

j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

4. Tahap Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget dalam Ali dan Asrori (2010) pada usia remaja, yaitu pada usia 11 tahun keatas tahap perkembangan kognitif seseorang telah masuk ke tahap operasional formal.

Meurut Piaget dalam Bastable (2002) pada tahap ini remaja telah mampu memahami konsep kesehatan dan penyakit, berbagai penyebab penyakit, pengaruh variabel atas status kesehatan, dan gagasan yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

Adapun karakteristik tahap operasional formal menurut Piaget dalam Ali dan Asrori (2010) yaitu sebagai berikut:

a. Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.

b. Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak. c. Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat

hipotesis.

d. Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan.

e. Individu mulai mampu untuk mengintrospeksikan diri sendiri sehingga kesadaran diri sendiri tercapai.

f. Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang dewasa.


(41)

g. Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.

C.Kesehatan Tulang pada Remaja 1. Pertumbuhan Tulang pada Remaja

Tumbuh besar (growing up) adalah ciri khas yang mencolok dari pubertas (Narendra, dkk, 2010). Sebelum pubertas, pertumbuhan linier (kecepatan tinggi badan) berkurang, dimana kemudian selama pubertas kecepatan tumbuh tinggi ini bertambah cepat secara mendadak (heigh spurt) (Narendra, dkk, 2010). Ketika pertumbuhan linear berlangsung dengan kecepatan maksimal, remaja dikatakan sedang mengalami Peak Height Velocity (PHV)-nya atau kecepatan pertumbuhan tinggi maksimal (Narendra, dkk, 2010).

Soetjiningsih (2004) mengungkapkan bahwa peningkatan massa tulang merupakan ciri yang pasti dari pertumbuhan fisik pada remaja. Pada masa pubertas semua tulang mengalami perubahan kuantitatif maupun kualititatif (Soetjiningsih, 2007), artinya tulang tidak hanya mengalami pertumbuhan tetapi juga bertambah menjadi lebih padat (Wirakusumah, 2007). Pada masa pubertas tersebut densitas tulang meningkat (laki-laki lebih dari perempuan) dimana terjadi pertumbuhan tulang memanjang dan melebar sampai epifise menutup dan pertumbuhan tinggi berhenti (Soetjiningsih, 2007). Selain itu, pada masa remaja sekitar 40% dari total massa tulang terbentuk (Baroncelli,


(42)

dkk, 2005) dan 90% dari kepadatan mineral tulang saat dewasa diperoleh pada akhir masa remaja (Bailey, dkk, 1996 dalam Ruth, dkk, 2008).

2. Cara Meningkatkan Kesehatan Tulang

Terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan tulang, diantaranya (National Institutes of Health , Osteoporosis and Related Bone Disease-National Resource Center, 2011):

a. Mengkonsumsi asupan kalsium dan vitamin D dengan tepat

Asupan kalsium yang cukup dapat membantu melindungi tulang sepanjang hidup. Pada anak-anak dan remaja, mengonsumsi asupan kalsium yang cukup dapat membantu menghasilkan massa tulang maksimum yang lebih tinggi (Cosman, 2009). Massa tulang maksimum adalah jumlah tulang maksimum yang pernah dicapai seseorang (Cosman, 2009). Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary References Intake dalam Brontzman (2007) merekomendasikan jumlah kalsium yang harus dikonsumsi oleh remaja atau dewasa awal (9-18 tahun) adalah 1.300 mg per hari. Di Indonesia, berdasarkan hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, angka kecukupan gizi (AKG) untuk kebutuhan kalsium bagi remaja usia 13-19 tahun sebesar 1.000 mg/hari (Fikawati, dkk, 2005). Bagi anak-anak dan remaja dianjurkan untuk mengkonsumsi susu berkalsium dua gelas sehari untuk mencukupi kebutuhan asupan kalsium setiap hari (Astawan, 2008). Sumber makanan sehari-hari yang mengandung kalsium dapat diperoleh dari susu kedelai, yoghurt, pink wild salmon, kangkung, bayam, tahu (Roizen & Mehmet, 2009), kacang-kacangan, telur, dan keju (Djayadi, 2007).


(43)

Vitamin D berfungsi meningkatkan penyerapan kalisum dalam tubuh (Edelman & Mandle, 2010). Brontzman (2007) merekomendasikan asupan vitamin D sebanyak 400-800 IU setiap hari. Sumber vitamin D dapat diperoleh dari telur (kuning telur), ikan laut (salmon dan sarden), margarin, dan susu dengan vitamin D (Edelman & Mandle, 2010). b. Olah raga

Olah raga memiliki peran penting dalam peningkatan massa tulang saat remaja (Edelman & Mandle, 2010). Olahraga menahan beban bermanfaat untuk menambah massa tulang dan otot, bahkan mencegah terjadinya fraktur tulang (Tandra, 2009). Olahraga menahan beban seperti berjalan kaki, berlari, melompat, atau mengangkat beban baik untuk pencegahan osteoporosis (Franzen, 2011) dan terutama olah raga berlari dan melompat dapat meningkatkan kepadatan mineral tulang (Edelman & Mandle, 2010). Olahraga ini dapat dilakukan selama 3 sampai 5 kali dalam seminggu (Brontzman, 2007; Bloomfield & Smith, 2003 dalam Edelman & Mandle, 2010) selama 20 sampai 30 menit atau lebih (Bloomfield & Smith, 2003 dalam Edelman & Mandle, 2010). Olahraga dengan melawan gravitasi dapat mempertahankan dan meningkatkan kekuatan tulang dengan peningkatan massa tulang atau dengan memperlambat penuaan terkait pengeroposan tulang (Franzen, 2011). Olah raga menahan beban meningkatkan ukuran otot, dan otot yang lebih besar dapat mengerahkan kekuatan otot yang lebih (Rauch, et al, 2004 dalam Rundle, 2006). Peningkatkan kekuatan otot pada tulang meningkatkan beban mekanik pada tulang yang akan menyebabkan


(44)

pembentukan tulang meningkat (Rauch, et al, 2004 dalam Rundle, 2006). Peningkatan pembentukan tulang akan meningkatkan kepadatan mineral tulang dan kekuatan pertumbuhan rangka tubuh (Rauch, et al, 2004 dalam Rundle, 2006). Pembentukan tulang dan penyerapan tulang diatur oleh beban mekanis yang disebabkan oleh kekuatan otot (Silverwood 2003 dalam Rundle, 2006). Olah raga menahan beban menyebabkan tekanan mekanis pada tulang, yang mengarah kepada respon pembentukan tulang, mengakibatkan hipertrofi tulang dan meningkatkan kekuatan dan kepadatan tulang (Janz, 2002 dalam Rundle, 2006).

c. Menghindari minum minuman beralkohol yang berlebihan dan merokok.

Mengonsumsi alkohol secara berlebihan mempunyai dampak yang sangat besar pada massa tulang karena alkohol dapat langsung mempengaruhi sel tulang dan mengganggu proses pembentukan tulang kembali (Cosman, 2007). Merokok dapat meningkatkan risiko patah tulang pinggul sebesar 100 persen. Merokok secara langsung meracuni sel-sel pembentuk tulang. Selain itu merokok juga mengurangi kadar hormon estrogen dan dapat mengakibatkan menopause dini (Cosman, 2007). Hormon reproduksi (hormon estrogen) mempengaruhi kepadatan dan kekuatan tulang. Pada wanita yang telah menopause hormon reproduksi (estrogen) dan timbunan kalsium menurun (Suratun, dkk, 2006).


(45)

d. Paparan sinar matahari

Kekurangan vitamin D dalam jumlah yang sangat banyak , meskipun tidak menyebabkan riketsia, tapi vitamin D dapat menjadikan anak-anak dan remaja mencapai tinggi tubuh dan puncak massa tulang yang maksimal (Holick, 2004 dalam Cashman, 2013).Vitamin D dibentuk secara alami di dalam tubuh setelah kulit terpapar dengan sinar matahari. Terpapar sinar matahari setiap hari selama 15 menit (Brontzman, 2007) pada pagi hari jam 06.00-09.00 dan sore hari jam 16.00-18.00 (Matoa, 2011) merupakan waktu bagi tubuh untuk membuat dan menyimpan semua vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh. Kemampuan untuk membuat vitamin D pada kulit menurun seiring dengan peningkatan usia (Brontzman, 2007).

e. Mencegah Jatuh

Jatuh bisa menyebabkan tulang menjadi patah, terutama pada orang yang mengalami osteoporosis (National Institutes of Health , Osteoporosis and Related Bone Disease-National Resource Center, 2011). Salah satu cara pencegahan jatuh diantaranya dengan meningkatkan keseimbangan dan kekuatan tubuh dengan berolah raga jalan kaki dan yoga (National Institutes of Health , Osteoporosis and Related Bone Disease-National Resource Center, 2011).

Selain kelima cara diatas peneliti juga mendapatkan cara lain yang dapat meningkatkan kesehatan tulang yaitu dengan menghindari berat badan yang rendah atau terlalu kurus.


(46)

f. Menghindari berat badan yang rendah atau terlalu kurus (< 127 pound).

Berat badan adalah faktor yang menentukan pembentukan tulang dan juga berfungsi sebagai memberikan perlindungan mekanis bagi tubuh (Wirakusumah, 2007). Menurut International Osteoporosis Foundation (2012) berat badan yang sangat rendah dihubungkan dengan perkembangan puncak massa tulang yang lebih rendah pada remaja. Badan yang gemuk dapat memberikan beban pada tubuh setiap hari sehingga dapat mendorong proses pembentukan tulang (Wirakusumah, 2007). Selain itu badan yang gemuk dapat mempermudah produksi hormon estrogen dari jaringan lemak (Wirakusumah, 2007). Diet, terutama jika dilakukan berulang kali, membahayakan kesehatan tulang karena tubuh tidak mendapat cukup nutrisi penting seperti kalsium, vitamin D dan protein yang diperlukan untuk mempertahankan kekuatan tulang dan otot (International Osteoporosis Foundation, 2012).

D.Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap objek dengan menggunakan indera yang dimilikinya. Dimana sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004).


(47)

2. Tingkatan Pengetahuan

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup 6 tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

a. Tahu (know)

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah (Sunaryo, 2004). Tahu artinya dapat mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Seseorang dapat dikatakan tahu jika ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan tentang sesuatu yang diamati atau dipelajari.

b. Memahami (comprehension)

Memahami adalah kemampuan untuk menginterpretasikan tentang objek yang diketahui dengan benar, bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi atau prinsip yang diketahui pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan, dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui (Notoatmodjo, 2010).

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada dengan cara merangkum atau


(48)

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek dengan menggunakan kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Mubarak (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain:

a. Pendidikan

Pendidikan seseorang sangat berpengaruh pada tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah maka akan menghambat sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. b. Pekerjaan

Pengalaman dan pengetahuan dapat diperoleh dari lingkungan pekerjaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Umur

Perubahan pada aspek fisik dan psikologis terjadi seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Perubahan pada fisik dapat terlihat dengan adanya perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri


(49)

lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Pada aspek psikologis taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Minat merupakan keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam (Mubarak, 2007). e. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Mubarak, 2007). Jika seseorang mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan maka cenderung berusaha untuk melupakannya, namun jika pengalaman tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam kehidupannya.

f. Kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap pribadi. Apabila dalam suatu wilayah memiliki kebudayaan yang bernilai positif maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk melakukan kebudayaan tersebut.

g. Informasi

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak, 2007).


(50)

E.Health Promotion Model

Health Promotion Model (HPM) dikembangkan sejak tahun 1982 oleh Pender. Teori sosial, teori psikologi, dan teori pembelajaran sebagai dasar dari HPM (Tomey, 2006). Menurut Pender (1996); Pender, dkk (2002) dalam Tomey (2006) fokus dari HPM adalah social learning theory (teori pembelajaran sosial) oleh Albert Bandura (1977) yang mengungkapkan pentingnya proses kognitif dalam perubahan perilaku. Social learning theory yang saat ini bernama social cognitive theory mencakup self-beliefs (keyakinan diri), self-attribution (atribusi diri), self-evaluation (evaluasi diri), dan self-efficacy (efikasi diri). Self efficacy adalah unsur utama dari HPM.

Model promosi kesehatan (HPM) telah mengalami beberapa kali revisi dan hasil revisi terkahir pada tahun 2002, HPM berfokus kepada 10 kategori faktor yang menentukan perilaku promosi kesehatan, yaitu (Tomey, 2006):

1. Prior related behavior (perilaku sebelumnya)

Perilaku sebelumnya merupakan banyaknya perilaku yang sama atau serupa dimasa lalu, yang berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kecenderungan untuk melakukan perilaku promosi kesehatan.

2. Personal’s factors (faktor-faktor personal)

Faktor-faktor personal terdiri dari faktor biologis (umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status pubertas, status menopause, kekuatan, ketangkasan, atau keseimbangan), faktor psikologi (harga diri, motivasi, kemampuan diri, status kesehatan yang dirasakan, dan arti akan kesehatan), dan faktor sosial budaya (ras, pendidikan, status ekonomi).


(51)

3. Perceived benefits of action ( manfaat yang dirasakan dari tindakan)

Manfaat yang dirasakan dari tindakan merupakan hasil positif yang dirasakan yang akan muncul dari perilaku kesehatan yang dilakukan.

4. Perceived barriers to action (hambatan yang dirasakan untuk bertindak) Hambatan yang dirasakan untuk bertindak merupakan hambatan yang dirasakan, digambarkan, atau hambatan yang nyata untuk melakukan perilaku kesehatan.

5. Perceived self-efficacy (efikasi diri yang dirasakan)

Efikasi diri yang dirasakan merupakan pertimbangan terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan perilaku promosi kesehatan. Efikasi diri yang dirasakan mempengaruhi hambatan yang dirasakan untuk bertindak, sehingga semakin tinggi efikasi diri maka semakin rendah hambatan yang dirasakan untuk bertindak.

6. Activity-related affect (kegiatan yang berhubungan dan mempengaruhi) Kegiatan yang berhubungan dan mempengaruhi, menggambarkan perasaan positif atau negatif yang muncul sebelum, saat dan setelah perilaku, yang didasari oleh stimulus perilaku itu sendiri. Jika lebih banyak perasaan positif yang dirasakan maka semakin besar efikasi diri yang dirasakan.

7. Interpersonal influences (pengaruh interpersonal)

Pengaruh interpersonal terdiri dari norma, dukungan sosial, dan model (seseorang yang menjadi contoh dalam bertindak). Sumber utama dari pengaruh interpersonal meliputi keluarga, teman sebaya, dan penyedia pelayanan kesehatan.


(52)

8. Situational influences (pengaruh situasi)

Pengaruh situasi merupakan persepsi dan pemikiran seseorang terhadap sebuah situasi, yang dapat memfasilitasi atau menghambat perilaku. Pengaruh situasi dapat berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perilaku kesehatan.

9. Immediate competing demands and preferences (tuntutan dan keinginan yang berlawanan serta mendesak)

Tuntutan yang berlawanan adalah perilaku alternatif dimana individu memliki kontrol yang rendah untuk melakukan perilaku tersebut. Keinginan yang berlawanan merupakan perilaku alternatif dimana individu memilki kontrol yang tinggi untuk melakukan perilaku tersebut.

10. Commitment to a plan action (komitmen (kesanggupan) untuk sebuah rencana tindakan)

Komitmen ini menggambarkan niat (kehendak) dan identifikasi dari strategi perencanaan yang membuat seseorang melakukan sebuah tindakan. Menurut Pender, dkk (2002) dalam Tomey (2006), terdapat empat belas pernyataan teoritis yang berasal dari model ini, yaitu:

1. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh serta diwariskan mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan.

2. Manusia melakukan perubahan perilaku di mana mereka mengharapkan manfaat yang bernilai bagi dirinya.


(53)

3. Hambatan yang dirasakan dapat menjadi penghambat dalam kesanggupan melakukan tindakan, mediator (perantara) dari perilaku, dan perilaku yang nyata.

4. Kemampuan atau efikasi diri yang dirasakan untuk melakukan sebuah tindakan meningkatkan kecenderungan akan kesanggupan untuk bertindak dan melakukan perbuatan yang nyata.

5. Efikasi diri yang dirasakan lebih besar akan menghasilkan hambatan yang yang dirasakan menjadi kecil untuk melakukan perilaku kesehatan yang spesifik.

6. Pengaruh positif terhadap sebuah menghasilkan efikasi diri yang lebih besar yang mana dapat meningkatkan pengaruh yang positif.

7. Ketika emosi yang positif atau pengaruh dihubungkan dengan sebuah perilaku, maka kemungkinan komitmen untuk bertindak dan perilaku akan meningkat.

8. Manusia lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu menarik, perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku yang sudah ada.

9. Keluarga, kelompok dan penyedia pelayanan kesehatan adalah sumber interpersonal yang penting yang dapat meningkatkan atau mengurangi keinginan untuk berperilaku promosi kesehatan.

10. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal dapat menambah atau mengurangi keinginan untuk/atau berpartisipasi dalam perilaku promosi kesehatan.


(54)

11. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yang spesifik lebih memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.

12. Komitmen pada rencana kegiatan kemungkinan kurang menunjukkan perilaku yang diharapkan ketika seseorang mempunyai kontrol yang sedikit dan kebutuhan yang diinginkan tidak tersedia.

13. Komitmen pada rencana kegiatan kurang menunjukkan perilaku yang diharapkan ketika tindakan-tindakan lain lebih atraktif dan juga lebih suka pada perilaku yang diharapkan.

14. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi interpersonal dan lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan kesehatan.

F. Penelitian Terkait

1. Martin, et al (2004) berjudul female adolescent’s knowledge of bone health promotion behaviours and osteoporosis risk factors. Metode penelitian yang digunakan descriptive survey. Sampel penelitiannya adalah 107 remaja perempuan kelas 6-10 yang mengikuti sekolah umum di Southwestern Michigan. Hasil penelitiannya menunjukan pengetahuan para responden tentang sumber asupan kalsium hanya terbatas pada hasil olahan susu. Selain itu, responden mengetahui bahwa olah raga teratur dapat mencegah osteoporosis, tetapi hanya beberapa responden saja yang dapat mengidentifikasi bahwa olah raga menahan beban paling bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan tulang.


(55)

2. Wietor (2008) berjudul the relationship between dietary calcium intake, osteoporosis knowledge and bone mineral density among native american women residing in the great lakes region of the midwest. Metode penelitian yang digunakan cross-sectional descriptive-correlative. Sampel penelitiannya adalah 50 perempuan penduduk asli Amerika yang berusia 18 tahun keatas. Hasil penelitiannya menunjukan terdapat hubungan positif yang signifikan antara skor OKT (Osteoporosis Knowledge Test) dengan kepadatan mineral tulang (BMD) (p<0.01).

3. Medley (2009) berjudul effectiveness of peer education interventions for HIV prevention in developing countries: a systematic review and meta-analysis. Metode penelitian yang digunakan systematic review dan meta-analysis. Hasil penelitiannya menunjukan tiga puluh penelitian yang dianalisis menyatakan bahwa intervensi peer education secara signifikan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan tentang HIV.

4. Sheyab, et al (2012) berjudul peer-led education for adolescents with asthma in Jordan: A cluster-randomized controlled trial. Metode penelitian yang digunakan cluster-randomized controlled trial. Sampel penelitiannya adalah siswa kelas 8, 9, dan 10 yang memiliki penyakit asma dari 4 sekolah di Irbid, Jordan. Hasil penelitiannya menunjukan siswa yang termasuk kedalam kelompok intervensi mengalami peningkatan pengetahuan tentang self-management asma.

5. Hayati (2013) berjudul pengaruh metode diskusi kelompok tutor sebaya terhadap aktivitas dan hasil belajar mata pelajaran biologi di SMA Srijaya Negara Palembang. Metode penelitian yang digunakan quasy experiment


(56)

dengan pre test-post test group design. Hasil penelitiannya menunjukan pembelajaran dengan metode diskusi kelompok tutor sebaya secara signifikan meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.


(57)

G.Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori

H.

I.Karakteristik dan Perilaku-kognisi yang spesifik dan pengaruhnya pengalaman individu

Hasil perilaku

Perilaku sebelumnya

Tuntutan dan keinginan yang berlawanan serta mendesak

kegiatan yang berhubungan dan mempengaruhi

efikasi diri yang dirasakan

hambatan yang dirasakan untuk bertindak manfaat yang dirasakan dari tindakan

Komitmen terhadap rencana melakukan tindakan Perilaku promosi kesehatan Faktor personal: biologi, psikologi,

sosial budaya

Biologi:

Usia

Jenis kelamin

Status pubertas

Psikologi:

Motivasi Sosial-budaya :

Ras

Tingkat pendidikan

Status sosial ekonomi

Kebudayaan

Pengaruh interpersonal (keluarga, teman sebaya, penyedia pelayanan kesehatan),

norma, dukungan sosial, model Peer education kesehatan tulang

Pengetahuan kesehatan tulang

Pengaruh situasi (lingkungan)

 Pendidikan  pekerjaan  umur  minat  pengalaman  kebudayaan  informasi


(58)

40

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Pada bab ini akan dijelaskan kerangka konsep penelitian, hipotesis dan definisi operasional penelitian.

A.Kerangka Konsep

Pada kerangka teori diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pengetahuan, antara lain faktor pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan, dan informasi. Namun tidak semua faktor diteliti pada penelitian ini. Pada penelitian ini hanya faktor informasi yang akan diteliti. Faktor informasi yang dimaksud adalah pemberian pendidikan kesehatan dengan metode peer education. Faktor lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, umur, dan kebudayaan tidak diteliti karena dianggap homogen. Faktor minat telah di homogenkan oleh peneliti dengan menggunakan kriteria inklusi pada sampel yang akan dipilih. Sedangkan faktor pengalaman telah dihomogenkan oleh peneliti dengan menseleksi calon responden menggunakan kuesioner pengalaman.

Berdasarkan penjelasan diatas maka kerangka konsep penelitian secara lengkap digambarkan dengan skema pada skema 3.1.


(59)

Skema 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, yang menjadi variabel dependen adalah pengetahuan tentang kesehatan tulang, variabel independen adalah peer education kesehatan tulang.

B.Hipotesis

Hipotesis alternatif (Ha):

Ada perbedaan tingkat pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat tentang kesehatan tulang pada saat sebelum (pre test) dan sesudah (post test) dilakukan peer education.

C.Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Independen

Definisi Operasional

Peer education kesehatan tulang

Suatu kegiatan pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode diskusi kelompok teman sebaya yang membahas tentang kesehatan tulang

Variabel Independen Peer education kesehatan tulang

Variabel Dependen Pengetahuan tentang


(60)

Variabel Dependen

Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala ukur Pengetahuan tentang kesehatan tulang Pemahaman responden tentang kesehatan tulang, yaitu:

1. Pertumbuhan tulang pada remaja 2. Pentingnya

menjaga kesehatan tulang saat remaja 3. Cara

meningkat-kan kesehatan tulang, yaitu: a. Mengkonsumsi

asupan kalsium dan vitamin D dengan tepat b. Olah raga c. Menghindari

minum minuman beralkohol dan merokok d. Paparan sinar

matahari

e. Mencegah jatuh f. Menghindari

berat badan yang rendah atau terlalu kurus Kuesioner B: Pertanyaan terkait kesehatan tulang dimana nilai: 1 untuk jawaban benar, 0 untuk jawaban salah Dinyatakan dalam rentang nilai 0-26 Interval


(61)

43

METODE PENELITIAN

A.Rancangan Penelitian

Desain/rancangan penelitian adalah rencana dan strategi penelitian yang disusun agar dapat menjawab permasalahan penelitian dan mengontrol varians (Mahfoedz, 2008). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian menggunakan metode pra eksperimental, yaitu mengobservasi subjek penelitian sebelum dilakukan intervensi, kemudian di observasi kembali setelah intervensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian dalam manipulasi terhadap variabel bebas (Nursalam, 2009). Rancangan penelitian yang digunakan adalah one grouppre test-post testdesign.

Rancangan ini digunakan untuk mengetahui pengaruh peer education tentang kesehatan tulang terhadap pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat. Evaluasi atau post test dilakukan setelah melakukan intervensi di hari yang sama. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bias. Jika evaluasi dilakukan pada hari yang berbeda, adanya kemungkinan perubahan pengetahuan (variabel terikat) bukan sepenuhnya disebabkan karena intervensi pendidikan kesehatan (eksperimen) tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman subjek penelitian terhadap masalah yang berhubungan dengan intervensi tersebut (Setiadi, 2007).


(62)

Rancangan penelitian dapat dilihat pada skema berikut (Setiadi, 2007): Skema 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan:

O1 : Adalah pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat pada tahap awal (pres test).

O2 : Adalah pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat pada tahap akhir (post test).

X1 : Adalah perubahan pengetahuan siswa SMP Muhammadiyah 17 Ciputat pada sebelum (pre test) dan sesudah (post test) intervensi.

Catatan: pengukuran setelah intervensi (post test) dilakukan pada hari yang sama setelah intervensi.

B.Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP Muhammadiyah 17 Ciputat. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini yaitu sangat diperlukan pengetahuan tentang kesehatan tulang pada saat remaja agar para remaja dapat mencapai puncak massa tulang yang maksimal, di SMP Muhammadiyah 17 Ciputat metode belajar yang digunakan adalah ceramah, SMP Muhammadiyah 17 Ciputat merupakan sekolah yang belum pernah dilakukan penelitian terkait promosi kesehatan dan

O1

Dibandingkan O1-O2=X1 O2

Intervensi edukasi (peer

education kesehatan


(63)

kesehatan tulang, serta jarak sekolah yang dekat dengan tempat tinggal peneliti memungkinkan peneliti lebih mudah dalam mendapatkan data.

C.Waktu Penelitian

Waktu penelitian efektif dilakukan pada bulan Juni 2013.

D.Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 17 Ciputat yang termasuk kedalam sepuluh siswa yang memiliki nilai rata-rata kelas tertinggi dikelasnya berjumlah 35 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki populasi (Hidayat, 2007). Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan probability sampling dengan teknik yaitu simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak (Setiadi,2007).

Jumlah sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus perhitungan sampel untuk penelitian analitis numerik berpasangan (Dahlan, 2010):


(64)

Keterangan:

n : Besar sampel

Z

α

: Deviat baku alfa (derajat kepercayaan 90%=1,64)

Z ß : Deviat baku beta (derajat kepercayaan 90%=1,28)

S : Simpang baku dari selisih nilai antar kelompok

X1-X2 : Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

Nilai S (Simpang baku dari selisih nilai antar kelompok) diperoleh dari penelitian terdahulu oleh Sulastri, dkk tentang pengaruh penyuluhan kesehatan menggunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja putri di SMAN Balikpapan tahun 2012. Nilai S merupakan standar deviasi dari selisih nilai rata-rata pengetahuan pada pre test dan post test yaitu sebesar 3,69.

Dengan demikian maka perhitungan sampel berdasarkan rumus diatas adalah sebagai berikut:


(65)

Berdasarkan perhitungan diatas, maka peneliti mengambil sampel 29 orang. Untuk mengatasi adanya kemungkinan drop-out maka sampel ditambah 10% dari jumlah sampel yang dibutuhkan sehingga total jumlah sampel menjadi 32. Agar tidak terjadi subjektivitas serta bias dalam pemilihan responden dari setiap kelas maka peneliti menggunakan sistem random sampling yang bekerja sama dengan pihak sekolah dengan sistem pengundian nomor responden. Langkah pengambilan sampel penelitian adalah sebagai berikut:

a. Penomoran responden dalam populasi penelitian yang memenuhi kriteria b. Melakukan pengocokan nomor sebanyak 32 kali, dimana nomor urut

yang keluar akan dijadikan sampel penelitian Kriteria inklusi:

a. Siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 17 Ciputat yang termasuk kedalam sepuluh siswa yang memiliki nilai rata-rata kelas tertinggi dikelasnya

b. Bersedia mengikuti peer education tentang kesehatan tulang

c. Tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan dengan metode peer education

d. Tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan tentang kesehatan tulang

Kriteria eksklusi:

a. Tidak dapat mendengar dengan baik.


(66)

E.Instrumen Pengumpul Data

Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua kuesioner, yaitu kuesioner A dan kuesioner B. Kuesioner A berisi pertanyaan tentang karakteristik responden, meliputi inisial responden, kelas responden, dan pengalaman responden mengikuti pendidikan kesehatan dengan metode peer education serta pendidikan kesehatan tentang kesehatan tulang. Kuisioner B berisi 26 pertanyaan tentang kesehatan tulang yang terdiri dari 3 pertanyaan tentang pertumbuhan tulang pada remaja, 1 pertanyaan tentang pentingnya menjaga kesehatan tulang saat remaja, dan 23 pertanyaan tentang cara meningkatkan kesehatan tulang. Kuesioner B diberikan kepada responden saat sebelum dan sesudah dilakukan intervensi peer education kesehatan tulang.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 1. Uji validitas

Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur (Arikunto, 2010). Jumlah responden untuk uji coba instrumen (kuesioner) minimal 30 orang agar distribusi nilai hasil pengukuran lebih mendekati kurva normal (Nisfiannoor, 2009).

Uji validitas instrumen dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, uji coba instrumen dilakukan di SMP YMJ Ciputat, dengan membagikan kuesioner pengetahuan tentang kesehatan tulang kepada 30 siswa kelas VII dan VIII. Hasil uji validitas menyatakan hanya 5 pernyataan yang valid dari 28


(67)

pernyataan yang terdapat pada kuesioner dengan nilai validitas antara 0. 305 - 0.702. Setelah konsultasi dengan pembimbing maka peneliti melakukan uji validitas kuesioner yang kedua dengan uji validitas expert (ahli). Uji validitas expert ini dilakukan dengan pembimbing peneliti. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu pelaksanaan penelitian. Setelah melakukan uji validitas expert dengan pembimbing maka jumlah pertanyaan yang digunakan pada kuesioner menjadi 26 pertanyaan.

Validitas instrumen diukur dengan rumus korelasi pearson product moment dimana r hitung diperoleh dengan menggunakan software statistic sehingga diperoleh kesimpulan bahwa (Hidayat, 2007):

Bila r hitung lebih besar dari r tabel → variabel valid Bila r hitung lebih kecil dari r tabel → variabel tidak valid

Apabila instrumen valid, maka indeks korelasinya (r) adalah sebagai berikut (Hidayat, 2007):

a. 0.800 – 1.000 : sangat tinggi b. 0.600 – 0.799 : tinggi c. 0.400 – 0.599 : cukup tinggi d. 0.200 – 0.399 : rendah e. 0,000– 0.199 : sangat rendah 2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila alat ukur tersebut digunakan berulang kali (Umar, 2002). Uji reliabilitas ini menggunakan model Alpha Cronbach. Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki


(68)

nilai Cronbach’s Alpha >0.60 (Santoso dalam Gumilar, 2007). Nilai reliabilitas kuesioner yang diperoleh adalah 0.576 sehingga dapat dikatakan kuesioner tidak reliabel.

G.Prosedur Pengumpulan Data 1. Prosedur Administrasi

a. Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat izin dari SMP Muhammadiyah 17 Ciputat sebagai tempat penelitian.

b. Melakukan sosialisasi penelitian kepada kepala sekolah, guru, dan staf sekolah kemudian dibuat kesepakatan untuk melakukan program pendidikan kesehatan dengan metode peer education tentang kesehatan tulang di SMP Muhammadiyah 17 Ciputat.

c. Mengidentifikasi responden yang memenuhi kriteria inklusi.

d. Meminta calon responden yang terpilih agar bersedia menjadi responden setelah mendapatkan penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian serta hak dan kewajiban selama menjadi responden. Responden yang bersedia selanjutnya diminta menandatangani lembar informed consent.

2. Prosedur persiapan sebelum intervensi

Sebelum memberikan perlakuan berupa peer education kesehatan tulang peneliti membuat booklet sebagai media pendidikan kesehatan. Selain itu peneliti juga memberikan pengarahan kepada fasilitator (teman peneliti) terkait dengan perannya dalam diskusi kelompok yang akan dilaksanakan.


(69)

3. Prosedur intervensi

Tahapan intervensi program peer education adalah sebagai berikut:

a. Peneliti meminta bantuan wali dan/atau guru kelas VIII untuk memilih 10 siswa yang terbaik dari setiap kelas.

b. Peneliti dibantu guru kelas mengumpulkan 35 siswa yang terpilih didalam suatu kelas untuk diberikan penjelasan penelitian. Pada hari tersebut peneliti hanya bisa mengumpulkan 35 siswa karena 5 siswa yang lain sedang tidak masuk sekolah.

c. Peneliti menjelaskan prosedur penelitian kepada seluruh siswa yang terpilih.

d. Peneliti membagikan kuesioner tentang pengalaman siswa dalam mengikuti pendidikan kesehatan dengan metode peer education dan pendidikan kesehatan tentang kesehatan tulang kepada seluruh calon responden.

e. Peneliti memilih siswa yang belum pernah mengikuti pendidikan kesehatan dengan metode peer education dan pendidikan kesehatan tentang kesehatan tulang.

f. Peneliti melakukan penomoran responden dengan meminta kepada seluruh calon responden untuk berhitung.

g. Peneliti melakukan pengocokan nomor sebanyak 32 kali, dimana nomor urut yang keluar dijadikan responden penelitian.

h. Peneliti melakukan informed consent secara tertulis dengan siswa yang terpilih sebagai responden menggunakan lembar informed consent.


(1)

(2)

Uji Normalitas Pengetahuan Siswa Sesudah Intervensi

Peer Education

Kesehatan Tulang (

Post Test

)

Descriptives

Statistic Std. Error

VAR00001 Mean 19.0000 .51337

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 17.9484

Upper Bound 20.0516

5% Trimmed Mean 19.0000

Median 19.0000

Variance 7.643

Std. Deviation 2.76457

Minimum 14.00

Maximum 24.00

Range 10.00

Interquartile Range 4.50

Skewness -.033 .434

Kurtosis -.997 .845

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

VAR00001 .124 29 .200* .961 29 .348

a. Lilliefors Significance Correction


(3)

(4)

Hasil Uji Univariat

1.

Pre Test

Descriptives

Statistic Std. Error

Pre Test Mean 16.2759 .52732

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 15.1957

Upper Bound 17.3560

5% Trimmed Mean 16.4387

Median 17.0000

Variance 8.064

Std. Deviation 2.83973

Minimum 9.00

Maximum 20.00

Range 11.00

Interquartile Range 4.00

Skewness -.592 .434


(5)

2.

Post Test

Descriptives

Statistic Std. Error

Post Test Mean 19.0000 .51337

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 17.9484

Upper Bound 20.0516

5% Trimmed Mean 19.0000

Median 19.0000

Variance 7.643

Std. Deviation 2.76457

Minimum 14.00

Maximum 24.00

Range 10.00

Interquartile Range 4.50

Skewness -.033 .434


(6)

Hasil Uji Bivariat (Uji

T test

berpasangan)

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Pre test 16.2759 29 2.83973 .52732

Post Test 19.0000 29 2.76457 .51337

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Pre Test & Post Test 29 .873 .000

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Pre Test – Post Test


Dokumen yang terkait

Persepsi siswa terhadap pola interaksi dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial di SMP Dua Mei Ciputat

9 83 118

Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Smp Muhammadiyah 17 Ciputat

1 48 98

Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Tingkat Pengetahuan Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMP Islam Ruhama Ciputat

9 42 134

PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN REPRODUKSI MELALUI METODE CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Melalui Metode Ceramah terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Siswa SMP Negeri 9 Surakarta.

0 1 15

PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI PADA Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Pada Siswa SMP Negeri 24 Surakarta.

0 2 13

PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI PADA Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Pada Siswa SMP Negeri 24 Surakarta.

0 0 16

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN METODE PEER EDUCATION TERHADAP PENGETAHUAN KEPUTIHAN PADA SISWI KELAS II SMP DI PONDOK TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA.

0 0 13

Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja SMP N 16 Surakarta IMG 20150806 0001

0 0 1

PROMOSI KESEHATAN DENGAN METODE PEER EDUCATION TERHADAP PENGETAHUAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) SISWA SMA

0 0 6

PENGARUH METODE PEER EDUCATION TERHADAP PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA SISWI SMP DI PONDOK TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA

0 2 8