menghirup udara bebas. Prita mendengarkan dengan seksama ketika Arthur membacakan putusan. “Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Membebaskan terdakwa Prita Mulyasari
dari dakwaan,” ujar Arthur, di Pengadilan Negeri PN Tangerang
16
.
2.6 PEMBAHASAN
2.6.1 Tinjauan Umum Tindak Pidana Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh tentang
berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh ativitas yang bersifat fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigm komunikasi manusia dalam
bergaul, berbisnis, dan juga berasmara. Internet mengubah konsep jarak dan waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas.
Setiap orang bisa berhubungan, berbicara, dan berbisni dengan orang lain yang berada ribuan kilometer dari tempat dimana ia berada hanya dengan menekan
tutstuts keyboard dan mouse komputer yang berada di hadapannya
17
. Pada Masa Awalnya, tindak pidana siber didefinisikan sebagai kejahatan
komputer. Mengenai definisi dari kejahatan computer sendiri, sampai sekarang para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan
16
http:www.hukumonline.comberitabacalt4b3ac59e39184pn-tangerang-vonis-bebas-prita- buka-perdamaian-dengan-rs-omni, di kunjungi pada tanggal 3 maret, 2016, pukul 14.30.
17
Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal., 59.
komputer
18
. Bahkan penggunaan istilah untuk kejahatan komputer dalam bahasa Inggris pun masih belum seragam. Namun para sarjana pada waktu itu, pada
umumnya menggunakan istilah “computer crime” oleh karena dianggap lebih
luas dan biasa digunakan dalam hubungan internasional. The British Law Comission misalnya, mengartikan
“computer fraud” sebagai manipulasi komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad
buruk untuk memperoleh uang, barang, atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi
“computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :
a. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan,
pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan, atau pelayanan;
b. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat
keras atau lunak, sabotase dan pemerasan
19
. Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga
memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukm di Indonesia. Hukum di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang
terjadi.perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan
hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaan atau mungkin hal yang sebaliknya.
18
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi Cyber Crime : Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal., 19.
19
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, naskah akademik Kejahatan Internet Cybercrimes, 2004, hal., 10.
Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa
masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun
yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana primitive maupun pada
masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat
20
. Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan
terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan
teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah
diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi hutan belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur
secara khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di
dalamnya. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif
yang cermat
dengan mengingat
suatu hal,
yakni jangan
sampai perundangundangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga
membuat peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan
20
Agus Raharjo, Op., Cit., hal., 29-30.
membawa dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial ekonomi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara
khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya.
Rancangan undangundang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dengan nama Rancangan
Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik. Kemudian pada tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR
RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang-undang ini disahkan; dengan demikian proses pengundangan undangundang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh
karena itu undang-undang ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu
pengundangannya maupun segi materi yang diatur. Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam
undangundang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Penggunaan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pencemaran Nama
Baik berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008.” Sehingga
pembahasan lebih lanjut pengenai tindak pidana dalam pasal ini akan membahas secara rinci bagaimana undang-undang ini mengatur tindak pidana pencemaran
nama baik. Tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 27 ayat 3.
Dalam penerapannya, pasal 27 ayat 3 ini telah memberikan kekhuatiran kepada masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa adanya pengaturan ini hanya
menjadikan kebebasan berekspresi dari masyarakat menjadi terkekang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh aktivis blogger, Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia PBHI, Aliansi Jurnalis Independen AJI, serta Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mengajukan permohonan uji materiil
terhadap pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ini kepada Mahkamah Konstitusi MK. MK sendiri telah menyatakan bahwa pengaturan tersebut konstitusional
sebagaimana tertera dalam putusan MK Nomor 50PUU-VI2008 dan Nomor 2PUU-VIII2009.
Esensi penghinaan baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia siber adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk
diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu unsur “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam
pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber yang dapat mencapai pemenuhan unsur “di muka umum” atau “diketahui umum”.
Tindakan “mendistribusikan, mentransmisikan, danatau mebuat dapat diaksesnya” dilakukan dalam rangka atau agar informasi dan atau dokumen
elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian unsur “di muka umum” atau “diketahui umum” yang penjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh
dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE, sehingga haus tetap dibuktikan terpenuhinya unsur tersebut.
2.6.2 Pegaturan pencemaran nama baik dalam UU ITE