Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia khususnya Jawa sejak lama. Batik berasal dari bahasa Jawa amba yang berarti menulis dan titik . Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang diaplikasikan ke atas kain. Memang titik titik merupakan desain dominan pada Batik. Perempuan-perempuan Jawa pada jaman dahulu menjadikan ketrampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian sehingga pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan. Batik juga diidentikan dengan kecantikan wanita mengingat dalam masa kerajaan di Jawa, kecantikan juga di ukur dengan kepandaian dalam membuat batik menggunakan canting. Canting merupakan salah satu alat untuk menulis pada kain batik dengan menggunakan lilin. Hingga ditemukannya “batik cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Sebenarnya batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Pada awal perkembangannya kira kira sekitar abad ke-XVIII atau awal abad ke- XIX masih berupa batik tulis, sedangkan batik cap sendiri baru diperkenalkan setelah perang dunia pertama atau tahun 1920. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Bahkan motif batik bisa menunjukan status seseorang. Seperti xi kalangan keluarga Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang masing-masing hanya mengenakan motif batik tertentu hingga kini. Semakin meluasnya batik dipengaruhi oleh pengikut raja yang tinggal di luar keraton sehingga turut mempopulerkan batik di luar keraton. Lama kelamaan kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari baik pria maupun wanita. www.okezone.com Pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya pada masa orde baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri Batik Korpri yang menggunakan seragam batik pada hari Jumat, begitu juga dengan pegawai swasta yang biasanya memakai batik pada hari Kamis atau Jumat. Batik kini menyentuh semua lapisan masyarakat. Bahkan, Batik yang semula dikonotasikan sandang untuk kaum tua kini telah berubah. Kaum muda tertarik menggunakan batik dalam berbagai kesempatan seiring perkembangan batik yang diaplikasikan dalam rancangan pakaian yang lebih sesuai untuk kalangan muda. Aneka model baju batik yang modis dan trendi kian meningkatkan pamor batik. Busana batik pantas buat pesta, ke kantor, ke kampus, bahkan nongkrong di mal dan berjalan-jalan ke mana saja. Semenjak batik ditetapkan sebagai Warisan Budaya Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009, animo masyarakat terhadap produk batik mulai meningkat seiring dengan munculnya sentra-sentra produksi batik di Jawa Tengah. Iklim usaha di sektor ini cenderung meningkat yang ditandai dengan xii munculnya home industry batik di sentra-sentra batik seperti di Pekalongan, Solo dan beberapa kota lainnya. Salah satu sentra industri batik tersebut berada di Wonogiri. Wonogiri memang bukan kota yang terkenal dengan batiknya seperti yang kita ketahui seperti Kota Solo dan Pekalongan. Tetapi di Kecamatan Tirtomoyo 40 kilometer tenggara Kota Wonogiri, tumbuh menjadi sentra pengrajin Batik Tulis khas Wonogiren yang eksklusif dengan motif remukan atau pecah lilin. Ada sekitar 2.400 warganya yang kehidupan sehari-harinya akrab dengan urusan batik- membatik. Saat ini, kendala yang masih dihadapi oleh para pengrajin Batik Wonogiren ini adalah masih kurangnya informasi kepada masyarakat tentang sentra industri batik tersebut. Bahkan masyarakat Wonogiri sendiripun banyak yang tidak tahu ataupun kurang peduli. Mereka lebih senang membeli produk batik yang ada di Kota Solo dan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu kegiatan promosi melalui pendekatan Desain Komunikasi Visual untuk meningkatkan penjualan dan untuk lebih memperkenalkan Batik Wonogiren kepada masyarakat luas mengingat kurangnya kegiatan promosi yang dilakukan, sehingga tercipta suatu image di masyarakat bahwa Batik Wonogiren yang memiliki beragam corak dan motif yang eksklusif tidak kalah bersaing dengan Batik yang berada di Solo maupun di Kota lainnya.

B. Permasalahan