15 memadai. Dalam persaingan di pasar global, orang-orang miskin akan tersingkir dan menjadi
orang yang kalah. Untuk itu, selain bantuan agar mereka mampu membeli, pendidikan dan pelatihan pendampingan merupakan cara yang dianggap tepat. Tujuannya adalah untuk
menambah pengetahuan dan keahlian serta membentuk sikap. Harapannya, jika orang memiliki pengetahuan, keahlian dan sikap yang baik, dia dapat bekerja dan membangun
usaha.
20
II.3. Ketidakadilan Bagi Orang Miskin
Dalam konteks Asia, bisa ditambahkan, bahwa kemiskinan juga desebabkan oleh masa kolonialisme yang panjang saat dimana bangsa-bangsa Asia berada dalam penindasan
imperialisme Barat yang menghancurluluhkan jiwa bangsa Asia, semangat kreatifnya serta rasa percaya dirinya. Ketika masa lalu yang pahit itu berakhir, bangsa-bangsa Asia tetap
menderita karena pengendalian ekonomi masih berada di tengah segelintir orang, pihak penguasa dan pihak pemilik modal besar yang membentuk elite baru yang kemudian
bekerjasama dengan wajah baru ’kolonialisme ekonomi’ dari Barat dan Jepang. Jadi, masalah kemiskinan sosial ekonomi di Asia adalah masalah ketidakadilan politik, baik yang terjadi di
dalam negara masing-masing maupun ketidakadilan politik dalam sistem ekonomi dunia.
21
Di Indonesia, kepemimpinan nasional yang lebih demokratis, sudah berganti beberapa kali, mulai dari BJ. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai
dengan Soesilo Bambang Yudhoyono, namun permasalahan bangsa tetap diwarnai dengan penyelewengan kekuasaan, korupsi, penggaran HAM, dan masalah kemiskinan akibat dari
ketidakadilan.
22
Kemiskinan, menurut para pemikir dari kelompok demokrasi-sosial, disebabkan oleh ketidakadilan dan ketimpangan akibat tersumbatnya kesempatan kelompok miskin.
Pasarruang persaingan yang dikuasai oleh kelompok neo-liberalisme, memberikan ruangan bagi praktik ketidakadilan, bahkan ada pula yang menggunakan kekuasaan pemerintahan.
23
Menurut Widiastuti 2010:13 kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang mencakup politik, sosial, ekonomi, aset, maupun akses. Hal ini mengakibatkan orang miskin
tersingkir dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Lebih dari itu, segala pekerjaanusaha yang dilakukan tidak punya akses, termasuk informasi yang
memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka secara layak.
20
Kusumaatmadja Ed., Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, 2007, hal. 15.
21
Widi Arianto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008, hal. 111.
22
Ibid., hal. 244.
23
Kusumaatmadja Ed., Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, 2007, hal. 17.
16 Menurut Muller kemiskinan relatif karena tidak memiliki akses ke sumber-sumber
pendapatan menunjukkan adanya ketidakmerataan kesempatan dan peluang di segala bidang kehidupan.
24
Modal atau akses ke lembaga pemberi modal, juga merupakan salah satu penyebab langgengnya kemiskinan. Pinjaman modal hanya dapat diberikan bila ada
kepercayaan dari pemberi pinjaman. Kepercayaan itu hanya bisa dipenuhi melalui jaminan yang diberikan oleh pengguna modal. Pertanyaannya, lalu apa yang bisa dijadikan orang
miskin sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman?
25
Bank sebagai institusi umum untuk pemberi modal, lebih berminat memberikan modal kepada yang memiliki jaminan. Hal itu pulalah yang pernah dialami oleh Mohamad Yunus
pendiri Grameen Bank, ia menghubungkan orang miskin sudah bekerja keras namun masih melarat, dengan pihak bank; tapi usahanya tidak mendapat tanggapan dari pihak bank.
26
Di Indonesia, pada awal 1987, peraturan pemerintah tentang pendirian Bank dipermudah. Namun kemudian bank-bank yang didirikan bukan untuk membantu
menyalurkan kredit pada rakyat miskin tetapi dana yang terkumpul di bank dari masyarakat dipakai untuk mendanai proyek-proyek besar justru milik oranggrup-grup orang kaya. Tahun
1994 empat per lima atau 75 jumlah total kredit bank, yang sebagian besar dari bank milik negara disalurkan untuk kredit megaproyek grup-grup bisnis para konglomerat Prasetyo,
2006:4, 49.
II.4. Gereja dan Kemiskinan
Pembahasan tentang gereja dan kemiskinan, tidak bisa lepas dari pandangan teori teologi pembebasan dari Gutierrez. Teologi, menurut Gutierrez, adalah refleksi kritis tentang
praksis Kristen dalam terang firman Allah, atau refleksi kritis tentang firman Allah yang diterima di dalam gereja.
27
Menurut Paus Yohanes Paulus II, Teologi Pembebasan bukanlah suatu ”teologi baru”, melainkan suatu tahap baru dalam berteologi. Bukan suatu modetrend,
tetapi suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat iman berarti bagi zaman pasca modern.
28
Penginjilan bukan hanya pemberitaan verbal.
29
Tentang orang kaya dan orang miskin, tidaklah cuma kita jumpai dalam Perjanjian Baru, tetapi juga dalam Perjanjian Lama.
30
Tetapi Allah juga tidak anti kekayaan atau secara apriori anti orang kaya, maka harus pula ditentukan bahwa Allah tidak mengidealisir dan
meromantisir kemiskinan. Namun, amat jelas bahwa Allah selalu memihak yang lemah,
24
Johanes Müller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 7.
25
Kusumaatmadja ed., 2007. Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, hal. 6.
26
Ibid., hal. 68.
27
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta: BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 649.
28
Ibid., hal. 685.
29
Ibid., hal. 643.
30
Eka Darmaputera, Iklan bagi Anak Hilang. Jakarta: Gloria Grafa, 2002, hal. 87.
17 miskin dan tertindas.
31
Oleh karena itu, gereja-gereja di Indonesia harus berdiri di dalam solidaritas dengan si miskin dan bertekad bulat memerangi segala sesuatu yang menjadi
penyebab kemiskinan maupun pemiskinan.
32
Melengkapi pandangan Gutierrez, Eka Darmaputra menyatakan bahwa gereja tidak boleh menjadi penyulut api kebencian, tetapi harus menjadi pembawa obor kesetiakawanan.
Namun sekali lagi, itu tidak berarti bahwa gereja dapat bersikap netral, sama sekali tidak. Gereja mesti menegaskan diri dimana ia berdiri: di pihak si miskin. Gereja mesti menegaskan
sikapnya yang pasti: menentang segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dan apapun yang gereja lakukan, gereja melakukannya bukan dengan sikap ingin menjadi
pahlawan, melainkan dengan sikap kerendahan hati.
33
Secara global perkembangan pemikiran tentang keadilan di kalangan gereja-gereja Protestan dapat dilihat melalui Dewan Gereja-gereja Sedunia DGD. Sejak tahun 1960-an,
DGD mulai mengembangkan apa yang disebut dengan teologi pembangunan. Teologi yang memberi perhatian pada soal-soal kemiskinan, ketertindasan yang terjadi di banyak belahan
dunia. Yang membahas tentang: bagaimana masyarakat miskin yang tertindas terutama secara sosial-ekonomi-politik bisa keluar dari kemiskinan dan ketertindasan, bagaimana
mereka bisa hidup dengan hak-hak hidup yang layak, bagaimana supaya keadaan yang membuat mereka miskin dan tertindas mengalami pembaruan menjadi baik. Kemudian pada
sidang raya DGD ke-5 di Nairobi, Gereja-gereja Protestan dan gerakan oikumene pada umumnya melakukan langkah perubahan yang sangat substansial terhadap komitmen mereka
pada keadilan. Keadilan bukan lagi menjadi isu sosial-ekonomi-politik semata, melainkan jelas-jelas menjadi persoalan kemanusiaan. Keadilan menjadi perhatian yang sangat penting
dan menjadi prioritas di kalangan Gereja-gereja untuk diperjuangkan. Karena itu melalui gerakan oikumenis sedunia, Gereja-gereja diajak untuk menyadarkan warganya, siapapun
untuk melawan semua kekuatan yang tidak adil, menindas, yang membuat masyarakat menjadi semakin miskin dan tertindas. Juga gereja-gereja dipanggil untuk melawan kekuatan-
kekuatan yang menindas itu, mendukung orang-orang yang melawan penindasan itu yang berusaha mencari akar ketidakadilan itu. Gereja ditantang bukan saja terhadap keberadaannya
secara institusional, tetapi hal yang lebih mendasar, yaitu soal keimanannya. Karena Gereja- gereja tidak berada di luar konteks proses pemiskinan dan penindasan itu, tetapi justru berada
di dalamnya.
34
31
Ibid., hal. 88.
32
Ibid., hal. 89.
33
Ibid., hal. 90
34
Al. Andang L. Binawan dan A. Prasetyoko Eds., Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompa s,
2004, hal. 239-240.