Pendahuluan T1 712008019 Full text

7 Kristus dan ditampakkan dalam seluruh kehidupan dan pelayanan Yesus. Misi Allah bukan sekedar membawa manusia dibaptis dalam gereja tetapi mewujudkan tanda-tanda pemerintahan Allah di tengah dunia. 2 Tujuan diakonia adalah untuk mewujudkan manusia yang baru dan dunia yang baru. Diakonia tidak dimaksudkan sekedar untuk menciptakan hubungan antara pemberi dan penerima. Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei , yaitu kehadiran pemerintahan Allah di dunia. Lingkup diakonia tidak dibatasi oleh tembok dinding gereja tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik. 3 Lebih tegas, Josef P. Widiatmadja mengarahkan gereja terlibat dalam diakonia transformatif , yaitu diakonia yang memberikan pembelajaran dan membebaskan, yaitu digambarkan sebagai diakonia yang memampukan seseorang untuk menjadi kuat berjalan sendiri mandiri. Diakonia transformatif atau diakonia pembebasan adalah diakonia yang bertujuan untuk membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktural yang tidak adil yang mengepung mereka. Diakonia transformatif berupa pemberdayaan pengorganisasian rakyat kecil, yang tidak hanya didorong oleh rasa belas kasihan, namun didasari dengan perjuangan mendapatkan keadilan. 4 Namun dalam hal ini pandangan gereja tidaklah lebih superiorekskusif dari masyarakat atau kaum yang dilayaninya. Gereja bukan bekerja untuk kaum miskin, kaum miskin bukan hanya merupakan obyek dari pekerjaan gereja. Namun gereja bersama-sama kaum miskin untuk berjuang mendapatkan suasana kehidupan masyarakat yang lebih baik. Jadi, gereja bersama masyarakat merupakan subyek yang menjadi agen-agen dan pengemban-pengemban Missio Dei . Salah satu kebutuhan yang terkait dengan dinamika sosial-ekonomi di masyarakat secara umum, adalah sulitnya mendapat akses permodalan bagi usaha mikro bagi pengembangan usaha ekonomi produktif. Padahal laju pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kinerja di sektor riil, justru sektor riil inilah yang tersebar di tengah masyarakat. Namun pelaku sektor riil juga membutuhkan permodalan, pembimbingan dan pendampingan. Gereja bisa berperan dalam sisi ini, karena tidak semua pelaku sektor riil ini seluruhnya terlayani oleh pemerintahnegara. Meskipun saat ini Lembaga Keuanganpembiayaan baik berasal dari pemerintah maupun swasta BRI, Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, BPR, Lembaga Finance, dan lain-lain telah banyak didirikan untuk membantu rakyat kecil melalui program-program yang menjadi produknya, namun fungsi dan peranannya tidak menyentuh kebutuhan yang sesungguhnya agar rakyat kecil sadar ekonomi atau melék ekonomi. Lembaga keuangan 2 Josef P. Widiatmadja, ”Yesus dan Wong Cilik”, Jakarta : BPK Gunung Mulia. 2010, hal.10. 3 Ibid. , hal. 11. 4 Ibid., hal. 44-45. 8 semacam ini hanya mengejar target keuntungan, hanya membantu menyalurkan pinjaman dengan imbal balik yang cukup mahal, tanpa memberikan pendidikan ekonomi yang sehat. Hal tersebut mempunyai prisip sangat berbeda dengan yang ditetapkan oleh Credit Union, dimana dengan prinsip-prinsip: struktur yang demokratis, memperhatikan kebutuhan finansial angotanya dan pelayanannya bersifat sosial non-profit oriented , namun tetap menjunjung profesionalisme dalam pengelolaan keuangan. Adapun 3 pilar utama yang diperjuangkan dalam Credit Union, yaitu : pendidikan, swadaya dan setia kawan. Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap usaha ekonomi produktif Usaha Kecil dan Menengah telah lebih baik, misalnya dengan adanya program Kredit Usaha Rakyat KUR di setiap desa dan kecamatan, namun pada praktek pelaksanaannya belum dapat menyentuh kebutuhan masyarakat secara luas dan merata. 5 Kredit Usaha Rakyat ini diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang telah mempunyai usaha mikro, melalui bank milik pemerintah tanpa agunan dengan plafon kredit minimal Rp. 20.000.000,- dua puluh lima juta rupiah dengan suku bunga pinjaman yang ringan 22. 6 Dari tingkat suku bunga 22 per tahun bukanlah bunga yang ringan, dan dalam praktek pengucurannya kepada masyarakat masih menemui banyak kendala, antara lain : harus sudah mempunyai usaha mikro yang stabil, bank tetap mensyaratkan agunan, tidak adanya pembelajaran yang mendampingi kreditor. Sehingga seringkali sasaran penggunaan bantuan kredit tidak sesuai dengan harapan upaya menolongmengembangkan upaya ekonomi produktif, namun justru membawa masyarakatpengguna kredit masuk lebih dalam ke dalam dunia konsumerisme dengan penggunaan kredit pinjaman tersebut untuk kebutuhan yang tidak sebagaimana mestinya misalnya dipakai oleh pengguna kredit untuk membeli barang-barang konsumsi non- produktif. Hal semacam ini tentu sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh Credit Union. Gereja Kristen Jawa dalam dalam pengajarannya, mengacu pada tiga tolok ukur berjenjang, yaitu: Alkitab, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa dan Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa. Pada Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, khususnya pasal 54 diatur tentang Pelayanan Sosial Ekonomi: 1 Pelayanan sosial ekonomi adalah tindakan untuk memberdayakan warga gereja mengatasi kesulitan dalam hal kebutuhan sosial ekonomi demi terpelihara imannya, 2 Pelayanan sosial ekonomi yang dilakukan oleh Gereja dapat bersifat konsumtifpemberian khariatif , pemberdayaan reformatif dan penyadaran transformatif. 7 5 Dewi Indriastuti, ” Mendorong UMKM ” Kolom Perbankan, Harian Kompas edisi Kamis, 22 Februari 2012. 6 Direktorat Pembiayaan Pertanian – Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementrian Pertanian. Pedoman Teknis Kredit Usaha Rakyat KUR Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian 2012, hal. 11. 7 Tim Revisi PPA GKJ, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode GKJ, 2005, hal.106. 9 Gereja Kristen Jawa Purworejo GKJ Purworejo adalah gereja yang telah hadir di kota Purworejo sudah lebih dari 113 tahun. Gereja Kristen Jawa Purworejo tumbuh dan berkembang bersama jemaat dan masyarakat umum di kota Purworejo, seiring dengan dinamika sosial dengan berbagai masalah sosial, ekonomi maupun politik yang ada di dalamnya. Dengan demikian gereja ditantang untuk ikut terlibat secara langsung dalam dinamika sosial-ekonomi tersebut. Untuk itulah GKJ Purworejo memutuskan untuk terlibat dalam masalah tersebut secara langsung dengan menolong masyarakat mempermudah mendapatkan akses kredit, namun juga disertai upaya pendampingan dan pembelajaran bersama agar pengguna kredit lebih bijaksana dalam memakai dan mengelola keuangannya. Credit Union ”Angudi Laras” dibentuk oleh GKJ-GKJ di Klasis Purworejo untuk menangani masalah ekonomi mikro jemaat lokal maupun masyarakat umum yang ingin bergabung dan terlibat di dalamnya. Credit Union ”Angudi Laras” menghimpun dana dari jemaat dan masyarakat untuk kembali dipergunakan oleh para penghimpun secara bergantian menurut skala prioritas. Kelebihan dari Credit Union ini adalah : akses permodalan yang tidak berbelit, suku bunga pinjaman yang lebih rendah namun suku bunga simpanan yang lebih tinggi dari bank milik pemerintah, adanya pendampingan dan pembelajaran kepada anggotanya secara berkala dan berkelanjutan untuk menekan sifat konsumerisme, serta menumbuhkembangkan rasa ingin menabung. Prinsip kerja Credit Union ini mengadopsi dari pendirinya, Friedrich Wilhelm Raiffeisen seorang walikota Flammersfield Jerman, yang menyatakan bahwa ” kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak si peminjamanggota .” 8 Credit Union juga sering dikaitkan dengan upaya pembelajaran yang diberikan gereja kepada jemaatmasyarakat dalam menyikapi imbas kapitalisme yang sudah lagi tidak bisa lagi dibendung. Karena di dalam Credit Union tidak hanya sekedar fungsi kredit atau pinjam meminjam saja, namun di dalamnya ada pembelajaran untuk bersikap lebih arif dalam menahan keinginan yang bersifat selalu ingin membeli konsumtif. Wahono menyatakan bahwa musuh dari Credit Union adalah “sifat dan tindak mengumbar keinginan”. Keinginan pasti tanpa batas, dan cenderung menabrak kepentingan dan kebutuhan orang lain. Keinginan akhirnya menciptakan persaingan, persaingan akhirnya menciptakan ketidakadilan, 8 Agung KN, ” Friedrich Wilhelm Raiffeisen” http:www.cubg.or.idindex.phpsejarahpelopor-dunia, diunduh 30 Januari 2014 jam 12.30 WIB 10 ketidakadilan akhirnya menciptakan pemiskinan dan pembodohan, yang pada gilirannya menjadi kondisi atas perang, kebencian, ketidakdamaian. 9

II. Gereja dan Perjuangan Keadilan Ekonomi untuk Kaum Miskin

Gereja tidak dapat dipisahkan dengan ’kaum miskin’ sebab, selama dunia ini ada, menurut Yesus Kristus, kaum miskin selalu saja ada. 10 Perhatian dan kepedulian Yesus Kristus terhadap orang miskin lebih terasa dari pada orang kaya, meskipun orang kaya juga mendapat tempat dalam perhatian Yesus Kristus seperti dalam kisah Zakheus dalam Lukas 19. Dalam Perjanjian Baru, tidak ada satu ayatpun yang membuat Yesus Kristus ingin mengubah keadaan orang miskin menjadi kaya. Namun Yesus Kristus cenderung mengajak pendengarNya untuk mengambil sikap peduli kepada kaum miskin. Ivan Illich mengatakan bentuk kepedulian ini dinyatakan dengan kata- kata ’ gereja untuk kaum miskin ’ bukan ’ gereja dari kaum miskin ’, bukan gereja yang membutuhkan kaum miskin sebagai obyek pelayanannya, namun justru gerejalah yang membutuhkan kaum miskin bila gereja ingin dekat dengan Tuhannya. 11

II.1. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi orang dimana tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi. 12 Ignasius Suharyo mengatakan bahwa miskin bukanlah sebuah cita-cita. Orang miskin adalah mereka yang mau tidak mau harus membungkuk di adapan orang yang lebih kuat, berkuasa atau orang kaya; tidak tepandang dan hidup dari belas kasihan orang lain. Orang miskin adalah orang yang dianggap rendah tidak mampu menuntut agar hak-haknya dihormati. 13 Kemiskinan menurut sosiolog dari UGM, Selo Sumardjan 1980:5, menggolongkan kemiskinan menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Kemiskinan Individual, adalah kemiskinan yang dialami seseorang oleh karena ia malas bekerja atau oleh karena ia sakit secara permanen. 9 Francis Wahono, ” Gerakan Credit Union Sebagai Perwujudan Ekonomi Kerakyatan Baru”, Makalah seminar credit union di Sinode GKJ, Salatiga, pada tanggal 11 Juli 2011. 10 Matius 6:11 Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama -sama kamu. 11 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta: BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 668. 12 J.B. Banawiratma Ed., Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 37. 13 Ibid., hal. 38. 11 2. Kemiskinan Struktural, adalah kemiskinan yang dialami seseorang karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia di sekitar mereka. 14 Menurut Widiastuti 2010:18 ketika memahami kemiskinan struktural, yang banyak dilihat adalah struktur yang ada disekitar orang miskin. Misalnya struktur perekonomian, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, perkreditan, jaminan sosial, dan sebagainya. Bahkan struktur terkecil dalam masyarakat yang juga berpeluang untuk menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural, adalah keluarga. Perilaku pengambil kebijakan dalam keluarga.

a. Kemiskinan dari Dimensi Teori Sosial

Dalam teori sosial, ada banyak definisi atau batasan tentang kemiskinan maupun pendapat beberapa ahli tentang kemiskinan ini. Kemiskinan, menurut Suryawasita dalam Banawiratma 1987:17-18 dapat dipandang dari beberapa aspek ideologi menggolongkan pandangan kemiskinan menurut 2 model, yaitu : 1. Modelkerangka berpikir Konsensus, yang terbagi menjadi - kemiskinan menurut ideologi konservatif - kemiskinan menurut ideologi liberal 2. Modelkerangka berpikir Konflik b. Kemiskinan menurut ideologi konservatif Umumnya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri. Orang miskin dinilai umumnya bodoh, malas, tidak punya motivasi berpretasi yang tinggi, tidak punya ketrampilan dan lain sebagainya. Maka kaum konservatif sering berbicara mengenai kultur dan mentalitas orang miskin yang mereka anggap sebagai sebab kemiskinan. Karena kaum konservatif selalu cenderung menilai positif struktur sosial yang sudah ada, maka orang-orang yang miskin dianggap sebagai orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan sudah disetujui oleh masyarakat. Pada umumnya, kaum konservatif tidak memandang masalah kemiskinan sebagai masalah yang serius. Kaum konservatif percaya bahwa masalah kemiskinan akan terselesaikan dengan sendirinya. Dalam jangka panjang melalui proses sosial yang naturalbakan berjalan dan akan menguntungkan semua anggota masyarakat. Oleh karena itu kaum konservatif tidak mendukung adanya campur tangan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Kaum konservatif juga menentang campur tangan pemerintah misalnya 14 Alfian, Melly G. Tan, Selo Soemardjan, Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Ilmu- ilmu Sosial, 1980, hal. 5. 12 memberi jaminan sosial bagi penganggur, bagi mereka yang berpendapatan rendah, karena hal tersebut bagi kaum konservatif menganggap hanya akan membuat orang miskin semakin malas dan justru akan mengurangi daya rangsang bagi kelompok lain.

c. Kemiskinan menurut ideologi liberal

Kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya perlu dipecahkan. Masalah kemiskinan menurut kaum liberal dapat diselesaikan dalam struktur politik, ekonomi yang sudah ada. Yang penting ialah diciptakannya kesempatan yang sama untuk berusaha bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Ada kepercayaan kuat pada kaum liberal, bahwa orang miskin pasti dapat mengatasi kemiskinan mereka asal mereka dapat kesempatan berusaha yang memadai. Untuk mengatasi kemiskinan mereka mengusulkan untuk diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan-kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan menyebarkan pendidikan. Tentang kultur orang miskin, kaum liberal mempunyai pandangan yang lebih optimistis daripada pandangan kaum konservatif. Menurut kaum liberal, untuk membebaskan kaum miskin dari kultur yang memiskinkan mereka, perlu diadakan perubahan-perubahan terhadap lingkungan dan situasi hidup mereka. Perubahan ini meliputi dihapuskannya diskriminasi dalam mencari kerja, perumahan dan pendidikan; perlu juga diciptakannya lapangan-lapangan kerja dan latihan-latihan ketrampilan dan diperbaikinya pelayanan-pelayanan lainnya. Kalau kondisi sosial dan ekonomi telah diperbaiki dan kesempatan-kesempatan baru telah terbuka bagi orang-orang miskin, maka orang miskin ini menurut kaum liberal akan siap menyesuaikan diri dengan kultur dominan dalam masyarakat dan meninggalkan kultur mereka. Baik kaum konservatif maupun kaum liberal mempertahankan struktur sosial yang sudah ada, bedanya kaum konservatif cenderung membiarkan kaum miskin bahkan menyalahkan; namun kaum liberal lebih berupaya bagaimana kaum miskin lebih memungkinkan hidup dalam struktur sosial yang sudah ada. Namun di sisi lain liberalisme juga menaruh hak dan kepentingan pribadi ekonomi manusia sebagai suatu yang harus diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenang-wenangan negara.

d. Kemiskinan dalam pandangan Model Konflik

Terkait dengan kemiskinan, pandangan teori konfik, tentang struktur sosial bukanlah hasil konsensus seluruh warga masyarakat, namun karena dominasi dari sekelompok kecil yang memerintah dan mempertahankan kepentingannya. Penganut teori konflik tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup, dan berprestasi dalam