28
Yakni bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, yang terdiri dari :
51
KUHPerdata, UU Perkawinan, Peraturan Pemerintah Pelaksana Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 207Pdt.P2005PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 459PdtP2007PN.Jkt.Tmr serta
peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan. b.
Bahan hukum sekunder. Yakni bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku dan diktat-diktat literatur tentang perdata atau perkawinan, hasil-hasil
penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen- dokumen lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.
52
c. Bahan hukum tertier.
Yakni bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain
sebagainya.
53
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian
kepustakaan yang
dilakukan dengan
pengumpulan data
melalui penelusuran
literatur kepustakaan,
peraturan perundang-undangan,
penetapan
51
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,1990, hal. 53.
52
Ibid.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
29
pengadilan, buku-buku, karya ilmiah, artikel, majalahjurnal hukum, dan sumber lainnya yang terkait yaitu dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi,
mengklasifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian guna menemukan ketentuan-ketentuan hukum yang
terkait dengan perjanjian perkawinan dan menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian, analisis data sangat diperlukan dan berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan
suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
54
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan primer, sekunder maupun
tertier, untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan
sehingga menghasilkan
klasifikasi yang
selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
55
Dalam penelitian ini dilakukan analisis data secara kualitatif, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
54
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 103.
55
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
30
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
56
Dari penelitian ini kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan
kesimpulan mulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sehingga akan diperoleh jawaban dari permasalahan yang ada.
56
Lexy J. Moleong, Op. Cit., hal. 247.
Universitas Sumatera Utara
31
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN
YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1.
Pengertian dan Hukum Perjanjian a.
Pengertian Perjanjian
Untuk memahami tentang perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu haruslah dipahami pengertian dan hukum perjanjian pada umumnya.dari perjanjian
dan dari perkawinan itu sendiri. Jika diuraikan satu persatu maka sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian didefenisikan sebagai:
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebagai “suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
57
R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu yang dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan”.
58
57
Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1992, hal. 78.
58
R. Subekti, Op. Cit., hal. 1.
31
Universitas Sumatera Utara
32
Dari pengertian perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan di
antara dua pihak yang membuatnya. Perikatan dan perjanjian merupakan suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, di mana suatu perikatan tidak
dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam fikiran kita, sedangkan perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan dapat didengar juga.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.
59
Hubungan hukum antara dua pihak yang terikat di dalam suatu perjanjian inilah yang juga terlihat dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan,
di mana adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah perkawinan mereka menjadi dasar hukum bagi suami istri tersebut untuk mematuhi isi perjanjian
perkawinan yang mereka buat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sebagai undang- undang bagi keduanya dan juga bagi pihak ketiga yang terkait di dalam perjanjian
perkawinan setelah perkawinan tersebut.
b. Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam perkembangan ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata
60
, di mana rumusan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk
59
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta: Gitama Jaya, 2005, hal. 129.
60
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
33
hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau
undang-undang”. Ketiga unsur-unsur
pokok perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
61
1. Unsur Esensialia Unsur esensialia ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat
yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta constructieve oordeel.
62
Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai
dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah conditio sine quanon dari suatu perjanjian, yaitu di mana tanpa adanya
keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi demi hukum.
Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang
mencerminkan sifat dari tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan
dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.
63
Jadi jelaslah bahwa unsur esensialia ini adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian karena tanpa unsur ini maka perjanjian yang dibuat oleh para
61
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1994, hal. 65.
62
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 24.
63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
34
pihak menjadi berbeda dan tidak sejalan dengan kehendak para pihak, sehingga unsur ini dapat dianggap sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan
perjanjian lainnya.
64
2. Unsur Naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.
65
Unsur naturalia ini berbeda dengan unsur esensialia, di mana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur
naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk
ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga
undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian sebagai optional law hak opsi atau pilihan hukum.
3. Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus
yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
66
Unsur ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para
pihak.
64
Ibid., hal. 86.
65
Ibid., hal. 88.
66
Ibid., hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
35
c. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang
mengikat bagi para pihak, oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur
dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang
berlaku bagi
para pihak,
yang dapat
dipaksakan pelaksanaan
atau pemenuhannya.
67
Asas-asas hukum perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
68
1. Asas Kebebasan Berkontrak freedom of contract Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat 1 dinyatakan bahwa: “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, yang dalam hal ini dapat diartikan bahwa setiap orang dapat
secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak ini tidak mempunyai arti tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, sehingga kebebasan berkontrak
sebagai asas diberi sifat sebagai asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak,
67
Ibid., hal. 14.
68
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media, 2004, hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
36
sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.
69
2. Asas Personalia Asas personalia ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa: “pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan
diri atas
nama sendiri
atau meminta
ditetapkannya suatu janji daripada dirinya sendiri”, dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata disebutkan bahwa : “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya”. Dari rumusan itu dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai
individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
70
Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.
3. Asas Konsensualisme consensualism Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat
tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai
hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. Perjanjian itu telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera
setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus.
69
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 45.
70
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
37
4. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi : “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang dan mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak yang terkait di dalamnya.
Di samping 4empat asas-asas umum hukum perjanjian yang disebut di atas, juga masih terdapat asas-asas lain dalam hukum perjanjian, yaitu :
71
1. Asas Itikad Baik good faith Asas itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, yaitu
: “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut.
Itikad baik ini ada bukan pada saat pelaksanaan perjanjian saja tetapi juga pada saat dibuat atau ditandatanganinya suatu perjanjian.
2. Asas Kepercayaan Asas ini mengandung arti bahwa seorang yang mengadakan perjanjian dengan
pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat
adanya kepercayaan yang melandasi perjanjian yang dibuat tersebut. 3. Asas Kekuatan Mengikat
71
Suharnoko, Op. Cit., hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
38
Kekuatan mengikat dalam perjanjian maksudnya bahwa dengan adanya asas ini maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.
4. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling
menghormati. 5. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan
melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, di mana hal ini
berarti janji yang dibuat para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi
keseimbangan hubungan
antara kepentingan
perorangan dan
kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.
6. Asas Kepatutan Asas kepatutan ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi :
“suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
Universitas Sumatera Utara
39
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dari rumusan pasal ini jelaslah bahwa perjanjian itu haruslah dilaksanakan
berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, yaitu tidak melanggar batas-batas kesusilaan atau moral.
7. Asas Kepastian Hukum Kepastian hukum disini maksudnya bahwa perjanjian itu tidak hanya
mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal-hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum ini terlihat dari
adanya kekuatan mengikat dari perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya guna menjamin adanya kepastian hukum dari
perjanjian tersebut.
d. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian baru dapat berlaku dan mengikat bagi para pihak apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Universitas Sumatera Utara
40
Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
72
1. Syarat Subyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari :
a. Kesepakatan. Kesepakatan merupakan penyesuaian kehendak antara para pihak di mana
kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya.
73
b. Kecakapan. Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan perjanjian apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan
kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331
KUHPerdata.
74
2. Syarat Obyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari :
a. Hal tertentu.
72
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 93-94.
73
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak : Perancang Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 14.
74
Lihat Pasal 1329 – 1331 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
41
Mengenai syarat suatu hal tertentu telah ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata
75
, yang pada intinya menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda
yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
76
b. Sebab yang halal. Syarat perjanjian ‘sebab yang halal’ dalam KUHPerdata dijelaskan dalam
Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337.
77
Sebab yang halal maksudnya isi dari perjanjian
tersebut tidak
boleh bertentangan
dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini karena undang-undang bersifat melindungi kepentingan
umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.
78
e. Jenis-Jenis Perjanjian
Dalam masyarakat kita dikenal berbagai macam bentuk atau jenis perjanjian. Jenis-jenis perjanjian itu dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:
79
1 Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak. Misalnya: perjanjian jual beli. 2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
75
Lihat Pasal 1333 KUHPerdata.
76
R.M. Suryodiningrat, Asas-Asas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1982, hal. 18.
77
Lihat Pasal 1335-1337 KUHPerdata.
78
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal. 74.
79
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal.19-22.
Universitas Sumatera Utara
42
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.
3. Perjanjian bernama benoemd, specified dan perjanjian tidak bernama onbenoemd, unspecified
Perjanjian bernama khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari- hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII
KUHPerdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di
masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang
berlaku di dalam hukum perjanjian. Misalnya: Perjanjian sewa beli. 4. Perjanjian campuran Contractus sui generis
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya: pemilik hotel yang menyewakan kamar sewa menyewa,
tetapi juga menyajikan makanan jual beli dan juga memberikan pelayanan. 5. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Disebut
perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban obligatoir kepada para pihak untuk melakukan penyerahan levering.
Universitas Sumatera Utara
43
6. Perjanjian kebendaan zakelijke overeenkomst Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkandiserahkan
transfer of title kepada pihak lain. 7. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang kwijtschelding, Pasal
1438 KUHPerdata. b. Perjanjian pembuktian bewijsovereenkomst, yaitu perjanjian antara para
pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c. Perjanjian untung-untungan. Misalnya: perjanjian asuransi, Pasal 1774
KUHPerdata. d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum
publik karena
salah satu
bertindak sebagai
penguasa pemerintahan. Misalnya: perjanjian ikatan dinas.
2. Pengertian dan Hukum Perkawinan