digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 43
masih tercabik-cabik.
24
Jadi, dapat dikatakan bahwa filsafat lingkungan memiliki pola pemikiran yang mendalam tanpa membeda-bedakan antara
makhluk boitis dan abiotis didalam alam semseta ini.
2. Ecosophy sebagai Ekosentrisme
Dalam teorinya, pola hubungan etika manusia dengan makhluk- makhluk Tuhan yang lain alam terbagi menjadi tiga, yaitu Antroposentrisme
Shallow Environmental Ethics, Biosentrisme Intermediate Environmental Ethics dan Ekosentrisme Deep Environmental Ethics.
25
Antroposentrisme merupakan salah satu etika yang memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan paling menentukan
dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya. Makhluk lain hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia. Oleh karena
itu, alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
26
Dengan kata lain konsep antroposentrisme adalah manusia merdeka dan menjadi pusat dari segala sesuatu.
27
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Kewajiban dan tanggung jawab moral hanya ditunaikan sesama manusia. Pola hubungan
sangat instrumental, alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kepedulian manusia terhadap alam, semata-mata dilakukan demi menjamin
kebutuhan manusia. Sesuatu akan dinilai baik apabila mempunyai dampak
24
Eko Nurmardiansyah, “ Eco-Philosophy dan Implikasinya dalam Politik Hukum
Lingkungan”, Melintas, Vol. 30, No. 1, 2014, 81.
25
Subair, “Agama dan Etika Lingkungan Hidup”, Tasamuh, Vol. 4, No. 1, Juni 2012, 33.
26
Imam, “Teologi Lingkungan dalam Perspektif Seyyed Hossein Nasr” Skripsi, Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga,
2013. 5.
27
Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme”, Kalam, Vol. 8, No. 1, Juni,
2014, 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 44
yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Hubungan manusia dan alam tersebut bersifat egoistis bertepuk sebelah tangan, karena hanya
mengutamakan kepentingan salah satu pihak, yaitu manusia. Sedangkan kepentingan makhluk lainnya
—alam semesta dan makluk hidup lainnya— tidak menjadi pertimbangan moral.
28
Oleh karena itu, tidak salah jika antroposentrisme dikatakan sebagai polah hubungan yang dangkal terhadap
kepentingan makhluk lainnya. Pola hubungan kedua adalah biosentrisme, yang mana dalam pola ini
mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun pada makluk hidup lainnya. Moral dimiliki pada setiap kehidupan yang ada di
muka bumi ini dan itu sifatnya sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan
yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makluk hidup. Alam semesta bernilai moral dan harus diperlakukan secara moral, karena telah memberi
begitu banyak kehidupan.
29
Oleh karena itu, Biosentrisme dapat dikatakan lebih toleran menengah dari etika sebelumnya, karena biosentrisme
memusatkan pada makhluk biologis pada kehidupan seluruhnya tanpa memperhatikan makhluk yang mati.
Pola hubungan yang ketiga ialah ekosentrisme. Ekosentrime ini merupakan paham yang menolak antroposentrime dan merupakan kelanjutan
dari biosentrisme. Ekosentrisme menyampaikan bahwa makhluk biotis dan
28
Sutoyo, “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup” , ADIL : Jurnal Hukum, Vol. 4,
No.1, T.th, 196.
29
Sutoyo, “Paradigma PerlindunganLingkungan Hidup”. ADIL : Jurnal Hukum, Vol. 4,
No.1, 202.