Ecosophy sebagai Ekosentrisme Ecosophy

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 44 yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Hubungan manusia dan alam tersebut bersifat egoistis bertepuk sebelah tangan, karena hanya mengutamakan kepentingan salah satu pihak, yaitu manusia. Sedangkan kepentingan makhluk lainnya —alam semesta dan makluk hidup lainnya— tidak menjadi pertimbangan moral. 28 Oleh karena itu, tidak salah jika antroposentrisme dikatakan sebagai polah hubungan yang dangkal terhadap kepentingan makhluk lainnya. Pola hubungan kedua adalah biosentrisme, yang mana dalam pola ini mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun pada makluk hidup lainnya. Moral dimiliki pada setiap kehidupan yang ada di muka bumi ini dan itu sifatnya sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makluk hidup. Alam semesta bernilai moral dan harus diperlakukan secara moral, karena telah memberi begitu banyak kehidupan. 29 Oleh karena itu, Biosentrisme dapat dikatakan lebih toleran menengah dari etika sebelumnya, karena biosentrisme memusatkan pada makhluk biologis pada kehidupan seluruhnya tanpa memperhatikan makhluk yang mati. Pola hubungan yang ketiga ialah ekosentrisme. Ekosentrime ini merupakan paham yang menolak antroposentrime dan merupakan kelanjutan dari biosentrisme. Ekosentrisme menyampaikan bahwa makhluk biotis dan 28 Sutoyo, “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup” , ADIL : Jurnal Hukum, Vol. 4, No.1, T.th, 196. 29 Sutoyo, “Paradigma PerlindunganLingkungan Hidup”. ADIL : Jurnal Hukum, Vol. 4, No.1, 202. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 45 abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup biotis, tetapi juga berlaku terhadap semua komunitas ekologi. 30 Ecosophy sebagai nama lain dari deep ecology juga dapat dikatakan sebagai salah satu versi dari ekosentrisme yang sekarang ini populer. 31 Dikatakan demikian karena ada prinsip-prinsip yang sama diantara ecosophy dan ekosentrisme. Prinsip-prinsip tersebut diaantaranya pertama, manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang memiliki nilai dan kepentingan, melainkan makhluk lainnya juga demikian. Kedua, semua makhluk di bumi ini memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang paling penting dan kurang penting. Selain itu, dalam hubungannya antara Tuhan, alam, dan manusia perlu adanya keharmonisan.

3. Ecosophy sebagai Ekosufisme

Ecosophy juga bisa dikatakan sebagai ekosufisme, dikatakan demikian karena didalam ecosophy terdapat perpaduan antara aspek spiritualitas agama dengan lingkungan eco-spirituality, manusia bagian dari alam dan alam adalah suci dan sakral. Ekosufisme juga memilki pengertian sufisme berbasis ekologi, artinya kesadaran spiritual yang diperoleh dengan cara memaknai interaksi antar sistem wujud terutama pada lingkungan sekitar. 32 Adapun pokok ajaran ekosufisme ada dua, yaitu Pertama, kesadaran lingkungan save it, study it, and use it adalah bagian tidak terpisahkan dari kesadaran spiritual spiritual consciousness. Mencintai sesuatu yang menjadi milik Tuhan 30 Sutoyo, “Paradigma Perlindungan, 202. 31 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, 76. 32 Eko Nurmardiansyah, “ Eco-Philosophy, 91. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 46 merupakan bagian dari mencintai Tuhan. Kedua, pada tataran implementasi atau gerakan mengupayakan adanya proses transformasi dari spiritual consciousness menuju ecological consciousness. Tujuannya adalah keserasian semesta harmony in natura dan keserasian kesesuaian, tawfiq antara pelaku sufi dengan Tuhan. Kemudian jika diejawantakan akan membuahkan cinta antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. 33 33 Ibid., 91-92.