36
B. Temanggung Menjelang Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda I, berakhir dengan diadakannya perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Meskipun Temanggung tidak menjadi
medan tempur tetapi dampak dari Agresi Militer Belanda I ini juga dirasakan di Temanggung.
1. Keadaan sosial dan ekonomi
Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda semakin ketat sejak 1947, membuat persediaan logistik di daerah republik semakin
menipis. Mutu pelayanan umum ikut merosot. Pukulan terberat adalah hilangnya daerah-daerah yang paling makmur, serta diikuti dengan
pemotongan jalur-jalur komunikasi dan lalu lintas barang Husni, 2008: 199. Dalam keadaan serba keterbatasan, Temanggung harus ikut
menampung pasukan dari daerah lain yang hijrah akibat perjanjian Renville. Dalam masa hijrah, banyak kesatuan dari luar daerah memasuki
kota Temanggung, antara lain: a.
ALRI Tegal pimpinan Mayor Ali Sadikin berkekuatan 3 batalyon, b.
MBPT Jawa Barat pimpinan Mayor Sakri Soenarto berkekuatan 1 batalyon
c. Siliwangi Jawa Barat pimpinan Nasuhi berkekuatan 1 batalyon
d. ALRI Kendal pimpinan Mayor Machmud berkekuatan 1 batalyon
Di Temanggung ternyata terdapat satu kelompok masyarakat yang mempersiapkan diri untuk menyiapkan kedatangan Belanda bernama
Commite Van Ontyangt
C.V.O yang dipimpin oleh Cheng Tien Tio. Berkat
37 laporan masyarakat, polisi akhirnya membongkar jaringan mereka, dan
menemukan bukti-bukti bendera Merah-Putih-Biru dalam ukuran besar dan selempang dengan warna yang sama. Perkara ini akhirnya diajukan ke
Pengadilan Negeri Temanggung yang segera melakukan penahanan terhadapat kelompok C.V.O
Februari 1948, kepolisian RI di Temanggung dipimpin oleh Inspektur Polisi R.M. Sutoro Tedjokusumo, bersama pasukannya
melakukan tugas-tugas antara lain meningkatkan keamanan dan ketertiban umum. Disamping itu polisi juga melakukan pengamana ekonomi dengan
membongkar jaringan pembuat dan pengedar uang ORI palsu, saat itu juga berhasil disita barang-barang pokok kebutuhan hidup yang ditimbun para
spekulan, antara lain berupa beras, kopi, gula pasir, dan sebagainya. Tugas lain yang dilakukan polisi adalah mengatur dan melaksanakan tugas-tugas
keamanan di garis demarkasi atau garis
status quo
, sebagai akibat ditandatangainya perjanjian Renville. Garis demarkasi untuk daerah
kabupaten Temanggung, membentang di perbatasan utara dan menyusuri kecamatan Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Jumo, dan Candiroto Bekti,
2012:43-44. Temanggung juga mengalami gejolak karena pemberontakan oleh
PKI. Sehari setelah pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso dengan Front Demokrasi Rakyat FDR-nya, yang dilakukan pada 18 September
1948, pada 19 September 1948 di Parakan diadakan upacara sumpah setia kepada RI terhadap Batalyon Machmud. Machmud yang berpangkat
38 sebagai Mayor dikenal sebagai personil ALRI yang proPKI. Tetapi pada
pukul 04.00 WIB 20 September 1948, batalyon Machmud melakukan pemberontakan dan berhasil menguasai Parakan. Sejumlah tokoh sipil dan
militer kurang lebih 60 orang ditangkap dan ditahan di Muntung, antara lain: Pembantu Inspektur Polisi II Rame Nitisoedarmo, Kusno, Kaolan
Camat Tretep, Komandan Distrik Militer Mayor Salmun, Mayor Sukri, Kapten Sumantri, dan Letnan Suwadji. Sehari kemudian mereka berhasil
meloloskan diri dan kembali ke Temanggung, namun nasib buruk menimpa Kapten Sumantri dan Letnan Suwadji yang tertangkap di Jumo
dan dibunuh. Segera dilakukan operasi penumpasan yang terdiri dari gabungan TNI dan Polisi dipimpin Mayor Panuju. Pada 27 September
1948, Parakan berhasil direbut kembali. Mayor Machmud ditangkap, sisa pasukannya melarikan diri dan sebagian berhasil ditumpas, sebagian lagi
melarikan diri ke Sukorejo yang merupakan daerah
status quo
dan meminta perlindungan Belanda.
2. Keadaan Militer dan Politik
Akibat agresi Kolonial Belanda I pada 21 Juli 1947, markas DIV.IIIPangeran Diponegoro pindah dari Yogyakarta ke Magelang. Pada
saat itu sebutan Tentara Republik Indonesia TRI secara resmi diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia TNI, yang kemudian setelah
mencapai persetujuan Linggarjati dilaksanakan program Re-Ra. Dengan adanya Program Re-Ra maka DIV. IIIPangeran Diponegoro menjadi
Divisi ITNI dengan wilayah seluruh Jawa Tengah di bawah pimpinan
39 Kol. Bambang Sugeng Dinas Sejarah Milliter KODAM VII Diponegoro,
1978:1. Untuk menghadapi segala kemungkinan, utamanya untuk
menghadapi agresi militer II Belanda, Panglima Besar Angkatan Perang RI menyiapkan Panglima Tentara Teritorium Jawa PTTD dan Panglima
Tentara Teritorium Sumatra PTTS, masing-masing sebagai panglima pertempuran di Jawa dan Sumatra. PTTD dalam kegiatannya biasa
menggunakan istilah Panglima Komando Jawa, bermarkas pada Markas Besar Komando Jawa MBKD. Panglima komando Jawa adalah Kolonel
A.H. Nasution, dibawah kendali Panglima Besar Sudirman sebagai KSAP. MBKD yang mengemban tugas pokok mengadakan konsolidasi dan
mengatur siasat untuk menghadapi agresi Belanda yang akan datang sewaktu-waktu, membawahi 4 divisi dan 3 daerah militer istimewa, yaitu:
a. Divisi IJawa Timur
b. Divisi IIJawa Tengah bagian timur
c. Divisi IIIJawa Tengah bagian barat
d. Divisi IVSiliwangi
Tiga daerah militer istimewa tersebut adalah: a.
Daerah militer istimewa pertama, meliputi daerah Surabaya, Malang, dan Kediri.
b. Daerah militer istimewa kedua, meliputi daerah Solo, Semarang, Pati,
Bojonegoro dan Madiun
40 c.
Daerah militer istimewa ketiga, meliputi daerah Kedu, Banyumas, Pekalongan, dan Yogyakarta.
Dalam menjalanankan tugas dan tanggung jawab masing-masing panglima divisi merangkap sebagai Gubernur Militer. Kolonel Bambang
Sugeng sesuai instruksi panglima MBKD tanggal 28 Desember 1948 diangkat menjadi Panglima Divisi IIIJawa Tengah bagian barat dan
Djogjakarta; divisi III pimpinan Kolonel Bambang Sugeng ini terdiri dari 3 brigade dan 4 subtertitorium Edi Hartoto, 2009:54-56.
41 Struktur Organisasi Divisi III Jateng dan Yogyakarta
Penetapan Presiden No. 14 tahun 1948 dan instr. Plm. M.B.K.DMobil48 tgl 25 Desember 1948
Sumber : Sirnaning Jakso Katon Gapuraning Ratu I Sejarah TNI AD KODAM XVII Diponegoro
Menghadapi kemungkinan agresi Kolonial Belanda, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah Siasat No.1
tanggal 9 November 1948 agar masing-masing Devisi menyusun baris-
GM IIIDivisi III Gub. Militer Kol.
Bambang Sugeng
STC Kedu Let. Kol.
Sarbini STC Pekalongan
Mayor Brotosewojo
Batalyon IV Mayor
Soedarmo Batalyon III
Mayor Darjatmo
Batalyon II Mayor
Soedjono Batalyon I
Mayor Sardjono
Brigade III Let. Kol.
Soeharto Brigade II
Let. Kol. Pranoto
Mayor A. Yani Batalyon I
Mayor A. Yani Mayor
Sroehardojo
Batalyon III Mayor
Bintoro
Batalyon IV Mayor
Panudju Batalyon II
Mayor Soerjosoempeno
Batalyon IV Kapten
Wongsoatmodjo Batalyon III
Mayor Soerono
Batalyon II Mayor
Brotosiswojo Batalyon I
Mayor Hartojo
Brigade I Let. Kol.
M. Bachroen STC Banyumas
Mayor Kun Kamdani
STC Jogjakarta Let Kol Seloali
Let. Kol. Soehoedi
42 baris gerilya di daerah pedalaman. Sehubungan dengan perintah Siasat
tersebut, panglima Divisi IIIGM III menentukan daerah Gunung Sumbing sebagai
terugval-basis
gerilya DIV IIIGM III dalam masa perang kemerdekaan II.
Dalam rangka melancarkan perang gerilya, dari markasnya yang baru di daerah Prambanan Panglima MBKD mengeluarkan instruksi
nomor :1MBKD1948 tanggal 25 Maret 1948 dan instruksi no: 3MBKD1948 tanggal 31 Desember 1948 tentang pembentukkan
pemerintah militer di seluruh Jawa dan menyusun perlawanan dalam bentuk
Wehrkreise
WK, yang kemudian terbagi dalam sub.
Wehrkreise
SWK, sektor dan sub sektor Dinas Sejarah Militer KODAM VIIDiponegoro, 1978:2. Temanggung masuk ke dalam
Wehrkreise
II yang meliputi Kedu minus Wonosobo dan Kendal, dipimpin oleh Letkol
Sarbini yang kemudian diganti oleh Letkol Achmad Yani. Wilayah
Wehrkreise
II ini dibagi menjadi beberapa sub
Wehrkreise
SWK, Temanggung masuk dalam SWK 296 di bawah pimpinan Mayor Bintoro
yang menguasai distrik Candiroto, Parakan, dan Temanggung. Pasukan Bintoro merupakan pasukan mobil yang sering keluar masuk daerah
Temanggung untuk melakukan operasi militer. Untuk memperlancar tugas-tugas
menghadapi kemungkinan
kembalinya Belanda
di Temanggung, pasukan membentuk Komando Daerah Militer KDM yang
dipimpin oleh Mayor Salmun Bekti, 2012:39.
43 Selain TNI, Tentara Pelajar Temanggung yang berdiri pada
tanggal 1 Oktober 1947 setelah adanya reorganisasi satuan Tentara Pelajar batalyon 300 resimen B, satuannya bernama Seksi 363 Komandan Sutarto.
Satuan ini bermarkas di sekretariat IPI di kampung Brojolan Temanggung dan dipimpin oleh Soemardjono. Dengan susunan seksi 365 Batlyon 300
TP TMG sebagai berikut: Komandan Seksi
: Soetarto Wakil Komandan seksi : Ir. Soetopo
Kepala Staff : Abdoel Madjid
Bagian Pertahanan : S. Hadly
Bagian Keuangan : St. MadiyoTjipto Darsono
Bagian Sekretariat : B. HartadiSoedradjat
Bagian Perlengkapan : Wahidi
Bagian Persenjataan : Tamat
Bagian Kesehatan : GoenawanSiswardjo
Bagian Konsumsi : SoepronoSoebagjo
Dalam perkembangannya, satuan-satuan Tentara Pelajar tidak luput dari kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Para Tentara
Pelajar kemudian digabung dalam satu-satuan brigade dan masuk dalam Brigade 17 yang dibagi menjadi 5 lima Detasemen. Tentara Pelajar
Temanggung masuk dalam Detasemen III di bawah Martono, yang terbagi menjadi 4 seksi dan Temanggung berada dibawah kompi Sutarto Husni,
2008:161-166.
44 3.
Persiapan Melawan Agresi Militer Belanda II Agresi militer yang akan dilancarkan Belanda secara strategis
tidak lagi merupakan pendadakan bagi RI, apalagi setelah segala upaya diplomatik tidak berhasil. Hanya saja secara taktis operasinalnya kapan
serangan dilancarkan belum dapat diketahui secara tepat. Sejak November 1948, angkatan perang RI telah meningkatkan kesiagaannya untuk
mempertahankan negara dan kemerdekaa Republik Indonesia. Pelaksanaan Re-Ra Angkatan Perang RI, yang tertunda karena pemberontakan PKI,
dilanjutkan kembali dengan menyusun dan mempersiapkan kekuatan militer untuk menghadapi agresi Belanda yang berada diambang pintu
Himawan, 2006:264. Pada setiap operasi militer, secara normative dilakukan persiapan
maupun pelaksanaan dalam beberapa tahap, antara lain: a.
Mengembangkan secara operasi b.
Melakukan persiapan untuk memungkinkan perintah-perintah operasi dapat dilaksanakan.
c. Menempati posisi awal operasi
d. Melaksanakan operasi
e. Melakukan konsolidasi.
Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman memerintahkan untuk meningkatkan upaya persiapan-persiapan perang pada awal November
1948. Kepada para panglima divisi diinstruksikan untuk meningkatkan kewaspadaan, sebab setiap saat Angkatan Perang Belanda dapat
45 melancarkan gerak ofensifnya terhadap Republik Indonesia Himawan,
2006:265. Pada November 1948, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa
Kolonel A. H. Nasution, ketika masih menjabat Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang SOMBAP, pada Juni 1948 telah
menyusun konsep pertahanan rakyat semesta yang sekaligus merupakan konsep strategi militer Republik Indonesia. Rencana operasi tersebut
dirumuskan dalam Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar. Adapun pokok isi Perintah Siasat No. 1 adalah:
a. Tidak akan menerapkan pertahanan
linier
b. Memperlambat kemajuan serbuan musuh dan pengungsian total
semua pegawai serta bumi hangus total c.
Membentuk kantong-kantong di setiap
onderdistrik
militer yang mempunyai pemerintah gerilya
wehrkreise
yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan.
d. Melakukan aksi
Wingate
penyusupan kembali ke daerah asalnya, bagi pasukan-pasukan dari daerah federal, dan membentuk kantong-
kantong, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya besar.
Menghadapi ancaman agresi Belanda yang semakin jelas pada Oktober-November 1948, Jenderal Sudirman melakukan penyempurnaan
pada Perintah Siasat No. 1 dalam bentuk Instruksi Panglima Besar Angkatan Perang yang dikeluarkan tanggal 9 November 1948. Instruksi
46 tersebut disahkan oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah no. 30
dan 701948. Instruksi panglima besar itu dijelaskan kepada para panglima, gubernur, dan residen yang dipanggil ke Markas Besar
Komando Jawa di Yogyakarta pada 11 November 1948, dengan penekanan pada cara menghadapi dan melawan Agresi Belanda. Lebih
lanjut, pada pertengahan bulan itu juga, Panglima Komando Jawa Kolonel A. H. Nasution di depan forum yang lebih luas, dihadiri seksi luar negeri
dan seksi dalam negeri BPKNIP dalam sidang gabungan, mengemukakan pokok-pokok rencana pertahanan untuk menghadapi agresi militer
Belanda. Pokok-pokok rencana itu adalah sebagai berikut: a.
Tidak dapat dipertahankan kota-kota dan jalan-jalan besar, yang akan dikuasai musuh dalam beberapa minggu.
b. Perlu pengungsian total, penyebaran penempatan tenaga-tenaga ke
distrik-distrik untuk mengadakan kantong-kantong perlawanan gerilya secara luas dan lama.
c. Pokok-pokok perlawanan RI adalah perang gerilya.
d. Akibat dari peristiwa Madiun, TNI pada bulan November itu masih
terpencar-pencar, tidak berada pada tempat-tempat yang sebenarnya, sehingga memerlukan waktu untuk penggelaran persiapan perang
Himawan, 2006:266-267. Angkatan Perang RI melakukan persiapan-persiapan untuk
menghadapi agresi secara sungguh-sungguh sejak awal November, ditingkatkan dengan Kolonel A. H. Nasution menyampaikan perintah
47 kepada para panglima divisi untuk memasuki tahap ketiga persiapan
operasi. Tahap ini adalah memulai menggerakkan pasukan pada gelar posisi awal operasi, melakukan persiapan pembumihangusan proyek-
proyek vital secara intensif, dan persiapan pengunduran ke kantong- kantong perlawanan
wehrkreise
untuk peralihan ke perlawanan gerilya, dan lain-lain Himawan, 2006:268-269.
4. Agresi Militer Belanda II
Perang kemerdekaan kedua adalah perang akibat agresi Militer Belanda kedua atau disebut pula
class
II, yaitu serangan besar-besaran militer Belanda setelah perjanjian Renville tidak dipatuhi dan dilanggar
oleh Belanda,
dengan maksud
menghancurkan Negara
RI Susanto,1985:62.
Dipandang dari
kacamata Belanda,
tindakan penyerangan terhadap RI itu dinamakan Aksi Polisionil
Actie Politioneel,
yaitu aksi untuk menertibkan kekacauan yang terjadi di suatu wilyah yang menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Indonesia berpendapat, bahwa
peristiwa tersebut dinamakan Aksi Militer karena menyerang suatu negara yang telah diakui Tri Wahyono, 2011:9.
19 Desember 1948, pasukan Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran ke daerah republik. Kota Yogyakarta sebagai ibukota
negara berhasil diduduki tentara Belanda, setelah berhasil melakukan agresi ini, Belanda meneruskan penyerbuan ke daerah RI yang belum
didudukinya.
48 Jenderal Spoor memperhitungkan, bila Yogyakarta sebagai
sumber semangat perjuangan dan pusat perlawanan RI telah diduduki dan pimpinan-pimpinan politik dan militernya ditangkap, perlawanan akan
berhenti secara menyeluruh, dan untuk itu Jenderal Spoor akan tetap melancarkan strategi ujung tombaknya. Yogyakarta dianggapnya sebagai
sentra gravita centre of gravity
Republik Indonesia. Apabila
sentra gravita
diduduki, berakhirlah keberadaan Republik Indonesia Himawan, 2006:281.
Panglima besar Jenderal Sudirman sebelum meninggalakan istana sempat mengeluarkan Perintah Kilat No. 1, yang menginstruksikan
segenap jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi yang telah ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah
Siasat Nomor 1 Panglima Besar. Perintah Kilat No. 1 Panglima Besar berbunyi:
1. Kita telah diserang
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda
menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. 3.
Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah
ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di : Tempat
Tanggal : 19 Desember 1948 Jam : 08.00
dto Panglima Besar Angkatan Perang
Letnan Jenderal Sudirman ket.: dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman...
—tulisan Letjen Purn Cokropranolo
—halaman 125, dinyatakan bahwa perintah kilat tersebut ditulis tangan sendiri oleh Pak Dirman dalam
secarik kertas yang terlihat samar-samar, tetapi dapat dibaca dengan
49 jelas oleh Kapten Supardjo, ajudan Pak Dirman saat itu. Kemudian,
teks perintah tersebut diberikan kepada Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking, agar ia segera meneruskannya lewat telepon ke RRI
Yogya dan meminta agar teks tersebut disiarkan secepat mungkin Himawan, 2006:292.
Sekalipun Belanda berhasil menawan pimpinan pemerintahan RI dengan pendudukan Yogyakarta, Belanda tidak berhasil menawan
pimpinan utama Angkatan Perang RI, Panglima Besar Sudirman. Maka, Belanda dengan berbagai cara mengumumkan bahwa Jenderal Sudirman
telah dapat ditawan. Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel mengumumkan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak diakui lagi. RI dinyatakan
sebagai
staatkundig organisatie
organisasi kenegaraan yang telah dihapus dari muka bumi
. Perlawanan TNI, yang disebutnya ―pengacauan gerombolan-
gerombolan pemberontak‖, selanjutnya akan sia-sia saja dan akan mengundang kehancurannya sendiri. Tentara Kerajaan Belanda telah
siap dengan segala keunggulannya untuk menghancurkan gerombolan- gerombolan tersebut.
Tetapi kenyataannya panglima besar telah berhasil keluar kota Yogyakarta, walaupun sedang sakit keras, untuk memimpin perang rakyat.
Perintah Kilat No. 1Panglima Besar B D1948 telah dikumandangkan dan segera saja seluruh jajaran TNI melaksanakan rencana-rencana yang
telah ditentukan, yang dituangkan dalam Perintah Siasat No. 1 atau Instruksi Panglima Besar pada awal November 1948 dan disahkan melalui
Peraturan Pemerintah No. 33 dan No. 70 tahun 1948 Himawan, 2006:299.
50 Yogyakarta telah diduduki Belanda pada tanggal 19 Desember
1948. Serangan mendadak yang dilancarkan dengan mengerahkan kekuatan tempur yang besar membuahkan hasil. Sungguh suatu
kemenangan strategis bagi Belanda. Ibu Kota Republik Indonesia, yang dinilai Belanda sebagai sumber segala malapetaka atau su
mber ―api revolusi‖, telah dapat direbut. Pemimpin negara dan sebagian kabinet RI
berhasil ditawan. Dr. Beel yang ditetapkan Kerajaan Belanda sebagai Wakil Tinggi Mahkota WTM, tetapi tidak diakui oleh Republik
Indonesia, menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta dunia
weggevaagd van de wereldkaart
. Dengan ditawannya pimpinan pemerintah RI ditambah kemampuan propagandanya, Belanda
memperhitungkan bahwa TNI dan rakyat akan mengalami demoralisasi dan disorganisasi sedemikian rupa, sehingga mematahkan semangat untuk
melanjutkan perang gerilya melawan Belanda. Dalam strategi militernya, Belanda menyerang Yogyakarta dengan kekuatan militer yang besar untuk
memastikan hancurnya TNI dalam satu pertempuran menentukan. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, kesatuan-kesatuan TNI di
Yogyakarta tidak melakukan perlawanan gigih dan tidak mempersiapkan pertahanan mati-matian. Dalam mempertahankan Yogyakarta TNI
menghindari serangan penghancuran Belanda itu. Di dalam strategi militer yang telah digariskan Perintah Siasat No. 1 tidak ada rencana untuk
menghadapi serangan Belanda secara mati-matian, sebab sudah diperhitungkan bahwa keunggulan taktis dan teknis militer Belanda,
51 seperti pada agresi militer pertamanya, akan sangat menentukan dalam
perang
konvensional
. Bila dilakukan pertahanan
konvensional
secara mati- matian, bantuan logistik yang besar akan diperlukan, terutama peluru dan
mesiu, untuk bertahan secara efektif. Karena itu, sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Perintah Siasat No. 1, titik berat perlawanan diletakkan
pada perang wilayah dengan aksi-aksi gerilya. Untuk menghadapi serangan, rencananya perlawanan akan diberikan sekedarnya oleh pasukan
yang khusus ditugaskan untuk melakukan penghambatan. Hal itu bertujuan memenangkan waktu dan ruang untuk memberikan kesempatan pada
kesatuan-kesatuan besar
TNI dan
aparat pemerintahan
untuk mengundurkan diri ke daerah-daerah yang telah dipersiapkan sebagai
pangkalan perlawanan gerilya Himawan, 2006:301-302. Di kota-kota lain yang berhasil diduduki Belanda, dan
disepanjang garis komunikasinya, TNI dan pasukan pejuang RI lainnya dengan semangat dan tekad yang tinggi melancarkan serangan gerilya
terhadap pos, patroli, dan iring-iringan logistik, dan menyabotase jalan- jalan perhubungan. Selain itu, TNI mereorganisasi satuan-satuan
tempurnya di pangkal-pangkal perlawanan yang telah disiapkan, menggelar kekuatannya, dan kemudian mengobarkan perang yang
sesungguhnya, perlawanan gerilya, di daerah-daerah yang seluas mungkin Himawan, 2006:309.
Aparatur pemerintahan Republik Indonesia banyak yang ikut dengan pasukan TNI yang mundur atau yang melakukan
infiltrasi
,
52 sehingga mempermudah TNI membangun sistem pertahanan
wehrkreise
. Sebaliknya, hal itu mempersulit Belanda untuk melakukan konsolidasi
untuk menegakkan kekuasaannya, dan membangun kembali pemerintahan di daerah-daerah yang telah didudukinya Himawan, 2006:310.
C. Masa Awal Pendudukan Belanda