33
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Temanggung
1. Kondisi Geografis Temanggung
Temanggung merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Kendal di
utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, dan Kabupaten Wonosobo di barat. Kabupaten Temanggung dahulu terdiri dari
12 kecamatan, dan sekarang terdiri dari 20 kecamatan data 2009, dengan luas wilayah 870,25 km². Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar
merupakan dataran dengan ketinggian 500-1450 m dpl. Kabupaten Temanggung terletak 110°
23’ – 110°46’30‖ BT dan 7°
14’ – 7°32’ 35‖ LS BPPD dan BPS Kab. Temanggung, 2009:3-4. Kabupaten Temanggung pada umumnya merupakan daerah bersuhu udara
rendah, suhu udara berkisar antara 20°C – 23°C. Temanggung memiliki
hawa dingin terutama di Kecamatan Tretep, Kecamatan Bulu lereng Gunung Sumbing, Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta
Kecamatan Candiroto. Kota berpenduduk 709.343 jiwa data 2009, sebagian besar
wilayahnya merupakan dataran tinggi dan pegunungan, termasuk bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Dieng. Di perbatasan dengan Kabupaten
Wonosobo terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain
34 Gunung Sindoro dan Sumbing, di Temanggung juga terdapat Gunung
Prahu dan Butak serta beberapa perbukitan yang dipergunakan sebagai lahan pertanian penduduk. Di bagian utara terdapat deretan perbukitan
yang berujung pada Gunung Ungaran, yang menjadi garis batas dengan Kabupaten Kendal dan Semarang.
Temanggung memiliki empat buah sungai yang besar yaitu Wringin, Sungai Lutut, Sungai Elo dan Sungai Progo. Pola persebaran
curah hujan yang tinggi di Temanggung mengakibatkan daerah bagian selatan relatif lebih basah dibandingkan daerah bagian utara. Potensi air
mengalir melalui Kali Progo yang bermata air di Jumprit, Ngadirejo yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Kali Progo memiliki banyak anak
sungai dari Gunung Sindoro maupun Gunung Sumbing yang kemudian dialirkan ke laut selatan Asiatno, 1997:26.
2. Sejarah Singkat Temanggung
Sesuai dengan yang tercatat dalam
Binnenland Bestuur,
Departemen Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda,
besluit
kelahiran Kabupaten
Regentschap
Temanggung yaitu 10 November 1834. Tanggal 10 November sekarang diperingati sebagai kelahiran Temanggung.
Kabupaten Temanggung menjadi kabupaten kedua di Karesidenan Kedu setelah sebelumnya muncul Kabupaten Magelang pada tahun 1818. Seperti
kota-kota lain di pedalaman Jawa, Temanggung tumbuh menjadi daerah agraris yang damai. Meski pemerintahan kolonial berlangsung secara
35 diskriminatif, masyarakat Temanggung menerima apa adanya. Tidak ada
pergolakan politik yang serius sampai dengan akhir abad XX. Sebelum Temanggung berdiri, pemerintah Hindia Belanda
membentuk Kabupaten Menoreh sebagai bagian dari Karesidenan Kedu. Dengan Bupati pertama yaitu Bupati Raden Tumenggung RT Ario
Soemodilogo. Tugas pertama RT Ario Soemodilogo ialah membantu misi militer menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Meski bergelar
Bupati Menoreh, RT Ario Soemodilogo tidak mungkin berkantor di Menoreh, tempat yang menjadi markas besar kekuatan inti pasukan
Diponegoro. Maka, RT Ario Soemodilogo ditempatkan di Parakan sebagai Ibu Kota Menoreh. RT Ario Soemodilogo meninggal karena serangan
laskar Diponegoro, dan kedudukan RT Ario Soemodilogo digantikan R. Ngabehi Djojonegoro. Setelah menerima
besluit
pengangkatan 7 April 1926, Djojonegoro berinisiatif memindahkan ibukota kabupaten ke
Temanggung. Selain meminta persetujuan pindah kantor RT Djojonegoro juga mengusulkan pergantian nama kabupaten. Dengan dua alasan yang
diajukan. Pertama, seusai perang, secara resmi Distrik Menoreh masuk ke Kabupaten Magelang. Dengan begitu, nama Menoreh sudah tidak relevan
lagi. Kedua, dalam pandangan masyarakat Jawa,
dalem
bupati di Parakan yang pernah diobrak-abrik musuh pasukan Diponegoro itu telah ternoda.
Permohonan itu di setujui hingga turunlah
besluit
tanggal 10 November 1943 yang melahirkan
Regentschap Temanggoeng
Husni, 2008:10-12.
36
B. Temanggung Menjelang Agresi Militer Belanda II