62
D. Perang Gerilya
Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar untuk semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan Belanda, maka tidak akan dilakukan pertahanan linier dengan pertimbangan bahwa dengan perang konvensional tidak akan berhasil
mengalahkan Belanda. Keunggulan Belanda dalam persenjataan harus dihadapi dengan perang gerilya yang inovatif. Tujuan dari perang gerilya
adalah melelahkan, mengacaukan, dan mengikis kekuatan musuh. 1.
Perlawanan Gerilya Serbuan kilat
doorstoot
serdadu NICA ke Yogyakarta ternyata tidak mampu merobohkan Republik Indonesia dan TNI. Tentara Belanda
hanya menduduki kota-kota Republik sampai ke tingkat distrik
kawedanan
, dan menempatkan pos militer di berbagai titik. Tapi, beberapa ratus meter saja dari pos-pos terdepan tentara Belanda,
pemerintahan desa berjalan seperti biasa Simatupang, 1960:55. Laras senapan, moncong meriam, aksi intimidasi, bahkan tindakan oleh tentara
kolonial, tidak membuat masyarakat desa berpaling dari kesetiaannya kepada pemerintahan Republik.
Di belakang wajah ramah penduduk desa, satuan-satuan TNI berlindung dan berkonsolidasi. Setelah mengamati pola-pola tekanan
militer musuh, mereka paham bagaimana harus menghindar dari intaian patroli udara, dan paham kemana harus bergerak ketika posisinya dihujani
tembakan artileri. Dari Tembarak, Letkol Ahmad Yani berkeliling
63 meninjau kesiapan pasukannya di berbagai front dengan mengendarai kuda
putihnya. Seperti yang ditulis Nasution 1989:232 bahwa: ―Fase perang gerilya di berbagai daerah meningkat sejak Maret 1949,
serangan-serangan kepada Belanda terjadi di Solo, Magelang, Temanggung, Wonosobo, begitu pula dengan kota-kota lain di
Karesidenan Banyumas, Pekalongan dan Pati. Pada bulan Maret pula, satuan-satuan Siliwangi sudah siap beraksi di Jawa Barat. Mulai dari
Serang, Bogor, Sukabumi, hingga Cirebon, mengalami serangan hebat
dari pasukan gerilya RI.‖ Pertempuran terjadi di Temanggung, sepanjang bulan Februari,
Maret dan April 1949, merupakan masa-masa Brigade 9 pimpinan Letkol Ahmad Yani gencar melakukan serangan. Pada tanggal 1 Februari 1949
kota kabupaten Temanggung mendapat giliran serangan Gerilya. Beranggotakan 15 orang tentara dan 10 orang TP menargetkan menyerang
stasiun kereta api di kampung Banyuurip. Pasukan gerilya menyerbu ke dalamnya dan melakukan pengacauan selama sejam Nasution,1979:48.
Selain membuat pukulan fisik dan mental kepada lawan, serangan itu juga dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat yang berani
mencoba-coba menjadi kaki tangan Belanda. Pada tanggal 28 Februari kompi Sukarno dari Batalyon Bintoro
menyerbu Parakan, serangan dilakukan pada malam hari dengan target pos militer Belanda. Baku tembak berlangsung selama tiga jam, beberapa
prajurit Belanda dilaporkan tewas dan di pihak TNI tidak ada korban jiwa, beberapa terluka dan sepucuk
mitraliur
hilang. Pada tanggal 25 Maret 1949
penjagaan musuh
di jembatan
Kali Progo
ditembaki Nasution,1979:50. Pada 5 Mei 1949, sebuah truk berisi personil militer
64 Belanda dihancurkan oleh TNI di Nguwet Temanggung Husni,
2008:272. Sementara itu penghadangan di jalan raya terhadap lalu lintas musuh selalu dilakukan oleh pasukan gerilya. Aksi ini sangat melelahkan
pasukan Belanda Nasution,1979:51. Nasution 1979:54 menulis dalam bukunya:
―Kejadian-kejadian seperti ini diselingi pertempuran patroli yang terus menerus dari hari ke hari walaupun kita mengambil taktik
menghindarinya. Disamping itu kita melakukan serangan secara kecil-kecilan dengan tujuan menculik atau menghukum mata-mata
musuh yang sudah kita kenali. Dalam pada itu musuh menggiatkan pertempuran patroli sepanjang hari, karena mereka tahu bahwa
hanya dengan aksi demikianlah mereka dapat mempersempit ruang gerak pasukan gerilya
yang sering tidak terlihat itu.‖
Bersama dengan TNI, Tentara Pelajar juga berjuang di kawasan Temanggung, ada beberapa kisah perjuangan TP dari buku Hady Gintong,
ex. TNI Brigade XVII TP Temanggung ―Data Perjuangan TNI Brigade XVII TP Temanggung tahun 1945-
1951‖: a.
Pasukan TP bersama Havik Soejono Perintah pertama TP datang untuk S. Hadhy yang
Gedetacheerd
ke daerah Pringsurat di pasukan Havik Soejono. TP diperbantukan di kompi Hawig Soejono, ikut dalam serangan di
Kranggan dengan melakukan pencegatan patroli di daerah Purwosari yang waktu itu mendapat serangan Belanda dengan membakar rumah,
sehingga terjadi kontak senjata. Markas kompi Hawig Soejono dan TP berpindah-pindah dari desa Pocung, Gowak, Karangwuni, Jeketro, dan
di dekat pasar Piyatak Pringsurat.
65 Suatu hari mereka mendengar informasi bahwa patroli polisi
Belanda dari Banaran sedang menuju pasar Piyatak dengan kekuatan satu regu. Kapten Wignyo dari kompi Havik Soejono mengadakan
pencegatan dan terjadilah kontak senjata yang berhasil menjatuhkan korban di pihak Belanda.
Penyerangan pasukan ke Kranggan bersama kompi Havik Soejono, berhasil memporak-porandakan pos Belanda di jembatan
Kali Progo Kranggan yang berkekuatan satu kompi. Pasukan ini masuk dari Kenalan melalui jalan-jalan di sekitar pasar Kranggan.
Pasukan Belanda bertahan di jembatan dengan mengarahkan tembakan ke gorong-gorong. Gorong-gorong yang membujur
sepanjang jalan menjadi tempat strategis untuk berlindung pasukan TP sehingga terhindar dari tembakan Belanda.
Beberapa bulan bertugas di daerah Pingit, TP sering mengadakan rapat keamanan setempat dengan ODM pimpinan Letnan
Soemardi untuk mendiskusikan tentang siasat, logistik, dan penyerbuan. Bantuan TP Pringsurat bertemu dengan kelompok
Goenawan yang sudah cukup lama tugas
Gedetacheerd
, dan akhirnya ditarik ke Kandangan untuk memperkuat induk pasukan TP.
b. Pasukan TP yang bertugas menjadi mata-mata
Pasukan TP ada yang sengaja ditinggalkan di dalam kota untuk menjadi informan di dalam kota. Tugas menjadi penghubung
tidak ringan terutama yang berada di dalam kota, karena beresiko
66 tertangkap oleh pasukan Belanda. Anggota TP yang berada di dalam
kota antara lain: Tamat, Sardjono, Tjipto Darsono, Soekotjo, Moelyono, dan lain-lain.
c. Desa Jengkeling, pencegatan patroli Belanda dengan TP yang pulang
patroli Pukul 10.00 pasukan TP mendengar kabar Patroli Belanda
sedang menuju Temanggung dari Kandangan berkekuatan satu peleton. Pasukan TP yang kebetulan sedang menempati pos di desa
Bero kemudian mengatur siasat. Pasukan TP dipimpin Goenawan berkekuatan dua regu telah menempatkan anak buahnya di sebelah kiri
jalan
gumuk
sehingga menghadap ke jalan Kandangan-Temanggung. Dari kejauhan terlihat pasukan patroli Belanda, pasukan TP
bersiap-siap mengadakan serangan. Goenawan membuntuti jalannya patroli hingga ke jembatan Jengkeling yang waktu itu pernah di bom
oleh TP sehingga kondisi jembatan miring di sebelah timur dan mencuat di sebelah barat. Jadi apabila patroli lewat mereka harus
merangkak naik. Pada saat patroli melewati jembatan, terdengar tembakan dari Goenawan sehingga patroli tersebut kalang kabut dan
banyak jatuh korban. Pertahanan TP berada pada posisi yang unggul karena di daerah yang lebih tinggi. Tembakan ke arah patroli Belanda
gencar ditambah dengan tembakan
tekadante
yang dibawa oleh Soeparno semakin memporak-porandakan pertahanan patroli Belanda.
67 Akhirnya patroli Belanda mundur ke sebelah
gumuk
lalu kembali ke Temanggung. Di kubu pasukan TP tidak satupun jatuh korban.
d. Pertempuran di desa Balon, Citran, dan Bledu Kandangan
Pukul 06.00 WIB, ada informasi yang mengatakan patroli Belanda dari jurusan Kedu melalui sungai Citran menuju Kandangan
lewat Bledu, Balun, Duwek, dengan kekuatan 1 seksi 60 orang. Senin wage malam, pasukan TP pimpinan Goenawan
berjumlah 1 peleton dan anak buah kompi Havik Soejono telah menempati pos di desa Citran, menunggu datangnya patroli Belanda
sesuai dengan informasi yang diterima pada pagi harinya. Pasukan TP telah mengatur siasat dengan menempatkan personil di atas sebuah
gumuk
bukit kecil yang terdiri dari: Goenawan, Soehadi Tutuk, Soeparno, Pramono, dll. Dan di bawah
gumuk,
di sawah yang menghadap ke arah jalan Kandangan, sepanjang tepi jalan di
tempatkan Rahadijono, Kadar, Mardi, dll. Senjata
Watermantel
dibawa Koep salah seorang anak buah Havik Soejono mengambil posisi di
gumuk
, komando serangan dilakukan Goenawan dengan senjata GRI-nya.
Setelah patroli Belanda menyeberang dan sampai di daerah timur sungai di tempat yang datar, mereka beristirahat. Goenawan
mengawali serangan dengan menembakkan senjatanya tiga kali berturut-turut dan berhasil mengenai sasaran, hingga tembakan yang
ke sepuluh senjatanya macet. Setelah itu disusul tembak-menembak
68 sehingga terjadi pertempuran sengit diantara kedua belah pihak.
Tembakan
wartermantel
Koep menjadi incaran serangan Belanda karena tidak henti-hentinya menembak. Koep terkena pecahan mortir
di bagian kaki dan mengundurkan diri ke arah timur. Soemardi sempat tertembak di bagian perut ketika berada di sebelah sungai Citran.
Berbeda dengan Kadar, yang baru berlari ke sebelah gumuk, kurang lebih 50 meter dan terkena tembakan sehingga gugur di tempat.
Pertempuran berjalan cukup lama dari pukul 07.00 – 13.00 WIB.
Pertempuran ini banyak menghabiskan peluru dan berakhir dengan tercerai-berainya sebagian pasukan. Ada yang lari ke arah timur dan
lainnya ke arah barat menyelamatkan diri menuju ke arah Gesing. Sedangkan Belanda sendiri masih berada di Kandangan hingga pukul
17.00. Pukul 17.30 setelah Belanda kembali ke Temanggung,
pasukan TP di bawah pimpinan Goenawan mengadakan konsolidasi di desa Gesing. Setelah konsolidasi, mereka melaporkan keadaan itu
kepada pasukan Soekarno, tetapi tidak mendapat tanggapan. Jenazah Kadar dan Soemardi dibawa oleh rakyat ke desa Pete
untuk diinapkan di rumah pak Kaum pemuka agama di desa. Malam itu pasukan TP tetap berjaga, dan pagi harinya mendapat kabar bahwa
pasukan KNIL beranggotakan 100 orang menuju Kandangan. Segera pasukan TP mengadakan
steeling
di sekitar desa Pete. Patroli Belanda masuk ke desa Kembangsari dan Pete. Mereka membakar rumah
69 Djono yang diduga sebagai markas TP karena bentuknya yang besar.
Sementara jenazah Kadar dan Soemardi masih berada di rumah pak Kaum, tetapi dibiarkan saja oleh Belanda karena pak Kaum
mengatakan bahwa kedua jenazah tersebut adalah anaknya yang meninggal. Setelah Belanda meninggalkan rumah Djono yang
terbakar pada sore harinya, pasukan TP mengadakan pemakaman sederhana. Markas pasukan TP sempat berpindah-pindah ke daerah
Sodong, Gesing, Krengseng, dan tempat-tempat yang lain berputar- putar di kecamatan Kandangan.
e. Penyusupan ke patroli Belanda di Selopampang dengan korban
Kasiran Kira-kira bulan Maret 1949 pukul 18.00 wib pasukan TP
yang dipimpin Komandan Sub Sektor Soetarto memerintahkan kepada pasukannya untuk melakukan serangan ke kota Temanggung dari arah
utara. Berangkat dari Kandangan dengan pasukan berkekuatan ± 1 kompi lebih terdiri dari pasukan pimpinan Goenawan, Marsono
Yacop, Letnan Kliwon, Pratikto. Dari Kandangan menuju Maron, pasukan Goenawan sudah siap di dekat lapangan Maron.
Pasukan yang akan menyerang kota bersenjatakan 1
watermantel
,
kekikjoe
senjata otomatis Jepang,
tekidanto
, dan senjata laras panjang lainnya, serta granat tangan. Sebagai
seko
penunjuk jalan ditunjuk Pramono dengan membawa
tekidanto
sedangkan S. Hadhy membawa pistol sebagai tanda dimulainya penyerangan.
70 Pasukan lain mengikuti dari belakang, sesampainya di Tepungsari
pasukan berhenti. Pramono dan S. Hadhy menyiapkan
tekidanto
untuk diarahkan ke kota sebagai tembakan pertama. Namun sampai tiga kali
percobaan peluru gagal ditembakkanmacet, padahal peluru hanya ada 5 buah. Saat itu sudah menunjukkan pukul 21.00 wib, akhirnya
dilaporkan kepada komandan kejadian macetnya senjata tersebut. Keputusan terakhir pasukan diperintahkan mengundurkan diri menuju
Kentengsari daerah Magelang. Pasukan mundur teratur menuju Maron, Demangan,
menyeberangi Kali Kuas belakang RSU, lalu naik ke desa Tlogorejo, Kebonsari, Sriwungu, kemudian menyeberang jalan Temanggung-
Bulu, Balerejo, Kerokan, Greges, Tagung, Menggoro, Kecepit, Selopampang, terus ke Kentengsari daerah Magelang.
Pasukan yang sudah sampai dan beristirahat di Kentengsari diantaranya pasukan pimpinan Letnan Kliwon, Goenawan, Marsono
Yacob, Pratikto yang tiba di Kentengsari ± pukul 02.00 wib. Sedangkan regu yang dipimpin Soeparno masih tertinggal dan
menempati pos di Selopampang. Pagi hari ± pukul 05.00 wib regu yang berada di Selopampang mengadakan patroli ke Selopampang.
Setelah tiba di sebelah rintanganbarikade yang masuk desa Selopampang, terdengar sapaanteguran oleh suara asing. Teguran
tersebut dijawab Soehadi Tutuk. Ternyata jawaban itu dibarengi balasan tembakan
sten,
menyebabkan patroli TP berpencar ke sebelah
71 selatan
papringan
, sedangkan patroli Belanda juga terpencar. Kekuatan musuh ± 1 peleton. Mendengar tembakan beruntun, pasukan
yang ada di Kentengsari membuat siasat membujur dari kelurahan sampai ke kuburan yang memanjang dari sebelah timur hingga barat
gligir
punggung gunung, karena perbatasan dilalui oleh sungai kecil dan kedudukan desa sama-sama di punggung gunung yang dibatasi
jurang. Pasukan Belanda terlihat jelas dari Kentengsari dengan iring-
iringan membawa semua laki-laki untuk tawanan. Kasiran dan seorang anak buah Letnan Kliwon diperintahkan oleh Goenawan
untuk menyelidiki dan menghubungi pasukan yang berada di sebelah atas Pasar Selopampang agar pasukan TP dan anak buah Kliwon bisa
mengambil siasat. Akan tetapi sebenarnya pasukan TP di Selopampang sudah lebih dahulu tahu dan mengadakan patroli.
Kasiran dan anak buah Kliwon terlanjur masuk ke daerah pasar Selopampang. Keberadaan mereka diketahui patroli Belanda yang
telah terlebih dahulu datang dan menempati pos yang lokasinya lebih tinggi. Belanda menyergap Kasiran dan anak buah Kliwon untuk
dimintai keterangan tentang pasukan gerilya. Akhirnya terjadi pergulatan sengit antara Kasiran dengan KNIL Belanda. Kasiran tidak
bersenjata, karena bukan anggota pasukan melainkan tenaga logistik. Tetapi karena adanya rencana penyerangan ke kota malam itu, maka
turut dan diberi tugas sebagai
seko
ke Selopampang. Dalam pergulatan
72 yang tidak seimbang, Kasiran tertembak di tangan kanan akibat
tangkisan dan menembus kepalanya. Sedangkan anak buah Kliwon lari ke pangkalan Kentengsari dan melaporkan kejadian tersebut
kepada Komandan Soetarto. Sebenarnya pasukan yang ada di Kentengsari akan
mengadakan serangan balasan, akan tetapi diurungkan dengan pertimbangan menghindari korban dari rakyat. Kejadian yang paling
menjengkelkan adalah sewaktu melihat patroli Belanda yang membawa tawanan wanita dan memperkosanya di Langgar sebelah
atas desa Selopampang. Patroli Belanda kembali ke Temanggung melalui Desa
Gambasan Tembarak pukul 14.00 wib dan dihadang oleh pasukan Soekri, jumlah korban tidak diketahui. Setelah Belanda pergi, jenasah
Kasiran diambil dan dikebumikan di Kentengsari. S. Hadhy ditugaskan
untuk mengurus
pemakaman dan
mengucapkan terimakasih kepada rakyat Kentengsari atas bantuannya mengambil
jenasah Kasiran. f.
Serangan TP ke Bantir markas Belanda Soemowono pimpinan Soetarto
Kira-kira bulan Mei 1949, pasukan TP dipimpin langsung oleh Soetarto merencanakan penyerangan ke markas Belanda di Bantir
Soemowono yang masuk wilayah kabupaten Semarang dengan kekuatan satu batalyon. Berangkat dari Kandangan menuju Kaloran
73 melalui Rowoseneng, Rowobrebet, Alas Sapu Angin dan beristirahat
di Kaloran selama satu hari. Pada malam hari berangkat menuju Soemowono melalui Kalimanggis, Nglamuk, Ngoho yang merupakan
desa tertinggi dan merupakan perbatasan kabupaten Temanggung dengan
kabupaten Semarang.
Pertempuran dimulai
dengan penghancuran Jembatan Nglayan oleh tentara TP, sehingga meletuslah
pertempuran dengan Belanda di Bantir. Namun, karena pasukan TP belum mengusai medan apalagi malam hari dan kekuatan yang
dimiliki tidak sebanding dengan musuh, maka untuk menghindari korban yang lebih banyak, pasukan TP mengundurkan diri ke
Kaloran. Ternyata rencana pengunduran diri ke Kaloran diketahui
pihak Belanda. Melalui komunikasi radio berita pengunduran TP dari Sumowono menuju Temanggung diteruskan ke pasukan Belanda di
Temanggung. Pasukan Belanda dari Temanggung menghadang sisa- sisa anggota TP yang mengundurkan diri. Kondisi pasukan TP
kelelahan dan tidak menguntungkan, tercerai berai dan terpencar masuk ke hutan dan ladang-ladang.
Dampak dari pertempuran Bantir Sumowono menyebabkan turunnya moril Belanda karena keberhasilan TP menghancurkan
beberapa jembatan dan memutuskan kawat telepon. Dipihak pasukan TP, banyak anggotanya yang ditawan Belanda. Pada serangan Bantir
74 turut ambil bagian juga pasukan lain seperti CPM pimpinan Kartono,
PGR Pasukan Gerilya Rakyat Ronggo Kondang Kaloran. Kekuatan kesatuan TP semakin lama semakin bertambah dengan
pengalaman dan sepakterjang di lapangan yang semakin sering untuk menghadapi Belanda. Daerah operasionalnya semakin meluas meliputi
seluruh wilayah kabupaten Temanggung. Selain melakukan pertempuran, sebagai komandan TP Soetarto juga membuat kebijakan yang menyulitkan
pihak Belanda. Pertama, pasukan Soetarto melakukan Gerakan Politik dan Ekonomi Gapolek. Yaitu melakukan blokade politik dan ekonomi
dengan cara mencegah warga desa agar tidak menjual hasil panen serta tidak berhubungan dengan Belanda. Gerakan ini diserahkan sepenuhnya
kepada Marsono dan Goenawan. Kedua, Tentara Pelajar dengan dukungan penuh pasukan yang tergabung dalam TNI , melakukan operasi
pembersihan mata-mata Bekti, 2012:60-61. 2.
Bantuan Rakyat Temanggung Rakyat yang menyadari hakekat kedaulatan bernegara, merdeka
dan bebas dari jajahan ikut berjuang bersama tentara republik yang bertahan
di kantong-kantong
gerilya dan
pemerintahan dalam
pengungsian. Bantuan dari rakyat sangat besar, tanpa mereka pasukan tentara republik tidak mampu berbuat banyak. Bantuan rakyat itu
merupakan suatu komponen satu subsistem dan selanjutnya dipadukan dengan komponen tentara subsistem yang lain, sehingga subsistem-
subsistem itu berkembang menjadi sistem pertahanan rakyat yang kukuh.
75 Hal itu semula dianggap
sepele
oleh Belanda yang terlalu berfikir konvensional dan kurang memperhitungkan hal tersebut. Dengan bertolak
dari sistem pertahanan rakyat, TNI dapat merebut dan memelihara inisiatif dalam perlawanan gerilyanya serta tumbuh semakin kuat dan tidak mudah
dihancurkan Himawan, 2006:324. Pasukan TNI dan pejuang Temanggung secara gencar menyerang
garis perhubungan, garis logistik, pos, dan patroli Belanda. Bantuan yang diberikan penduduk berupa makanan, intelijen, petunjuk-petunjuk jalan,
kurir, pasukan territorial ―
pager desa
‖, dan
early warning system
sistem peringatan dini apabila ada gerakan pasukan Belanda. Bantuan-bantuan
itu memungkinkan pasukan gerilya semakin mengembangkan inisiatif. Rintangan-rintangan di jalan pendekat yang dipasang rakyat semakin berat
dan semakin sempurna dan terutama taktik gerilya TNI semakin canggih Himawan, 2006:341.
a. Rakyat berperan dalam melindungi satuan-satuan TNI ketika mereka
dikejar pasukan musuh. Petani di sawah atau ladang, penggembala kerbau, anak-anak penyabit rumput, adalah tenaga-tenaga sukarela
bergegas melapor saat melihat gerakan patroli Belanda mendekat ke tempat-tempat persembunyian tentara republik. Seperti yang
dikisahkan Sulilo SA ketika bersama ketiga rekan pejuangnya saat berada di daerah Gunung Sumbing. Saat itu Belanda menembakkan
Kanon
dari daerah Kranggan ditujukkan ke desa Tlilir kecamatan Tembarak. Susilo SA dan ketiga rekannya bersepakat untuk turun dan
76 bergabung dengan rekan-rekan TP mereka di Kandangan. Sekitar
pukul 16.00, turun dari Sumbing ke Kandangan melalui desa Danupayan menuju ke daerah Kedu. Karena sudah malam, Susilo
meminta ketiga rekannya ikut bermalam di Makukuhan rumah Susilo, tetapi ditolak. Perjalanan kembali dilanjutkan, pada malam hari
sampai di desa Gondangwayang dan beristirahat di masjid. Pagi hari, Belanda mengadakan patroli ke Kedu dan sekitarnya. Susilo
SA bersama tujuh orang penduduk ditangkap dan dibawa ke kantor kelurahan Kedu. Ketika Lurah Kedu diminta konfirmasi tentang
keberadaan Susilo di desanya, mengatakan bahwa Susilo SA adalah anaknya yang masih bersekolah. Susilo dilepas oleh Belanda, tetapi
nasib ketujuh orang lainnya tidak diketahui Asiatno, 2008: 97-98 b.
Penduduk Temanggung dengan suka rela membantu tentara dengan menyediakan dapur umum dan tempat menginap. Mantan Lurah
Medari, Ngadirejo, Sudarman almarhum mengatakan sangat malu apabila harus menjual beras hasil panen kepada tentara. Menurut
Sudarman, di awal 1949, hasil panen musim hujan di Medari dan Ngadirejo pada umumnya sangat bagus. Apalagi, kehadiran satuan
TNI di satu desa tidak cukup lama. Dua tiga hari, setelah beristirahat, mereka bergerak, dan datang kembali setelah sekian pekan. Dengan
begitu, sumbangan untuk tentara tidak memberatkan rakyat. Apabila tentara meminta masakan spesial, seperti sate kambing, mereka
membelinya dengan ORI Husni, 2008:275.
77 c.
Keramahtamahan dan bantuan dari rakyat juga dirasakan istri Letkol A. Yani ketika ikut mengungsi ke daerah Tembarak, Temanggung.
Perjalanan yang cukup berat karena membawa dua puteri dan seorang bayi. Tapi, merasa selalu dibantu penduduk desa di sepanjang
perjalanan. Bahkan, ketika beristirahat di Desa Mantenan, Tembarak, warga menyiapkan tempat tinggal yang dianggap layak untuk istri
komandan tanpa dipungut biaya. Ketika tentara Belanda datang mencari keluarga Letkol A. Yani, tidak ada penduduk desa yang
berbicara, meski diancam dengan laras senapan Husni, 2008:275. d.
Komunikasi antara kesatuan-kesatuan dan pemerintah dilakukan dengan jasa kurir seorang rakyat dengan berjalan kaki karena mereka
ada di gunung, sedangkan di daerah pinggiran sering dilewati patroli Belanda. Hubungan ini bisa dilakukan secara langsung maupun
tundan. Ada juga penghubung yang berada di dalam pendudukan Belanda di kota, yang juga sering memberi bantuan obat-obatan, alat
tulis kantor, serta beberapa informasi kekuatan Belanda. Beberapa sukarelawan yang rutin memberikan batuan material di Temanggung
yaitu Thomas dan istrinya guru SMP Negeri Temanggung, Asisten Suparman, Dokter Said, Kepala Polisi Sardjo Bekti, 2012: 68.
Diluar bantuan tenaga, support moril, pasokan bahan pangan, dan perlindungan fisik, sumbangan yang tidak ternilai dari rakyat Temanggung
adalah rakyat rela mempersembahkan putra-putri terbaik mereka untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Husni, 2008:276.
78 3.
Tragedi Kali Progo Kejahatan Perang oleh Belanda terjadi hampir di setiap tempat
yang diduduki, termasuk di Kabupaten Temanggung. Tidak sedikit warga Temanggung yang bekerja sebagai mata-mata tentara pendudukan.
Motifnya macam-macam, ada yang tergiur iming-iming bahwa kalau TNI dan RI berhasil dimusnahkan secara militer oleh serdadu NICA, kelak
akan mendapat kedudukan dalam Negara Indonesia Serikat NIS. Ada pula yang melakukan secara terpaksa, karena satu atau beberapa anggota
keluarga ditahan dan diancam akan dibunuh apabila tidak mau menunjuk orang atau kelompok yang terkait dengan kelompok pejuang. Hal paling
jahat adalah mereka yang memberikan info yang mungkin juga asal- asalan karena motif ekonomi. Tidak heran bila banyak rakyat tidak
berdosa menjadi korban. Pejuang atau rakyat yang ditangkap oleh militer Belanda
umumnya digelandang ke Gedung
Inlichtingen Veiligheids Groep
IVGBadan Penyelidik Pemerintah Militer Belanda. Di Gedung IVG tahanan diinterogasi dan disiksa. Sebagian besar diangkut ke jembatan
Progo, Kranggan kemudian dieksekusi. Eksekusi dilakukan dengan tembakan, dan tusukan
bayonet
. Setelah rebah tidak berdaya tubuhnya ditendang agar jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Kekejaman
pasukan Belanda mulai dilakukan sehari setelah Belanda menduduki Temanggung.
79 Berdasarkan kesaksian Moh Dimyati Bekti, 2012:13, ruang
penahanan yang tidak luas, dijejali oleh sekitar 40 orang. Kondisi tahanan sangat memprihatinkan karena adanya siksaan yang luar biasa serta
keadaan ruang tahanan yang kotor. Bahkan pada malam hari, kebutuhan biologis buang air kecil dan besar dilakukan di tempat yang sama.
Komandan IVG adalah Letnan Van Der Zee. Mereka melakukan penangkapan terhadap warga yang dicurigai sebagai pemberontak, dalam
melakukan aksinya Letnan Van Der Zee mendapat dukungan dan bantuan penuh dari seseorang yang bernama Go In Liem. Selain Go In Liem, ada
juga beberapa mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap dan dihukum, diantaranya:
a. Mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap di daerah Banaran Bulu,
sebanyak lima orang. Setelah diintrogasi mereka terbukti positif sebagai mata-mata dan dieksekusi oleh Soetarto.
b. Setelah serangan di Gowak, berhasil menangkap seorang pria. Ketika
malam hari diintrogasi oleh Kapten Wignya, Marsono, dan S. Hadli, ternyata berasal dari Pasar Kidul Temanggung dan positif sebagai
mata-mata Belanda. Akhirnya dieksekusi oleh Yacob Marsono. c.
Januari 1949, ketika banyak pertempuran di daerah Kedu tentara berhasil menangkap tiga orang mata-mata Belanda yang akhirnya
dipenggal dan kepalanya di letakkan di tiga tempat berbeda yaitu di Pasar Kedu, Pasar Bulu, dan Pasar Ngelo Kedu.
80 Tindakan untuk membunuh para mata-mata tersebut merupakan
tindakan yang wajar di masa perang karena begitu banyak kerugian republik karena mereka, diantaranya adalah tragedi yang terjadi di Kali
Progo. beberapa kisah pembataian Kali Progo antara lain: a.
Mayor Sarno Samsiatmojo Salah satu korban pembantaian di jembatan Kali Progo
adalah Mayor Sarno Samsiatmojo. Mantan salah satu komandan batalyon pada resimen 9 divisi III Diponegoro yang dilikuidasi setelah
program reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Awal tahun 1949, satuan- satuan tentara Belanda datang ke rumah orang tua Sarno Samsiatmojo
di Desa Nglarangan, Kedu. Pasukan mengambil posisi mengepung dengan senjata terkokang. Sarno Samsiatmojo tidak melakukan
perlawanan ketika ditangkap dan dibawa ke atas truk. Bukan saja tidak bersenjata, tapi Sarno khawatir perlawanannya akan
membahayakan anggota keluarga. Sejak itulah Mayor Sarno Samsiatmodjo tidak pernah kembali ke keluarganya. Masyarakat
Temanggung percaya bahwa Mayor Sarno Samsiatmodjo termasuk salah satu korban, yang dieksekusi di Jembatan Sungai Progo,
Kranggan. b.
Sukomiharjo Suko Salah satu korban yang lolos dari maut di Kali Progo adalah
Sukomiharjo Suko, pria asal Kowangan, Temanggung. Suko adalah salah satu pemuda yang menjadi perangkat Desa Kowangan. Seperti
81 penduduk desa lainnya, warga Kowangan juga siap membantu
pasukan TNI di medan gerilya dengan membangun dapur umum. Suko mendapat tugas membawa ransum untuk anggota TNI, yang saat
itu sedang bermarkas di seberang Progo tidak jauh dari Desa Walitelon. Sambil mengantar makanan, Suko melaporkan situasi
Temanggung kepada para pemimpin tentara. Kegiatan Suko diketahui oleh Belanda. Suatu siang Suko ditangkap oleh tentara Belanda dan
dibawa ke kamp tawanan di Temanggung. Empat hari empat malam Suko mengalami siksaan hebat. Karena dianggap tidak berbahaya,
Suko mendapat kepercayaan sebagai koordinator tahanan. Tidak perlu waktu lama bagi Suko untuk memahami satu hal bahwa para tahanan
yang digunduli rambutnya, pada esok hari dibawa dengan traktor keluar kamp dan tidak pernah kembali. Suko juga menyimpulkan,
mereka dibunuh di Kali Progo. Kisah eksekusi di Kali Progo sudah merebak sebelum Suko
ditangkap. Setiap kali mendapati ada tawanan yang digunduli, Suko membantu agar kabur meloloskan diri malam itu juga. Beberapa
tawanan berhasil lolos. Akhirnya Belanda mengetahui sepak terjang Suko. Suatu hari Suko digunduli dan tidak bisa mendapatkan
kesempatan untuk kabur. Sekitar pukul 16.00 WIB, bersama tiga tawanan lain, Suko diangkut dengan traktor ke arah Jembatan Progo di
Kranggan. Keempat tawanan disuruh berdiri berjejer kemudian pasukan Belanda menembak meresa satu-persatu, pada suara
82 tembakan yang kedua Suko menjatuhkan diri ke sungai, dari
ketinggian sekitar 15 meter. Suko berpegangan pada salah satu jenasah korban agar tidak tenggelam dan akhirnya selamat. Setelah
suasana aman baru Suko kembali ke Kowangan wartawan Wedy Utomo, laporan Harian Tempo, Koran Semarang Desember 1964.
c. Tjiptodarsono
Tjiptodarsono ditahan karena ketahuan sebagai anggota Brigade XVII Tentara Pelajar TP yang beroperasi di Temanggung.
Sebagai anggota TP, Tjiptodarsono bersama teman-temannya sering menghadang patroli-patroli tentara Belanda di sekitar Temanggung.
Suatu kali Tjipto tertangkap dan ditawan. Dalam penuturannya ke Harian Tempo, Tjipto mengatakan terus bungkam ketika diinterogasi.
Begitu marahnya para serdadu Belanda sampai kedua kaki dan tangannya Tjipto diikat dengan tali yang kemudian ditarik ke arah
empat sudut. Siksaan dimulai, Tjipto dipukul, dicambuk dan dicocok dengan api. Beruntung Tjipto berhasil lolos dari kamp tersebut dan
bergabung kembali bersama pasuka TP Husni, 2008;285. d.
Moh. Sholeh Moh. Sholeh sempat menjabat sebagai sekretaris OPI yang
mengkoordinator wilayah ODM Kedu, Kandangan dan Jumo. Pagi hari tanggal 2 Februari 1949, setelah pengacauan semalam di stasiun
kereta api di kampung Banyuurip oleh pasukan gabungan Tentara dan
83 TP, Moh. Sholeh berada di desa Kedungumpul Kandangan untuk
melakukan persiapan menyambut rekan-rekannya. Di sebuah warung, sekitar pukul 06.30 WIB, tiba-tiba datang
seseorang yang menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Moh. Sholeh. Tanpa curiga Moh. Sholeh mengatakan sedang menunggu
teman-temannya. Orang itu kemudian berlalu ke arah Kedu. Setelah lama menunggu dan belum ada yang datang, Moh. Sholeh bersama
dengan ajudannya Marsono dan Lurah Kedungumpul berencana menyusul ke Walitelon. Di perjalan, mereka dicegat dan dikepung
pasukan Belanda. Mereka sempat melarikan diri di bawah berondongan tembakan. Di desa Ngebel, Moh. Sholeh sempat
membuang pistolnya ke sebuah sumur. Sesaat kemudian Moh. Sholeh dan Marsono tertangkap
pasukan Belanda, sedang Lurah Kedungumpul sempat melarikan diri dan masuk perkampungan. Saat ditangkap, Marsono masih membawa
granat. Mereka berdua akhirnya dibawa ke Temanggung melalui Kedu-Parakan-Bulu. Disepanjang jalan mereka disiksa. Sesampainya
di Temanggung, mereka dimasukkan di sebuah sel di IVG. Di dalam ruangan sel penuh terisi, diantaranya ada anggota pasukan Siliwangi,
ALRI dan beberapa rakyat yang dicurigai sebagai pemberontak. Pada malam hari, penyiksaan terhadap tahanan dilakukan.
Tahanan dipanggil satu persatu, disiksa dengan berbagai cara, dan kemudian dikembalikan lagi ke sel. Beberapa tahanan itu setelah
84 disiksa ada yang dibawa pergi untuk dieksekusi di Kali Progo. pada
malam kedua tanggal 3 Februari 1949, Moh. Sholeh mendapat giliran untuk diintrogasi. Pengintrogasinya adalah tentara KNIL bernama
Luluk dibantu oleh
Po Ang
Tjui
pasukan keamanan semacam hansip yang terdiri dari orang-orang keturunan Cina. Interogator, orang-
orang
Po
tidak segan-segan melakukan penyiksaan. Setelah tidak berdaya, Moh. Sholeh kembali dimasukkan di tahanan.
Pada saat yang bersamaan dengan Moh. Sholeh diinterogasi, Marsono juga diperiksa. Dari Marsono diketahui bahwa Moh. Sholeh
adalah sekretaris OPI. Selain itu, akibat penyiksaan, Marsono juga sempat memberitahukan markas-markas ODM. Tidak lama kemudian
Kapten Soekendro, komado ODM di desa Walitelon ditangkap dan dibawa ke IVG untuk disiksa. Dari keterangan Kapten Soekendro,
pihak KNIL mengetahui susunan OPI, dimana Moh. Sholeh berkedudukan sebagai sekretaris.
Tanggal 4 Februari 1949, Moh. Sholeh kembali dipanggil di ruangan khusus. Interogasi kali ini dilakukan dengan lebih kejam.
Moh. Sholeh digantung dengan kaki diatas. Kayu pemukul yang disiapkan
Po Ang Tjui
siap memukulnya bila jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan KNIL. Pertanyaan dipusatkan
pada letak markas para pejuang. Akhirnya KNIL menyerah karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tubuh Moh. Sholeh
harus digotong ke ruang tahanan karena pingsan. Tetapi sebelum
85 pingsan Moh. Sholeh sempat berkata kalau ingin memburu pejuang,
cari saja di kawasan Sindoro-Sumbing. Hari keempat Moh. Sholeh menempati IVG, ia tidak
diinterogasi lagi. Hari itu, banyak tahanan yang dibawa pergi dan tidak kembali lagi. Sehingga pada tanggal 5 Februari 1949, tertinggal
8 orang tahanan saja. 9 Februari 1949, pukul 01.00 WIB, Moh. Sholeh dibangunkan dari tidurnya. Dia diseret dan dimasukkan ke dalam
mobil oleh dua orang. Berdesakan dengan tujuh orang tahanan lain, mereka diikat tangannya dan diangkut ke Jembatan Progo. Ketika
proses eksekusi sampai pada giliran Moh. Sholeh, dia meminta kesempatan untuk berdoa, dan diijinkan. Tetapi ditengah-tengah dia
berdoa muncul niat nekat untuk terjun ke sungai yang sedang banjir. Pasukan pengeksekusi terkejut melihat aksi nekat Moh. Sholeh dan
menembaki dari atas jembatan. Moh. Sholeh berhasil selamat di sekitar desa Plumbon.
Menurut Moh. Sholeh, korban pembantaian jumlahnya mencapai ribuan orang. Moh. Sholeh sendiri pada waktu itu mendapat
nomor urut 1390 dan masih banyak lagi korban-korban pembantaian di Kali Progo setelah dirinya.
Teror di atas Jembatan Progo, Kranggan berlangsung sepanjang masa perang 1949. Bengkal dan Plumbon, desa di sebelah hulu, sekitar 3-4
km dari Jembatan Progo adalah tempat dimana jasad para korban sering terdampar di tepian sungai. Warga Plumbon dan Bengkal sering menemui
86 banyak jenasah yang kondisinya sunguh menyedihkan. Bila jenasah masih
utuh, penduduk desa beramai-ramai memakamkan di pekuburan desa. Tidak ada catatan resmi tentang jumlah korban tragedi Kali Progo.
E. Temanggung Kembali ke NKRI