Keaslian Penulisan Metode Penelitian

11 peradilan pidana anak antara lain oleh mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas. 2. Manfaat Praktis Memberikan informasi dan tambahan masukan serta konstribusi pemikiran kepada aparat penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi dan institusi lainnya yang terkait dan juga kepada masyarakat luas dalam mengikutsertakan perannya terhadap pengembangan konsep diversi dan restorative justice.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan surat tertanggal 10 Januari 2012 terlampir dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan ada 3 tiga judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah : 1. Implimentasi peranan Balai Pemasyarakatan BAPAS dalam sistem peradilan pidana anak studi kasusu Balai Pemasyarakatan kelas I Medan yang ditulis oleh An Piter Daniel 020200164. 2. Peranan Hakim anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana anak studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyaakatan Kelas II A anak Tanjung Gusta Medan yang ditulis oleh Amelia P.L Tobing 050200158. Universitas Sumatera Utara 12 3. Perlindungan Hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani 090200165. Surat dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Bapak Dr. M.Hamdan, SH.,MH Ketua Departemen Hukum Pidana untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis. Penulisan skripsi ini juga telah menelusuri judul karya ilmiah melalui media cetak dan elektronik, belum ditemukan penulis lain yang memiliki judul yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan di luar sepengetahuan penulis dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis yang didasarkan dari penelusuran dari referensi media cetak maupun media elektronik, sehingga dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

Sebelum masuk kepada pembahasan mendalam mengenai konsep diversi dan restorative justice di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka ada pun yang menjadi tinjauan kepustakaan skripsi ini yang berkisar tentang antara lain : Universitas Sumatera Utara 13

1. Anak a. Pengertian dan Batasan Usia anak

Banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan pengertian mengenai anak itu sendiri di Indonesia. Batasan tentang anak sangat urgent dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan anak dengan benar dan terarah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang yang tangguh dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Pengertian anak sendiri tidak pernah terlepas dari batasan usianya untuk membedakannya terhadap orang dewasa, perbuatan serta akibat yang ditimbulkan olehnya atau pun untuk memberikan perlindungan serta sanksi kepadanya. Pengaturan tentang batasan pengertian dan usia ank itu sendiri dapat diperhatikan melalui peraturan perundang-undangan berikut : 1 Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum perdata Pasal ini menyatakan bahwa, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Anak dalam hal ini dimaksudkan sebagai seseorang yang belum dewasa dan tidak kawin, apabila dalam kenyataan ternyata telah kawin sebelum umur yang dimaksudkan di atas maka dianggap telah dewasa. 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pengertian mengenai anak dalam undang-undang ini adalah pengertian mengenai anak sah merupakan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat 1 menyatakan Universitas Sumatera Utara 14 bahwa, anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit mengatur tentang batasan pengertian anak namun dalam pasal 153 ayat 5 memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tujuh belas tahun untuk menghadiri sidang. 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap berusia 21 tahun namun apabila ia sudah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa. 5 Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pemasyarakatan, membagi anak dalam hal berikut : a Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama hingga berumur 18 delapan belas tahun; b Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun; c Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun. 6 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Universitas Sumatera Utara 15 Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila dalam hal tersebut demi kepentingannya. 7 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 8 Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah Menurut ketentuan ini, anak adalah sesorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. 9 Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik dalam hukum adat di Indonesia. Kriteria tersebut untuk menyebut bahwa seseoang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Menurut hukum adat R. Soepomo menyebutkan ciri-ciri kedewasaan sebagai berikut : 12 1. Dapat bekerja sendiri; 2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat; 3. Dapat mengurus harta kekayaan sendri; 4. Telah menikah; 12 Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Gramedia Wirasarana Indonesia, hlm. 26 Universitas Sumatera Utara 16 5. Berusia 21 tahun. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berorientasi pada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 25 lima belas tahun seperti putusan MARI No : 53 KSip1952 tanggal 1 juni 1955 dalam perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartini. 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada pasal : Pasal 45 berbunyi : 13 11 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak “ jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya, atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman.” Pasal 1 disebutkan bahwa pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Anak dibatasi umur antara 8 delapan tahun sampai berumur 18 delapan belas tahun. 12 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 13 Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Universitas Sumatera Utara 17 Undang-undang ini memberikan pengertian anak sesuai dengan kedudukan anak di dalam tindak pidana yang terjadi, antara lain : 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 2. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 3. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, danatau dialaminya sendiri. Batasan usia seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat dari tingkatan usia pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara di dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai anak, seperti : 14 1. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17 tahun, sementara ada pula Negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-16 tahun; 2. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun; 3. Di Australia, kebanyakan Negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun; 4. Di Belanda, menentukan batas umur 12- 18 tahun; 14 Nashriana, Op.Cit, hlm. 9 Universitas Sumatera Utara 18 5. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 16-18 tahun; 6. Di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun; 7. Di Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun; 8. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun; 9. Di kamboja, menentukan batas umur antara 15-18 tahun; 10. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina 7-16 tahun; Malaysia 7-18 tahun; Singapura 7-18 tahun. Batasan usia juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen Internasional seperti : 15 1 Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyannya batas usia penentuan seseoarang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas antara 16-18 tahun; 2 Resolusi PBB 4033 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice Beijing Rules menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-19 tahun. 3 Resolusi PBB 45113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut itu bisa disimpulkan bahwa bahwa terdapat perbedaan perumusan batas usia anak dapat kita perhatikan bahwa anak dirumuskan sebagai berikut : a Mereka yang belum berumur 18; b Mereka yang belum berumur 18 dan belum pernah kawin; c Mereka yang belum berumur 21 tahun; d Mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin; e Mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. 15 Ibid. Universitas Sumatera Utara 19 Perbedaan penentuan batas umur anak ini akan membingungkan para pihak baik orang tua, pemerintah aparat penegak hukum serta aktivis hak anak dalam memenuhi hak anak. Baik ketika anak berada pada posisi sebagai korban pelangaran HAM maupun pelaku tindak pidana. Berbagai pengertian yang dimaksudkan dari variasi peraturan perundang-undangan maka dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi patokan tersediri terhadap pengertian dan batasan usia anak. Usia 12 tahun sebagai batasan minimum dalam kaitan pertanggungjawaban pidana akan lebih mengena karena batas usia tersebut si anak suadah lebih mengerti dan memahami konsekuensi dari tindakan-tindakan yang telah dilakukannya 16

b. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

. Seorang anak secara hakiki tidak dapat dilepaskan terhadap pengertian bahwa anak merupakan amanah dari Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan dididik sesuai potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religius ini melihat anak bukan sekedar keturunan biologis dari seseorang tetapi titipan Tuhan yang harus dijaga keberadaannya dan kelangsungan hidupnya. Berbicara mengenai anak sangatlah penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin hidup. bangsa pada masa mendatang. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19, anak dijadikan sebagai obyek yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya 16 Ibid, hlm. 11 Universitas Sumatera Utara 20 adalah Wilhem Preyer dalam bukunya Die Seele Des Kindes Jiwa Anak, pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis phsikologi anak, antara lain William Stern menulis buku Phsyicologie Der Fruhen Kindheit Phsikologi Anak pada Usia sangat Muda, dan demikian pula para penulis lainnya. 17 Melalui uraian tersebut sudah dapat diperhatikan sejak dahulu para tokoh pendidikan dan ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaaan anak, karena anak adalah pribadi yang tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma sendiri, sebab sejak lahir anak sudah memperlihatkan ciri-ciri dan tingkah laku karakterisitik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada usia bayi dan remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan phsikis maupun jasmaninya. 18 Kenakalan anak diambil dari istilah Juvenile delinquency, yang secara harafiah dapat diartikan juvenile berarti anak-anak, muda, ciri atau karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency berarti wrong doing, terabaikan atau diabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penerorm tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain. 19 17 Wagiati Soetodjo, 2008, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT.Refika Utama, hlm. 5 18 Ibid., hlm. 6 19 Kartini Kartono, 1998, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, PT. Raja Grafindo Grafika, hlm. 6 Universitas Sumatera Utara 21 Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan oleh Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yan berlaku atau belum melanggar hukum. Pada dasarnya pengertian semua sepakat bahwa kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial. 20 Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile delinquency yaitu sebagai berikut : Terdapat juga suatu pengertian oleh para sarjana yang memberikan ruang dalam pengertian kenakalan anak, yang dapat diuraikan dibawah ini. 21 a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilaranag oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lainnya. b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat. c. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lainnya. Menurut Kartini Kartono yang dimaksud dengan Juvenile delinquency adalah perilaku dursila atau jahat, atau kejahatan anak-anak muda, merupakan gejala sakit aptologi secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. 22 20 Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hlm. 5 21 Ibid., hlm. 10 22 Kartini Kartono, Op.Cit., hlm. 6 Universitas Sumatera Utara 22 Pendapat sarjanawan yang lain dapat kita lihat dari pendapat Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan mengenai Juvenile delinquency yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang dibawah umur 18 delapan belas tahun dan belum kawin merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. 23 a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau Pengertian Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama pada Pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan anak nakal adalah : b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dikatakan sebagai kenakalan anak dianggap lebih baik daripada istilah “kejahatan anak” yang dipandang terlalu ekstrim seorang anak melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya. Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga ikut menggantikan istilah “anak nakal” tersebut dengan “anak yang berkonflik dengan hukum”. Anak yang berhadapan dengan hukum pengertiannya terbagi atas 3 tiga yang salah satunya adalah anak yang berkonflik dengan hukum yang merupakan 23 Ibid., hlm 11 Universitas Sumatera Utara 23 pelaku tindak pidana. Menurut Widodo, penggunaan istilah Anak untuk menggantikan Anak Nakal tersebut hanya sebagai penghalusan bahasa eufisme agar tidak memberikan efek negatif. Penggunaan istilah Anak dalam prespektif labeling memang bisa dipahami untuk menggantikan istilah Anak Nakal, karena jika disebut dengan anak nakal, anak pidana, anak Negara, anak sipil maka akan selalu memberikan stigma negatif yang secara kriminologis akan mendorong pengulangan tindak pidana pada anak yang terlanjur mendapat label. 24

2. Pengertian Diversi dan Restoratif Justice a. Diversi

. Definisi menurut Jack E. Byum dalam bukunya Juvenille Deliquency a Sociological Approach, yaitu : Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthfull offenders from the juvenile justice sistem diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan dan menempatkan pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana. 25 Konsep diversi dalam Black Law Dictionary yang diterjemahkan sebagai Divertion Programme, yaitu : 26 “a programme that refers certain criminal defenfants before trial to community programs on job training, education, and the like, which if 24 Sri Sutatiek, 2012, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, hlm. 3 25 Marlina,2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, hlm. 10 26 Johanes Gea, “Diversi sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Unversitas Indonesia, Depok, 2011, hlm. 73, di akses dari http:www.lontar.ui.ac.iddiversi pada Tanggal 2 Februari 2014 Pkl. 20.15 WIB Universitas Sumatera Utara 24 successfully completed may lead to the dismissal of the charges.” program yang ditunjukan kepada seseorang tersangka, sebelum proses persidangan berupa community programme seperti pelatihan kerja, pendidikan dan semacamnya, dimana jika program ini berhasil memungkinkan dia untuk tidak melanjutkan proses peradilan pidana selanjutnya. Menurut United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenille Justice The Beijing Rules pada butir 6 dan 11 terkandung pengertian mengenai diversi yaitu suatu proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah. 27

b. Restoratif Justice

Berdasarkan pengertian dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian diversi diamanatkan melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 7, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Ahli kiminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya mengemukakan bahwa definisi restorative justice adalah restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offences and its implications for the future restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentinan dalam pelanggaran tertentu bertemu secara bersama- 27 Ibid., hlm 11 Universitas Sumatera Utara 25 sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. 28 Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice is a victim ceterd response to crime that allows victim, the offender, their familys, and representatives of the community to address the harm caused by the crime keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan kepada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana. 29

3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 restorative justice atau keadilan restoratif penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Menurut Remington dan Ohlin sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme 28 Barry Goldson John Muncie, 2006, Youth Crime and Justice: Critical Issue, California, SAGE Publications Ltd, hlm 110. 29 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 45 Universitas Sumatera Utara 26 administrasi peradilan pidana. 30 Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian mengenai sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 31 Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan sistem peradilan pidana lainnya. Pertama, ia merupakan suatu sistem yang terbuka open system, dalam pengertian sistem pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interfance interaksi, berkoneksi dan independensi dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat yaitu ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologiserta sub-sub sistem dalam peradilan pidana itu sendiri. Kedua, tujuan yang memiliki tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan sistem peradilan pidana pada jangka pendek adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat sedangkan tujuan jangka panjang adalah terciptanya tigkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Ketiga, transformasi nilai dalam arti sistem peradilan dalam operasi kerjanya pada setiap komponen-komponennya harus menyertakan dan memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan. 30 Anthon Freddy Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 74 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara 27 Keempat adanya, mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan. 32 Mardjono mengemukakan empat komponen sistem peradilan pidana yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu. 33

a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Keempat komponen ini pun sangatlah penting di dalam sistem peradilan pidana anak secara khususnya. Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah dari The Juvenille Justice Sistem yaitu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejmlah institusi yang tergabung di dalam pengadilan, yaitu meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan fasilitas-fasilitas penahanan anak. 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menggunakan terminologi “pengadilan” daripada “peradilan” sebagaimana lazimnya digunakan oleh undang-undang. Penggunaan terminologi “pengadilan anak” memang lebih tepat daripada peradilan anak sebab di dalam Undang- Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa ada 4 empat lingkungan peradilan yaitu, 32 Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Presindo, Yogyakarta, hlm.32 33 Ibid. 34 M.Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 43 Universitas Sumatera Utara 28 peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer. 35 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan terminologi “Peradilan Anak”, tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 2 UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. 36

b. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Penjelasan UU sistem peradilan pidana anak, Peradilan anak merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum, sehingga batasan pengertian yang termaktub di dalam Undang- undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Tujuan sistem peradilan pidana bagi anak menurut The Beijing Rules dimuat pada Rule 5.1 Aims of Juvvenile Jutice, adalah mengutamakan kesejahateraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan- keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya. 37 35 Abintoro Prakoso, 2013, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm. 24 36 Ibid, hlm. 26. 37 Abintoro Prakorso, Op.Cit., hlm. 144 Universitas Sumatera Utara 29 Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Resolusi PBB 45113 tangal 14 Desember 1990, The United Nations for the Protection of Juvenile Deprived of Liberty adalah sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak anak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraaan fisik dan mental pada anak, serta hukuman penjara dgunakan sebagai upaya terakhir. 38

G. Metode Penelitian

Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dalam penjelasannya agar terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 dua macam tipologi penelitian hukum yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Penelitian Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapt diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder. 39 38 Ibid. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 13 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini Universitas Sumatera Utara 30 menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. 40 Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 41 2. Jenis Data dan Sumber Data Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu permasalahan yaitu konsep yang sesuai untuk menganalisa permasalahan dalam sistem peradilan pidana anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 . Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian, data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : a Bahan-bahan hukum primer. Yaitu bahan-bahan yang mengikat, antara lain : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP; 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 40 Ibid., hlm. 63 41 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia Jakarta,, hlm. 15 Universitas Sumatera Utara 31 4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 7. Undang-Undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak; 8. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian; b Bahan-bahan sekunder. Yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku referensi yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel atau jurnal hukum, laporan atau hasil penelitian dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik. c Bahan-bahan hukum tersier. Yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum misalnya biografi hukum, ensiklopedi hukum, kamus, direktori pengadilan dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka library research dan juga media elektronok seperti internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis mengumpulkan, mengolah, menafsirkan dan membandingkan bahan-bahan yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan ditulis dalam skripsi ini. 4. Analisis data Universitas Sumatera Utara 32 Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya 42 . Metode analisis data yang dilakukan adalah metode analisis kualitatif 43 a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini. , yaitu dengan : b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan di atas agar sesuai dengan masing-masing permaslahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

1 45 675

Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak Melalui Upaya Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2 45 143

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 5 17

PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH KEPOLISIAN DALAM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 1 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 0 16

Diversi dalam UU no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 0 38

KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG RI NUMBER 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK CONCEPT OF RESTORATIVE JUSTICE IN THE LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 11 OF 2012 CONCERNING CHILDREN'S CRIMINAL COURT SYSTEM

0 1 13

BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1 8 34