Keanekaragaman Plankton Di Pesisir Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara

(1)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR PERAIRAN

KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS

KABUPATEN BATUBARA

SKRIPSI

ELSE NAINGGOLAN

070805021

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR PERAIRAN

KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS

KABUPATEN BATUBARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

ELSE NAINGGOLAN

070805021

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR

PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : ELSE NAINGGOLAN

NIM : 070805021

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si. Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc. NIP 19721126 199802 2 002 NIP 19581016 198703 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan yang ditambahkan oleh dosen pembimbing dan dosen penguji, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2011

ELSE NAINGGOLAN 070805021


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Keanekaragaman Plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung

Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara”, yang merupakan syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu tercinta: Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc, Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si selaku dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar saat penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, dan Ibu Dr. Suci Rahayu M.Si sebagai dosen penguji dan Ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si selaku dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta Bapak Kiki Nurtjahja sebagai sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Rosalina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Dr. Sutarman M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Teristimewa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis yang sangat penulis sayangi: J. Nainggolan dan P. Siallagan serta Paman penulis Drs. Jonni Siallagan, M.Si yang telah memberikan doa, harapan, dukungan, materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Kakak-kakak penulis yang penulis cintai Linda R. Nainggolan, Skep., Lestina Nainggolan, A.Md., Abang penulis Mardiono Nainggolan, ST., dan Adik penulis Marni Manurung yang telah memberi doa dan semangat serta motivasi pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para sahabat yang penulis banggakan sebagai tim lapangan: Hotda, Jupentus, Jayana, Reymon yang telah membantu selama di lapangan, terima kasih juga kepada rekan-rekan stambuk 2007: Siti, Eva, Ibeth, Katrin, Natal, Helmi, Anggun, Yenni, Linda, Maria, Astri, Ade, Dwi, Putri, Anti, Irma, Sari, Riwil, Mayka, Gustika, Nila, Asril, Mirza, Affand, Missel, Yanti, Aini, Desi, Umi, Risa, N’cai, Alex, Farid, Nisa, Ayu, dan seluruh stambuk 2007 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Senior Penulis : Abang Andre, Abang Rudi, Kakak-kakak senior stambuk 2006: Helen, Lena, Dola, Zulfa, Afrida. Adik-adik penulis Agustina, Grace, dan seluruh stambuk 2008, 2009 dan 2010, Abang dan Kakak mahasiswa biologi USU dan seluruh anggota PKBKB yang memberikan dukungan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini.


(6)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dari bahasa maupun isinya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terima kasih.


(7)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara”. Penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling yaitu menetukan 4 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah tersebut. Pengambilan sampel dengan 6 kali ulangan pada saat pasang naik dan 6 kali ulangan pada saat pasang surut pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 8 kelas fitoplankton yang terdiri 39 famili dan 64 genus serta 7 kelas zooplankton yang terdiri dari 11 famili dan 15 genus. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebanyak 33.438,79 ind/l dan terendah terdapat pada stasiun 4 sebanyak 2.761,24 ind/l. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 2,81 dan terendah stasiun 4 yaitu 2,53. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,78 dan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,70. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pH, DO (oksigen terlarut), dan BOD5

berkolerasi sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) plankton.


(8)

DIVERSITY OF PLANKTON IN KUALA TANJUNG COASTAL WATER DISTRICT MEDANG DERAS REGENCY BATUBARA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity Of Plankton in Kuala Tanjung Coastal Water District Medang Deras Regency Batubara”. This research is done with the method of purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. The samples with 6 replications at high tide and 6 replications at low tide at each research station. The purpose of this study was to see the diversity of plankton and the relationship between physical factors with the chemical diversity of plankton. From the results obtained by the identification of 8 classes of phytoplankton are classified in 39 families and 64 genera and 7 classes of zooplankton that are categorized in 11 families and 15 genera. The total higest abudance pursuant to station obtained at station 1 that is 33.438,79 ind/l while to the lowest there is at station 4 that is 2.761,24 ind/l. The highest value of diversity index at station 3 that is 2,81 and the lowest at station 4 that is 2,53. The higest value of equatibilty index at station 3 that is 0,78 and the lowest at station 4 that is 0,70. The Results of correlation anlysis showed that pH, DO (dissolved oxygen), and BOD5 correlated very strongly to the Deversity Index

(H’) plankton.


(9)

DAFTAR ISI

halaman

PENGHARGAAN i

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

DAFTAR GAMBAR viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 BAHAN DAN METODE 4

2.1 Metode Penelitian 4

2.2 Deskripsi Area 4

2.3 Pengambilan Sampel Plankton 7

2.4 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 7

2.5 Analisis Data 10

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

3.1 Faktor Biotik Lingkungan 14

3.2 Kelimpahan Plankton pada masing-masing stasiun penelitian

17 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks

Keseragaman (E) pada masing-masing stasiun Penelitian

23

3.4 Indeks Similaritas 25

3.5 Faktor Abiotik Lingkungan 26

3.6 Analisis Korelasi 32

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 34

4.1 Kesimpulan 34

4.2 Saran 34


(10)

DAFTAR TABEL

Nama Judul halaman

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam

Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 10 Tabel 3.1 Klasifikasi dan Jenis Plankton yang Ditemukan Pada

Empat Stasiun Penelitian 14

Tabel 3.2 Nilai kelimpahan (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

17 Tabel 3.3 Nilai H’ (Diversitas Shannon-Wiener) dan E (Indeks

Wquitabilitas) yang Diperoleh Pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian 23

Tabel 3.4 Nilai IS (Indeks Similaritas) Pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian 25

Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian 26

Tabel 3.6 Nilai korelasi Antara Parameter Fisik Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Plankton dari Setiap Stasiun Penelitian

32


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nama Judul halaman

Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian 38

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 39 Lampiran C. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk mengukur BOD5 40

Lampiran D. Bagan Kerja Analisis Nitrat (NO3) 41

Lampiran E. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-) 42

Lampiran F. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Temperatur Air 43

Lampiran G. Data Mentah Plankton Pada Saat Pasang Naik dan

Pasang Surut 44

Lampiran H. Beberapa Foto Plankton yang Diperoleh di Penelitian 56

Lampiran I. Contoh Perhitungan Plankton 62

Lampiran J. Nilai Kelimpahan (K), Kepadatan relatif (KR), dan Frekuensi kehadiran (FK) Pada Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Pada Saat Pasang Naik

63 Lampiran K. Nilai Kelimpahan (K), Kepadatan relatif (KR), dan

Frekuensi kehadiran (FK) Pada Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Pada Saat Pasang Surut

65 Lampiran L. Nilai H’ Indeks (Diversitas Shannon-Wiener) dan E

(Indeks Equitabilitas) yang Diperoleh Pada Saat Pasang Naik dan Pasang Surut

67 Lampiran M. Nilai IS (Indeks Similaritas) ) yang Diperoleh Pada Saat

Pasang Naik dan Pasang Surut 68

Lampiran N. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Pada Saat Pasang Naik dan Pasang Surut

69 Lampiran O. Hasil Analisis Korelasi Pearson 70


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nama Judul halaman

Gambar 2.1 Foto Lokasi Penelitian pada Stasiun 1 (Daerah

Pariwisata) 5

Gambar 2.2 Foto Lokasi Penelitian pada Stasiun 2 (Daerah

Mangrove) 5

Gambar 3 Foto Lokasi Penelitian pada Stasiun 3 (Daerah Muara

Sungai) 6

Gambar 4 Foto Lokasi Penelitian pada Stasiun 4 (Daerah

Pembuangan Limbah Pabrik) 6

Gambar 5 Navicula 56

Gambar 6 Closteriopsis 56

Gambar 7 Spyrogira 56

Gambar 8 Cocconeis 56

Gambar 9 Thlassiothrix 56

Gambar 10 Rhizosolenia 56

Gambar 11 Asterionella 57

Gambar 12 Pediastrum 57

Gambar 13 Triceratium 57

Gambar 14 Diatoma 57

Gambar 15 Pleurosigma 57

Gambar 16 Thalassionema 57

Gambar 17 Biddulphia 58

Gambar 18 Closterium 58

Gambar 19 Dytilum 58

Gambar 20 Coscinodiscus 58

Gambar 21 Skeletonema 58

Gambar 22 Geminella 58

Gambar 23 Chlorogibba 59

Gambar 24 Achanthocystis 59

Gambar 25 Pleurodiscus 59


(13)

Gambar 27 Uroglenopsis 59

Gambar 28 Chaetoceros 59

Gambar 29 Daphnia 60

Gambar 30 Cerataulina 60

Gambar 31 Gonatozygon 60

Gambar 32 Biddulphia 60

Gambar 33 Thlassiothrix 60

Gambar 34 Rhizoclonium 60

Gambar 35 Diacyclops 61

Gambar 36 Pleoroxus 61

Gambar 37 Trichocerca 61

Gambar 38 Astramoeba 61

Gambar 39 Cyclops 61


(14)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PESISIR PERAIRAN KUALA TANJUNG KECAMATAN MEDANG DERAS KABUPATEN BATUBARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara”. Penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling yaitu menetukan 4 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah tersebut. Pengambilan sampel dengan 6 kali ulangan pada saat pasang naik dan 6 kali ulangan pada saat pasang surut pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 8 kelas fitoplankton yang terdiri 39 famili dan 64 genus serta 7 kelas zooplankton yang terdiri dari 11 famili dan 15 genus. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebanyak 33.438,79 ind/l dan terendah terdapat pada stasiun 4 sebanyak 2.761,24 ind/l. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 2,81 dan terendah stasiun 4 yaitu 2,53. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,78 dan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,70. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pH, DO (oksigen terlarut), dan BOD5

berkolerasi sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) plankton.


(15)

DIVERSITY OF PLANKTON IN KUALA TANJUNG COASTAL WATER DISTRICT MEDANG DERAS REGENCY BATUBARA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity Of Plankton in Kuala Tanjung Coastal Water District Medang Deras Regency Batubara”. This research is done with the method of purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. The samples with 6 replications at high tide and 6 replications at low tide at each research station. The purpose of this study was to see the diversity of plankton and the relationship between physical factors with the chemical diversity of plankton. From the results obtained by the identification of 8 classes of phytoplankton are classified in 39 families and 64 genera and 7 classes of zooplankton that are categorized in 11 families and 15 genera. The total higest abudance pursuant to station obtained at station 1 that is 33.438,79 ind/l while to the lowest there is at station 4 that is 2.761,24 ind/l. The highest value of diversity index at station 3 that is 2,81 and the lowest at station 4 that is 2,53. The higest value of equatibilty index at station 3 that is 0,78 and the lowest at station 4 that is 0,70. The Results of correlation anlysis showed that pH, DO (dissolved oxygen), and BOD5 correlated very strongly to the Deversity Index

(H’) plankton.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perairan laut sangat beragam sebaran geografis, kedalaman serta faktor fisik kimianya. Perairan laut ditandai oleh tingkat salinitas >32 0/00 serta kedalamannya hingga

11.000 m. Arus, pasang surut air, angin serta dasar laut yang tidak rata menyebabkan gerakan air laut terutama di permukaan. Secara umum perairan laut dibagi sebagai zona fotik (lapisan air yang mendapat sinar matahari) dan zona afotik yaitu lapisan air dengan sinar matahari tidak dapat menembus (Irianto, 2005). Kawasan pesisir merupakan daerah percampuran antara rezim darat dan laut, serta membentuk keseimbangan yang dinamis dari masing-masing komponen. Perairan pesisir mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi berlansungnya proses biologi dari berbagai macam jenis organisme akuatik (Thoha, 2007).

Perairan Kuala Tanjung secara administrasi terletak di Kecamatan Medang Deras. Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang baru terbentuk pada tahun 2007, hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kabupaten Batubara berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Kawasan ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat yang terletak sekitar 100 KM dari Medan. Kawasan ini memiliki garis pantai sepanjang 62 Km. Luasnya kira-kira 65,47 Km² atau 7,23 % dari luas total Kabupaten Batubara. Salah satu pontensi dari perairan Kuala Tanjung ini merupakan adanya beberapa pantai yang menjadi objek wisata alam yang dikunjungi oleh wisatawan. Perairan ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas manusia diantaranya pariwisata, pembuangan limbah pabrik, dan terdapat muara sungai tempat pertemuan air sungai dan air laut


(17)

Menurut Soemarwoto (1990), aktivitas manusia di sekitar perairan erat kaitannya terhadap perubahan lingkungan baik perubahan fisik maupun kimia air. Kelayakan lingkungan untuk usaha budidaya dapat diestimasi melalui pengukuran kuantitatif dan kualitatif terhadap biota yang menghuni perairan tersebut. Menurut

Pirzan & Petrus (2008) satu diantaranya biota yang sering digunakan adalah plankton. Plankton adalah suatu golongan jasad hidup akuatik berukuran mikroskopik,

biasanya berenang atau tersuspensi dalam air, tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit untuk melawan/mengikuti arus (Wibisono, 2005). Menurut Nybakken (1988), plankton terbagi menjadi dua golongan, yakni fitoplankton yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan laut yang melayang-layang serta mampu berfotosintesis dan zooplankton yaitu plankton jenis hewan-hewan laut yang planktonik.

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar Perairan Kuala Tanjung antara lain: pariwisata, pembuangan limbah pabrik dan adanya muara sungai tempat bertemunya air sungai dan air laut dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan plankton di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi biota air lainnya. Keragaman jenis merupakan parameter yang digunakan dalam mengetahui suatu komunitas. Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas (Pirzan & Petrus, 2008). Sehubungan dengan itu, maka dilakukan penelitian tentang ”Keanekaragaman

Plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara”.

1.2Permasalahan

Berbagai aktivitas yang berlangsung di Pesisir Perairan Kuala Tanjung mengakibatkan perubahan faktor fisik kimia perairan yang berdampak pada keanekaragaman plankton. Sejauh ini belum diketahui bagaimana keanekaragaman plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik kimia perairan.


(18)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keanekaragaman plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman plankton antara stasiun penelitian di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

b. Terdapat hubungan faktor fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman plankton di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

a. Memberikan informasi awal mengenai keanekaragaman plankton yang selanjutnya dapat digunakan sebagai data pemantauan dan pengolahan ekosistem di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.

b. Memberikan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai kondisi lingkungan di Pesisir Perairan Kuala Tanjung, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara.


(19)

BAB 2

BAHAN DAN METODA

2.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penelitian ini penentuan titik sampling dilakukan dengan metode “Purpossive

Random Sampling” dengan menentukan 4 (empat) stasiun penelitian. Pengambilan

sampel dilakukan pada saat pasang naik dan pasang surut. Pada masing-masing stasiun pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali ulangan pada saat pasang naik, dan 6 kali ulangan pada saat pasang surut.

2.2 Deskripsi Area

Perairan Kuala Tanjung memiliki garis pantai sepanjang 62 km. Luasnya kira-kira 65,47 Km² atau 7,23 % dari luas total Batubara. Perairan ini banyak terdapat aktivitas manusia diantaranya: pariwisata, pembuangan limbah pabrik, dan muara sungai tempat bertemunya air sungai dan air laut (Lampiran A). Pengambilan sampel dilakukan pada 4 (empat) stasiun antara lain:

a. Stasiun 1

Stasiun ini merupakan daerah pariwisata. Secara geografis terletak pada 03º 23’ 13,9” LU dan 099º 24’ 39,1” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir berlumpur seperti terlihat pada Gambar 2.1.


(20)

Gambar 2.1 Foto Lokasi Penelitian Pada Stasiun 1 (Daerah Pariwisata) b. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan daerah bebas aktivitas dengan vegetasi dominan mangrove. Secara geografis terletak pada 03º 23’ 06,8” LU dan 099º 24’ 53,7” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa lumpur berpasir seperti terlihat pada Gambar 2.2.


(21)

c. Stasiun 3

Stasiun ini terdapat di daerah muara sungai. Secara geografis terletak pada 03º 22’ 54,3” LU dan 099º 24’ 56,3” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa lumpur berpasir seperti terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Foto Lokasi Penelitian Pada Stasiun 3 (Daerah Muara Sungai)

d. Stasiun 4

Stasiun ini terdapat di daerah pembuangan limbah pabrik. Secara geografis terletak pada 03º 22’ 08,3” LU dan 099º 26’ 41,8” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Foto Lokasi Penelitian Pada Stasiun 4 (Daerah Pembuangan Limbah Pabrik)


(22)

2.3 Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan pada saat pasang naik dan pasang surut. Pada masing-masing stasiun penelitian pengambilan sampel air laut dibagi menjadi 6 titik dengan cara membuat transek sepanjang 200 m dengan jarak 25 dari garis pantai. Transek tersebut dibagi menjadi 3 titik, yaitu pada bagian pinggir dan bagian tengah. Setiap titik ditarik lagi transek 25 m secara vertikal kearah laut. Diambil sampel pada setiap titik. Sampel air laut diambil dengan menggunakan lamnot kapasitas 1 liter sebanyak 25 liter, kemudian dituang kedalam plankton net. Sampel plankton yang terjaring akan terkumpul dalam bucket yang selanjutnya dituang kedalam botol film dan diawetkan menggunakan lugol sebanyak 3 tetes dan diberi label.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU. Sampel diamati dengan menggunakan mikroskop dan selanjutnya di identifikasi dengan menggunkan buku identifikasi (Edmonson, 1963; Bold & Wayne, 1985; dan Pennak, 1989).

2.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisik kimia perairan yang dilakukan di lapangan diukur pada setiap titik dan dirata-ratakan, hasil rata-rata menjadi nilai akhir dari faktor fisik kimia. Sedangkan pengukuran faktor fisik kimia yang dilakukan di laboratorium dilakukan dengan membuat sampel air laut menjadi sampel komposit. Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Temperatur (ºC)

Pengukuran temperatur dilakukan dengan menggunakan alat termometer, diambil 1 ember sampel air, kemudian dimasukkan termometer kedalamnya, biarkan beberapa saat lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan di catat.


(23)

b. Penetrasi cahaya (m)

Penetrasi Cahaya diukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping sechii tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang masuk kedalam air.

c. Intensitas Cahaya

Intensitas Cahaya diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan kearah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.

d. pH (Derajat keasaman)

Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil. Kemudian dibaca angka konstan yang tertera pada pH meter tersebut.

e. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan alat refrakto meter. Kemudian diambil sampel air sebanyak 1 tetes lalu ditetesi pada permukaan alat refraktometer, dilihat batas akhir pada skala.

f. DO (Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan

amilum. dengan memasukkan sampel air kedalam botol winkler, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut, bagan kerja terlampir (Lampiran B).


(24)

g. BOD5

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler. Sampel

air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC. Setelah 5 hari kemudian diukur nilainya dengan metode winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan DO awal – DO

akhir, bagan kerja terlampir (Lampiran C).

h. Kandungan Nitrat dan Posfat

Pengukuran kandungan nitrat dan posfat dilakukan dengan metode spektrofotometer. Spektrofotometer yang digunakan yaitu spektrofotometer sinar tanmpak SPEK 300 merek Optima. Sampel air diukur dengan menggunakan reagen-reagen NaCl, H2SO4, Brucine Sulfat Sulfanic Acid, Amstrong Reagen dan Arsorbic Acid. bagan kerja terlampir (Lampiran D dan E).

i. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) (Lampiran F) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kejenuhan = x100 [t]

] [

O

2 2 u

O

%

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel)


(25)

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No Parameter

Fisik-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Temperatur 0C Termometer In-situ

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Sechi In-situ

3 Intensitas Cahaya Lux Lux meter In-situ

4 pH - pH meter In-situ

5 Salinitas 0/00 Refraktometer In-situ

6 DO mg/l Metoda Winkler In-situ

7 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium

8 Kadar nitrat dan posfat mg/l Spektrofotometer Laboratorium

9 Kejenuhan Oksigen % Metoda winkler In-situ

2.6 Analisis Data

2.6.1 Plankton

Data plankton yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks ekuitabilitas dan indeks korelasi dengan persamaan menurur Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:

a. Kelimpahan plankton (K)

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), yaitu:

K =

W v

V p P L


(26)

Keterangan:

K = jumlah plankton per liter (l)

T = luas penampang permukaan Haemocytometer (mm2) L = luas satu lapang pandang (mm2)

P = jumlah plankter yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati

V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml) v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml)

W = volume air media yang disaring dengan plankton net (l)

Karena sebagian besar dari unsur – unsur rumus ini telah diketahui pada Haemocytometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19,6 mm3) dan luas penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (L) dengan jumlah lapang yang diamati (p). Sehingga rumusnya menjadi:

K =

W PV

0196 ,

0 ind./l

b. Kelimpahan Relatif (KR)

KR =

K total

spesies setiap

dalam K jumlah

x 100 %

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

ulangan Total

spesies suatu

ditempati yang

ulangan Jumlah

dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’)


(27)

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener Pi = proporsi spesies ke –i

ln = logaritma Nature

pi =

ni /N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

0 < H´ < 2,302 = keanekaragaman rendah 2,302 < H´ < 6,907 = keanekaragaman sedang H´ > 6,907 = keanekaragaman tinggi

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

E =

max '

H H

Dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S

(dimana S banyaknya genus)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS = 2 x 100%

b a

c

+

dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B

Dimana: IS = 75 - 100% : sangat mirip IS = 50 - 75% : mirip

IS = 25 - 50 % : tidak mirip


(28)

g. Analisis Korelasi

Dilakukan dengan menggunakan Analisis Korelasi Pearson (SPSS) versi 16.00 antara faktor fisik kimia terhadap indeks keanekaragaman. Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 sangat rendah

0,20 – 0,399 rendah

0,40 – 0,599 sedang

0,60 – 0,799 kuat

0,80 – 1,00 sangat kuat


(29)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Faktor Biotik Lingkungan

Hasil identifikasi terhadap plankton pada setiap stasiun penelitian diperoleh klasifikasi plankton, dan keberadaan jenis pada empat stasiun penelitian seperti pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi dan Jenis Plankton yang Ditemukan Pada Empat Stasiun Penelitian

KELAS ORDO FAMILI GENUS

STASIUN 1 2 3 4

A. FITOPLANKTON

1. Bacillariophyceae 1. Bacillariales

1. Achnathaceae 1. Cocconeis + + + +

2. Achnanthes - + - -

2. Bidulphiaceae 3. Biddulphia + + + +

4. Triceratium + + + +

3. Chaetoceraceae 5. Chaetoceros + + + +

4. Coscinodiscaceae

6. Coscinodiscus + + + +

7. Corethron + - - -

8. Melosira + + + +

5. Cymbellaceae 9. Cymbella + + - +

6. Epithemioiceae 10. Denticula + + + +

7. Fragilariaceae

11. Asterionella + + + +

12. Diatoma + + + +

13. Fragilaria + + + +

14. Tabellaria + + + +

8. Naviculaceae 15. Navicula + + + +

9. Nitzschiaceae 16. Nitzschia + + - +

17. Gyrosigma + - - -

10.Pleurosigmataceae 18. Pleurosigma + - - -

11. Rhizoolenioceae

19. Atheya + - + -

20. Dytilum + - + +

21. Guinardia + + + +

22. Rhizosolenia + + - +

12. Surirellaceae 23. Surirella - + - -


(30)

25. Thalassiosira + + + +

3. Thalassionematales 14. Thalassionemtaceae 26. Thalassionema + + + +

27. Thalassiothrix + + + +

2. Chlorophyceae

4. Chlorococchales 15. Oocystaceae 28. Closteriopsis + + + +

29. Dactylococcus + - - +

5. Cladoporales

16. Cladophoraceae 30. Rhizoclonium + + + +

17. Pleurochloridaceae 31. Goniochloris + - - -

32. Trachychloron + - - -

6. Heterosiphonales 18. Syncryptaceae 33. Uroglenopsis + + + -

7. Tetrasporales

19. Elakatotrichaceae 34. Elakatothrix + + + +

20. Hydrodictaceae 35. Pediastrum + + - +

21. Palmellaceae 36. Spaerocystis + - - -

8. Ulotrichales

22. Chaetophoraceae 37. Dermathophyton - + - -

23. Cylindrocapsaceae 38. Cylindrocapsa + + + +

24. Microspora 39. Microspora - + + +

25. Protocccaceae 40. Protococcus + + + +

26. Ulotrichascaceae

41. Binucelaria + + - -

42. Geminella + + + +

43. Hormidium - - + +

44. Stichococcus + - - -

45. Ulothrix + + + +

46. Uronema + + + +

9. Volvocales 27. Phacotaceae 47. Pedinopera - - - -

28. Volvocaceae 48. Volvox + + + +

10. Zignematales

29. Desmidiaceae 49. Closterium + + + +

30. Mesotaeniaceae 50. Gonatozygon + + + +

31. Zignemataceae

51. Pleurodiscus + + - +

52. Spyrogira + - + -

53. Sirogonium - - + +

54. Zygnema + + - +

3. Chrisophyceae 11. Chrysomonadales 32. Ochromonadaceae 55. Dislephanus + - + +

56. Phaeplaca + + + +

4. Chyanophyceae 12. Ceratiales 33. Ceratiaceae 57. Cerataulina + - - -

13. Oscillatorales 34. Oscillatoriceae 58. Phormidium + - - -

5. Dinophyceae 14. Phytodiniales 35. Phytodiniaceae 59. Cystodinium - + - -

6. Euglenophyta 15. Euglenales 36. Euglenaphyceae 60. Euglena + + + +

7. Porifera 16. Sponglinales 37. Spongilinaceae 61. Spongilla - + + +

8. Xanthophyceae 17. Heterococcales 38. Pleurochloridaceae

62. Chlorococcum - + + +

63. Chlorogibba - - + -

18. Tribonematales 39. Tribonemataceae 64. Tribonema - + + -

Jumlah 52 46 42 44

B. ZOOPLANKTON

9. Actinipoda 19. Centrohelida 40. Microcometesidae 65. Achanthocystis + - + -

10. Brhanchiopoda 20. Cladocera

41. Daphnidae 66. Daphnia + - - -

42. Bosmidae 67. Bosmina - - + -

43. Polyphemidae 68. Pleoroxus + - - +

11. Ciliata 21. Frontonniina 44. Frontoniidae 69. Glaucoma + + + +

12. Copepoda 22. Calanoida

45. Acartiidae 70. Acartia + - - -

46. Diaptomidae 71. Diaptomus + - + -

13. Maxilliopoda 23. Cyclopoida 47. Cyclopidae

72. Cyclops + + + +

73. Diacyclops + + + +


(31)

75. Macrocyclops + - + -

14. Monogononta 24. Ploimida

48. Brachionidae 76. Keratella + + + +

77. Mytilina + - - -

49. Trichocercidae 78. Trichocerca + + + +

15. Rhizopoda 25. Lestacpalobosa 50. Hyalodiscidae 79. Astramoeba - + + +

Jumlah 13 7 11 7

Jumlah Keseluruhan 65 53 53 51

Keterangan: (+) = ditemukan, (-) = tidak ditemukan

Dari Tabel 3.1 diketahui bahwa plankton yang didapat pada seluruh stasiun penelitian adalah 8 kelas fitoplankton yang terdiri dari 18 ordo, 39 famili dan 64 genus serta 7 kelas zooplankton yang terdiri dari 7 ordo, 11 famili dan 15 genus. Keberadaan jumlah fitoplankton lebih banyak dibandingkan dengan zooplankton. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang relatif tinggi di pesisir perairan Kuala Tanjung, yaitu berkisar 6.485-24.215 lux (Tabel 3.5), keadaan ini mendukung pertumbuhan dan penyebaran fitoplankton dengan baik dibandingkan zooplankton, dimana fitoplankton cenderung lebih aktif dengan adanya cahaya dan berkaitan dengan fungsi fitoplankton sebagai produsen tingkat pertama yang melakukan fotosintesis. Djuhanda (1980), menyatakan bahwa fitoplankton merupakan kunci yang membuka kehadiran semua kehidupan di dalam air. Fitoplankton merupakan makanan zooplankton dan hewan-hewan lainnya di dalam air. Melalui fotosintesis, fitoplankton mengubah energi matahari menjadi energi. Wiadnyana (2002), menjelaskan bahwa dalam proses fotosintesis fitoplankton membutuhkan cahaya matahari. Sejalan dengan proses terjadi fotosintesis bergantung pada jumlah cahaya yang tersedia di dalam perairan.

Pada Tabel 3.1 juga terlihat bahwa plankton yang paling banyak didapatkan adalah dari kelas Chlorophyceae (17 famili dan 27 genus) dan Bacillariophyceae (14 famili dan 27 genus). Hal ini disebabkan oleh kelas Chlorophyceae dan Bacillariophyceae merupakan jenis fitoplankton yang paling penting dalam memberikan kontribusi secara mendasar bagi produktivitas laut, khususnya di wilayah perairan pantai. Menurut Sunarto (2008), pada daerah pantai fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah sebagian besar merupakan plankton dari kelompok Chlorophyceae dan Bacillariophyceae, dimana kedua kelompok tersebut berperan dalam fotosintesis (menghasilkan energi dari cahaya matahari). Yudilasmono (1996)


(32)

dengan lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan larva udang. Sedangkan Chlorophyceae merupakan jenis alga hijau yang memiliki pigmen dari kloroplas, yakni bentuk sel yang mengandung pigmen untuk fotosintesis.

Berdasarkan jumlah jenis plankton yang banyak ditemukan adalah pada stasiun 1 (daerah bebas aktivitas) didapatkan 52 jenis fitoplankton dan 13 jenis zooplankton, stasiun 2 (46 jenis fitoplankton dan 7 jenis zooplankton), dan stasiun 3 (42 jenis fitoplankton dan 11 jenis zooplankton). Sedangkan stasiun 4 (44 jenis fitoplankton dan 7 jenis zooplankton). Keberadaan plankton yang lebih banyak ditemukan terdapat pada stasiun 1, yaitu sebanyak 65 genus (52 jenis fitoplankton dan 13 jenis zooplankton). Hal ini terjadi karena stasiun 1 merupakan daerah pariwisata yang memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi, yaitu 24.215 lux (Tabel 3.5) yang mendukung fitoplankton melakukan fotosintesis, dimana apabila fitoplankton banyak maka zooplankton juga akan tumbuh dengan baik. Menurut Sunarto (2008), sebagai organisme autotrof fitoplankton berperan sebagai produsen primer yang mampu mentransfer energi cahaya menjadi energi kimia berupa bahan organik. Distribusi fitoplankton dipengaruhi oleh adanya cahaya matahari yang masuk kedalam badan perairan. Fitoplankton juga menjadi sumber nutrisi bagi zooplankton dan penyedia energi bagi kehidupan perairan.

3.2 Kelimpahan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Hasil perhitungan dari jumlah individu plankton pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan nilai Kelimpahan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton, seperti terlihat pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Nilai Kelimpahan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

TAKSA

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4 K (ind/L) KR (%) FK (%) K (ind/L) KR (%) FK (%) K (indL) KR (%) FK (%) K (ind/L) KR (%) FK (%)

1. Cocconeis 112,25 0,36 33,33 51,02 0,46 33,33 30,61 0,45 24,99 173,47 0,61 50

2. Achnanthes 51,02 0,57 25


(33)

4. Triceratium 30,61 0,08 66,66 193,88 1,64 88,33 71,43 1,00 33,33 122,45 0,41 41,66

5. Chaetoceros 1448,98 3,81 100 40,82 0,42 24,99 91,84 1,50 50 816,33 2,97 83,33

6. Coscinodiscus* 4091,84 13,62 100 3224,49* 25,90* 100* 897,96* 12,86* 100* 3755,10 12,19 66,66

7. Corethron 20,41 0,06 8,33

8. Melosira 1142,86 3,76 83,33 132,65 1,49 33,33 142,86 2,26 49,99 755,10 2,72 50

9. Cymbella 81,64 0,29 33,33 102,04 1,11 41,66 20,41 0,08 8,33

10. Denticula 81,63 0,26 41,66 142,86 1,61 33,33 10,20 0,17 8,33 51,02 0,17 25

11. Asterionella 806,12 2,14 41,66 112,24 0,84 25 81,63 1,26 24,99 571,43 1,87 58,33

12. Diatoma 122,45 0,36 50 102,04 1,15 33,33 30,61 0,50 25 306,12 1,20 58,33

13. Fragilaria 142,86 0,51 8,33 387,76 3,12 74,99 275,51 3,91 49,99 122,45 0,40 25

14. Tabellaria 428,57 1,15 58,33 1316,33 10,51 91,66 551,02 7,78 58,33 255,10 0,89 41,66

15. Navicula 142,86 0,44 58,33 163,27 1,83 50 40,82 0,62 24,99 316,33 1,17 66,66

16. Nitzschia 71,43 0,25 16,66 91,84 1,03 49,99 20,41 0,08 8,33

17. Gyrosigma 10,21 0,04 8,33

18. Pleurosigma 153,06 0,43 41,66 132,65 1,49 50 71,43 1,16 33,33 142,86 0,53 66,66

19. Atheya 81,63 0,25 41,66 193,88 0,79 49,99

20. Dytilum 142,86 0,37 33,33 30,61 0,50 16,66 224,49 0,92 33,33

21. Guinardia 765,31 2,47 83,33 153,06 1,64 91,66 153,06 2,40 66,66 204,08 0,73 41,66

22. Rhizosolenia 142,86 0,38 24,99 20,41 0,23 16,66 244,90 1,01 41,66

23. Surirella 20,41 0,15 16,66

24. Skeletonema* 8816,33* 26,51* 100* 867,35 8,47 100 418,37 6,76 66,66 9428,57* 34,00* 100*

25. Thalassiosira 336,74 1,05 74,99 551,02 4,38 33,33 224,49 3,59 58,33 357,14 1,47 41,66

26. Thalassionema 3122,45 8,24 83,33 61,22 0,69 16,66 214,29 3,40 49,99 2479,59 9,33 100

27. Thalassiothrix 887,76 2,31 33,33 51,02 0,57 16,66 51,02 0,83 33,33 632,65 2,60 50

28. Closteriopsis 520,41 1,46 83,33 153,06 1,60 49,99 142,86 2,26 41,66 357,14 1,26 83,33

29. Dactylococcus 10,21 0,04 8,33 142,86 0,59 16,66

30. Rhizoclonium 336,74 1,02 66,66 183,67 1,60 58,33 295,92 4,20 66,66 275,51 1,06 74,99

31. Goniochloris 51,02 0,18 16,66

32. Trachychloron 132,66 0,47 16,66

33. Uroglenopsis 234,70 0,61 16,66 20,41 0,23 8,33 30,61 0,50 16,66

34. Elakatothrix 214,29 0,56 41,66 10,20 0,11 8,33 61,22 1,00 41,66 132,65 0,55 8,33

35. Pediastrum 61,23 0,20 16,66 10,20 0,11 8,33 20,41 0,07 8,33

36. Spaerocystis 10,21 0,03 8,33

37. Dermathophyton 20,41 0,15 8,33

38. Cylindrocapsa 20,41 0,07 8,33 10,20 0,11 8,33 102,04 1,66 25 163,27 0,67 25

39. Microspora 10,20 0,11 8,33 102,04 1,66 25 244,90 1,01 16,66

40. Protococcus 122,45 0,43 8,33 10,20 0,08 8,33 20,41 0,33 8,33 30,61 0,13 8,33

41. Binucelaria 91,84 0,33 8,33 20,41 0,23 16,66

42. Geminella 153,06 0,43 27,77 102,04 1,15 33,33 204,08 3,32 41,66 183,67 0,76 41,66

43. Hormidium 30,61 0,50 8,33 10,20 0,04 8,33

44. Stichococcus 153,06 0,40 16,66

45. Ulothrix 71,43 0,25 25 61,22 0,61 33,33 20,41 0,31 16,66 30,61 0,11 16,66

46. Uronema 1020,41 2,81 74,99 295,92 3,33 41,66 153,06 2,49 33,33 316,33 1,26 58,33

47. Pedinopera 10,21 0,04 8,33

48. Volvox 989,80 3,35 66,66 163,27 1,83 41,66 306,12 4,39 66,66 326,53 1,06 25

49. Closterium 244,90 0,78 91,66 142,86 1,26 41,66 81,63 1,31 41,66 530,61 2,14 58,33

50. Gonatozygon 1387,76 4,67 91,66 622,45 5,45 83,33 530,61 7,66 74,99 275,51 0,97 50

51. Pleurodiscus 122,45 0,34 58,33 30,61 0,34 8,33 142,86 0,56 50

52. Spyrogira 51,02 0,18 16,66 20,41 0,29 8,33

53. Sirogonium 20,41 0,29 16,66 40,82 0,13 16,66

54. Zygnema 193,88 0,51 41,66 10,20 0,11 8,33 224,49 0,92 41,66

55. Dislephanus 357,15 0,93 25 61,22 1,00 41,66 91,84 0,38 33,33

56. Phaeplaca 30,61 0,08 8,33 255,10 2,60 58,33 561,22 7,97 75 387,76 1,25 50

57. Cerataulina 71,43 0,25 25

58. Phormidium 224,49 0,79 25

59. Cystodinium 30,61 0,34 16,66

60. Euglena 102,04 0,35 33,33 153,06 1,22 41,66 30,61 0,48 16,66 40,82 0,13 16,66


(34)

63. Chlorogibba 20,41 0,33 16,66

64. Tribonema 40,82 0,42 24,99 20,41 0,33 16,66

Jumlah 30.428,59 9,.38 10.653,06 95,62 6.336,73 95,37 26.183,67 95,06

ZOOPLANKTON

65. Achanthocystis 30,61 0,11 16,66 10,20 0,17 8,33

66. Daphnia 30,61 0,11 25

67. Bosmina 30,61 0,50 16,66

68. Pleoroxus 40,82 0,12 24,99 10,20 0,04 8,33

69. Glaucoma 10,21 0,03 8,33 265,31 2,25 66,66 10,20 0,17 8,33 10,20 0,04 8,33

70. Acartia 30,61 0,08 16,66

71. Diaptomus 81,64 0,29 33,33 30,61 0,50 8,33

72. Cyclops 295,92 0,81 49,99 40,82 0,46 16,66 30,61 0,50 25 112,24 0,36 33,33

73. Diacyclops 632,66 2,06 83,33 10,20 0,11 8,33 30,61 0,48 16,66 40,82 0,13 25

74. Eucyclops 316,33 0,94 66,66 30,61 0,23 8,33 20,41 0,33 8,33

75. Macrocyclops 40,82 0,11 16,66 10,20 0,17 8,33

76. Keratella 295,92 0,83 75,00 61,22 0,53 41,66 51,02 0,81 24,99 102,04 0,35 49,99

77. Mytilina 10,21 0,03 8,33

78. Trichocerca 1193,88 3,12 58,33 30,61 0,34 25 10,20 0,17 8,33 948,98 3,35 83,33

79. Astramoeba 61,22 0,46 16,66 61,22 0,86 25 204,08 0,66 25

Jumlah 3.010,21 8,61 500 4,38 295,92 4,63 1.428,57 4,94

Jumlah Keseluruhan 33.438,79 100 11.153,06 100 6.632,65 100 2.761,24 100

Dari Tabel 3.2 terlihat bahwa nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1, yaitu sebanyak 33.438,79 ind/l. Sedangkan untuk yang terendah terdapat di stasiun 4, yaitu sebanyak 2.761,24 ind/l. Tingginya kelimpahan plankton di stasiun 1 disebabkan karena banyaknya ketersedian nutrisi dan suhu yang lebih hangat, stasiun ini merupakan daerah pariwisata yang memiliki kadar posfat 0,087 mg/l dan suhu 28oC (Tabel 3.5). Menurut Melati et al., (2005), tingginya penyebaran plankton khususnya fitoplankton disebabkan suhu yang relatif lebih hangat dan ketersediaan nutrisi, seperti posfat yang diperoleh melalui proses biodegradasi yang akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dimanfaatkan berbagai jenis alga dan fitoplankton lainnya.

Pada fitoplankton nilai total kelimpahan tertinggi dari keempat stasiun penelitian terdapat pada stasiun 1, yaitu sebanyak 30.428,59 ind/l. Keberadaan jumlah fitoplankton yang lebih tinggi disebabkan oleh stasiun 1 (daerah pariwisata) yang memiliki salinitas yang tinggi, yaitu 32 o/oo dan intensitas cahaya yang tinggi, yaitu

24.215 lux (Tabel 3.5). Widianingsih et al., (2007), menyatakan bahwa banyak jenis fitoplankton yang dapat hidup pada salinitas diatas 30 o/oo. Kelimpahan fitoplankton

dapat berubah seiring dengan adanya perubahan nutrien dan cahaya yang merupakan faktor utama, serta adanya perubahan perbedaan lingkungan fisik. Dimana cahaya matahari dapat digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis.


(35)

Pada zooplankton nilai total kelimpahan tertinggi dari keempat stasiun penelitian terdapat pada stasiun 1, yaitu sebanyak 3.010,21 ind/l. Hal ini terjadi karena zooplankton merupakan konsumen tingkat pertama di dalam perairan, dimana pada stasiun 1 jumlah fitoplankton lebih tinggi yang dapat menjadi sumber nutrisinya. Barus (2004), menyatakan bahwa sebagian zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus. Zooplankton ini juga dapat berfungsi sebagai produsen tingkat kedua bagi komunitas ikan di perairan. Dimana ikan-ikan dapat menjadikan zooplankton sebagai makannya setelah fitoplankton.

Pada stasiun 1 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi pada genus Skeletonema, yaitu sebanyak 8.816,33 ind/l (K), 26,51 % (KR) dan 100% (FK). Genus Skeletonema merupakan genus plankton yang memiliki kelimpahan tertinggi. Hal ini disebabkan pada stasiun 1 memiliki nilai kadar nitrat 0,068 mg/l dan suhu 28oC (Tabel 3.5) yang mendukung pertumbuhan jenis plankton tersebut, sehingga jenis Skeletonema pertumbuhannya lebih cepat. Sunarto (2008), menyatakan bahwa jenis Skeletonema lebih berlimpah dibandingkan jenis plankton lainnya, karena jenis ini lebih cepat menangkap nutrisi dari pada diatom lainnya. Menurut Aunurohim et al., (2006), dominansi Skeletonema disebabkan oleh sifatnya yang euryhaline dan eurythermal (mampu hidup pada suhu 3oC-30oC), sehingga lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Pada stasiun 1 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran terendah pada genus Gyrosigma, Dactylococcus, Spaerocystis,

Pedinopera, Glaucoma, Dan Mytilina, yaitu sebanyak 10,21 ind/l (K), 0,43% (KR)

dan 41,66% (FK). Hal ini disebabkan faktor fisik kimia seperti salintas 32 o/oo (Tabel

3.5) menghambat pertumbuhan genus tersebut. Menurut Gosari (2002), hampir semua organisme laut dapat hidup pada daerah yang mempunyai salinitas rendah, suatu individu dapat berkembang dengan baik pada habitat yang menyuplai kehidupannya.

Pada stasiun 2 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi pada genus Coscinodiscus, yaitu sebanyak 3.224,49 ind/l (K), 25,90 (KR) dan 100% (FK). Hal ini terjadi karena pada stasiun ini memiliki nilai


(36)

kadar nitrat 0,089 mg/l (Tabel 3.5) yang mendukung keberadaan genus tersebut. Dimana Coscinodiscus merupakan fitoplankton yang cepat menangkap nutrisi. Menurut Nybakken (1988), banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi.

Pada stasiun 2 didapat nilai kelimpahan plankton yang terendah pada genus

Elakatothrix, Pediastrum, Cylindrocapsa, Microspora, Protococcus, Zygnema, dan Diacyclops, yaitu sebanyak 10,20 ind/l (K), 0,11% (KR) dan 8,33% (FK). Hal ini

terjadi karena stasiun 2 memiliki nilai suhu yang tinggi yaitu 29,5oC (Tabel 3.5) yang dapat mengganggu penyebaran genus tersebut. Menurut Wiadnyana (2002), jika suhu terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton sehingga fotosintesis terganggu. Tingginya suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesis dan dapat mempengaruhi dsitribusi plankton.

Pada stasiun 3 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi pada genus Coscinodiscus, yaitu sebanyak 897,57 ind/l (K), 12,86% (KR) dan 100% (FK). Hal ini terjadi karena pada stasiun 2 memiliki nilai pH (Tabel 3.5) yang mendukung perkembangan dan aktivitas genus tersebut. Menurut Handayani & Mufti (2005), pH berpengaruh pada setiap kehidupan organisme, namun setiap organisme mempunyai batas toleransi bervariasi terhadap pH perairan.

Pada stasiun 3 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran terendah pada genus Denticula, Achanthocystis, Glaucoma,

Macrocyclops dan Trichocerca, yaitu sebanyak 10,20 ind/l (K), 0,17% (KR) dan

8,33% (FK). Hal ini terjadi karena stasiun ini merupakan daerah muara yang memiliki faktor fisik kimia perairan seperti kadar posfat yang rendah, yaitu 0,056 mg/l (Tabel 3.5) yang tidak mendukung pertumbuhan genus tersebut. Menurut Widianingsih et al., (2007), nutrisi seperti posfat dan nitrat mendorong meningkatnya kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan. Namun pada perairan estuaria dan perairan pantai dapat berubah dengan cepat seiring dengan adanya perubahan nutrien.


(37)

Pada stasiun 4 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi pada genus Skeletonema, yaitu sebanyak 9.428,57 ind/l (K), 34,00% (KR) dan 100% (FK). Hal ini terjadi karena stasiun ini memiliki nilai DO (oksigen terlarut) 5,75 mg/l (Tabel 3.5) yang mendukung pertumbuhan dan aktivitas genus tersebut. Menurut Sastrawijaya (1991), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur dan limbah industri. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

Pada stasiun 4 didapat nilai kelimpahan plankton, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran terendah pada genus Hormidium, Pleoroxus dan Glaucoma, yaitu sebanyak 0,17 ind/l (K), 0,03% (KR) dan 8,33% (FK). Hal ini terjadi karena stasiun ini merupakan daerah muara dan memiliki nilai salinitas 29,5 o/oo dan suhu 30,5 oC

(Tabel 3.5) sehingga tidak mendukung kelimpahan genus tersebut. Menurut Putland (2005) dalam Suryanti (2008), biomassa fitoplankton lebih tinggi pada salinitas yang relatif lebih rendah dan jumlah fitoplankton lebih tinggi pada suhu yang lebih hangat.

Genus Coscinodiscus dapat hidup dengan baik pada seluruh stasiun penelitian, dan Tabellaria dapat hidup dengan baik pada stasiun 2. Sedangkan Skeletonema dapat hidup dengan baik pada stasiun 1 dan 4. Ketiga genus ini termasuk ke dalam kelas Bacillariophyceae. Hal ini terjadi karena pada setiap stasiun memiliki suhu, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrisi (Tabel 3.5) maksimun yang dapat di toleransi ketiga genus tersebut. Dimana ketiga genus tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya sehingga memungkinkan untuk tumbuh dengan baik. Menurut Reynolds et al., (1984), komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respons terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi. Suatu individu dapat berkembang dengan baik apabila tersedianya nutrisi yang dapat menyuplai kehidupannya. Dimana Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungannya dan merupakan fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan udang.


(38)

Genus Corethron, Gyrosigma, Goniochloris, Trachycloron, Spaerocystis,

Stichococcus, Phormidium, Acartia, dan Mytilina hanya terdapat di stasiun 1. Hal ini

terjadi karena pada stasiun 1 memiliki intensitas cahaya 24.215 lux (Tabel 3.5) yang mendukung pertumbuhan genus tersebut. Menurut Subarijanti (1990), cahaya merupakan faktor utama dan terpenting dalam pertumbuhan fitoplankton, terutama dalam kelancaran proses fotosintesis. Kesempurnaan ini tergantung besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan.

Genus Achnanthes, Surirella, Dermatophyton dan Cystodinium hanya terdapat pada stasiun 2. Hal ini disebabkan stasiun ini memiliki kadar nitrat 0,089 mg/l dan kadar posfat 0,099 mg/l (Tabel 3.5) yang dapat menyuplai kehidupan organisme tersebut. Menurut Nybakken (1988), banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi.

Genus Chlorogibba, dan Bosmina hanya terdapat di stasiun 3. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan seperti penetrasi cahaya 29 cm dan DO (oksigen terlarut) 6,25 mg/l (Tabel 3.5) yang dapat ditoleransi genus-genus tersebut. Menurut Sastrawijaya (1991), oksigen terlarut bergantung kepada suhu, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kelimpahan dan jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air.

3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Masing-Masing Stasiun Penelitian

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun seperti pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Nilai H’ Indeks (Diversitas Shannon-Wiener) dan E (Indeks Equitabilitas) yang diperoleh pada masing-masing Stasiun Penelitian

H' E

Stasiun 1 2,76 0,71

Stasiun 2 2,77 0,76

Stasiun 3 2,81 0,78


(39)

Dari Tabel 3.3 diatas dapat dilihat bahwa nilai H’ (Indeks Keanekaragaman) tertinggi pada stasiun 3 dengan nilai 2,81. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 3 merupakan daerah yang sesuai untuk pertumbuhan plankton karena memiliki penetrasi cahaya sebesar 29 cm, dan suhu sebesar 27oC (Tabel 3.5) yang cocok untuk pertumbuhannya. Sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 2,53. Hal ini terjadi karena stasiun 4 merupakan daerah pembuangan industri yang mengakibatkan faktor fisik kimia perairan kurang mendukung pertumbuhan plankton seperti kelarutan oksigen sebesar 5,75 mg/l dan BOD yang cukup rendah sebesar 1,5 mg/l yang menandakan bahwa perairan pada stasiun ini banyak mengandung senyawa anorganik yang membutuhkan jumlah oksigen yang banyak dalam proses penguraiannya sehingga dapat mengakibatkan defisit oksigen, sehingga peyebaran plankton tidak merata dan terdapat jenis yang mendominasi. Indeks keanekaragaman lebih tinggi pada stasiun 3 (2,81) dibandingkan dengan stasiun 1 (2,76). Hal ini terjadi karena pada stasiun 1 banyak terdapat jenis-jenis plankton yang mendominasi, sehingga keanekaragamannya menjadi rendah.

Menurut Barus (2004), keanekaragaman tergantung pada jumlah jenis yang ada dalam suatu komunitas dan pola penyebaran individu antar jenis suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila ternyata banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dengan kata lain apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Indeks keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 dengan nilai 0,78, ini disebabkan penyebaran plankton merata dan tidak ada spesies yang mendominasi. Sedangkan nilai Indeks Keseragaman (E) terendah pada stasiun 4 dengan nilai 0,70. Hal ini terjadi karena adanya spesies yang mendominasi. Hal ini diperkuat Pirzan dan Petrus (2008), yang menyatakan bahwa apabila keseragaman mendekati nol berarti keseragaman antar spesies di dalam komunitas tergolong rendah dan sebaliknya keseragaman yang mendekati satu dapat dikatakan keseragaman antar spesies tergolong merata atau sama. Menurut Suin (2002), tidak samanya penyebaran


(40)

plankton dalam badan air disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor-faktor abiotik lainnya.

3.4 Indeks Similaritas

Indeks similaritas antara stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4 Nilai IS (Indeks Similaritas) pada masing-masing Stasiun Penelitian

IS Stasiun

1 2 3 4

Stasiun 1 - 64,47% 64,45% 71,49%

Stasiun 2 - - 72,28% 68,36%

Stasiun 3 - - - 75,65%

Stasiun 4 - - - -

Dari Tabel 3.4 diatas menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang diperoleh mirip berkisar 64,45%-72,28% tergolong mirip yaitu antara stasiun 1 dan 2, stasiun 1 dan 3, stasiun 1 dan 4, stasiun 2 dan 3 dan stasiun 2 dan 4. Indeks Similaritas (IS) yang berkisar 75,65% tergolong sangat mirip yaitu antara stasiun 3 dan 4. Hal ini terjadi karena beberapa faktor fisik kimia, jumlah dan jenis plankton pada keempat stasiun tidak jauh berbeda, sehingga hasil indeks similaritas yang diperoleh tergolong sangat mirip dan mirip.

Menurut Krebs (1985), Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan plankton yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila semakin besar Indeks Similaritasnya, maka jenis plankton yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan plankton antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

Barus (2004), menyatakan bahwa suatu perairan yang belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan yang tercemar akan menyebabkan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies tertentu yang bersifat dominan.


(41)

3.5 Faktor Abiotik Lingkungan

Hasil pengukuran faktor fisik kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti Tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Stasiun

1 2 3 4

1 Temperatur (oC) 28 29,5 27 30,5

2 Penetrasi Cahaya (cm) 25 19 29 19

3 Intensitas Cahaya (Lux) 24.215 6.485 17.130 15.650

4 pH 8,15 7,75 7,65 8,6

5 Salinitas (o/oo) 32 24 18 29,5

6 DO(mg/l) 6,2 6,1 6,25 5,75

7 BOD5 (mg/l) 1,6 2,1 1,8 1,5

8 Kadar Nitrat (mg/l) 0,068 0,089 0,064 0,051

9 Kadar Posfat (mg/l) 0,087 0,099 0,056 0,065

10 Kejenuhan Oksigen (%) 80,01 80,43 79,44 76,99

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah pariwisata

Stasiun 2 : Daerah Mangrove (bebas aktivitas) Stasiun 3 : Daerah Muara Sungai

Stasiun 4 : Daerah Pembuangan Limbah Pabrik

Dari Tabel 3.5 di atas dapat dilihat bahwa faktor-fisik kimia setiap stasiun yang mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan. Dari data juga terlihat jumlah setiap faktor fisik kimia ada perbedaan pada setiap stasiun. Oleh karena itu perbedaan faktor-fisik kimia disetiap perairan juga akan mempengaruhi kehidupan organismenya.

3.5.1 Temperatur

Dari penelitian yang telah dilakukan nilai rata-rata temperatur yang diperoleh berkisar antara 27oC-30,5oC , dan temperatur tertinggi pada stasiun 4 dengan nilai yaitu 30,5oC. Hal ini disebabkan pada stasiun 4 merupakan daerah pembuangan limbah industri, dimana adanya aktivitas dan tidak adanya vegetasi disekitar perairan


(42)

menyebabkan badan air terkena cahaya matahari secara langsung yang dapat mempengaruhi faktor fisik perairan terutama temperatur. Sedangkan nilai temperatur terendah pada stasiun 3 dengan nilai yaitu 27 oC. Hal ini disebabkan pada stasiun 3 merupakan daerah estuaria, sehingga temperatur pada daerah estuaria lebih bervariasi, dimana air lebih cepat panas dan lebih cepat dingin.

Menurut Subarijanti, (1990), suhu ini memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

3.5.2 Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai intensitas cahaya dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 24.215 lux. Hal ini disebabkan stasiun 1 (daerah pariwisata) daerah yang terbuka tanpa vegetasi sehingga cahaya matahari langsung masuk kedalam badan perairan tanpa ada penghalang. Sedangkan nilai intensitas yang terendah pada stasiun 2 sebesar 6.485 lux. Hal ini terjadi karena pada daerah stasiun 2 merupakan daerah mangrove sehingga cahaya matahari terhalangi oleh vegetasi mangrove. Dan nilai penetrasi cahaya yang diperoleh berkisar antara 19-29 cm.

Menurut Tarumingkeng (2001), antara penetrasi cahaya, dan intesitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat


(43)

dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman. Menurut Suin (2002), prinsip penentuan kecerahan air dengan menggunakan keping sechii adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu perairan, akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih, akan jauh batas pandangan tersebut.

3.5.3 pH Air

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata pH berkisar antara 7,65-8,6 dan pH tertinggi pada stasiun 4 dengan nilai yaitu 7,65-8,6. Sedangkan nilai pH terendah pada stasiun 3 dengan nilai pH 7,65. Tingginya pH pada daerah ini disebabkan oleh adanya berbagai macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang selanjutnya akan mengalami penguraian. Dimana aktivitas dapat mempengaruhi nilai faktor fisik perairan terutama nilai pH.

Menurut Barus (2004), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium. Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion-ion bersifat asam atau basa. Fitoplankton dan tanaman air akan mengambil karbondioksida selama proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH perairan menjadi meningkatkan pada siang hari dan menurun pada malam hari (Effendi, 2003).

3.5.4 Salinitas

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata salinitas berkisar antara 18-32 0/00, dan salinitas tertinggi pada stasiun 1 dengan nilai yaitu 32 0/00. Sedangkan


(44)

stasiun 1 merupakan daerah pariwisata, dimana dengan adanya aktifitas masyarakat dapat meningkatkan kadar garam pada perairan tersebut. Sedangkan salinitas terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 18 0/00. Hal ini terjadi karena pada stasiun 3

merupakan daerah muara, sehingga pada waktu arus surut yang mendominan adalah air tawar.

Menurut Barus (2004), secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi pada hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut.

3.5.5 Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata DO berkisar antara 5,75-6,25 mg/l, dan DO tertinggi pada stasiun 3 dengan nilai yaitu 5,75-6,25 mg/l. Hal terjadi karena stasiun 3 merupakan daerah muara sungai (estuaria), dimana pada daerah muara terjadi pengadukan secara sempurna shingga kadar oksigen terlarut lebih tinggi. Sedangkan DO terendah pada stasiun 4 dengan nilai yaitu 5,75 mg/l. Hal ini disebabkan oleh stasiun 4 merupakan daerah pembuangan limbah industri, dimana adanya senyawa organik dan mikroorganisme yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan tingginya suhu serata rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.

Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu dan salinitas air, kekeruhan air, tingkat penetrasi cahaya dan jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti ganggang, sampah dan limbah industri. Oksigen yang berasal dari proses fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air. Kadar oksigen terlarut pada badan air tegenang dan mengandung banyak tumbuh-tumbuhan tinggi pada sore hari dan rendah malam hari.


(45)

Tingginya kadar oksigen terlarut sore hari adalah karena oksigen dari hasil fotosintesis pada siang hari (Suin, 2002).

3.5.6 BOD5

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata BOD5 berkisar antara

1,5-2,1 mg/l, dan BOD5 tertinggi pada stasiun 2 dengan nilai yaitu 2,1 mg/l. BOD5

terendah pada stasiun 4 yaitu 1,5 mg/l. Hal ini disebabkan banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang membutuhkan oksigen untuk menguraikannya.

Menurut Barus (2004), nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Nilai konsentrasi BOD menunjukkan kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi oksigen selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik, dan apabila

konsumsi oksigen berkisar antara 10 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran

oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih besar dari 100 mg/l.

3.5.7 Kadar Nitrat

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata kadar nitrat berkisar antara 0,051-0,089 mg/l, dan kadar nitrat tertinggi pada stasiun 2 dengan nilai yaitu 0,089 mg/l. Hal ini terjadi karena pada stasiun 2 merupakan daerah mangrove (bebas aktivitas). Kandungan nitrat pada stasiun ini tinggi karena hasil pembusukan vegetasi yang pada pada stasiun ini. Banyaknya senyawa organik dapat dilihat dari nilai BOD.


(46)

Menurut Wiadnyana (2002), perubahan komunitas plankton dapat berlangsung secara sepat, sebab kondisi perairan yang relatif dangkal dapat mengalami pengadukan secara sempurna. Dengan cukup tersedianya energi matahari, nutrient seperti nitrat dapat dimanfaatkan kembali oleh fitoplankton yang dapat tumbuh dan berkembang secara cepat.

3.5.8 Kadar Posfat

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata kadar posfat berkisar antara 0,056-0,099 mg/l, dan kadar posfat tertinggi pada stasiun 2 dengan nilai yaitu 0,099 mg/l. Hal ini terjadi karena pada stasiun 2 merupakan daerah bebas aktivitas ) sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang dapat mempengaruhi kandungan posfat pada stasiun ini.

Untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi fosfat pada kisaran 0,27 mg/l-5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Bila kadar fosfat pada air alam sangat rendah (< 0,01 mg/l), maka pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang, keadaan inilah yang dinamakan oligotrop. Sedangkan bila kadar fosfat dan nutriennya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi (Alaert dan Sri, 1984).

3.5.9 Kejenuhan Oksigen

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata kejenuhan oksigen berkisar antara 76,99%-80,43%, dan kejenuhan oksigen tertinggi pada stasiun 2 dengan nilai yaitu 80,43%. Sedangkan kejenuhan oksigen terendah pada stasiun 4 dengan nilai yaitu 76,99%.

Nilai kejenuhan air menggambarkan keadaan oksigen yang terdapat di dalam badan air. Semakin tinggi nilai kelarutan oksigen maka semakin besar pula nilai kejenuhannya. Semakin tinggi nilai kejenuhan oksigennya maka semakin kecil defisit


(1)

Lampiran K. Nilai Kelimpahan (K), Kepadatan relatif (KR), dan Frekuensi

kehadiran (FK) pada plankton pada masing-masing stasiun

penelitian pada saat Pasang Surut

TAKSA

PASANG SURUT

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

1. Cocconeis 142,86 0,50 33,33 61,22 0,46 33,33 40,82 0,57 33,33 224,49 0,73 50

2. Achnanthes

3. Bidulphia 306,12 1,08 33,33 102,04 0,76 33,33 693,88 2,25 100 4. Triceratium 285,71 2,13 66,66 142,86 2,01 66,66 224,49 0,73 66,66 5. Chaetoceros 81,63 0.29 33,33 20,41 0,15 16,66 877,55 2,84 83,33 6. Coscinodiscus 6489,80 22,84 100 5469,39 40,79 100 1571,43 22,06 100 7428,57 24,04 100

7. Corethron

8. Melosira 1714,29 6,03 83,33 61,22 0,86 33,33 877,55 2,84 50 9. Cymbella 163,27 0,57 66,66 20,41 0,15 16,66 10. Denticula 102,04 0,36 50 102,04 0,33 50 11. Asterionella 81,63 029 16,66 224,49 1,67 50 61,22 0,86 16,66 1102,04 3,57 100 12. Diatoma 81,63 0,29 50 142,86 0,46 33,33 13. Fragilaria 285,71 1,01 16,66 653,06 4,87 83,33 510,20 7,16 66,66 244,90 0,79 50 14. Tabellaria 61,22 0,22 33,33 2265,31 1,.89 100 1061,22 14,90 100 367,35 1,19 50 15. Navicula 142,86 0,50 66,66 40,82 0,57 16,66 306,12 0,99 66,66 16. Nitzschia 142,86 0,50 33,33 17. Gyrosigma 20,41 0,07 16,66 18. Pleurosigma 61,22 0,22 16,66 122,45 0,40 50 19. Atheya 61,22 0,22 33,33 20,41 0,07 16,66

20. Dytilum

21. Guinardia 1040,82 3,66 83,33 40,82 0,30 16,66 81,63 1,15 33,33 244,90 0,79 33,33 22. Rhizosolenia 20,41 0,07 16,66 23. Surirella 40,82 0,30 33,33 24. Skeletonema 7795,92 27,44 100 673,47 5,02 100 40,82 0,57 33,33 10877,55 35,20 100 25. Thalassiosira 387,76 1,36 83,33 959,18 7,15 33,33 61,22 0,86 33,33 26. Thalassionema 265,31 0,93 66,66 81,63 1,15 33,33 1979,59 6,41 100 27. Thalassiothrix 28. Closteriopsis 224,49 0,79 66,66 61,22 0,46 33,33 61,22 0,86 33,33 469,39 1,52 100 29. Dactylococcus 20,41 0,07 16,66 30. Rhizoclonium 306,12 1,08 50 244,90 1,83 66,66 551,02 7,74 100 163,27 0,53 66,66 31. Goniochloris 102,04 0,36 33,33 32. Trachychloron 265,31 0,93 33,33 33. Uroglenopsis 34. Elakatothrix 35. Pediastrum 81,63 0,29 16,66 40,82 0,13 16,66 36. Spaerocystis 37. Dermathophyton 40,82 0,30 16,66 38. Cylindrocapsa 40,82 0,14 16,66

39. Microspora

40. Protococcus 244,90 0,86 16,66 20,41 0,15 16,66 41. Binucelaria 183,67 0,65 16,66 42. Geminella 61,22 0,22 16,66

43. Hormidium

44. Stichococcus 45. Ulothrix 142,86 0,50 50 40,82 0,30 33,33 20,41 0,29 16,66 40,82 0,13 16,66 46. Uronema 326,53 1,15 66,66 81,63 0,26 33,33 47. Pedinopera 20,41 0,07 16,66 48. Volvox 1693,88 5,96 66,66 530,61 7,45 100 653,06 2,11 50 49. Closterium 306,12 1,08 50 183,67 1,37 50 20,41 0,29 33,33 102,04 0,33 16,66 50. Gonatozygon 2306,12 8,12 100 816,33 6,09 100 877,55 12,32 83,33 367,35 1,19 50 51. Pleurodiscus 40,82 0,14 16,66 61,22 0,20 52. Spyrogira 102,04 0,36 33,33 40,82 0,57 16,66


(2)

53. Sirogonium 40,82 0,57 33,33 81,63 0,26 33,33

54. Zygnema

55. Dislephanus 56. Phaeplaca 142,86 1,07 33,33 1040,82 14,61 100 775,51 2,51 100 57. Cerataulina 142,86 0,50 50 58. Phormidium 448,98 1,58 50 59. Cystodinium 60. Euglena 183,67 0,65 50 265,31 1,98 66,66 20,41 0,29 16,66 81,63 0,26 33,33 61. Spongilla 102,04 0,76 16,66 62. Chlorococcum 63. Chlorogibba 64. Tribonema 20,41 0,15 16,66

ZOOPLANKTON

65. Achanthocystis 61,22 0,22 33,33 66. Daphnia 61,22 0,22 50

67. Bosmina

68. Pleoroxus 20,41 0,07 16,66 69. Galucoma 387,76 2,89 66,66

70. Acartia

71. Diaptomus 163,27 0,57 66,66 72. Cyclops 81,63 0,29 16,66 224,49 0,73 66,66 73. Diacyclops 897,96 3,16 83,33 20,41 0,29 16,66 81,63 0,26 50 74. Eucyclops 265,31 0,93 50 61,22 0,46 16,66 75. Macrocyclops 76. Keratella 122,45 0,43 50 81,63 0,61 50 20,41 0,29 16,66 163,27 0,53 66,66

77. Mytilina

78. Trichocerca 40,82 0,14 16,66 1265,31 4,10 83,33 79. Astramoeba 122,45 0,91 33,33 122,45 1,72 50 408,16 1,32 50

TOTAL 28408,16 100 13408,16 100 7122,45 100 30897,96 100


(3)

Lampiran L. Nilai H’ Indeks (Diversitas Shannon-Wiener) dan E (Indeks

Equitabilitas) yang diperoleh pada saat Pasang Naik dan Pasang

Surut

PASANG NAIK

PASANG SURUT

H'

E

H’

E

Stasiun 1

2,93

0,76

2,60

0,66

Stasiun 2

3,35

0,89

2,19

0,65

Stasiun 3

3,54

0,91

2,08

0,65


(4)

Lampiran M. Nilai IS (Indeks Similaritas) ) yang diperoleh pada saat Pasang

Naik dan Pasang Surut

IS

PASANG NAIK

PASANG SURUT

Stasiun

Stasiun

1

2

3

4

1

2

3

4

Stasiun 1

-

75,78%

72,91%

73,33%

-

53,85%

56%

71,42%

Stasiun 2

-

-

77,89%

76,40%

-

-

66,66%

60,31%

Stasiun 3

-

-

-

73,33%

-

-

-

77,96%

Stasiun 4

-

-

-

-

-

-

-

-


(5)

Lampiran N. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun

Penelitian pada saat Pasang Naik dan Pasang Surut

No

Parameter

Waktu

Stasiun

1

2

3

4

1

Temperatur (

o

C)

Pasang Naik

29

30

28

31

Pasang Surut

27

29

26

30

2

Penetrasi Cahaya (cm)

Pasang Naik

33

25

30

23

Pasang Surut

20

13

28

15

3

Intensitas Cahaya (Lux)

Pasang Naik

1530

5470

1460

3000

Pasang Surut

46900

7500

32800

28300

4

pH

Pasang Naik

8,2

7,9

8,0

8,3

Pasang Surut

8,1

7,6

7,3

8,9

5

Salinitas (

o

/

oo

)

Pasang Naik

32

28

29

30

Pasang Surut

32

20

7

29

6

DO(mg/l)

Pasang Naik

6,2

6,2

6,3

6,0

Pasang Surut

6,2

6

6,2

5,5

7

BOD

5

(mg/l)

Pasang Naik

1,6

2,0

1,8

1,9

Pasang Surut

1,6

2,2

1,8

1,1

8

Kadar Nitrat (mg/l)

Pasang Naik

0,061

0,085

0,023

0,037

Pasang Surut

0,075

0,093

0,082

0,065

9

Kadar Posfat (mg/l)

Pasang Naik

0,078

0,096

0,046

0,059

Pasang Surut

0,096

0,103

0,067

0,071

10

Kejenuhan Oksigen (%)

Pasang Naik

81,15

82,33

81,29

80,68

Pasang Surut

78,88

78,53

77,60

73,30

Keterangan:

Stasiun 1

: Daerah pariwisata

Stasiun 2

: Daerah Mangrove (bebas aktivitas)

Stasiun 3

: Daerah Muara Sungai


(6)

Lampiran O. Hasil Analisis Korelasi Pearson

Suhu

Penetrasi Cahaya

Intensitas

Cahaya pH Salinitas DO BOD5 Kand. Nitrat

Kand. Posfat

K. Oksigen H’ Suhu Pearson

Correlation 1 -.963(*) -.467 .675 .487

-.903 -.122 -.095 .269 -.553 -.748

Sig. (2-tailed) .037 .533 .325 .513 .097 .878 .905 .731 .447 .252

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Penetrasi Cahaya

Pearson Correlation

-.963(*) 1 .585

-.503 -.459 .754 -.103 -.173 -.503 .309 .547

Sig. (2-tailed) .037 .415 .497 .541 .246 .897 .827 .497 .691 .453

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Intensitas Cahaya

Pearson

Correlation -.467 .585 1 .320 .426 .223 -.764 -.575 -.340 -.119 -.091

Sig. (2-tailed) .533 .415 .680 .574 .777 .236 .425 .660 .881 .909

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

pH Pearson

Correlation .675 -.503 .320 1 .782

-.833 -.808 -.686 -.149 -.800 -.937

Sig. (2-tailed) .325 .497 .680 .218 .167 .192 .314 .851 .200 .063

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Salinitas Pearson

Correlation .487 -.459 .426 .782 1

-.437 -.582 -.236 .385 -.252 -.529

Sig. (2-tailed) .513 .541 .574 .218 .563 .418 .764 .615 .748 .471

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

DO Pearson

Correlation -.903 .754 .223

-.833 -.437 1 .447 .502 .152 .857 .948

Sig. (2-tailed) .097 .246 .777 .167 .563 .553 .498 .848 .143 .052

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

BOD5 Pearson

Correlation -.122 -.103 -.764

-.808 -.582 .447 1 .911 .520 .715 .707

Sig. (2-tailed) .878 .897 .236 .192 .418 .553 .089 .480 .285 .293

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Kand. Nitrat

Pearson

Correlation -.095 -.173 -.575

-.686 -.236 .502 .911 1 .803 .857 .730

Sig. (2-tailed) .905 .827 .425 .314 .764 .498 .089 .197 .143 .270

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Kand. Posfat

Pearson

Correlation .269 -.503 -.340

-.149 .385 .152 .520 .803 1 .622 .327

Sig. (2-tailed) .731 .497 .660 .851 .615 .848 .480 .197 .378 .673

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

K. Oksigen

Pearson

Correlation -.553 .309 -.119

-.800 -.252 .857 .715 .857 .622 1 .940 Sig. (2-tailed)

.447 .691 .881 .200 .748 .143 .285 .143 .378 .060

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

H’ Pearson

Correlation -.748 .547 -.091

-.937 -.529 .948 .707 .730 .327 .940 1 Sig. (2-tailed) .252 .453 .909 .063 .471 .052 .293 .270 .673 .060

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).