Nilai-Nilai Didaktis Dalam Teks Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang

(1)

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM TEKS CERITA TUAN PUTRI PUCUK

KELUMPANG

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

MUSTAFA NIM 040702012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA

DEPARTEMEN SASTRA MELAYU

MEDAN


(2)

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM TEKS CERITA TUAN PUTRI PUCUK

KELUMPANG

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

MUSTAFA NIM 040702012

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Yos Rizal, MSP Drs. Baharuddin, M. Hum NIP.19660617 1992031003 NIP. 196001011988031007

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA

DEPARTEMEN SASTRA MELAYU

MEDAN


(3)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada,

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof.Wan Syaifuddin. M.A. Ph, D NIP. 196509091994031004

Panitia ujian :

No. Nama Tanda tangan. 01 ... ( ) 02 ... ( ) 03 ... ( ) 04 ... ( ) 05 ... ( )


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim.

Benar Engkau Ya Allah dari segala Maha Kebenaran, kepada-Mu jualah kami haturkan syukur segala puja dan puji yang telah menciptakan alam kehidupan ini. Benar jualah Ya Allah, bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan-Mu untuk semua insan di dunia ini. Seiring dengan itu, tidak lupa kami mengucapkan salawat dan salam kepadanya.

Sudah merupakan persyaratan bagi setiap mahasiswa Fakultas Sastra Program Studi Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara Medan, diberi kewajiban menyusun dan menyelesaikan sebuah skripsi. Dalam rangka itulah, penulis memberanikan diri untuk menyusun skripsi dengan mengemukakan judul: “NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA TUAN PUTRI PUCUK KELUMPANG”.

Masalah yang hendak dibahas cukup luas dan pelik, maka sudah tentu pula dalam tulisan ini terdapat kelemahan dan kekurangan dalam cara penyampaiannya; baik dari segi informasi maupun dari segi analisa ilmiahnya. Untuk itulah, penulis mengharapkan kerelaan dan petunjuk dari pihak-pihak yang berkompeten, untuk dapat mengembangkan dan menyajikan tulisan-tulisan lain di hari esok, demi penyempurnaan analisa bahasan maupun penyempurnaan manfaat ilmiahnya.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak sedikit bantuan yang diperoleh, untuk itu diucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua yang tercinta dan tersayang yaitu ayahanda Hamdan dan ibunda Marleli, terima kasih telah membiayai, mendoakan, memberikan semangat, serta


(5)

memberikan yang terbaik buat ananda, selama ananda kuliah di Fakultas Sastra USU Medan. Buat Kakanda dan Adinda (Chairuna dan Nadila) terima kasih atas segala bantuannya baik secara materi ataupun non materi.

2. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra USU.

3. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum. selaku Ketua Departemen Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, serta pembimbing II, terima kasih atas bimbingannya.

4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M. Hum. selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah, Fakultas Sastra USU.

5. Bapak Drs. Yos Rizal, M.SP, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingannya.

6. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum. dan Ibu Asriaty R. Purba, M.Hum, selaku Dosen penguji, terima kasih atas segala saran yang diberikan untuk kesempurnaan skripsi ini.

7. Segenap dosen di lingkungan Fakultas Sastra USU Medan.

8. Kakanda Fifi yang telah banyak memberikan bantuan serta sarannya.

9. Terima kasih atas semangat yang diberikan oleh teman-teman seperjuangan angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu.


(6)

Penulis menyadari, skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan dalam beberapa hal. Menyadari akan hal tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga apa yang telah diuraikan dalam skripsi ini bermanfaat bagi saya juga para pembaca.

Medan, 2010 Penulis

MUSTAFA NIM 040702012


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 TujuanPenelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4 LandasanTeori ... 8

1.4.1 Teori Struktura ... 9

1.4.2 Teori Didaktis ... 18

1.5 Metode Penelitian ... 23

1.5.1 Sumber Data ... 23

1.5.2 Metode Dasar ... 23

1.5.3 Metode pengumpulan Data ... 24

1.5.4 Metode Analisis Data ... 24

BAB II DEMOGRAFI WILAYAH PENELITIAN DAN ASAL CERITA .. 26

2.1 Letak Geografis ... 26

2.2 Agama,Adat Istiadat,Sosial Budaya ... 27

2.3 Adat-istiadat ... 28

2.4 Sosial Budaya ... 29

2.5 Sastra Lisan Dalam Masyarakat Melayu ... 31


(8)

BAB III NilAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA PUTRI PUCUK

KELUMPANG ... 34

3.1 Sinopsis Cerita TuanPutri Pucuk Kelumpang ... 34

3.2 Struktur TuanPutri Pucuk Kelumpang ... 36

3.2. Tema ... 36

3.2.2 Alur ... 40

3.2.3 Tokoh ... 44

3.2.4 Latar ... 46

3.2.5 NilaiDidaktis Dalam Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang ... 49

3.2.6 Sikap Seorang Pemimpin ... 52

3.2.7 Akhlak dan Moral Seoarng Muslim ... 56

3.2.8 Patuh Terhadap Orang Tua ... 63

3.5.9 Pandai Membawa Diri ... 69

3.2.10 Menggunakan Pikiran Ketika Bertindak... 75

3.2.11 Hawa Nafsu ... 79

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

4.1 Kesimpulan ... 84

4.2 Saran ... 85


(9)

(10)

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Cerita rakyat yang merupakan bagian dari sastra rakyat adalah salah satu unsur kebudayaan yang perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai-nilai-nilai etika serta nilai-nilai moral masyarakat pendukungnya. Dengan mengetahui cerita rakyat tersebut, kita dapat mengetahui gambaran yang lebih banyak mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu dan dapat pula membina pergaulan serta pengertian bersama sebagai suatu bangsa yang memiliki aneka ragam kebudayaan.

Dalam kebudayaan masyarakat lama dikenal beberapa bentuk sastra lisan. Di antara bentuk-bentuk sastra lisan yang merupakan hasil cipta masyarakat lama (tradisional) itu adalah peribahasa, pantun, syair, dan prosa. Bentuk-bentuk kesusastraan itu diciptakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni sebagai alat mengekspresikan pikiran dan perasaan serta sebagai alat menyampaikan petuah-petuah dan pendidikan.

Sastra lisan yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat dikenal pula sebagai cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan merupakan mi l i k masyarakat yang bersangkutan. Folklor adalah sebagian kebu-dayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantaranya kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1994:2).

Lebih lanjut dijelaskan olen Danandjaja (1994:3) bahwa ciri-ciri folklor adalah (a) disebarkan dan diwariskan secara lisan, (b) bersifat tradisional dalam bentuk yang relatif tetap/standar, (c) ada dalam versi-versi, bahkan varian-va-rian


(12)

yang berbeda, (d) bersifat anonim, (e) berbentuk beru-mus, berpola, (f) berkegunaan di dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (g) bersifat pralogis, artinya memilikj logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum, (h) menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, dan (i) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering terkesan ka-sar, terlalu spontan.

Folklor yang terdapat dalam suatu komunitas masyarakat meniliki fungsi tertentu. Fungsi yang dimaksud adalah sebagai (a) sistem proyeksi, yakni sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) alat pendidikan anak, (d) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya (Danandjaja, 1991:19; Hutomo, 1991:69 —70)

Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan yang bisa dikembangkan yaitu: apakah peranan sastra (folklor) di dalam masyarakat; sedikit atau banyakkah ia mencerminkan budaya dan tata susunan masyarakat; Jika ia merefleksikan keadaan masyarakat, apakah yang direfleksikan itu keadaan yang sebenarnya ataukah hanya yang terdapat dari luar saja; dan apakah ia sebagai reflektor dari masyarakat berperanan aktif ataukah pasif (Hutomo, 1991:18).

Dalam masyarakat Deli Serdang hingga kini masih dapat dijumpai folklor lisan dalam bentuk cerita rakyat yang merupakan hasil warisan turun-temurun. Cerita rakyat yang dimaksud dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu mite, legenda, dan fabel. Ketiga bentuk cerita rakyat ini memiliki nilai sosial maupun nilai budaya sebagai cerminan kehidupan masyarakat Deli Serdang pada kurun waktu tertentu. Cerita-cerita tersebut diceritakan dengan lisan secara turun-temurun. Akankah cerita-cerita rakyat itu terus hidup untuk beberapa dekade yang akan datang merupakan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi ini akankah merupakan kemunduran atau bahkan kehilangan suatu aset kebudayaan tradisional yang sa-rat dengan nilai-nilai?


(13)

Hal ini mengingat bahwa setiap kebudayaan cepat atau lambat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan masyarakat pendukungnya serta pesatnya teknologi yang melanda. Pergantian generasi dalam suatu masyarakat maupun perluasan interaksi sosial ke luar lingkungan masyarakat dapat merangsang perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Berbagai penemuan dan perekayasaan yang terdorong oleh kebutuhan yang timbul karena perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi kebudayaan setempat. Demikian pula kemajuan teknologi yang memperlancar perpindahan penduduk dan kemudahan komunikasi telah mempermudah dan mempercepat penyebaran unsur-unsur kebudayaan melintasi batas-batas kebudayaan masing-masing.

Proses kontak budaya yang berjalan dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi ternyata telah menimbulkan kekhawatiran banyak bangsa di dunia bahwa kebudayaan mereka akan musnah. Di tingkat nasional, perkembangan kebudayaan bangsa yang pesat tersebut telah menimbulkan kekhawatiran akan melunturkan identitas budayabangsa yang tersebar di kepulauan Nusantara ini. Berdasarkan kenyataan tersebut diharapkan ada upaya menggali dan mengungkapkan serta mengukuhkan nilai-nilai budaya daerah karena mempunyai potensi integratif dan masih relevan dengan tuntutan zaman. Untuk itu perlu dipikirkan pengembangan nilai-nilai baru yang dapat berfungsi sebagai acuan guna mengembangkan sikap dan pola tingkah laku masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan dan perkembangan

Beberapa nilai budaya yang perlu diangkat dari khasanah budaya daerah adalah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Dalam berbagai perwujudannya, nilai-nilai luhur itu antara lain terdiri atas beberapa nilai yang mencerminkan nilai religius (keagamaan), nilai filsafat (ajaran), nilai etika (moral), dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut mendidik manusia untuk menjadi hamba Tuhan yang saleh, manusia yang bijaksana, berbudi pekerti luhur, dan mencintai


(14)

keindahan (Hazim Amir, 1986:xii). Di sisi lain, bila dilihat relevansi sastra daerah dengan nilai budaya akan terwujud dalam fungsinya sebagai (1) afirmasi, yaitu menetapkan norma-norma sosio budaya yang ada pada waktu tertentu, (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan kepada nilai yang sudah lama hilang, dan (3) negasi, yaitu memberontak atau mengubah nilai yang berlaku.

Dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan daerah termasuk cerita rakyat Putri Pucuk Kelumpang, bukan hal yang mustahil akan terabaikan jika upaya-upaya yang menuju pelestarian tidak dilakukan. Oleh karena itu, dikhawatirkan cerita rakyat Putri Pucuk Kelumpang akan hilang begitu saja atau tidak dikenali lagi. Dengan demikian, penelitian secara khusus terhadap masalah tersebut dipandang penting untuk dilaksanakan .

Dalam Pembangunan Nasional yang terus dijalankan, pembangunan budaya mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pencanangan tahun seni dan budaya. Ini merupakan perwujudan dari perlunya penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya dari semua suku bangsa di Indonesia sebagai warisan yang berharga, yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Dengan demikian, usaha untuk menginventarisasi dan pengkajian sangat perlu dan penting.

Cerita rakyat Melayu yang hidupnya dalam tradisi lisan tidak terlepas perannya untuk pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Cerita rakyat Melayu selalu berhubungan dengan kepercayaan dan merupakan refleksi peradaban yang erat pula hubungannya dengan kehidupan. Sastra lisan Melayu Sumatera Utara yang berbentuk cerita rakyat, sangat relevan dengan hal-hal tersebut di atas. Untuk itu sastra rakyat masyarakat Melayu Sumatera Utara merupakan bahan analisis untuk dapat memahami tingkah laku


(15)

dan pikiran, baik perorangan maupun kelompok di dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara.

Di Indonesia, penggarapan karya sastra rakyat terutama sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat masih kurang. Selama ini orang kurang berfokus pada sastra rakyat, disebabkan berbagai hal, di antaranya merasa hal tersebut tidak perlu dibicarakan sehingga karya sastra rakyat lama-kelamaan akan menjadi hilang. Memang, selama ini ada upaya untuk melakukan penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah melalui berbagai Departemen, namun hasil yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan karena tidak mendapat dukungan luas dari lembaga sosial kemasyarakatan lainnya.

Melihat pandangan-pandangan di atas, penulis mengambil kesimpulan cerita rakyat Sumatera Utara layak untuk dikaji dan dianalisis sebagai usaha pelestarian dan pengembangan nilai-nilai karya sastra daerah sehingga dapat menambah koleksi bacaan bagi generasi yang akan datang. Karena apabila tidak dilestarikan dan dikembangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya para generasi yang akan datang tidak akan mengenal lagi cerita-cerita tersebut, sementara cerita yang tidak sesuai dengan prikehidupan masyarakat Indonesia akan lebih dikenal dan mendapat posisi di hati masyarakat.

Harus diakui secara jujur pada saat ini minat dan perhatian masyarakat generasi muda sangat rendah terhadap cerita rakyat bila dibandingkan dengan generasi masa lalu. Hal ini terjadi karena jarangnya para orang tua berkumpul bersama anak-anaknya dan mendidik mereka dengan berbagai cerita-cerita


(16)

rakyat, ditambah lagi dengan masuknya cerita-cerita asing melalui sarana komunikasi yang serba modern.

Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka penelitian dan analisis cerita-cerita rakyat Melayu Sumatera Utara dianggap penting dilakukan, sebab semakin lama, semakin banyak pula kesulitan yang bakal dihadapi di masa-masa yang akan datang, seperti hilangnya tukang-tukang cerita, dukun-dukun, dan orang-orang tua yang dapat dikatakan sebagai pewaris aktif dari cerita-cerita rakyat tersebut.

1.2 Batasan Masalah

Berbagai nilai dapat diungkapkan di dalam cerita-cerita rakyat Melayu Deli. Dalam penelitian ini akan dianalisis nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang. Analisis yang akan dilaksanakan hanya mengungkapkan nilai-nilai Didaktis yang terkandung di dalam cerita rakyat tersebut dan struktur yang membentuk cerita tersebut.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan struktur yang membentuk cerita rakyat Tuan Putri Pucuk Kelumpang.

2. Mengungkapkan nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita Tuan


(17)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari pengkajian cerita Tuan Putri

Pucuk Kelumpang, adalah :

1. dapat menjadi rujukan bagi para peneliti tentang cerita rakyat Melayu, khususnya Melayu Sumatera Utara.

2. untuk mengembangkan ilmu Sastra, khususnya Sastra Daerah.

3. dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat Melayu tentang nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang.

1.4 Landasan Teori

Sebelum memulai suatau kajian, terlebih dahulu ditentukan landasan teori. Landasan teori merupakan landasan dasar atau tempat berpijak suatu pembahasan. Landasan teori dapat mengarahkan penganalisisan seperti apa yang diharapkan. Untuk itu sangat diperlukan landasan teori yang tepat, agar analisis terhadap cerita rakyat Tuan Putri Pucuk Kelumpang terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian.

Untuk lebih memperjelas penganalisisan struktur, Syaifuddin (1995:204) mengatakan.

Analisis struktur dapat memberi jawaban kepada masalah pengklasifikasian sebuah teks yaitu apa yang disebut sebagai sebuah karya sastra. Kemudian analisis struktur juga dapat mengetahui persamaan dan perbedaan di dalam cerita-cerita yang wujud di suatu daerah tertentu juga dapat memperlihatkan keteguhan peristiwa-peristiwa di dalam sebuah cerita. Analisis ini juga bertujuan untuk memperlihatkan sejauh mana terdapat unsur-unsur keseragaman maupun ciri-ciri utama di dalam cerita rakyat, baik yang berbentuk puisi maupun prosa.


(18)

Dalam menganalisis nilai didaktis penulis mengemukakan pendapat Aminuddin (1987:47) yang mengatakan,

Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap dalam hal ini mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun organis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohani pembaca.

Adapun landasan teori yang digunakan dalam pengkajian ini adalah teori struktural dan teori didaktis. Berikut akan dijelaskan kedua teori tersebut.

1.4.1 Teori Struktural.

Penelitian ini merupakan penelitian struktur. Oleh karena itu, kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mengacu pada konsep teori yang dikemukakan oleh Esten (1987), Sudjiman (1988), Nurgiyantoro (1995) dan juga beberapa ahli lain yang membahas teori struktural tersebut. Dengan demikian, teori tentang struktur meliputi masalah tema, alur, penokohan, dan latar cerita. Uraian tentang struktur sebuah cerita adalah sebagai berikut.

1) Tema

Setiap karya sastra mempunyai ide atau dasar cerita. Selanjutnya berdasarkan ide atau dasar tersebutlah sebuah cerita disusun. Ide atau dasar cerita disebut tema. Tema merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra (Esten, 1987:22). Tema dapat berupa masalah yang menjadi pokok pembicaraan atau yang menjadi inti topik dalam suatu pembahasan (Kusdiratin, 1985:59). Tema dapat juga disebut sebagai gagasan yang


(19)

mendasari karya sastra (Sujiman, 1988:51). Di sisi lain, Aminuddin (1987:91) mengatakan bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karyanya.

Ginarsa (1985:5) menjelaskan bahwa tema merupakan makna karya sastra secara keseluruhan. Tema yang dipilih oleh seorang pencerita erat sekali hubungannya dengan amanat atau pesan yang ingin disampaikan kepada pendengarnya. Tema dan amanat dalam sebuah karya sastra dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan implisit (tersirat). Tema yang sering dijumpai dalam sastra lisan cenderung bersifat didaktis, terutama dalam bentuk pertentangan antara kebaikan dan keburukan, kejujuran dan kebohongan, keadilan dan kezaliman, dan sebagainya.

Tema dapat menjalin rangkaian cerita secara keseluruhan. Penggambaran tokoh, latar maupun alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama Hartoko dan Rahmanto (1986: 142) menyatakan, Tema adalah gagasan dasar umum yang terdapat dalam sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan dan perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkrit yang menuturkan urut peristiwa atau situasi tertentu. Bila dalam sebuah cerita tampil motif mengenai suka duka pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali maka kita dapat menyaring tema mengenai tak lestarinya pernikahan.

Purwadarminta, (1984:104) mengatakan, "... Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita atau sesuatu yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar untuk mengarang".


(20)

Tema pada suatu karya sastra dapat ditentukan dengan beberapa langkah. Esten, (1984:88) menyatakan, Untuk menentukan tema dalam sebuah karya sastra ada tiga macam yang bisa ditempuh yakni:

1. Melihat persoalan yang paling menonjol.

2. Secara kualitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik- konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa

3. Menghitung waktu perceritaan.

Cara yang paling umum dan sering digunakan adalah cara kedua yaitu melihat persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik dengan melihat peristiwa-peristiwa selalu berulang-ulang dalam keseluruhan cerita sehingga tema akall selalu terkait pada tokoh, alur dan latar".

Uraian–uraian di atas telah banyak menerangkan pengertian tema sehingga dapat disimpulkan bahwa tema merupakan salah satu unsur penting dalam suatu karya sastra menentukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan.

2) Alur Cerita

Jalinan antara persoalan-persoalan dalam sebuah karya sastra disusun dengan suatu jalinan peristiwa yang diseleksi dan diatur dalam waktu. Jalinan peristiwa ini dapat dikatakan sebagai alur atau plot.

Alur dalam sebuah cerita secara umum dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir atau solusinya. Bagian awal dapat dibagi lagi ke dalam tiga sub bagian, yaitu paparan, rangsangan, dan gawatan. Bagian tengah di bagi lagi ke dalam tiga sub bagian, yaitu pertikaian.perumitan,


(21)

dan klimaks. Bagian akhir sebuah alur dapat dibagi lagi ke dalam dua sub bagian, yaitu peleraian, dan penyele-saian (Sudjiman, 1988:30).

Bagian awal cerita merupakan bagian penyampaian informasi awal tentang tokoh atau hal lain sebagai pembuka cerita. Pada bagian ini pendengar disiapkan dan sekaligus dirangsang untuk ingin tahu kelanjutan cerita. Selanjutnya pertikaian dalam cerita merupakan bagian yang menggambarkan perselisihan yang timbul antara para tokoh cerita karena adanya dua kekuatan yang berbeda. Berikutnya cerita menggambarkan tentang suasana pertikaian menuju klimaks cerita. Pada bagian klimaks, pertikaian dan perumitan dalam cerita sampai pada tahap puncak sehingga terjadi perubahan nasib atau kehidupan tokoh cerita. Peleraian merupakan bagian cerita yang menjelaskan bagaimana tokoh cerita berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pada bagian akhir, cerita diselesaikan dalam bentuk keberhasilan tokoh cerita, ataupun kegagalan tokoh dalam cerita.

Terdapat tiga cara menjalin cerita. Pertama, jalinan tarik lurus atau biasanya disebut alur maju, yaitu kejadian dari pertama berjalin dengan peristiwa-peristiwa berikutnya sampai mencapai puncak dan akhirnya cerita tiba pada penyelesaian. Kedua, tarik balik biasanya disebut alur mundur, yaitu cerita dimulai bukan dari awal, melainkan dari bagian akhir atau bagian tengah, kemudian kembali kepada peristiwa awal. Biasanya tokoh cerita dalam alur model ini mengenang masa lalu sebelum peristiwa dalam cerita itu memuncak. Cara ketiga, yaitu jalinan cerita campuran atau disebut alur campuran, yaitu cara menjalin cerita bercampur antara alur maju dan alur mundur.


(22)

Selanjutnya, dalam hubungan dengan antarperistiwa, secara kualitatif, alur ada dua macam, yaitu (1) alur erat dan (2) alur longgar (Prihatmi, 1990:11). Dalam alur erat hubungan antar peristiwa sangat menyatu sehingga tidak dapat dihilangkan tanpa merusak keseluruhan cerita. Sebaliknya, dalam alur longgar hubungan antar peristiwa tidak sepadu alur erat sehingga jika ada bagian cerita yang dihilangkan, penghilangan itu tidak akan merusak keutuhan cerita.

Alur merupakan unsur yang sangat penting dalam cerita. Alur berperan mengatur hubungan peristiwa dalam suatu cerita. Karena peristiwa-peristiwa dalanm suatu cerita mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Suatu peristiwa atau kejadian dalam cerita dapat terjadi justru disebabkan oleh adanya peristiwa sebelumnya. Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam suatu cerita inilah. yang disebut alur. Seperti apa yang diungkapkan oleh Semi (1984:35), "Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional yang sekaligus fiksi. Dengan demikian, alur ini merupakan perpaduan unsur–unsur yang membangun cerita. Dalam pengertian ini alur merupakan rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konfflik yang terdapat di dalamnya".

Alur suatu cerita sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur yang lain seperti perwatakan, setting, suasana lingkungan begitu juga dengan waktu. Berdasarkan hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerita, yang biasanya ditentukan oleh jumlah tokoh, maka alur terbagi atas dua bagian seperti yang dikemukakan oleh Semi (1984:36), “Alur yang bagian-bagiannya diikat dengan erat disebut alur erat, sedangkan yang diikat dengan longgar disebut alur


(23)

longgar. Biasanya alur erat ditemui pada cerita yang memiliki jumlah pelaku menjadi lebih sering dan membentuk jaringan yang lebih rapat".

Bila dilihat menurut urutan peristiwa, alur dapat dibagi atas dua bagian, yaitu alur maju dan alur sorot batik. Alur maju ialah rangkaian peristiwa dijalin secara kronologis. Sedangkan alur sorot balik (flash back) ialah rangkaian peristiwa dijalin tidak berurutan, tidak kronologi.

Lebih lanjut Tasrif dalam Tarigan (1984: 128) menyatakan bahwa ada lima tahapan dalam alur, yaitu:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

2. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)

3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)

5. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)

3) Tokoh dan Penokohan.

Biasanya di dalam suatu cerita fiksi terdapat tokoh cerita atau pelaku cerita. Tokoh cerita bisa satu atau lebih. Tokoh yang paling banyak peranannya di dalam suatu cerita di sebut tokoh utama. Antara tokoh yang satu dengan yang lain ada keterkaitan. Tindakan tokoh cerita ini merupakan rangkaian peristiwa antara satu kesatuan waktu dengan waktu yang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tokoh tentu ada penyebabnya dalam hal ini adalah tindakan-tindakan atau peristiwa sebelumnya. Jadi mengikuti atau menelusuri jalannya cerita sama halnya dengan mengikuti perkembangan tokoh melalui tindakan-tindakannya.


(24)

Stanton dalam Semi (1984:31) menyatakan bahwa,

"Yang dimaksud dengan perwatakan dalam suatu fiksi biasanya dipandang dari dua segi. Pertama: mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita; yang kedua adalah mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita".

Jadi perwatakan mengacu kepada dua hal yaitu tokoh itu sendiri dan bagaimana watak atau kepribadiaan yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Dalam suatu cerita fiksi, pengarang menggambarkan atau memperkenalkan bagaimana watak sang tokoh melalui dua cara yaitu dengan terus terang pengarang menyebutkan bagaimana sifat tokoh dalam cerita misalnya keras kepala, tekun, sabar, tinggi hati atau yang lain, dan yang kedua yaitu pengarang menggambarkan watak tokoh melalui beberapa hal seperti pemilikan nama, penggambaran melalui dialog antara tokoh dalam cerita.

Setiap cerita memiliki tokoh. Tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam suatu cerita. Individu rekaan ini dapat berupa manusia, binatang, atau benda-benda lain yang dianggap atau diperankan sebagai manusia (Sudjiman, 1988:16-21).

Terdapat berbagai macam cara pengarang memunculkan tokoh dalam cerita, misalnya pengarang memunculkan tokoh yang hanya hidup dalam angan-angan, pelaku mempunyai daya juang yang keras untuk mempertahankan hidupnya atau pelaku tidak mempunyai sifat-sifat yang khas dalam kehidupannya.

Berdasarkan fungsinya dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama atau tokoh sentral dan tokoh bawahan atau tokoh pembantu serta tokoh lataran. Tokoh utama atau tokoh sentral merupakan tokoh yang mempunyai


(25)

peran penting dalam suatu cerita. Tokoh ini biasanya sering muncul dan tentangnya selalu dibicarakan. Tokoh sentral ini dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Selanjutnya tokoh pembantu atau tokoh bawahan merupakan tokoh yang berperan sepintas dalam cerita. Meskipun demikian, kehadirannya sangat diperlukan sebagai penunjang tokoh sentral. Tokoh lataran merupakan tokoh yang menjadi bagian dari latar cerita.

4) Latar atau Setting

Latar merupakan tempat peristiwa dalam suatu cerita berlangsung. Latar dapat dibagi atas latar fisik dan latar sosial. Latar fisik meliputi semua lingkungan yang mengelilingi pelaku, termasuk di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, dan sebagainya. Latar dapat berfungsi menciptakan iklim atau suasana tertentu seperti iklim perang, aman, bahagia, dan sebagainya (Saad dslam Prihatmi, 1990:14). Latar sosial antara lain diwujudkan dalam penggambaran tingkah laku, tata kerama, adat istiadat, pandangan hidup, keadaan masyarakat dan bahasa.

Suatu cerita dapat terjadi pada suatu tempat atau lingkungan tertentu. Tempat dalam hal inim ernpunyai ruang lingkup yang sangat luas termasuk nama kota, desa, sungai, gunung, lembah, sekolah, rumah), toko, dan lain-lain. Unsur tempat sangat mendukung terhadap perwatakan tema, alur serta unsur yang lain. Seseorang yang hidup di lingkungan sekolah tentu secara umum akan mempunyai watak yang berbeda dengan orang yang tinggal di lingkungan kebun. Atau seseorang yang dibesarkan di desa tentu akan memiliki walak yang berbeda dengan orang yang lahir dan dibesarkan di kota (secara umum).


(26)

Unsur waktu juga bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu cerita. Suatu cerita dapat terjadi pada suatu saat tertentu misalnya pada abad XX, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, ketika musim hujan, ketika musim semi, tahun, bulan, hari dan sebagainya. Lingkungan terjadinya peristiwa-peristiwa atau suasana cerita seperti orang-orang di sekitar tokoh atau juga benda-benda di sekitar tokoh termasuk ke dalam latar belakang atau setting.

Dalam hal ini Atar Semi (1984:38) mengatakan bahwa

Latar atau landas lampu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau kerumunan orang yang berada di sekitar tokoh, juga dapat dimasukan kedalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk."

Latar belakang setting bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam suatu cerita. Unsur ini sangat mendukung terhadap unsur yang lain seperti tema, perwatakan. Tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa dalam suatu cerita tentu tentu tidak dipilih begitu saja oleh pengarang, tetepi juga disesuaikan dengan tindakan tokoh cerita, pesan yang hendak disampaikan pengarang, atau hal lain. Keberhasikan suatu cerita tentu sangat tergantung kepada keharmonisan (keterpaduan) unsur-unsur tadi.

Di sisi lain, Nurgiyantoro (1995:227) membagi unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu. dan latar sosial. Ketiga unsur latar ini saling ter-kait dan saling mempengaruhi. Pelukisan tentang suasana dalam sebuah cerita dapat pula digolongkan sebagai latar.


(27)

1.4.2 Teori Didaktis

Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada di alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Pendidikan dapat membentuk kepribadian seseorang dan dapat diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktivitas seseorang. Dengan bantuan pendidikan, seseorang memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, sehingga ia mampu menciptakan karya yang gemilang dalam hidupnya atau dengan kata lain manusia dapat mencapai suatu peradaban dan kebudayaan yang tinggi dengan bantuan pendidikan. Begitu pula dengan seorang pengarang yang selalu menyelipkan unsur-unsur pendidikan (didaktis) dalam karya-karyanya agar terjadi sublimasi terhadap pembacanya sehingga diharapkan apa yang dibacanya dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam bersikap dan bertindak.

Karya sastra berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna. Dari pengertian dipahami bahwa peranan novel bukan sekedar menghibur tetapi juga mengajarkan sesuatu. Montgomery Belgion dalam buku Renne Wellek mengatakan; “Irresponsible propagandist”. That is to

say, every writer adopts a view or theory of life… the effect of the work is always to persuade the reader to accept that view or theory. This persuasion is to say, the reader is always led to believe something, and that assent is hypnotic-the art of the presentation seduces the reader…


(28)

Karya sastra yang berkaitan dengan agama bisa kita lihat pada karya novel modern saat ini. Karya Helvi Tiana Rosa yang berjudul Bianglala

Kehidupan misalnya merupakan contoh yang paling kongkrit dari novel yang

berbau keagamaan. Karya-karya Helvi telah mempengaruhi kalangan muda Indonesia yang gemar membaca karya-karya novel islami. Dan objek dari novel ini adalah kaum muda yang biasanya sangat optimis terhadap kehidupan. Novelwan-novelwan yang seirama dengan Helvi adalah Gola Gong, Asma Nadia, dll (Renne Wellek, dkk 1995).

Ahmadun Yosi (2007) menyebutkan sastra dapat merubah seseorang melalui pola pikir, wawasan dalam memandang hidup dan lain sebagainya. mengatakan bahwa sejarah pergolakan suatu bangsa tidak pernah lepas dari dorongan-dorongan yang diekpresikan melalui karya novel. Karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower) dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial yang begitu dasyat di lingkuangan masyarkat pembacanya.

Jabrohim (2005) mengatakan bahwa kedudukan novel sama dengan ilmu pengetahuan yang lain, yaitu sesuatu yang penting bagi kemajuan masyarakat. Dengan karya novel pengarang bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat pembacanya. Subjektivitas yang disampaikan pengarang melaui karya novel mampu memberikan motivasi atau dorongan bagi suatu perubahan baik secara individu maupun kolektif (masyarakat).

Yang menjadi pertanyaan, kenapa novel bisa mempengaruhi masyarakat? Plato mengatakan bahwa sastra merupakan refleksi sosial Sebagai suatu


(29)

refleksi sosial ia akan menggambarkan kondisi sosial yang ada di sekelilingnya. Karena muatan yang ada dalam novel adalah gambaran atau reflesi sosial, novel akan mendapatkan tanggapan dan kritik sekaligus penilaian dari pembaca. Dari jalan ini novel akan mempengaruhi pola pikir masyarakatnya (Diana Laurenson, dkk. 1971). Mereka yang membaca novel akan memetik keuntungan dari apa yang mereka pelajari. Mereka juga memperoleh hiburan. Sebagai hasil akhirnya, mereka dapat terus mengasah otak dan merasa puas karena telah menggunakan waktu dengan bijak (Niven, David, 2002)

Di dalam teks karya sastra terdapat banyak kandungan “gizi batin” yang mampu menjadi santapan rohaniah anak-anak bangsa negeri ini sehingga bisa menjadi media “katharsis” dan pencerah peradaban. Bisa jadi, kaum muda kita yang doyan mengumbar selera purba dan nafsu-nafsu primitif, seperti seks bebas, pesta pil setan, tawuran, dan ulah-ulah tak terpuji lainnya itu lantaran mereka tak pernah membaca karya novel (Danarto, 2000).

Tiga karakterisitik dasar yang harus dimiliki tiap individu masyarakat masa depan yang bermartabat adalah; kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab (Azis, Sari, 2005). Sedangkan manusia utuh yang idamkan, yaitu manusia yang kritis, rasional, sosial, bertakwa, bermoral, dan menghargai nilai kemanusiaan (Suparno, Paul via Sindhunata, 2000)

Adapun menurut Rizal (2007:45) pada setiap karya sastra selalu mengandung nilai-nilai didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarangnya melalui alur cerita yang dibentukan. Lebih jauh lagi Rizal mengatakan bahwa dalam karya sastra bisa saja ditemukan nilai hitam dan putih, bisa juga


(30)

menggambarkan nilai hitam, atau memperlihatkan nilai putih. Nilai hitam atau putih dalam karya sastra disebut juga nilai didaktis, nilai yang mengandung unsur kebaikan sebagai tuntunan disebut nilai putih, dan nilai keburukan dalam hidup digambarkan nilai hitam. Paling terasa hitam dan putihnya cerita ada dalam cerita rakyat. Biasanya, yang berprilaku hitam akan mendapat hukuman, yang berprilaku putih akan mendapat ganjaran. Contoh dalam cerita rakyat

Tuah Putri Pucuk Kelumpang, terlihat sekali nilai didaktisnya.

Seorang pengarang tentu saja akan memperhatikan nilai didaktis dalam karyanya, sebab nilai didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran, dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu. Oleh sebab itu karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai teladan.

Keteladan yang terdapat dalam cerita bisa berupa (1) ajaran kebaikan terdapat dalam cerita, (2) moral yang digambarkan, (3) falsafah hidup tokoh-tokohnya, (4) ganjaran yang diterima tokoh-tokoh-tokohnya, (5) isme-isme yang mempengaruhi atau menggerakkan tokohnya, (6) kekalahan nilai keburukan, (7) keadaan pendidikan tokohnya yang digambarkan, dan (8) amanat di akhir cerita.


(31)

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Sumber data

Penelitian ini juga di ambil dari Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita yang diteliti oleh Rosmawati R dan kawan-kawan pada tahun 1990 dengan data sebagai berikut:

a. Judul buku : Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang

b. Penulis : Rosmawati R, Anni Krisna Srg, Ahmad Samin Srg, dan Zainal Abidin.

c. Cover depan : Gambar ornamen Melayu warna orange d. Cover belakang : Gambar ornamen Melayu warna orange e. Tabel Halaman : 122 Halaman

f. Ukuran : 12 x 17.5 cm g. Tahun terbit : 1990

h. Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

1.5.2 Metode Dasar

Metode dasar yang penulis pergunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Nawawi (1987:63). Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur objek penelitian (seseorang, lembaga, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Secara deskriptif, penelitian ini mengarah pada pemecahan masalah berdasarkan keadaan yang


(32)

ada pada saat ini. Data hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka-angka. Selanjutnya, secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa (1) data penelitian ini dikumpulkan dalam setting yang alamiah dan penulis sebagai instrumen kunci, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih mengutamakan proses dari pada hasil, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna atau meaning merupakan perhatian utama (Bogdan dan Biklen, 1990:27).

1.5.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan agar dapat memiliki acuan atau sumber-sumber data yang cukup, yang akan penulis pergunakan di dalam menganalisis cerita rakyat Tuan Putri Pucuk Kelumpang. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan penulis menggunakan teknik data dari perpustakaan (Library Research).

1.5.3 Metode Analisis Data

Untuk penelitian ini digunakan metode hermeneutik, mengingat sifat dari hermeneutik adalah menganalisa atau menafsirkan teks secara keseluruhan. Secara spesifik, dalam penelitian ini menggunakan tiga tahapan analisis yang biasa digunakan dalam metode hermenetik, yaitu analisis naratif, analisis struktural, dan apropriasi. Analisis naratif memungkinkan untuk mengetahui unsur-unsur kisah dalam teks sehingga memudahkan pembaca yang belum membaca teks yang diteliti, sedangkan analisis struktural digunakan untuk mengetahui struktur-struktur yang mengikat dan membentuk kisah dalam suatu


(33)

teks tersebut. Akan tetapi analisis naratif dan struktural tersebut mempunyai kelemahan, yaitu sifatnya yang melepaskan suatu teks dari rangka sosial budayanya. (Rizal, 2008:13).

Apropriasi digunakan untuk menutupi kelemahan yang ditimbulkan oleh analisis naratif dan struktural tersebut dengan melakukan analisis yang lebih mendalam, yang dalam penelitian ini adalah untuk menyambungkan teks dengan rangka sosial budaya yang dilepaskan dalam analisis naratif dan struktural sebelumnya, sehingga memungkinkan peneliti mendapatkan hasil analisis yang lebih optimal.


(34)

BAB II

DEMOGRAFI WILAYAH PENELITAN DAN ASAL CERITA

2.1 Letak Geografis

Wilayah Kabupaten Deli Serdang adalah merupakan daerah yang mengelilingi Kota Medan ibukota Propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 1,5 juta jiwa. Laju pertambahan penduduk Kabupaten Deli Serdang sangat tinggi yakni rata-rata 3-4 persen pertahun dan pada daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan laju pertambahan penduduknya ada yang mencapai 6 persen pertahun. Tingginya laju pertambahan penduduk Kabupaten Deli Serdang adalah akibat desakan penduduk Kota Medan yang saat ini jumlahnya mencapai 2,1 juta jiwa lebih

Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang adalah 2.497,72 km2 atau 249.772 ha. Dari luas tersebut, sekitar 43.435 ha atau 17,39% diataranya adalah merupakan kawasan hutan (termasuk hutan pantai) dan lahan curam dengan kemiringan lereng diatas 15%. Selebihnya, yakni seluas 206.337 ha atau 82,61% adalah dataran rendah dengan kemiringan lereng dibawah 15%.

Secara administratif Wilayah Kabupaten Deli Serdang terbagi dalam 22 wilayah kecamatan, 380 desa dan 14 kelurahan. Jarak antara masing-masing ibukota kecamatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Deli Serdang Kota Lubuk Pakam adalah bervariasi antara antara 4 hingga 71 kilometer. Ibukota kecamatan yang paling jauh ke ibukota Kabupaten adalah Sibolangit dan Gunung meriah yakni diatas 70 kilometer.


(35)

Deli Serdang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Deli Serdang berada pada 2057” Lintang Utara, 3016” Lintang Selatan dan 980 33” – 990 27” Bujur Timur dengan ketinggian 0 – 500m diatas laut. Kabupaten Deli Serdang menempati area seluas 2.497,72 Km2 yang terdiri dari 22 Kecamatan dan 403 Desa/Kelurahan Definitif Wilayah Kabupaten Deli Serdang di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan karo dan disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai.

2.2 Agama, Adat istiadat, Sosial Budaya

Walaupun penduduk Melayu itu telah beragama Islam, tanda-tanda Animisme masih ada pada sebagian penduduknya. Ada kepercayaan pada masyarakat Melayu bahwakita harus memberi salam kepada penghuni rimba, sungai, dan tanah yang berbukit (busut), dan tempat-tempat yang dianggap angker. Kalau tidak memberi salam, ada kepercayaan, kita akan sakit atau sesat dalam perjalanan.

Masindan (1987 : 10-11) mengatakan bahwa agama yang dianut oleh penduduk Melayu adalah agama Islamyang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Azis. Sultan ini terkenal sebagai pendiri mesjid Azizi yang sangat indah di Tanjung Pura. Ia juga seorang dermawan yang mewakafkan sebagian tanahnya untuk perkampungan pengajian Tarikat Naksabandiah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan dari Riau.


(36)

Daerah ini dinamakan perkampungan Besilam atau Babussalam yang dianggap suci.

Jenis kepercayaan lainnya adalah tentang burung Sibirit-birit yang terbang pada malam hari dianggap membawa kabar tidak baik. Lalat hijau yang besar yang datang kerumah pertanda ada kabar duka (meninggal dunia). Selain itu, kunyit dianggap mempunyai daya tangkal. Kunyit dapat menjaga seorang ibu yang baru bersalin dan anak yang baru dilahirkan dari gangguan roh orang yang sudah meninggal. Kunyit juga berkhasiat untuk ”memanggil semangat” orang yang sedang menghadapi suatu kejadian atau merasakan penyesalan yang berlebih-lebihan.

2.3 Adat-Istiadat

Sebagaimana halnya dengan suku bangsa lainnya di Indonesia suku bangsa Melayu juga mempunyai adat-istiadat yang sangat dihayati dan meresap dalam hati sanubari penduduknya.

Sejak zaman Animisme ada beberapa kebiasaan suku Melayu, umpamanya memakan sirih. Dalam upacara adat, sirih tidak boleh terlupakan. Sirih tersebut diletakkan pada sebuah tepak bersama dengan kapur, pinang, gambir, dan tembakau. Menurut paham Animisme, tumbuh-tumbuhan itu mempunyai sifat yang khas dan mempunyai “daya hidup.” Dengan memakan tumbuh-tumbuhan itu, daya hidup manusia akan bertambah. Selain itu, ada kebiasaan suku Melayu yang bahkan sudah menjadi adat, yaitu suku bangsa Melayu suka mengatakan sesuatu dengan cara tersirat. Mereka cenderung


(37)

mengatakan sesuatu dengan perumpamaan dan seolah-olah menyuruh orang untuk berpikir.

Upacara tepung tawar juga merupakan adat-istiadat suku bangsa Melayu yang sangat penting. Upacara ini dilakukan apabila ada kejadian penting, seperti perkawinan, pertunangan, sunatan, atau jika seseorang kembali dengan selamat dari sesuatu perjalanan atau terlepas dari bahaya. Tepung tawar juga dilakukan apabila seseorang mendapatkan rezeki tidak terduga sebelumnya. Tepung tawar ini dilakukan dengan pengharapan seseorang itu akan tetap selamat dan bahagia.

Seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia, suku bangsa Melayu juga mempunyai adat-istiadat perkawinan. Menurut adat Melayu, apabila orang tua ingin mencari menantu harus berpegang pada lima syarat utama, yaitu calon menantu haruslah beragama Islam, berketurunan, budiman, berilmu, dan rupawan/hartawan.

2.4 Sosial Budaya

Sebagaimana halnya masyarakat Melayu secara umum adalah pemeluk agama Islam. Demikian juga di Kabupaten Deli Serdang penduduknya beragama Islam. Dengan kata lain, 98,9 % penduduk beragama Islam dan selebihnya, yaitu 0,1% penganut agama lainnya (WNI keturunan Cina). Pendidikan agama Islam merupakan faktor utama yang harus dipelajari oleh masyarakat di samping pendidikan umum. Hal ini terlihat dengan banyaknya tempat pengajian dan pesantren di wilayah ini.


(38)

Pepatah Melayu menyebutkan "tak hilang adat dimakan zaman" yang artinya adat istiadat sampai hari terakhir atau hari kiamat pun masih ada.

Sesuai dengan pepatah tersebut, masyarakat di Kabupaten Deli Serdang masih memegang teguh adat-istiadat leluhurnya seperti tampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang masih mempergunakan adat-istiadat turun-temurun seperti kenduri turun ke sawah, memberkati anak bayi, kanduri pada akhir bulan safar, dan sebagainya.

Masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Deli Serdang. umumnya adalah orang Melayu. Selain itu, terdapat juga Ras Batak, Jawa dan WNI keturunan Cina, dalam kehidupan sosial masyarakat mereka cukup menyatu dengan masyarakat setempat.

Masyarakat Melayu di Kabupaten Deli Serdang yang tinggal di daerah pesisir merupakan penutur bahasa Melayu dialek Deli. yang dipakai dan dikenal secara umum oleh masyarakat pesisir. Akan halnya suku Batak, WNI keturunan Cina, mereka jumlahnya hampir seimbang dengan orang Melayu, akibat kemajemukan bahasa itulah sehingga, sebagai alat komunikasi sehari-hari dengan masyarakat digunakan bahasa Indonesia. Atau bahasa Daerahnya masing-masing untuk berkomunikasi sesamanya.

2.5 Sastra Lisan Dalam Masyarakat Melayu

Seperti halnya suku-suku lain yang terdapat di Indonesia, masyarakat Melayu mempunyai sastra lisan. Sastra lisan ini mempunyai peranan dan kedudukan yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat Melayu. Sastra lisan Melayu mengenal bentuk puisi dan prosa. Yang termasuk bentuk


(39)

puisi adalah pantun, syair, dan gurindam. Yang termasuk bentuk prosa adalah mite, legenda, fable, dan dongeng.

Sastra lisan Melayua adalah kepunyaan orang banyak. Baik pantun maupun cerita-cerita kunonya tidak diketahui siapa pengarangnya. Oleh karena itu, ada sedikit perubahan langgam dan susunan kata-kata yang disesuaikan dengan zaman dan tempatnya.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pantun sangat banyak digunakan. Dapat dikatakan bahwa segenap lapisan masyarakat menggemari pantun. Menurut pemakainya, pantun dibedakan menjadi pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang tua.

Pada umumnya hasil sastra lisan Melayu diceritakan pada waktu senggang dan waktu kerja-kerja tertentu, misalnya pada acara khitanan dan perkawinan.

Sastra lisan dalam Masyarakat Melayu Deli Serdang merupakan sastra li-san yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Melayu. Hal ini dapat diperkuat oleh kenyataan bahwa sastra itu diceritakan secara lisan. Penceritanya adalah orang-orang tua yang memang memiliki kemahiran dan kegemaran bercerita. Dalam suatu acara, misalnya, untuk mengisi waktu senggang, orang tua akan menuturkan cerita kepada pendengar yang beragam, baik anak-anak, remaja, dan juga orang-orang tua. Cerita biasa pula dituturkan oleh seorang nenek kepada cucunya atau seorang ibu kepada anaknya, dan ini biasanya berlangsung pada saat-saat menjelang tidur.

Cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat Melayu Deli Serdang ada yang dianggap sebagai cerita yang benar-benar terjadi dan ada pula yang hanya


(40)

dianggap sebagai dongeng. Cerita Daerah "Putri Pucuk Kelumpang" merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi pada zaman dahulu.

2.6 Asal Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang

Penduduk asli suku bangsa Melayu pada umumnya berdiam di daerah-daerah pantai pesisir Sumatera Utara yang meliputi daerah-daerah Kotamadya Medan, Kotamadya Binjai, Kotamadya Tebing Tinggi, Kotamadya Tanjung Balai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Labuhan Batu.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1975 (Kantor Sensus dan Statistik Provinsi Sumatera Utara, Biro Pusat Statistik Medan) jumlah penduduk yang mendiami daerah tersebut adalah 3.808.093 jiwa. dari jumlah itu, tidak dapat diketahui secara pasti berapa besar jumlah penduduk Melayu asli, karena sudah bercampur dengan suku-suku bangsa pendatang, seperti suku bangsa Batak Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Nias, Aceh, Minangkabau, Jawa, dan Sunda.

Suku bangsa Melayu, Sumatera Utara mengalami perkembangan yang agak lamban apabila dibandingkan dengan suku-suku bangsa pendatang. Seperti yang telah diutarakan bahwa daerah yang didiamioleh kelompok etnik Melayu adalah daerah yang subur dan kaya akan hasil-hasil alamnya. Oleh karena itu, banyak perusahaan asing yang menanamkan modalnya di daerah itu. Akan tetapi, hanya sebagian saja dari suku bangsa Melayu itu yang turut serta dalam pembangunan di daerah itu. Mereka lebih suka menyingkir ke daerah-daerah pinggiran dan hidup sebagai nelayan atau pembuat atap dari


(41)

nipah. Umumnya mereka lebih suka mengerjakan hal-hal yang telah menjadi tradisi. Andaikata orang tuanya nelayan, mereka juga akan melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan.

Cerita Rakyat Putri Pucuk Kelumpang berasal dari daerah Sumatera Utara, tepatnya di Deli Serdang. Pemilihan cerita ini sebagai alasan bahwa di desa tersebut masih dapat dijumpai pencerita yang menguasai dengan baik cerita rakyat Putri Pucuk Kelumpang.


(42)

BAB III

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA TUAN PUTRI PUCUK KELUMPANG

Pada bab ini akan dibahas unsur-unsur yang membentuk cerita Tuan Putri

Pucuk Kelumpang dan nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalam cerita

tersebut.

3.1 Sinopsi Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang

Pada zaman dahulu ada seorang raja yang sangat berkuasa. Raja itu akan pergi berlayar meninggalkan istrinya yang sedang mengandung. Sebelum berangkat, raja berpesan pada istrinya, apabila kelak anaknya laki-laki harus diasuh dengan baik, apabila perempuan harus dibunuh dan diberikan kepada si Palung. Si Palung adalah ayam kesayangan raja.

Setelah sebulan raja meninggalkan negerinya, permaisuri melahirkan seorang putrid. Betapa sedih hatinya apabila mengingatpesan raja. Sebagai seorang ibu, ia tidak mungkin melaksanakan pesan raja. Dipanggillah bendahara dan orang-orang istana untuk diminta pendapatnya. Semua berduka cita karena tidak mungkin melaksanakan perintah raja. Akhirnya, atas pesan ibunya yang disetujui oleh orang-orang istana, permaisuri mengantaarkan putrinya ke pohon Kelumpang yang ada di tengah hutan untuk diasuh oleh dewa-dewa dan peri-peri. Oleh karena itulah, putrid itu diberi nama Putri Pucuk Kelumpang. Si Palung, ayam raja, berkokok yang bunyinya menyatakan bahwa permaisuri telah melahirkan seorang putrid, tetapi dagingnya tidak diberikan kepadanya. Semua


(43)

sepakat akan memotong kambing, kemudian dagingnya diberikan kepada si Palung. Diamlah ayam itu.

Putri Pucuk Kelumpang tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Untuk mengisi kehidupan sehari-harinya, ia bertenun kapas. Sementara itu, raja telah pulang dari pelayarannya. Permaisuri buru-buru melaporkan bahwa anak yang dilahirkan seorang putri dan kini telah tiada. Ketika itu, si Palung berkokok bahwa yang diberikan padanya daging kambing, sedangkan putrid raja berada di pohon Pucuk Kelumpang.

Raja sangat murka karena semua telah mengabaikan perintahnya. Kemudian, raja memerintahkan agar putrinya segera dijemput. Akan tetapi, Pucuk Kelumpang belum mau pulang karena kapasnya baru berdaun dua. Peristiwa itu kemudian terjadi berkali-kali. Putri Pucuk Kelumpang tidak akan pulang sebelum menyelesaikanhasil tenunannya sendiri.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil meminta maaf pada putrinya bahwa ia harus memenuhi janjinya. Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya. Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri.


(44)

3.2 Struktur Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang

Struktur cerita Putri Pucuk Kelumpang, mengisahkan tentang seorang raja, ayah Putri Pucuk Kelumpang yang berkuasa dan bertindak sewenang-wenang. Akibat perbuatannya yang tidak bersyukur mempunyai anak perempuan, ia tega menuruti apa kemauan seekor ayam. Agar membunuh anak perempuannya. karena ia menginginkan seorang anak laki-laki. Dan akhirnya raja tersebut menyesali perbuatannya.

3.2.1 Tema

Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang mengisahkan peristiwa tragis yang menimpa Putri Pucuk Kelumpang. Hanya karena dia seorang perempuan, Putri Pucuk Kelumpang harus mati ditangan ayahnya. Raja, ayah sang Putri, adalah seorang raja yang keras dan sangat berkuasa. Raja menginginkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi yang dilahirkan permaisuri seorang anak perempuan. Karena tidak dikehendaki, putri itu dibunuhnya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung, ayam kesayangan raja. setelah peristiwa itu, raja sangat menyesali perbuatannya. Akhirnya ia bunuh diri.

Berdasarkan inti cerita tersebut di atas, tema cerita rakyat Tuan Putri

Pucuk Kelumpang adalah seorang pemimpin yang bertindak

sewenang-wenang akan merugikan dirinya. Selain itu, tema ini dapat dibuktikan melalui tiga cara seperti yang ditawarkan oleh Tasrif (dalam Tarigan, 1984:24), yaitu melihat persoalan yang paling menonjol, menghitung waktu penceritaan, dan konflik yang paling banyak hadir.


(45)

Pada awal cerita sampai dengan akhir cerita, persoalan yang paling

menonjol, adalah tentang sikap raja yang selalu bertindak semena. Salah satu

tindakan yang paling kejam adalah ketika ia berpesan kepada istrinya bila istrinya melahirkan dan anaknya perempuan maka anak tersebut harus diberikan kepada si palung, ayam raja, seekor ayam raksasa. Ini seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

..karena adinda sedang mengandung berat, dan tak lama lagi adinda akan lelahirkan anak kita, dengarlah pesan kakanda ini, ”Kalau lahir anak kita laki-laki, peliharalah ia baik-baik, jangan sampai kena cedera, tetapi kalau lahir anak kita perempuan, bunuh dia dan berikan kepada si palung untuk makanannya”.

Si palung adalah ayam kesayangan raja. Konon kabarnya besarnya sebesar manusia, buasnya bukan alang kepalang (TPPK, paragraf 1) Untuk melihat menghitung waktu penceritaan maka tidak terlepas dari alur cerita yang terdiri dari lima bagian alur yaitu situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan); generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak); rising action (keadaan mulai memuncak); climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks); dan denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa) (Tasrif dalam Tarigan, 1984:12).

Pada tahap situation sdh digambarkan bagaimana sikap sang raja ketika meninggalkan pesan kepada istrinya, kemudian pada bagian generating

circumstances diceritakan bagaimana rasa sedih permaisuri yang ternyata

melahirkan seorang putri dan bukan putra. Dengan berat hati karena keputusan sang raja, akhirnya putrinya diserahkannya kepada dewi-dewi penjaga pohon Kelumpang. Hal ini seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.


(46)

Setelah sebulan raja meninggalkan negerinya, permaisuri melahirkan seorang putrid. Betapa sedih hatinya apabila mengingatpesan raja. Sebagai seorang ibu, ia tidak mungkin melaksanakan pesan raja. Dipanggillah bendahara dan orang-orang istana untuk diminta pendapatnya. Semua berduka cita karena tidak mungkin melaksanakan perintah raja. Akhirnya, atas pesan ibunya yang disetujui oleh orang-orang istana, permaisuri mengantarkan putrinya ke pohon Kelumpang yang ada di tengah hutan untuk diasuh oleh dewa-dewa dan peri-peri. (TPPK, paragraf 6)

Pada rising action digambarkan bagaiman keadaan Putri Pucuk Kelumpang yang diasuh dan dibesarkan oleh dewi-dewi sampai pandai menenun dan akhirnya keberadaan dirinya diketahui oleh raja melalui si Palung, seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini

Putri Pucuk Kelumpang tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Untuk mengisi kehidupan sehari-harinya, ia bertenun kapas. Sementara itu, raja telah pulang dari pelayarannya. Permaisuri buru-buru melaporkan bahwa anak yang dilahirkan seorang putri dan kini telah tiada. Ketika itu, si Palung berkokok bahwa yang diberikan padanya daging kambing, sedangkan putrid raja berada di pohon Pucuk Kelumpang. (TPPK, paragraf 9)

Pada tahap climax adalah ketika raja mengetahui bahwa ternyata anaknya tidak dibunuh oleh istrinya. Raja sangat marah dan menyuruh para pembesar istana untuk menjemputnya agar dapat dilaksanakan hukuman mati. Hal ini terlihat pada kutipan berikut

Raja sangat murka karena semua telah mengabaikan perintahnya. Kemudian, raja memerintahkan agar putrinya segera dijemput. Akan tetapi, Pucuk Kelumpang belum mau pulang karena kapasnya baru berdaun dua. Peristiwa itu kemudian terjadi berkali-kali. Putri Pucuk Kelumpang tidak akan pulang sebelum menyelesaikanhasil tenunannya sendiri.


(47)

Pada tahap denoument digambarkan bagaimana penyesalan raja atas tindakan yang diambilnya dulu dan ketika ia melihat betapa indah tenunan putrinya. Rasa penyesalan datang kepada dirinya dan akhirnya dia bunuh diri. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil meminta maaf pada putrinya bahwa ia harus memenuhi janjinya. Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya. Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri. (TPPK, paragraf 22)

Berdasarkan lima tahapan alur di atas terlihat bahwa tiga dari lima tahapan menceritakan tentang tindakan sang raja atau fokus cerita lebih banyak diarahkan kepada tokoh raja.

Adapun untuk melihat konflik yang paling banyak hadir, dapat dilihat pada kelima tahapan alur di atas. Dari kelima tahapan tersebut, konflik yang paling banyak hadir adalah konflik antara sang raja dengan permaisuri dan putri pucuk kelumpang.

Jadi berdasarkan ketiga cara melihat tema seperti yang ditawarkan oleh Tasrif di atas, terbukti bahwa tema dari cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang adalah seorang pemimpin yang bertindak sewenang-wenang akan merugikan dirinya


(48)

Dalam cerita ini, penulis menggunakan alur lurus dengan paparan cerita yang sudah dapat diduga ujungnya. Awal cerita menggambarkan sikap raja yang sangat berkuasa. Raja itu pun sangat menyayangi si Palung, ayamnya, daripada menyayangi yang lainnya. Sebelum pergi berlayar, raja berpesan apabila kelak anaknya laki-laki harus dirawat dan diasuh dengan baik, tetapi apabila anaknya perempuan harus dibunuh kemudian dagingnya diberikan kepada si Palung.

Meskipun pada pertengahan cerita, permaisuri menentang perintah raja, putrinya yang telah lahir tidak dibunuh, tetapi diasingkan di Pohon Kelumpang, tetapi pada akhir cerita Putri itu tetap harus dibunuh, setelah ayahnya kembali berlayar. Sesuai dengan janji raja. dagingnya diberikan kepada si palung.

Untuk melihat secara rinci alur dari cerita Tuanku Putri Pucuk

Kelumpang maka akan digunakan teori yang ditawarkan Tasrif dalam Tarigan

(1984: 128) dalam melihat alur cerita, yaitu:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

2. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)

3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)

5. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)

1. Situation

Pada tahap awal penceritaan ini, pengarang melukiskan bagaimana keadaan di sebuah kerajaan dimana seorang rajanya hendak pergi sambil menitipkan pesan kepada istrinya yang apabila melahirkan seorang putri maka


(49)

harus diserahkan kepada si palung, ayam peliharaan raja, untuk menjadi santapan ayam tersebut. Hal ini seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Setelah sebulan raja meninggalkan negerinya, permaisuri melahirkan seorang putrid. Betapa sedih hatinya apabila mengingatpesan raja. Sebagai seorang ibu, ia tidak mungkin melaksanakan pesan raja. Dipanggillah bendahara dan orang-orang istana untuk diminta pendapatnya. Semua berduka cita karena tidak mungkin melaksanakan perintah raja. Akhirnya, atas pesan ibunya yang disetujui oleh orang-orang istana, permaisuri mengantarkan putrinya ke pohon Kelumpang yang ada di tengah hutan untuk diasuh oleh dewa-dewa dan peri-peri. (TPPK, paragraf 6)

2. Generating Circumstances

Pada tahapan alur ini, peristiwa yang terkandung adalah ketika permaisuri melahirkan seorang putri. Hati permaisuri sangat sedih dan memanggil seluruh pembesar istana. Permaisuri meminta kepada seluruh pembesar istana agar jangan memberitahukan raja bahwa anak mereka adalah seorang wanita dan bukan pria karena takut anak tersebut akan dibunuh nantinya oleh raja. Maka dengan berat hati atas saran para pembesar istana, tuan putri itu harus dikeluarkan dari istana. Permaisuri meletakkan anaknya di dalam hutan di bawah pohon kelumpang agar dapat dipelihara oleh dewi-dewi dan penunggu pohon tersebut, seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

Setelah sebulan raja meninggalkan negerinya, permaisuri melahirkan seorang putrid. Betapa sedih hatinya apabila mengingatpesan raja. Sebagai seorang ibu, ia tidak mungkin melaksanakan pesan raja. Dipanggillah bendahara dan orang-orang istana untuk diminta pendapatnya. Semua berduka cita karena tidak mungkin melaksanakan perintah raja. Akhirnya, atas pesan ibunya yang disetujui oleh orang-orang istana, permaisuri mengantarkan putrinya ke pohon Kelumpang yang ada di tengah hutan untuk diasuh oleh dewa-dewa dan peri-peri. (TPPK, paragraf 6)


(50)

3. Rising Action

Pada tahapan alur ini cerita mulai bergerak menuju puncak cerita (climax). Peristiwa-peristiwa yang terdapat pada bagian alur ini adalah ketika raja yang sudah pulang dari perantauannya mengetahui bahwa ternyata anak yang dilahirkan oleh permaisurinya tidak diberikan kepada si palung, ayam jago kesayangannya. Dari situ pula raja tahu bahwa ternyata anaknya adalah seorang wanita karena si palung menolak memakan daging kambing pemberian raja. Si palung berkokok, berteriak-teriak bahwa raja telah membohongi dirinya karena sesuai perjanjian apabila permaisuri melahirkan seorang wanita maka anak tersebut akan diberikan kepadanya sebagai santapan. Si palung mengancam akan menurunkan bencana bagi kerajaan tersebut. Mendengar hal ini, raja menjadi sangat ketakutan. Ia lalu mendatangi permaisurinya dengan amarah yang sangat tinggi. Ia memerintahkan para pengawal kerajaan untuk menjemput Putri Pucuk Kelumpang agar dapat diberikan kepada si palung. Peristiwa-peristiwa ini tergambar pada kutipan berikut ini.

Putri Pucuk Kelumpang tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Untuk mengisi kehidupan sehari-harinya, ia bertenun kapas. Sementara itu, raja telah pulang dari pelayarannya. Permaisuri buru-buru melaporkan bahwa anak yang dilahirkan seorang putri dan kini telah tiada. Ketika itu, si Palung berkokok bahwa yang diberikan padanya daging kambing, sedangkan putrid raja berada di pohon Pucuk Kelumpang.

Raja sangat murka karena semua telah mengabaikan perintahnya. Kemudian, raja memerintahkan agar putrinya segera dijemput.


(51)

4. Climax

Pada bagian alur ini, cerita yang mulai bergerak di atas dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa puncak yakni ketika si palung menagih janji raja, maka dengan berat hati raja, yang terkejut melihat kecantikan putrinya, harus membunuh putrinya tersebut lalu tubuhnya diberikan kepada si palung. Melihat kekejaman itu, permaisuri tidak tahan lalu bunuh diri. Peristiwa-peristiwa ini terihat pada kutipan berikut ini.

Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil meminta maaf pada putrinya bahwa ia harus memenuhi janjinya. Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya.

(TPPK, paragraf 22)

5. Denoument

Bagian alur ini merupakan bagian dari akhir cerita. Pada bagian inilah pengarang biasanya memberikan jalan keluar dari cerita yang dipaparkannya. Akhir cerita ini biasanya hanya ada dua yaitu sad ending (berakhir sedih atau tragis) dan happy ending (berakhir bahagia). Pada cerita Tuan Putri Pucuk

Kelumpang pengarang mengakhiri ceritanya dengan kematian sang raja dengan

membunuh dirinya sendiri karena tidak tahan menanggung kesedihan dan penyesalan, seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri.


(52)

Dari mulai awal cerita (situation) lalu mulai bergerak (generating

circumstances) dan cerita mulai menuju puncak (rising action) sampai dengan

puncak cerita (climax) dan akhir cerita dengan pemberian jalan keluar oleh pengarang (denoument) tidak terlihat adanya alur cerita yang kembali ke bagian awal atau tengah cerita atau yang dikenal dengan istilah alur mundur (flashback). Cerita terus maju dari awal sampai akhir cerita. Dengan demikian maka alur dari cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang adalah alur maju atau alur progresif.

3.2.3 Tokoh

Tokoh yang ada dalam cerita ini adalah, raja, Putri Pucuk Kelumpang, Permaisuri, dan tokoh penunjang lainnya, seperti hulubalang dan para pembesar istana. Tokoh raja dilukiskan sebagai pemimpin yang sangat berkuasa. Raja itu juga bersikap sewenang-wenang. Apa yang dikatakannya harus dilaksanakan tanpa mempertimbangkan pendapat yang lain. Hal itu dapat diketahui ketika ia memutuskan bahwa apabila anaknya kelak perempuan harus dibunuh, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung, ayamnya. Raja lebih menyayangi ayamnya daripada menyayangi anaknya. Hal itu terungkap dalam kutipan berikut.

…karena adinda sedang mengandung berat, dan tak lama lagi adinda akan melahirkan anak kita, dengarlah pesan kakanda ini, “kalau lahir anak kita laki-laki, peliharalah ia baik-baik, jangan sampai kena cedera, tetapi kalau lahir anak kita perempuan, bunuh dia dan berikan kepada si palung untuk makanannya”.

Si palung adalah ayam kesayangan raja. konon kabarnya besarnya sebesar manusia, buasnya bukan alang kepalang (TPPK, hlm.94)


(53)

Tokoh Puteri Pucuk Kelumpang dilukiskan sebagai seorang putri yang cantik. Kecantikannya itu diumpamakan sebagai bidadari.

Anak yang lahir seorang putrid, sangat cantik parasnya, seperti bidadari layaknya. (TPPK, hlm 94)

Ia diberi nama Kelumpang karena sejak dilahirkan sampai menemui ajalnya berada/diasingkan di pohon Kelumpang. Putrid Pucuk Kelumpang halus budinya dan ia tidak pendendam terutama pada ayahnya, yang diketahuinya akan membunuhnya. Putri Pucuk Kelumpang bahkan membuatkan tenunan dari kapas hasil kebunnya sendiri untuk ayahnya.

Setelah dua purnama, siaplah tenunan Tuan Putri Pucuk Kelumpang konon kabarnya, hasil tenunan itu sungguh halus buatannya, jika dilipat selebar kuku, dibentang selebar alam. Maka bersiap-siaplah sang putrid menanti mak inang yang akan menjemputnya untuk dibawa pulang ke istana, mengahadap ayahandanya (TPPK, hlm. 96)

Tokoh permaisuri adalah seorang ibu yang mempunyai sifat belas kasihan dan mempunyai sedikit keberanian menentang keinginan raja, suaminya, demi keselamatan putrinya, walaupun akhirnya penentangannya tak berhasil.

Menangislah permaisuri karena teringat akan suaminya. Sampai hatikah seorang ibu membunuh putrinya. Cahaya matanya yang baru seorang itu. Akhirnya mengirimkan sang putri ke pucuk kelumpang, pohon besar yang ada ditengah hutan (TPPK, hlm. 94-95)

Permaisuri juga mempunyai sifat yang rapuh. Hal itu dapat diketahui ketika ia menyaksikan putrinya tewas ditangan suaminya, permaisuri tidak tahan hatinya. Ia pun membunuh diri. Seperti diketahui dalam kutipan berikut.

Melihat hal itu permaisuri dan si kembang menghunus pedang dan keduanya membunuh diri (TPPK, hlm. 97)


(54)

3.2.4 Latar

Menurut Nurgiyantoro (1995:227) dalam karya sastra terdapat tiga jenis latar. Ketiga latar tersebut adalah, yaitu latar tempat, latar waktu. dan latar sosial. Ketiga latar ini sangat memainkan peranan penting dalam karya sastra dan sebagai unsur pelengkap dari struktur cerita. Tanpa adanya latar maka pelukisan tokoh cerita tidak akan dapat hidup dan berkembang karena itu latar sangat dibutuhkan untuk membuat jalinan cerita dan pelukisan tokoh menjadi seolah-olah hidup dan sesuai dengan karakter yang diemban oleh seorang tokoh.

Pada cerita cerita Tuanku Putri Pucuk Kelumpang sangat sedikit sekali latar yang digunakan dalam ceritanya, baik itu latar tempat, waktu maupun latar sosial. Hal ini wajar saja mengingat cerita ini adalah cerita lisan yang disampaikan secara lisan sehingga tidak dapat memuat semua unsur pembentuk cerita layaknya cerita tulisan.

Adapun latar yang terdapat dalam cerita Tuanku Putri Pucuk

Kelumpang adalah sebagai berikut:

1. Latar Tempat:

Latar tempat yang terdapat dalam cerita Tuanku Putri Pucuk

Kelumpangini adalah:

a. di pohon kelumpang : pada latar ini digunakan pengarang untuk menceritakan peristiwa penitipan Putri Pucuk Kelumpang kepada dewi-dewi dan peri-peri. Selain itu, latar ini juga dipergunakan pengarang untuk menceritakan tempat tinggal (rumah) dari Putri Pucuk Kelumpang


(55)

b. di hutan : sama halnya dengan latar di atas, latar hutan juga digunakan pengarang untuk menceritakan peristiwa tempat tinggal dari Putri Pucuk Kelumpang

2. Latar Waktu

a. setelah sebulan : latar waktu ini menceritakan tentang peristiwa kelahiran dari Putri Pucuk Kelumpang setelah sebulan ditinggal oleh ayahandanya yang pergi ke negeri seberang.

b. sehari-hari : latar waktu ini menceritakan tentang keadaan dari Putri Pucuk Kelumpang yang sehari-harinya menanam pohon kapas dan menenun.

c. sementara itu : latar waktu ini menceritakan tentang peristiwa kepulangan tokoh Raja dari perantauannya dan mengetahui bahwa ternyata anak yang dilahirkan oleh permaisuri adalah seorang perempuan.

3. Latar Sosial

Cerita ini terjadi di sebuah kerajaan. Oleh karena itu, peristiwa yang diceritakan berkisar kehidupan raja dengan permasalahan keluarganya. Di samping itu, disebutkan pula sebuah tempat, yaitu di tengah hutan. Tempat tersebut tempatnya di pohon Pucuk Kelumpang, tempat tinggal putri pucuk


(56)

kelumpang selama diasingkan dari keluarganya. Pengasingan itu dimaksudkan untuk menghindari pembunuhan yang akan dilakukan raja, ayahnya.

3.2.5 Nilai Didaktis dalam Cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang

Seorang pengarang tentu saja akan memperhatikan nilai didaktis dalam karyanya, sebab nilai didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran, dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu. Oleh sebab itu karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai teladan.

Parameter menilai cerita rakyat dari unsur psikologi, tentu saja tidak bisa terlepas dari unsur intrinsik, yaitu penokohan dan karakteristiknya; alur cerita, dan sudut pandangnya. Karena apresiator harus mampu menganalisis (1) perkembangan jiwa tokohnya, (2) falsafah hidup tokohnya, (3) ide-ide pengarang, (4) perkembangan cerita yang menggerakkan tokohnya, (5) obsesi pengarang melalui pemilihan tokoh, dan (6) konflik yang dibangun pengarang dalam cerita tersebut.

Dalam cerita rakyat bisa saja ditemukan nilai hitam dan putih, bisa juga menggambarkan nilai hitam, atau memperlihatkan nilai putih. Nilai hitam atau putih dalam karya sastra disebut juga nilai didaktis, nilai yang mengandung unsur kebaikan sebagai tuntunan disebut nilai putih, dan nilai keburukan dalam hidup digambarkan nilai hitam. Paling terasa hitam dan putihnya cerita ada dalam cerita rakyat. Biasanya, yang berprilaku hitam akan mendapat hukuman,


(57)

yang berprilaku putih akan mendapat ganjaran. Contoh dalam cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, terlihat sekali nilai didaktisnya.

Cerita rakyat merupakan gambaran kehidupan, tiruan kehidupan, atau mimesis kehidupan. Sebab itu, cerita rakyat bisa disebut juga sebagai agen sosial. Sebagai agen sosial, tentu saja cerita rakyat merupakan penyebar nilai-nilai sosial yang diketahui oleh pengarangnya sebagai bahan baku imajinasinya.

Seorang pengarang ketika mengolah imajinasinya untuk bahan cerita, tentu saja bermula dari keadaan sosial yang dilihatnya, dirasakannya, dan diketahuinya. Mustahil seorang pengarang membuat ceritanya mengabaikan fenomena sosial. Sebab pengarang menemukan ide ceritanya, memupuk imajinasinya, bermula karena melihat kenyataan sejarah, gejolak sosial, keadaan sosial, komunitas sosial, elemen sosial, dan simbol-simbol sosial yang ada.

Maka nilai-nilai yang timbul dalam cerita rakyat dilihat dari unsur sosialnya adalah (1) tokoh-tokoh yang diciptakannya sebagai pelaku sosial; (2) keadaan ekonomi yang menggerakkan elemen sosial (simbol sosial); (3) konflik yang dibangun antartokoh sehingga cerita terasa utuh dan mimesis kehidupan; (4) idiologi tokoh-tokohnya; dan (5) sejarah perkembangan manusia yang dilihat digambarkan dalam cerita.

Cerita rakyat lahir dari angan-angan pengarangnya, imajinasi, hayalan, dan dari mimpi-mimpi pengarangnya. Karena pada dasarnya cerita pendek


(58)

adalah karya rekaan, karya fiksional. Sebagai karya rekaan, tentu saja ide cerita itu bermain-main dahulu di benak pengarang; berhayal atau bermimpi, setelah melihat kenyataan, setelah merenungkan kehidupan, dan direalisasikan dalam cerita tersebut. Ketika cerita itu bergemuruh di hati pengarang, bermain-main di otaknya, maka yang berkerja adalah psikologi pengarang.

Tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, bisa saja mewakili psikologi pengarangnya, atau gejolak batinnya setelah mengalami, mendengar, merasakan, atau melihat fenomena yang di temukan di sekitar kehidupannya. Tokoh-tokoh dalam cerita atau sudut pandang bisa saja mewakili gejolak jiwanya. Pengarang menciptakan orang dengan segala karakter dan kebiasaannya itu wakil dari gejolak batin serta olah imajinasi pengarangnya. Maka untuk lebih mengatahui unsur psikologi dalam cerita pendek harus mengetahui latar belakang kehidupan pengarangnya; baik pendidikannya, pekerjaannya, lingkungan hidupnya, dan karya-karya yang lainnya.

Nilai-nilai pengajaran dan pendidikan dalam karya sastra Melayu biasanya berisikan nilai-nilai seperti: (1) sikap seorang pemimpin, (2) akhlak seorang Muslim, (3) hormat dan patuh kepada orang tua, (4) pandai membawa diri, (5) dalam bertindak harus menggunakan akal dan pikiran, dan (6) pengendalian hawa nafsu (Sharif, 1998:325)

Sebagai salah satu bentuk cerita rakyat Melayu yang saat ini penulis teliti cerita rakyat Tuan Putri Pucuk Kelumpang ini memiliki nilai-nilai pengajaran dan pendidikan yang tinggi. Nilai-nilai pengajaran dan pendidikan yang terdapat dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang adalah sebagai berikut.


(59)

3.2.6 Sikap Seorang Pimpinan

Seorang raja, pemimpin, harus bersikap bijaksana. Pemimpin yang bijaksana pasti akan disukai, bahkan disegani oleh rakyat dan keluarganya. Di antara faktor yang paling penting dalam kegiatan menggerakkan orang-orang lain untuk menjalankan manajemen adalah kepemimpinan. Pemimpinlah yang menentukan arah dan tujuan, serta memberikan bimbingan dan pekerjaan. Kesalahan dalam kepemimpinan akan mengakibatkan kegagalan. Pemimpin merupakan inti dari motor penggerak dari pada manajemen. Disamping itu, kepemimpinan berhubungan erat dengan manusia yang sifatnya selalu dinamis.

Dalam kenyataannya para pemimpin dapat memengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting dalam suatu organisasi bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin yang efektif atau meningkat.

Poerbakawatja (1976: 457) mengatakan bahwa, “... kepemimpinan adalah proses pengaruh-memengaruhi antara pribadi atau antarorang dalam situasi tertentu, melalui proses komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan menurut Masya (1978: 180), “Kepemimpinan atau memimpin adalah usaha untuk menggerakkan orang lain ataupun bawahan yang dipimpin supaya mereka dapat bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan yang diinginkan bersama dan yang dianggap penting bagi mereka.”


(1)

dilihatnya untuk pertama kali, ternyata anaknya sangat cantik jelita, seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat

Namun karena hawa nafsu telah menguasai dirinya maka tokoh raja tidak lagi memikirkan segala akibat dari perbuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Asmaran bahwa nafsu ini menyebabkan manusia terlanjur untuk melakukan kesalahan, tetapi setelah itu menyesal atas perbuatannya. Sayangnya, apabila dorongan nafsu ini datang lagi, ia tidak mampu menahannya, walaupun setelah itu menyesal lagi. Dorongan akan kekuasaan dan kekayaan yang mungkin ditawarkan oleh si Palung, si ayam raksasa, membuat tokoh raja menjadi ”gelap mata” dan melakukan kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan. Akhirnya rasa penyesalan itu datang kembali dan menyiksa dirinya sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya dengan menusukkan pedang ke badannya sendiri.

Inilah akibat dari tindakan mengikuti hawa nafsu sehingga tidak hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga merugikan orang lain. Akibat dari perbuatannya, tokoh raja harus kehilangan putri tercintanya, Putri Pucuk Kelumpang, dan istri terkasihnya, sang permaisuri. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang seperti terlihat pada kutipan berikut ini.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil


(2)

Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya. Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri

Inilah tragedi yang dapat dijadikan pelajaran bahwa bila mengikuti hawa nafsu maka bukan kebaikan yang didapatkan melainkan keburukan dan kerugian seperti yang dialami oleh tokoh raja dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang ini.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

a. Sastra lisan dalam bentuk cerita rakyat di daerah Sumatera Utara, khususnya masyarakat Melayu dewasa ini sudah mulai berkurang, dalam arti cerita-cerita tersebut sulit ditemukan. Hal ini terkait erat dengan pencerita-ceritanya. Artinya, orang yang menguasai dengan baik cerita-cerita rakyat di daerah Sumatera Utara khususnya masyarakat Melayu sudah mulai langka. Kebanyakan orang-orang tua yang ditemui hanya menguasai sepotong-sepotong dari cerita rakyat tersebut. Kenyataan ini kemungkinan disebabkan saat ini jarang orang-orang tua menceritakan legenda, mite, ataupun fabel kepada anak-anaknya. Pengaruh media hiburan elektronik seperti tape recorder, radio, dan televisi menyebabkan anak-anak juga tidak terlalu membutuhkan hiburan lain dalam bentuk cerita lisan.

b. Tema yang terdapat di dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang yang dianalisis dalam penelitian ini secara umum dimaksudkan untuk memberi pengajaran atau petuah-petuah kepada pendengarnya. Adapun tema dari cerita ini adalah seorang pemimpin yang bertindak sewenang-wenang akan merugikan dirinya

c. Alur dari cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang adalah alur maju atau alur progresif. Alur cerita tidak ada yang kembali ke awal atau ke tengah cerita dan terus menuju ke akhir cerita. Alur inilah yang disebut dengan alur maju


(4)

d. Latar yang digunakan dalam cerita Tuanku Putri Pucuk Kelumpang adalah latar waktu, tempat, dan sosial. Ketiga latar ini memang terdapat pada cerita tersebut namun sangat sedikit sekali berisikan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut.

e. Perwatakan dalam cerita cerita Tuanku Putri Pucuk Kelumpang adalah perwatakan linear. Artinya watak yang lurus dan tidak mengalami perubahan karakter, baik dari awal cerita maupun sampai akhir cerita.

f. Nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalam cerita cerita Tuanku Putri Pucuk Kelumpang adalah (1) sikap seorang pemimpin, (2) akhlak seorang Muslim, (3) hormat dan patuh kepada orang tua, (4) pandai membawa diri, (5) ilmu pengetahuan, (6) dalam bertindak harus menggunakan akal dan pikiran, dan (7) pengendalian hawa nafsu

4.2 Saran

Saran yang dapat dikemukakan sehubunbgan dengan hasil penelitian ini adalah perlunya penelitian lanjutan terhadap sastra lisan/cerita rakyat Melayu, mengingat dalam penelitian ini hanya satu cerita yang terkumpul secara utuh, padahal masih banyak cerita-cerita dari daerah Sumatera Utara khususnya masyarakat Melayu yang pernah dikenal dalam masyarakat Melayu, dan dipandang penting untuk di dokumentasikan. Hal ini mengingat orang-orang tua yang masih menguasai dengan baik cerita-cerita rakyat, khususnya cerita masyarakat Sumatera Utara dewasa ini semakin jarang dapat ditemui. Sangat disayangkan jika suatu ketika cerita-cerita rakyat yang pernah ada pada masyarakat Sumatera Utara, tidak dikenal lagi oleh generasi yang akan datang


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Amir, Hazim, 1986. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru. Disertasi. Halang: PPS IKIP HALANG.

Abidin, T.Z. 1980. “Selayang Pandang Negeri Daya” Tulisan Pribadi, Tidak diterbitkan.

Bogdan dan Biklen, S.K. 1990. Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori

dan Metode (Terjemahan oleh Munandir). Jakarta: Dirjen Dikti.

Danandjaya, Janes, 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Pustaka Uretna. Esten, Hursal. 1985.

Esten, 1987. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa.

Ginarsa, K. 1985. Novel dan Cerpen Bali Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara yang Tak Terlupakan Pengantar Studi Sastra

Lisan. Jawa Timur: HISKI.

Kartono, Kartini, 1997. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Pradanya Paramita. Kusdiratin, 1985. Meaahaui Novel Atheis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Marjuni, Abd. Gani Hado. 1982. Sultan Shalatin Abidin “Riwayat Syah di Daya

(Cerita Masyarakat Lanno, Kecamatan Jaya, Aceh Barat)”. Banda Aceh:

Pusat Pelatihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Aceh

Nurgiyantoro, Burhan, 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Medan University Press.

Nawawi, 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rosmawati R. 1990. Struktur Sastra Lisan melayu Serdang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Prihatmi, Th. S.R, 1990. Dari Mochtar Lubis Hingga Liangun-Wijaya. Jakarta: Balai Pustaka.


(6)

Panuti, 1988. Meeahani Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Syaifuddin, 1995. Syair Lisan Masyarakat Melayu Deli. USM-Malaysia.

Trisna, Maini, Analisis Struktur dan Nilai Budaya, Jakarta: 1997. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Yusmalina, 1997. Struktur dan Nilai-nilai Didaktis Syair Memuji Pengantin