Analisa Data Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

6. Analisa Data

Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa akan dilakukan secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN KEPAILITAN KREDITUR

TERHADAP DEBITUR

A. Pengertian Pailit

Menurut M. Hadi Shubhan: 50 Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan financial distress dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional prorate parte dan sesuai dengan struktur kreditur. 51 50 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 1. 51 Ibid., hlm. 2. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Menurut Kartono: 52 Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya voluntary petition for self bankruptcy menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih involuntary petition for bankruptcy. Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, di sanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan mempengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit. 53 Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban debitur terhadap kreditur secara lebih efektif, efisien, dan proporsional. 52 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999, hlm. 42. 53 Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. 55-56. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 vermogensrechts. Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur. 54 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 55 UU Kepailitan ini merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan Faillissement Verordening Stb. 1905-217 jo. 1906-348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Pada saat ketentuan Peraturan Kepailitan Faillissement Verordening Stb. 1905—217 jo. 1906- 348 diberlakukan, dalam prakteknya, masih sangat sedikit para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan Peraturan Kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UU Kepailitan sebagai pranata hukum lembaga kepailitan yang menjadi pedoman bertindak para pihak yang terlibat di dalamnya. 56 54 Kartini Mulyadi, dalam Rudy A Lontoh, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 168. 55 Ibid. 56 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 1. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena Peraturan Kepailitan sebagai produk hukum kolonial warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisme penyelesaian utang piutang. Dengan dikeluarkannya ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat. 57 Pailit adalah suatu keadaan, dimana seorang debitur tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditur, dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan. Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam ketentuan Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan, maka pada tahun 1998 dibentuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar pada tahun 1999. 57 Ibid. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Pasal 1 UU Kepailitan, yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Kepailitan mempunyai tujuan: 58 Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. 59 58 Ibid., hlm. 37. 59 Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Menjamin agar pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan asas pari passu, dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan pada kreditur konkuren. 2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

B. Proses Kepailitan

Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.” Dengan memenuhi syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit. Berdasarkan ketentuan dalam UU Kepailitan, ditentukan bahwa kreditur yang mengajukan permohonan kepailitan, merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit. Debitur dan kepailitan, dapat berupa perseorangan atau badan hukum maupun institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Prosedur dan proses kepailitan di pengadilan niaga, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Pasal 6 ayat 1 UU Kepailitan. 2. Panitera Pengganti mendaftarkan permohonan pernyataan pailit Pasal 6 ayat 2 UU Kepailitan. 3. Paling lambat 2 dua hari sejak tanggal pendaftaran, panitera menyampaikan permohonan kepada ketua pengadilan niaga Pasal 6 ayat 4 UU Kepailitan 4. Paling lambat 3 tiga hari sejak tanggal permohonan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang Pasal 6 ayat 5 UU Kepailitan. 5. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 dua puluh hari setelah tanggal permohonan didaftarkan Pasal 6 ayat 5 UU Kepailitan. 6. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit, harus diucapkan paling lambat 60 enam puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 8 ayat 5 UU Kepailitan. 7. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat kurator dan hakim pengawas Pasal 15 ayat 1 UU Kepailitan. Dalam mengajukan permohonan pailit, disyaratkan bahwa seorang debitur pailit haruslah mempunyai dua atau lebih kreditur. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. 60 60 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998...., Op.Cit., hlm. 64. Kreditur yang mengajukan permohonan pailit bisa saja hanya satu dan beberapa kreditur yang Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 mempunyai tagihan kepada debitur pailit. Seringkali kreditur dan debitur yang dimohonkan pailit, jumlahnya sangat banyak sehingga Pengadilan Niaga dapat membentuk panitia kreditur dan kemudian menyelenggarakan rapat kreditur yang dipimpin hakim pengawas, untuk memudahkan kurator berhubungan dengan kreditur, atas permintaan para kreditur. Setelah pernyataan pailit diucapkan, dalam putusan pailit atau dengan ketetapan kemudian dibentuk panitia kreditur terdiri atas 3 tiga orang yang dipilih dari kreditur yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Panitia kreditur berhak untuk meminta kurator dan kurator wajib memperlihatkan semua buku, surat dan dokumen mengenai kepailitan yang sedang diproses. Rapat kreditur dapat diadakan untuk memberi nasihat pada kurator, walaupun kurator tidak terikat nasihat atau pendapat dari rapat kreditur. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UU Kepailitan dinyatakan bahwa: ‘Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbuka secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah dipenuhi.” Dalam penjelasan Pasal 8 ayat 4 UU Kepailitan, bahwa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang, antara yang didalihkan atau yang diajukan oleh pemohon pailit dari termohon pailit, tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Dengan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit atas debitur oleh pengadilan niaga, sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Debitur telah atau berada dalam keadaan tidak mampu bayar atau insolven dan dilakukan likuidasi harta kekayaan debitur yang kemudian dibagikan pada para krediturnya. Dengan diputuskannya pailit terhadap debitur, debitur berada dalam keadaan insolven dan dilakukan pembagian harta kekayaan debitur, maka kepailitan kemudian berakhir. Ada beberapa cara berakhirnya suatu kepailitan, yaitu: 61 Setelah debitur dinyatakan pailit, dan diajukan rencana perdamaian, kemudian rencana perdamaian tersebut disetujui secara sah maka perdamaian tersebut mengikat seluruh kreditur baik yang setujutidak dan yang hadir atau tidak dalam rapat kreditur. Perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh pengadilan niaga dalam sidang homologasi, setelah putusan diterima dan mempunyai kekuatan pasti, proses kepailitan berakhir. 1. Setelah adanya perdamaian, yang telah disahkan oleh putusan pengadilan niaga dan berkekuatan pasti. 62 Dalam hal ini, kepailitan akan berakhir segera setelah: 2. Setelah adanya keadaan insolvensi dan kemudian dilakukan pembagian harta kekayaan debitur. 63 61 Ibid., hlm. 86. 62 Ibid., hlm. 87. 63 Ibid., hlm. 88. a. Piutang terhadap kreditur telah dibayar penuh. b. Daftar pembagian harta kekayaan ditutup dan memperoleh kekuatan pasti. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 3. Kepailitan berakhir karena kurator memberikan sarannya, akibat nilai dari harta debitur yang tidak mencukupi untuk dilakukan pembayaran utang. Apabila harta debitur jumlahnya sedikit dan tidak mencukupi bahkan untuk biaya pailit dan termasuk untuk utang harta pailit, maka kurator dapat mengusulkan agar kepailitan dicabut kembali. 64 Pengadilan niaga dapat memerintahkan untuk diakhirinya kepailitan, mengingat keadaan debitur, atau atas saran debitur dan saran dari panitia kreditur. 4. Kepailitan dicabut atas anjuran hakim pengawas. 65 Putusan pailit di pengadilan niaga adalah putusan pengadilan pada tingkat pertama. Putusan pailit dan pengadilan niaga walaupun berkekuatan serta merta dapat dilaksanakan uitvoerbaar bij voorraad, tetap dapat diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Jika dalam upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali, putusan pailit tersebut ditolak, maka kepailitan atas debitur akan berakhir. Sebelum putusan Mahkamah Agung mengenai pembatalan tersebut diterima oleh kurator, segala perbuatan kurator atas harta kekayaan debitur tetap sah adanya. 5. Kepailitan berakhir jika putusan pailit dibatalkan di tingkat upaya hukum kasasi atau pada peninjauan kembali. 66 64 Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

C. Ketentuan Pelaksanaan Kepailitan Kreditur Terhadap Debitur

Sebelum kreditur mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur, syarat materiil yang harus dipenuhi oleh kreditur adalah adanya utang yang telah jatuh tempo yang tidak dibayar yang dapat ditagih dan debitur memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Hal ini secara tegas ditetapkan dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Jika dianalisis persyaratan materiil untuk mengajukan perkara kepailitan adalah sangat sederhana, yakni adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang belum dibayar lunas serta memiliki sekurang-kurangnya dua kreditur. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh perjanjiannya untuk dapat ditagih. Persoalan yuridis mengenai utang dalam proses pembuktian beracara kepailitan adalah utang yang bagaimana yang bisa dikategorikan utang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan tersebut. Dalam Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Sebagaimana telah dikemukakan dalam konsepsi, penjabaran definisi utang dalam UU Kepailitan ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan dari undang- undang kepailitan sebelumnya. Pada undang-undang kepailitan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepailitan tidak dijelaskan mengenai batasan utang tersebut. Sehingga pada mula berlakunya Undang-Undang Kepailitan revisi Tahun 1998 terdapat dua interpretasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Satu kelompok menyatakan bahwa utang di sini berarti utang yang timbul dari perjanjian utang piutang yang berupa sejumlah uang. Kelompok ini menginterpretasikan utang dalam arti sempit, sehingga tidak mencakup prestasi yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar perjanjian utang piutang. Dalam praktik peradilan kepailitan juga ada sebagian Hakim Agung yang menganut penafsiran sempit ini. Dalam kasus PT Jawa Barat Indah pemborong apartemen melawan Sumeni Omar Sandjaya dan Widyastuti pembeli Apartemen, Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 05 PKN1999 berpendapat bahwa menurut Pasal 1 UU Kepailitan dinyatakan bahwa utang tersebut adalah utang pokok dan bunganya sehingga yang dimaksud dengan utang di sini adalah dalam kaitannya dengan hubungan hukum pinjam-meminjam uang atau kewajiban untuk membayar Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 sejumlah uang sebagai salah satu bentuk khusus dan berbagai bentuk perikatan pada umumnya. 67 Pendapat ini juga dianut oleh sebagian kalangan Hakim Agung dalam peradilan kepailitan. Dalam perkara PT Suryatata Internusa melawan PT Bank BNI cs Nomor 08 PKN1999 diputuskan bahwa biayaongkos kerja atas suatu proyek pekerjaan pembangunan yang timbul dari perjanjian pemborongan kerja di mana proyek tersebut telah selesai dikerjakan dengan baik oleh pemborong dan ternyata pihak pemberi borongan kerja debitur belum membayar lunas ongkos tersebut kepada pemborong, maka biaya yang belum terbayar tersebut adalah merupakan utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 UU Kepailitan waktu itu. Sedangkan sebagian kelompok berpendapat bahwa yang dimaksud utang dalam Pasal 1 UU Kepailitan adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang di sini dalam arti yang luas. Istilah utang tersebut menunjuk pada hukum kewajiban hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari undang-undang Pasal 1233 KUH Perdata. Prestasi tersebut terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. 68 Dalam KUH Perdata tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas sebagaimana yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUH Perdata. Namun di dalam praktik dan dalam wacana para ahli berkembang diskursus terminologi tersebut. Dari kedua pendapat tersebut mengenai utang, maka yang tepat 67 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 88-89 68 Ibid., hlm. 89. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 adalah kelompok pendapat yang menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena undang-undang kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka utang dalam UU Kepailitan adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Dan juga berkaitan dengan prinsip debt pooling, di mana kepailitan merupakan sarana untuk melakukan distribusi aset terhadap para kreditornya dan kreditur dalam hal tidak berkaitan khusus dengan perjanjian utang piutang uang saja melainkan dalam konteks perikatan. Utang dalam kaitan dengan perikatan bisa timbul karena perjanjian dan bisa pula timbul karena undang-undang. Utang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang bisa timbul dari undang-undang saja dan bisa pula timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang bisa berupa perbuatan yang sesuai dengan undang-undang bisa pula perbuatan yang melanggar hukum onrechtmatige daad. 69 Dalam Peraturan Kepailitan Faillissement VerordeningFV pun menganut konsep utang dalam arti luas. Siti Soemarti Hartono menyatakan bahwa dalam yurisprudensi ternyata bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang. Menurut putusan H.R tanggal 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barang. 70 69 Ibid., hlm. 89-90. 70 Siti Soematri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993, hlm. 8. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur sebagai berikut: 1. Utang tersebut telah jatuh tempo; 2. Utang tersebut dapat ditagih; dan 3. Utang tersebut tidak dibayar lunas. Suatu utang dikatakan telah jatuh tempo ketika waktu tersebut telah sesuai dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan; atau terdapat hal-hal lain di mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan “acceleration clause atau acceleration provision” atau percepatan jatuh tempo dan default clause. 71 Setiawan membedakan Acceleration clause dengan default clause. Acceleration clause memberikan hak kepada kreditur untuk mempercepat jangka waktu jatuh tempo dari utang, jika kreditur merasa dirinya tidak aman deems itself insecure, oleh karena itu acceleration clause lebih luas daripada default clause yang digunakan apabila kreditur memandang bahwa hal tersebut perlu dilakukan meskipun utang belum jatuh tempo. 72 Kreditur dapat mempercepat jatuh tempo utang debitur dalam hal terjadi event of default, artinya telah terjadi sesuatu atau tidak terpenuhinya sesuatu yang diperjanjikan oleh debitur dalam perjanjian kredit Sehingga menyebabkan kreditur 71 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 91. 72 Setiawan, dalam Ibid., hlm. 91. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 mempercepat jatuh tempo. Selanjutnya Setiawan mengatakan bahwa untuk menggunakan acceleration clause harus disertai adanya good faith. Adapun yang dimaksud dengan good faith adalah adanya reasonable evidence, dan bukti tersebut tidak harus berupa putusan pengadilan. 73 Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami natuurlzjke verbintenis. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami natuurljke verbintenis tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa yang diartikan sebagai perikatan alami adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya baik ab initio dari semula semisal dalam hal utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan Pasal 1788 KUH Perdata, maupun sesudahnya sebagai akibat telah terjadinya kadaluwarsa Pasal 1967 KUH Perdata. 74 73 Ibid. 74 Fred B.G. Tumbuan, dalam Emmy Yuhassarie ed, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004, hlm. 20-21. Sedangkan maksud dari ditegaskannya bahwa utang dalam kepailitan merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi, belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi akal-akalan dari debitur, yakni, debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini juga Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 berangkat dari pengalaman pelaksanaan peraturan kepailitan lama yakni dalam Faillessement Verordening FV, di mana dalam FV mensyaratkan bahwa debitur telah berhenti membayar utang, dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya sebagian dan masih jauh dari lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah berhenti membayar. 75 Dalam proses acara kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Utang merupakan alasan reason dari kepailitan. Namun demikian, walaupun telah ada kepastian mengenai penafsiran utang tersebut dalam revisi Undang-Undang Kepailitan, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang UU Kepailitan, di mana utang didefinisikan dalam arti luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam undang-undang kepailitan yang hanya bertujuan untuk mempermudah mempailitkan subjek hukum, di mana syarat kepailitan hanya memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep utang dalam arti luas tersebut. Dan kelemahan undang-undang ini sering disalahgunakan, di mana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi aset debitur 75 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 92. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44 akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang. 76 Dalam hukum undang-undang kepailitan menganut pninsip utang dalam konsep yang luas, akan tetapi tidak menganut prinsip pembatasan jumlah nilai nominal uang, sehingga hal ini sebagai kekurangan dan bahkan kelemahan aturan hukum kepailitan itu. Dengan tidak dibatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitur yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada para krediturnya sehingga untuk mencegah terjadinya unlawful execution dari para krediturnya, menjadi kepailitan sebagai alat tagih semata debt collection tool. Di samping itu pula, dengan tidak adanya pembatasan jumlah minimum utang tersebut, bisa merugikan kreditur yang memiliki utang yang jauh lebih besar terhadap debitur itu. 77 Pembatasan jumlah minimum utang akan memberikan perlindungan terhadap kreditur yang mempunyai utang mayoritas serta perlindungan hukum terhadap debitur tersebut, karena dengan adanya pembatasan jumlah minimum utang, maka tidak semua besaran utang. misalnya satu juta rupiah bisa dijadikan dasar untuk mempailitkan debitur. 76 Ibid., hlm. 93. 77 Ibid., hlm. 92-93. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

BAB III KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM

PUTUSAN KEPAILITAN

A. Hak Tanggungan

1. Pengertian Hak Tanggungan